Tuesday, May 29, 2007

Doa Ku Dari Doa Bapa Kami

Bapa kami yang di sorga
Tuhan yang di sorga, terima kasih aku boleh memanggilmu Bapa. Dan terima kasih karena aku tahu aku tidak sendirian dalam perjalanan rohaniku di dunia ini. Aku punya keluarga iman, orang-orang yang di dalam iman bersama-sama berseru menyebutMu: Bapa kami!

Dikuduskanlah namaMu
Bapa, ampuni kalau seringkali aku tidak menghormati kekudusanMu. Ajar aku untuk merindukan namaMu ditinggikan dan dihormati. Jangan biarkan ada orang yang menista Engkau, ya Bapa. Kalau hari ini aku melihat orang melakukannya, biarlah hatiku berkobar karena cinta akan Engkau. Kalau Engkau masih mengizinkan orang-orang menista namaMu, jangan biarkan aku, anakMu ini, ikut melakukannya. Nyatakan kekudusanMu di dalam dunia ini supaya semua orang takut akan Engkau!

Datanglah kerajaanMu
Tuhan pakailah aku dan pakailah gerejaMu untuk memperluas kerajaanMu. Biar lewat hidup kami, terpancar kasih, keadilan, kebenaran dan rasa hormat akan Engkau. Biar kerajaanMu dan kuasa pemerintahanMu makin nyata. Kami rindu, ya Bapa, semua lutut bertelut dan semua lidah mengaku: Engkaulah Tuhan!

Jadilah kehendakMu di bumi seperti di sorga
Betapa berbedanya, ya Bapa, bumi dengan sorga. Di sorga, semua tahu siapa yang memerintah, semua malaikat melayani Engkau, semua mengasihiMu. Selama di bumi, aku akan terus melihat manusia berjuang saling menguasai, melayani diri, berebut uang dan kehormatan. Karena itulah hatiku merindukan sorga.... Tetapi aku rindu bukan cuma di sorga, tetapi saat ini juga di bumi ini, kehendak Bapa terjadi. Dan karena aku anakMu ini lemah, mulailah dari aku hari ini, ya Bapa.

Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya
Dua hal aku minta: penuhi hatiku dengan rasa syukur untuk semua yang Kau berikan termasuk sepiring nasi yang berasal dari padaMu dan puaskan hatiku dengan apa yang Kau berikan. Jangan aku tidak bersyukur, dan jangan aku meminta lebih dari yang aku perlukan. Berikanlah ya Bapa berkatMu yang cukup bagiku untuk menjalankan tugasku di dunia. Dan beri aku kerelaan untuk membagikan kepada orang lain kelebihan yang Engkau berikan.

Dan ampunilah kami akan kesalahan kami seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami
Ampunilah aku ya Bapa untuk kesalahan dan dosaku. Ajar aku juga mengampuni orang lain. Jangan biarkan aku memandang remeh dosaku dan memandang berat dosa orang lain, apalagi saudara-saudaraku yang Engkau tempatkan di sekitarku untuk kukasihi.

Dan janganlah membawa kami ke dalam pencobaan tetapi lepaskanlah kami daripada yang jahat
Bapa, kadang-kadang kejahatan terasa mengurung aku dan aku tidak tahan. Kadang-kadang situasi terasa begitu menekan dan menggodaku untuk melakukan kejahatan baik lewat mulutku maupun tindakanku. Lepaskanlah aku ya Bapa daripada yang jahat supaya aku jangan jatuh ke dalam pencobaan. Bapa, janganlah murka kepada kelemahanku, ingatlah akan kasih sayangMu. Apapun yang terjadi, jangan biarkan aku sendirian dalam dunia yang jahat ini dan pencobaan menggulungku sampai habis.

Aku memanjatkan doaku dengan iman dan dengan berani karena Engkaulah yang empunya kerajaan dan kuasa dan kemuliaan sampai selama-lamanya! Terpujilah Engkau Bapaku, terpujilah Engkau Bapa kami, Bapa dari orang-orang yang Engkau kasihi!

Amin!

