Friday, November 13, 2009

Thank You Lord For This Semester

Hari ini kebaktian penutupan semester di Trinity Theological College, dan hati saya dipenuhi rasa syukur. Ketika prosesi, salib di depan, di belakangnya ada beberapa orang pelayan mimbar, kemudian Alkitab yang dijunjung tinggi dan di belakangnya adalah pengkhotbah. Sambil mata saya mengikuti salib itu dibawa dari belakang menuju ke mimbar, saya sulit menyanyi karena hampir menangis. Tanpa terasa 1 semester sudah berlalu. Entah bagaimana caranya saya berhasil melewati semester ini. Pelayanan di tempat yang baru sebagai gembala ditambah beban kuliah yang berat (lebih berat lagi karena bahasa Inggris saya yang pas-pasan), kadang membuat saya ingin mengerang. Maka ketika hari ini kebaktian penutupan semester dan saya menyerahkan paper saya, sungguh saya sadar, sampai di sini Tuhan sudah menolong.

Perjalanan saya masih panjang. Semester depan ada 2 mata kuliah utama dan 1 mata kuliah tambahan sebagai pendengar yang akan saya ambil. Setelah itu barulah masuk ke pembuatan thesis. Saya tidak tahu apa lagi yang akan saya alami, apa lagi yang akan saya pelajari, proses perubahan apa yang akan terjadi dalam pikiran saya. Tapi saya antusias menantikannya. Saya antusias untuk belajar. Saya antusias menantikan pengalaman berikutnya.

Saya berharap semester depan bisa lebih ketat mengatur waktu untuk belajar dan pelayanan. Sangat sayang kalau akhirnya saya hanya belajar apa adanya di tengah begitu banyak fasilitas belajar yang bisa saya nikmati (kadang saya merasa seperti semut di dalam lumbung gula yang tidak berdaya untuk menikmati gula). Sampai di sini Tuhan sudah menolong, dan kiranya Tuhan terus menolong.

Thursday, November 12, 2009

Mengajarkan Firman Tuhan - 2

Tema khotbah apapun juga, silakan sebut tema apapun juga, pasti ada buku yang sudah membahasnya. Bagian Alkitab mana saja, pasti ada buku tafsiran atau perenungan yang mengupasnya. Di zaman sekarang, tumpukan hasil penelitian dan karya tulis begitu banyak teolog di dunia membuat apapun juga yang ingin disampaikan di dalam khotbah, pasti ada buku yang mendukung persiapannya.

Maka saya yakin, kalau seorang hamba Tuhan berkhotbah "tanpa isi" pasti adalah karena malas persiapan. Saya tahu tidak semua orang punya talenta untuk bicara di muka umum dan menguraikan sesuatu dengan jelas. Tetapi yang saya tekankan adalah "isi" nya.

Saya tidak percaya dengan pelagiarisme dalam berkhotbah. Bagi saya, sekalipun kita mengambil kalimat atau alur atau ide dari buku tertentu, asalkan kita mengerti-merenungkannya-memikirkan cara menyampaikannya, itu bukan pelagiarisme. Sekalipun kita berkhotbah sangat persis seperti yang tertulis di buku itu, itupun bukan pelagiarisme. Mengapa? Kita sudah menjadikan kalimat atau alur atau ide itu sebagai "milik" kita dengan menjadikannya fresh kembali karena melewati jalur mengerti-merenungkan-menyampaikan.

Satu-satunya pelagiarisme di dalam berkhotbah adalah kalau kita mengambil mentah-mentah khotbah orang lain, dan mengkhotbahkannya begitu saja tanpa mengerti-merenungkan-memikirkan cara menyampaikannya kepada pendengar yang spesifik (saya pernah mendengar khotbah seperti ini, disampaikan dengan buruk tetapi rasanya kok ada isinya, ternyata dia sedang mengkhotbahkan naskah khotbah seorang pengkhotbah terkenal). Ini adalah pelagiarisme karena sebenarnya dia bukan berkhotbah. 

Maka khotbah yang baik tidak mungkin dipersiapkan hanya dalam waktu 1-2 jam (kecuali khotbah singkat yang muncul dari perenungan, persiapannya adalah hasil membaca buku dan pergumulan di masa lalu). Butuh berjam-jam untuk mempersiapkan 1 naskah khotbah. Tetapi di tengah begitu banyak buku yang mendukung persiapan khotbah, satu-satunya alasan untuk berkhotbah "tanpa isi" adalah kemalasan.

