Wednesday, May 28, 2008

Places as Icons (Reflection from Trip to Israel - 1)

Sebelum pergi ke Israel, saya punya sikap skeptis terhadap perjalanan ke Israel yang banyak dilakukan oleh orang Kristen. Alasannya adalah saya merasa banyak tempat-tempat di sana yang sebenarnya tidak bisa dipastikan keasliannya.

Peristiwa-peristiwa penting berkaitan dengan hidup Yesus terjadi sekitar tahun 5 SM – 29 M. Tahun 70 M kota Yerusalem pernah dihancurkan dan orang Yahudi, termasuk orang Kristen, tersebar kemana-mana. Setelah itu penganiayaan kepada orang Kristen makin menghebat. Di tengah hebatnya penganiayaan, mungkin banyak orang Kristen yang tidak terlalu memperhatikan lagi tempat-tempat yang berkaitan dengan kehidupan Yesus. Baru pada abad ke-4, ketika kekaisaran Romawi menjadi Kristen, orang-orang berusaha menemukan kembali tempat-tempat itu dan membangun gereja di atasnya.

Karena latar belakang seperti demikian, saya sangat ragu darimana orang bisa tahu pasti tempat Yesus dilahirkan, tempat Yesus disalibkan, jalan yang dilalui Yesus sambil memikul salib, dan sebagainya. Maka keraguan saya adalah untuk apa pergi hanya melihat sesuatu yang sebetulnya "palsu."

Ketika saya diajak untuk ikut ke Israel, saya bergumul apa yang harus saya harapkan pada waktu berada di sana. Apakah perjalanan ini akan menjadi perjalanan yang berarti atau sekedar sebuah wisata. Lagipula, saya akan pergi bukan sekedar sebagai penikmat wisata tetapi sebagai pembimbing rohani. Saya harus mengatakan sesuatu pada waktu berada di sana! Apa yang harus saya katakan?

Ketika di sana, saya menemukan bahwa tempat-tempat yang kami kunjungi mungkin bisa dikategorikan menjadi 3 macam:

1. Tempat-tempat yang bisa dikatakan pasti atau minimal hampir pasti
Tempat-tempat seperti ini ditentukan berdasarkan tradisi yang sangat kuat, yaitu tradisi oral yang tidak pernah terputus. Tempat-tempat seperti ini misalnya: Gereja St. Peter di Galicantu yang adalah rumah Kayafas. Di dalam Alkitab dikatakan Yesus malam hari dibawa ke rumah Kayafas untuk diadili dan pagi-pagi Dia dibawa ke Pilatus. Antara malam dan pagi, sangat mungkin Dia ditahan dalam penjara. Penggalian arkeologi kemudian menemukan penjara di bawah rumah itu. Bisa kita katakan Yesus pasti pernah ada di rumah itu, dan bahkan sangat mungkin Yesus juga pernah ada dalam penjara itu. Bagi saya tempat-tempat seperti ini memberi kesan yang sangat kuat. Luapan emosi begitu besar. My Lord Jesus was here!


2. Tempat-tempat yang tidak bisa dipastikan dengan tepat lokasinya, tetapi letaknya di sekitar tempat itu dan suasana serta keadaan lingkungannya tidak jauh berbeda.
Tempat-tempat seperti ini, walaupun tidak pasti, tetapi memberikan gambaran yang sangat dekat. Misalnya: gunung Sinai. Setahu saya saat ini lokasi gunung Sinai yang dimaksud di dalam Alkitab tidak diperdebatkan lagi. Tetapi di bagian mana persisnya lokasi orang Israel berkemah dan Musa menerima hukum Allah, tidak ada yang tahu. Tetapi karena pemandangan sekitar gunung Sinai kurang lebih sama, maka pada waktu berada di salah satu puncak gunung Sinai, saya bisa membayangkan pemandangan yang sama dengan yang dulu dilihat orang Israel ketika Tuhan memberikan 10 hukumNya.



Tempat lain yang seperti ini adalah via dolorosa, jalan salib yang dilalui oleh Yesus. Kita memang tidak tahu persis jalan mana yang dilewati oleh Yesus, bahkan lokasi bukit Golgota pun tidak diketahui dengan pasti, tetapi suasana jalan-jalan di kota tua Yerusalem kurang lebih sama. Maka saya bisa membayangkan seperti itu juga jalan yang dilalui Yesus sambil memikul salib.


Untuk tempat-tempat seperti ini, saya juga merasakan kesan yang kuat. Dengan mudah saya bisa membayangkan secara dekat peristiwa yang saya baca di dalam Alkitab.

3. Tempat-tempat yang sama sekali tidak pasti
Tempat-tempat seperti ini ditentukan berdasarkan tradisi yang sangat lemah, maksudnya tradisi oral (dari mulut ke mulut) yang sempat terputus. Jadi dulu orang tahu itu tempatnya, tapi karena perang atau lain hal, tidak ada lagi orang yang tahu dimana. Kemudian tiba-tiba muncul dugaan lagi bahwa itu tempatnya dan dugaan itu yang kemudian menyebar. Ini adalah tradisi yang sangat lemah. Tempat-tempat seperti ini misalnya: Gereja tempat Yesus naik ke surga atau bukit Golgota.



Berbeda dengan dua macam tempat yang pertama, tempat-tempat seperti ini tidak memberikan kesan yang kuat kepada saya.

Perbedaan kesan yang ditimbulkan oleh setiap tempat itu kepada saya jelas disebabkan oleh ‘kadar keasliannya’. Tempat yang sama sekali tidak bisa saya yakini sebagai tempat yang benar, tidak bisa membuat saya mengkaitkannya dengan kisah yang saya baca di dalam Alkitab.