Sunday, May 06, 2007

Firman Tuhan = Khotbah?

Dalam pertemuan-pertemuan ibadah, sebelum pembicara berdiri di depan, biasanya liturgis atau worship leader akan mengatakan “Kita akan mendengarkan Firman Tuhan”.

Memang pembicara biasanya kemudian membacakan satu atau beberapa bagian Firman Tuhan. Tetapi saya kira yang dimaksud liturgis atau worship leader dengan “Kita akan mendengarkan Firman Tuhan” adalah “Kita akan mendengarkan khotbah”.

Khotbah bukanlah Firman Tuhan. Saya kira tidak ada pengkhotbah waras yang berani mengangkat naskah khotbahnya tinggi-tinggi sambil berseru “Ini adalah Firman Tuhan!”.

Kita bisa mendefinisikan khotbah sebagai:
“Penjelasan akan Firman Tuhan supaya pendengar mengerti Firman Tuhan”
“Usaha mengekspos pendengar kepada Firman Tuhan sehingga mereka berhadapan langsung dengan Tuhan yang berfirman”
Atau hal-hal yang serupa dengan itu, tetapi jelas khotbah bukanlah Firman Tuhan itu sendiri.

Saya tidak bermaksud menyalahkan liturgis atau worship leader yang mengatakan “Kita akan mendengarkan Firman Tuhan”. Kalimat itu sah saja karena memang dalam ibadah, Firman Tuhan akan diperdengarkan dan juga dijelaskan.

Tetapi 2 hal yang ingin saya ajak kita cermati:

Pertama, kalimat itu sudah menjadi kalimat yang terlalu biasa diucapkan sehingga liturgis atau worship leader, jemaat atau bahkan si pembicara sendiri, tidak terlalu menganggapnya serius. Pokoknya apa saja yang akan dibicarakan oleh si pembicara langsung disebut “Firman Tuhan”. Saya pernah datang dalam suatu persekutuan. Acaranya adalah pemutaran film dan sebelum film diputar, si pembicara pertama-tama akan memberikan pengantar film tersebut sebelum akhirnya nanti mengajak jemaat mengkritisi film itu berdasarkan konsep Firman Tuhan. Jelas si pembicara tidak akan mengajak membuka Alkitab, tidak membacakan Firman Tuhan dan tidak menjelaskan arti Firman Tuhan. Tetapi worship leader sudah terlalu biasa mengucapkan kalimat itu, maka ketika tiba waktunya si pembicara akan naik dan memberikan pengantar film tersebut, dia langsung mengatakan “Kita akan mendengarkan Firman Tuhan”. Kalau sampai sejauh itu, saya rasa kita sudah salah kaprah.

Kedua, tidak jarang setelah khotbah, jemaat mengatakan kalimat-kalimat seperti demikian:
“Wah Firmannya bagus sekali Pak!”
“Firman Tuhan hari ini sangat keras, tetapi kita harus belajar menerimanya”

Kalau memang yang dimaksud adalah Firman Tuhan sesungguhnya (Alkitab), kalimat-kalimat di atas tidak salah. Kalau yang dimaksud adalah penjelasan Firman Tuhan (khotbah) menolong dia mengerti betapa indahnya rencana Tuhan yang tertulis dalam Alkitab, atau karena khotbah itu dia mengerti teguran dari Firman Tuhan bahwa ada dosa-dosa dimana dia harus bertobat, maka kalimat-kalimat di atas juga tidak salah. Tetapi seringkali yang dimaksud adalah ‘khotbah’nya dan bukan ‘Firman Tuhan’nya.

Mengapa saya mempermasalahkan ini? Pertama ini berkaitan dengan definisi dan keseriusan kita memandang Firman Tuhan. Kedua, saya tidak rela kalau ada pengkhotbah yang khotbahnya tidak tepat, walaupun diuraikan dengan bagus atau ‘keras’, lalu orang bilang “Firmannya bagus atau Firmannya sangat menegur”. Itu bukan Firman Tuhan! Bahkan itu salah sama sekali karena tidak sesuai dengan Firman Tuhan!