Saturday, October 31, 2009

Mengajarkan Firman Tuhan - 1

Tugas hamba Tuhan adalah mengajarkan Firman Tuhan. Pada waktu berkhotbah, dia harus menguraikan dan menjelaskan Firman Tuhan dengan setia. Dia harus menggali Firman Tuhan, mengerti artinya dan merenungkannya, kemudian memikirkan cara bagaimana supaya dia bisa menyampaikannya dengan sebaik mungkin. Maka urutan logisnya adalah mengerti-merenungkan-menyampaikan.

Tanpa mengerti dan merenungkan, apa yang disampaikan? Tapi inilah kelemahan besar di dalam gereja. Coba lihat bagaimana orang Kristen menilai suatu khotbah. Ada yang merasa yang penting khotbahnya lucu, humornya segar. Sebaliknya ada yang sangat tidak senang dengan khotbah yang banyak humor karena khotbah menurut dia harus serius. Tapi yang diperhatikan hanyalah cara penyampaiannya! Lalu bagaimana isinya? Apa isinya? Apakah bagian yang akan dikhotbahkan itu sungguh dia baca, dia pikirkan, dia mengerti dan renungkan, sebelum dia sampaikan?

Khotbah yang main-main, bukanlah khotbah yang banyak humor tetapi khotbah yang tidak dipersiapkan dengan baik. Khotbah yang serius, bukanlah khotbah yang disampaikan dengan muka serius dan suara berteriak tetapi khotbah yang dipersiapkan dengan baik. Prosesnya? Mengerti-merenungkan-menyampaikan.

Mengerti - Semua orang bisa merasa mengerti padahal tidak. Firman Tuhan bisa dimengerti dalam berbagai lapisan makna, bisa sangat sederhana dan bisa sangat dalam. Sayangnya banyak yang berhenti di makna yang sederhana saja dan tidak menggali lebih dalam. Coba tanya kepada pengkhotbah yang saudara kenal, waktu yang dia pakai untuk mempersiapkan 1 khotbah? Coba tanya juga, kapan terakhir dia membaca buku teologi atau tafsiran yang baik? Buku rohani apa yang dia baca? Berapa banyak yang dia baca? Saudara mungkin akan kaget mendengar jawabannya (kalau saudara tidak kaget, mungkin karena saudara juga tidak mengerti seberat apa seharusnya tugas seorang pengkhotbah). Di sisi yang lebih ekstrim, banyak orang bahkan salah mengerti Firman, seperti para pekabar Injil kemakmuran, tetapi celakanya mereka justru sangat populer. Mereka bisa pintar bicara, contoh yang mengena, ilustrasi yang menyentuh, kutipan Firman Tuhan yang terasa tepat, maka jemaat pun mengalir datang. Tetapi mengerti Firman bukan tugas mudah.

Merenungkan - Firman Tuhan harus direnungkan oleh si pengkhotbah. Seorang pengkhotbah harus menyampaikan apa yang dia percaya adalah kebenaran dan dia gumuli di hadapan Tuhan dengan kesungguhan. Maka dia harus merenungkannya dulu.

Menyampaikan - Kalau dua hal di atas sudah baik, sangat sayang kalau di bagian ini dia kurang baik. Dia harus berpikir bagaimana pendengarnya mengerti apa yang sudah dia mengerti dan renungkan.

Ini tugas hamba Tuhan dan saya sangat sedih dengan banyaknya hamba Tuhan yang tidak lagi menjalankan tugas ini dengan baik. Saya tidak katakan saya sudah baik karena saya juga masih terus bergumul untuk tugas ini. Setiap jemaat harus mendukung hamba Tuhan, orang yang mereka pisahkan khusus untuk melayani Firman Tuhan, untuk mengajarkan Firman Tuhan dengan baik. Sayangnya, jemaat hanya puas dengan penyampaiannya atau pembawaannya yang berkharisma, atau dengan pelayanannya yang penuh perhatian, atau mungkin manajemennya yang luar biasa. Dan hamba Tuhan pun lupa tugas utamanya, mengajarkan Firman. Dan lingkaran ini akan masih terus berputar seperti ini.

Tuhan, kasihani kami!

Thursday, October 08, 2009

Tent-Maker?