Boleh saya katakan tempat-tempat itu menjadi semacam ilustrasi bagi kisah Alkitab. Memakai istilah gereja Katolik, tempat-tempat itu menjadi semacam ‘icon’. Bukan menjadi icon untuk dipuja tetapi menjadi icon yang merangsang imajinasi saya akan peristiwa Alkitab. Juga bukan menjadi icon yang menggantikan Alkitab tetapi menolong saya lebih menghayati apa yang sudah saya baca di dalam Alkitab.

Maka betapa salahnya jika kita pergi ke sana tanpa tahu peristiwa itu di dalam Alkitab. Kita harus mengkaitkan tempat itu dengan apa? Lalu what’s the point pergi ke sana?

Oh ya, saya perlu tambahkan. Ada tempat-tempat yang memang sama sekali tidak pasti, tetapi di tempat itu orang Kristen selama berabad-abad melakukan penyembahan. Dan saya memperoleh kesan yang sangat kuat juga di situ. Bukan dengan mengkaitkannya langsung dengan peristiwa dalam Alkitab. Tetapi saya membayangkan Tuhan yang disembah dan dipuja selama ribuan tahun di tempat itu. Tempat-tempat semacam itu menjadi semacam batu peringatan. Seperti hari kelahiran Yesus yang tidak pernah kita ketahui kapan, tetapi tanggal 25 Desember menjadi ‘batu peringatan’ untuk itu. Demikian pula tempat-tempat itu menjadi batu peringatan untuk karya Tuhan. Tempat-tempat seperti itu misalnya: Gereja Abu Sirga (dipercaya dibangun di atas tempat keluarga Yesus pernah tinggal ketika lari ke Mesir) dan stasiun terakhir via dolorosa (dipercaya oleh gereja Katolik sebagai tempat penyaliban Yesus). 

Wednesday, May 07, 2008

Bercanda

Bercanda menjadi sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan sosial kita. Ketika berkumpul bersama teman-teman, kita semua suka bercanda. Caranya macam-macam. Ada yang dengan menceritakan kisah lucu, menggoda dengan gerakan, mimik muka dan bahasa tubuh yang lucu, atau dengan menggunakan sindiran atau anekdot baik tentang orang lain maupun tentang diri sendiri. Semua itu kita sebut bercanda.

Jarang kita sadari bahwa bercanda sedikit banyak ada kaitannya dengan apa yang sesungguhnya kita pikirkan. Misalnya ketika kita berkata “wah perutmu kayak semar”, biasanya kita tidak katakan itu kepada orang yang super kurus tapi justru kepada orang yang memang dalam pikiran kita perutnya besar. Atau ketika kita bilang “rambutmu bagus ya kayak bihun”, biasanya kita tidak katakan itu kepada orang yang dalam pikiran kita rambutnya sangat halus, tetapi justru kepada yang menurut kita rambutnya kasar. Kalau tidak seperti demikian, maka candaan kita pasti tidak lucu karena orang tidak melihat kaitannya.

Walaupun ketika mengucapkan kata-kata canda itu kita jarang menyadari ada kaitan antara bercandanya kita dan apa yang kita pikirkan, tetapi lain ceritanya ketika kita yang dijadikan sasaran bercanda. Orang yang dijadikan sasaran bercanda akan lebih peka bahwa ada kesamaan antara dirinya (artinya kenyataan sesungguhnya) dengan kalimat candaan yang ditujukan kepada dirinya. Dampaknya? Bisa dia ikut tertawa karena memang lucu dan baru sadar bahwa dirinya bisa dianalogikan seperti itu atau bisa sangat tersinggung karena kalimat itu mencungkil sesuatu yang sensitif bagi dia.

Apa yang menyebabkan reaksi orang itu berbeda? Jawabannya juga bisa macam-macam. Tetapi salah satunya adalah relasi dia dengan orang yang mengucapkannya. Kalau dia kenal baik dengan orang yang mencandainya, kecil kemungkinan dia tersinggung. Biasanya dia akan tertawa dan mungkin balas mengucapkan candaan tentang orang itu. Tetapi kalau dia tidak terlalu mengenal orang itu, cerita menjadi berbeda.

Bukankah kita memang harus hati-hati dalam berkata-kata, termasuk kata-kata yang kita kategorikan bercanda? Jangan salah mengerti, saya tidak mengatakan kita tidak boleh bercanda. Betapa sepinya dan membosankannya dunia tanpa kalimat-kalimat candaan (termasuk yang bernada saling ‘menghina’, oops!). Tapi cobalah berhati-hati.

Jika candaan itu memang ada kaitannya dengan apa yang sesungguhnya kita pikirkan, mari ingat jangan sampai candaan itu keluar dari pikiran yang jahat. Kita boleh melihat kekurangan orang (baik karakter, kesalahan ataupun fisik) lalu mengucapkannya dalam bentuk candaan, asalkan di dalam kasih. Kalau itu kita lakukan di dalam kasih, tidak ada yang salah walaupun sekali lagi, hati-hati! Tetapi menjadi berbeda jika kita bukan saja melihat tetapi sungguh menghina orang itu dalam pikiran kita lalu mengeluarkannya dalam bentuk candaan. Orang itu mungkin tidak tersinggung karena dia tidak tahu bahwa kita sedang menghina. Tapi itu tetap berdosa. Pikiran yang jahat dikeluarkan dalam kalimat manis, kalimat candaan, yang palsu. Orang tertawa dan kita puas. Tetapi tidak ada yang menyangka bahwa kalimat itu sebetulnya keluar untuk memuaskan kejahatan hati kita.

Bayangkan betapa sakitnya orang itu jika dia bisa merasakan bahwa ‘candaan’ itu sebetulnya bukan masuk dalam kategori bercanda tetapi penghinaan.