Tugas pengkhotbah adalah menjelaskan Firman Tuhan, membawa pendengar untuk mengerti Firman Tuhan dan berespon kepada Firman Tuhan. Dia mungkin melakukannya dengan memakai ilustrasi, menjelaskan latar belakang bagian-bagian Firman Tuhan, memakai kalimat-kalimat dari teolog-teolog atau filsuf-filsuf, atau menceritakan kesaksian hidupnya. Tetapi lewat semua itu, tujuan utama adalah supaya pendengarnya mengerti dan mengamini Firman Tuhan.

Maka tidak semua yang dikatakan di atas mimbar harus kita anggap Firman Tuhan. Setiap pengkhotbah harus berpikir apakah melalui kalimat-kalimatnya, dia membawa jemaat mengerti Firman Tuhan? Dan setiap jemaat, seperti yang pernah dikatakan Paulus “menanggapi (menguji) apa yang mereka katakan”. Kalau khotbah itu memang membawa kita mengerti Firman Tuhan dengan benar, mari kita bersyukur untuk bagian Firman Tuhan itu dan kita bersyukur untuk khotbah yang disampaikan yang menolong kita mengerti, dan akhirnya kita harus berespon kepada Firman Tuhan itu sendiri. Bagaimanapun, kita harus taat kepada Firman Tuhan dan bukan kepada khotbah.

Thursday, May 03, 2007

Puasa

Salah satu disiplin rohani yang saya jalankan, tetapi masih sangat kurang, adalah berpuasa. Puasa tidak banyak dijalankan oleh orang Kristen zaman ini. Allan H. Sager dalam buku Gospel-Centered Spirituality mengutip Richard Foster: “Mengapa memberikan uang, misalnya, tanpa perdebatan diakui sebagai salah satu elemen dari kesalehan Kristen sementara berpuasa begitu diperdebatkan? Kita memiliki sama atau mungkin lebih banyak bukti dalam Alkitab tentang berpuasa daripada memberikan uang. Mungkin dalam masyarakat kita yang makmur ini, berpuasa melibatkan pengorbanan yang jauh lebih besar daripada memberikan uang”. Kalimat ini terngiang-ngiang di telinga saya.

Sebagai salah satu bentuk disiplin rohani dan kesalehan Kristen, saya percaya ketika kita melakukannya, banyak pengalaman rohani yang mungkin kita dapatkan.

Beberapa kali saya menjelaskan kepada jemaat bahwa berpuasa adalah bentuk merendahkan diri. Berpuasa membuat kita sadar bahwa kita cuma manusia yang lemah dan butuh Tuhan. Ketika kita berpuasa kita disadarkan bahwa dalam hal yang sangat sederhana, hanya tidak makan selama beberapa jam saja, kita sudah merasa sakit perut dan lemah. Maka ketika sisi kemanusiaan itu dimunculkan, di situlah kita sadar kita cuma manusia dan bukan Tuhan.

Tetapi ada satu pengalaman rohani baru yang saya dapatkan waktu berpuasa baru-baru ini. Mungkin ada yang tahu pepatah ‘A hungry man is an angry man’? Coba saja jika di dalam acara retreat, sampai pada jam makan dan pembicara masih meminta waktu ditambah, apa yang terjadi? Itulah yang saya alami. Ketika saya berpuasa dan tetap bekerja, saya menjadi tidak nyaman. Rasa lapar bercampur lelah membuat saya sensitif dan mudah tersinggung. Tetapi ketika itulah saya sadar, “Hei, bukankah berpuasa mustinya membuat sadar bahwa kamu manusia yang lemah? Lalu mengapa kamu bersikap seperti tuan, ingin dimengerti dan dihormati, bukan seperti hamba?”

Saya belajar bahwa ‘merasa diri lemah dan butuh Tuhan’ itu satu hal. Tetapi ‘merasa diri lemah dan bersikap sebagai orang lemah’ itu satu hal lagi. Dan saya yakin masih ada banyak aspek lagi tentang kelemahan yang masih harus saya mengerti dan alami.