Sekitar 15 tahun yang lalu, saya pertama kali mendengar istilah "tent-maker". Saya tidak tahu apa artinya, tetapi keren kedengarannya. Setelah dijelaskan, saya baru tahu bahwa istilah itu mengacu kepada Paulus yang pernah menjadi tukang kemah:

"...Mereka bekerja bersama-sama, karena mereka sama-sama tukang kemah" (Kis 18:3).

Apa artinya? Paulus adalah seorang rasul, dia pergi memberitakan Injil dan mengajarkan Firman Tuhan di banyak tempat. Tetapi di saat yang sama, dia juga adalah seorang businessman, memproduksi dan menjual kemah. Maka istilah "tent-maker" yang saya dengar itu maksudnya adalah seorang hamba Tuhan (dalam arti dia berkhotbah, melakukan penginjilan, terlibat dalam lembaga pelayanan atau bahkan menggembalakan gereja) tetapi di saat yang sama juga adalah seorang businessman.

Konsep "tent-maker" ini sempat menarik hati saya. Saya mulai sadar bahwa Tuhan memanggil saya untuk melayani Dia sepenuh waktu. Tetapi itu langkah yang terlalu besar bagi saya, maka saya mulai membayangkan alangkah indahnya konsep ini: saya bisa bekerja, bisnis, lalu tetap melayani, ok lah kalau harus berkhotbah dan bepergian selama 2 bulan setiap tahun. Tetapi itu lebih baik bagi saya!... Akhirnya Tuhan tunjukkan bukan itu yang Dia mau.

Dalam beberapa tahun ini, saya masih suka mendengar istilah ini dipakai. Dan saya makin melihat kesalahannya. Bukan Paulus yang salah menjadi tent-maker tetapi kita yang salah meniru Paulus.

Paulus melayani sebagai rasul di antara orang-orang Yunani. Dia datang ke suatu tempat, dia mulai menginjili dan kemudian mengajar mereka bagaimana menjadi murid Yesus. Ia tidak ingin orang-orang yang baru mengenal Tuhan itu menganggap dirinya sebagai pencari upah, dan dengan demikian pekerjaan Tuhan terintangi (band. 1 Kor 9:10-15). Itu sebabnya ia menjadi tukang kemah untuk menghidupi dirinya sendiri.

Di dalam 1 Korintus, Paulus berulang kali katakan bahwa dia berhak untuk terima upah, Tuhan sudah tetapkan bahwa imam yang melayani di tempat kudus mendapat penghidupannya dari situ dan Tuhan juga menetapkan bahwa mereka yang memberitakan Injil harus hidup dari pemberitaan Injil itu. Paulus tidak pakai semua hak itu karena kondisi pelayanannya yang berbeda, kalau boleh saya simpulkan: jemaat Korintus sangat bermasalah.

Sebetulnya Paulus tidak sepenuhnya hidup dari pekerjaannya sendiri (bagaimanapun mana mungkin bisnisnya bisa sukses sementara ia terus berpindah-pindah tempat), ia juga menerima tunjangan dari jemaat. Perhatikan ayat ini:

 "Jemaat-jemaat lain telah kurampok dengan menerima tunjangan dari mereka, supaya aku dapat melayani kamu!" (2 Kor 11:8).

Artinya Paulus menerima tunjangan dari jemaat lain. Tetapi ia tidak mau terima dari jemaat Korintus, walaupun dia berhak, karena kondisi jemaat Korintus. Mungkin karena ketidakdewasaan mereka atau mungkin karena berbagai masalah dalam jemaat, mengakibatkan pekerjaan Injil akan terhambat kalau Paulus menerima upah dari mereka (Itu sebabnya dia tulis soal ini kepada mereka cukup panjang dalam 1 Kor 9:10-15).

Pendek kata, saya simpulkan, Paulus menjadi "tent-maker" karena dia dipanggil menjadi rasul. Dia rela lakukan apa saja untuk panggilannya. Ketika panggilannya itu akan terhambat karena masalah uang (mungkin tidak ada yang kasih sehingga tidak ada uang atau mungkin seperti di Korintus ada yang ngomel kalau Paulus hidupnya dibiayai sehingga akhirnya Injil ditolak), maka dia akan bekerja menjadi "tent-maker". Dia lakukan itu dalam rangka menggenapi panggilannya.

