Tuesday, September 30, 2008

Apa Yang Membentuk Kita?


Zaman modern menghasilkan banyak konsep yang sangat berpengaruh dalam kehidupan manusia.
Konsep-konsep itu sudah dianggap sebagai kebenaran yang kalau tidak dianggap mutlak maka paling sedikit dianggap tidak-perlu-dipertanyakan. Konsep-konsep itu menjadi aturan yang mengatur kehidupan, standar untuk mengukur segala sesuatu dan motor penggerak aktivitas kehidupan.

Efisiensi, efektivitas dan produktivitas, adalah beberapa di antaranya. Konsep-konsep yang pertama-tama diterapkan dalam industri ini sudah menjadi konsep kehidupan manusia. Efisien berarti apa yang ditanamkan (uang, tenaga, waktu, dll) memberikan hasil yang baik, makin sedikit yang ditanam dan makin banyak yang dihasilkan berarti makin efisien. Efektif berarti menghasilkan apa yang kita inginkan. Produktif berarti menghasilkan sesuatu dalam jumlah besar.

Ketiga konsep ini punya kesamaan yaitu berfokus pada hasil. Pertanyaannya adalah “Bagaimana hasilnya, dibanding dengan yang kita tanamkan atau yang kita harapkan? Berapa banyak hasilnya?” Maka satu konsep lagi yang mau tidak mau harus muncul adalah pengukuran. Selalu harus ada ukurannya, ada yang bisa dinilai, dievaluasi, dan kalau hasil pengukuran kurang baik, diperbaiki.

Di dalam dunia industri, konsep-konsep ini punya tempatnya sendiri. Tetapi seperti yang dikatakan orang "we shape the building and then the building shape us". Kita membentuk sebuah bangunan dengan bentuk tertentu, dan setelah bangunan itu jadi kita tidak bisa berjalan menabrak dia maka kita harus berjalan mengikuti bentuk bangunan itu, kita membangun kamar maka sekarang kita tidur selalu di kamar itu, kita membuat taman maka sekarang kita harus menyediakan waktu untuk merawatnya atau mengeluarkan uang untuk membayar orang lain melakukannya. Maka bangunan itu sekarang membentuk hidup kita. Konsep-konsep itu dibangun oleh manusia untuk industri, tetapi setelah jadi, maka konsep-konsep itu punya kekuatan luar biasa melampaui tempatnya. Konsep-konsep itu membuat industri menjadi monster bagi para pekerja di dalamnya. Para pekerja tidak dilihat sebagai manusia tetapi sebagai penghasil. Maka tidak heran revolusi industri menjadi bentuk perbudakan baru. Dan ketika keadaan sekarang ‘lebih baik’, pekerja dilihat sebagai aset (berapapun bagusnya istilah itu, itu tetap merendahkan karena manusia bukan barang!). Perubahan itu hanyalah memelintirkan praktek dari konsep yang sama, kalau tadinya pekerja ditindas sekarang dikipas, tetapi dengan tujuan yang sama.

Konsep-konsep itu juga mengatur kehidupan pribadi kita dan juga kehidupan bergereja. Kita mengukur hidup ‘berguna’ atau tidak dengan menghitung apa yang sudah berhasil kita kerjakan. Bahkan kita mengukur tanggung jawab kita dalam memakai waktu dengan menghitung berapa banyak yang berhasil kita lakukan dalam satu hari. Kita mengukur orang dengan berapa banyak yang mampu dia lakukan atau berapa hebatnya dia dalam menghasilkan sesuatu (mungkin karya atau uang). Kita mengukur ‘sukses’ atau tidak suatu acara dengan bertanya berapa yang hadir. Kita mengukur keberhasilan suatu program dengan bertanya berapa banyak dana dan tenaga yang sudah dikeluarkan dibanding dengan hasilnya.

Sebagian orang menghibur diri dengan mengatakan “maka yang penting kualitas bukan kuantitas”. Ini pun hanyalah memelintirkan praktek dari konsep yang sama. Jika itu adalah KKR, maka kita tidak bertanya ‘berapa yang hadir’ tetapi ‘berapa banyak yang mengambil keputusan’ (maksudnya yang mengangkat tangan!). Jika itu adalah retreat, maka kita tidak bertanya ‘berapa yang ikut’ tetapi ‘berapa yang hidupnya berubah’. Jika itu adalah penginjilan kita tidak bertanya ‘berapa kali’ tetapi ‘berapa orang’. Maka sebenarnya sama saja!

Konsep-konsep itu sudah keluar dari tempatnya, seperti tanaman yang menjulurkan akarnya kemana-mana. We built it and it has already shaped us!