Sekarang perhatikan bagaimana orang-orang Kristen hari ini menggunakan istilah "tent-maker":

1. Istilah ini dipakai ketika ada orang yang banyak melayani Tuhan (membawakan seminar, berkhotbah atau berkutat dalam pekerjaan misi) sambil tetap dalam profesi atau bisnisnya. Saya tidak bilang mereka salah, tetapi istilah ini tidak tepat. Kalau Tuhan memang tidak panggil dia untuk melayani penuh waktu, maka profesi dan bisnis adalah panggilannya. Jelas dia bukan "tent-maker", dalam arti seperti Paulus.

2. Istilah ini dipakai ketika ada orang yang mau melayani secara penuh waktu tetapi tidak rela meninggalkan profesi atau bisnisnya. Alasannya? Macam-macam. Bisa jadi karena lebih menghasilkan banyak uang (banyak pendeta di gereja besar, punya bisnis yang juga besar), bisa juga supaya tidak bergantung oleh gereja atau lembaga pelayanan (the power is in my hand, I can leave anytime).

Siapa sebenarnya "tent-maker" seperti Paulus hari ini?  Saya kira orang-orang yang melayani di pedalaman, memulai jemaat dari nol, tanpa ada lembaga misi yang mendukung, dan mereka harus berkebun sambil melayani, merekalah "tent-maker" seperti Paulus. Atau mereka adalah orang-orang yang terpaksa, karena alasan tertentu, tidak bisa meninggalkan pekerjaan mereka dan melayani penuh waktu padahal mereka rindu untuk itu. 

Paulus tidak bermaksud supaya dia ditiru, karena dulu dia menjadi tent-maker dalam keadaan 'darurat'. Itu bukan kebanggaan. Bukankah ketika seorang hamba Tuhan menjadi "tent-maker" seringkali itu menunjukkan ketidakdewasaan jemaat dan kurangnya kasih dan hormat kepada Tuhan dalam jemaat? 

Para hamba Tuhan yang menyebut diri "tent-maker" juga harus mempertanyakan motivasi mereka. Jujur istilah itu dulu menarik bagi saya bukan karena itu panggilan Tuhan tetapi karena "the power is still in my hand". Saya tidak perlu bergantung pada gereja, saya tidak bisa diatur-atur, saya bisa menjadi pengkhotbah keliling. Tetapi ketika Tuhan panggil kita menjadi hamba Tuhan, Tuhan mau kita menjadi "hamba". Bagi mereka yang melayani di pedalaman dan harus menjadi "tent-maker", juga harus ingat bahwa itu hanyalah keadaan darurat bukan seterusnya. Ketika keadaan berubah, mereka harus mengajar jemaat untuk menghidupi mereka. 

"Tent-maker" adalah istilah yang dulu memprihatinkan tetapi sekarang dianggap keren.

Monday, September 14, 2009

Tobit

Tobit adalah seorang yang sangat saleh, berasal dari suku Naftali. Pada waktu seluruh suku Naftali menyembah Baal, ia sendiri tetap setia menyembah di bait Allah di Yerusalem. Ia tidak pernah lupa untuk beribadah di sana pada hari raya, dan membawa persembahan sulung bagi Tuhan dan 30% dari penghasilannya untuk dibagikan kepada orang Lewi dan saudara-saudaranya. Ketika ia dan seluruh Israel dibawa ke pembuangan ke Niniwe, ia tidak meninggalkan kesalehannya. Ia tetap menjaga makanannya sesuai dengan apa yang difirmankan Tuhan dan tetap menolong saudara-saudaranya sesama orang Israel. Ia memberikan makan kepada yang lapar, pakaian kepada yang telanjang dan jika ia melihat salah seorang saudaranya mati, ia akan menguburkannya.

Di masa pemerintahan raja Salmaneser, Tuhan mengaruniakannya posisi yang baik di hadapan raja. Ia ditugaskan membeli barang-barang keperluan raja, maka ia sering bepergian ke Media. Di sana kemudian dia menitipkan 10 talenta perak kepada seorang temannya.

Pada masa pemerintahan Sanherib, keadaan berubah. Tobit tetap melanjutkan kesalehannya. Ketika raja membunuh orang Israel dan melemparkan mayatnya ke luar tembok kota Niniwe, Tobit akan mengambil mayat itu dan menguburkannya. Perbuatan ini membuat raja marah. Ia dicari untuk dibunuh dan seluruh hartanya disita.

Tidak lama setelah itu, Sanherib mati dan digantikan oleh anaknya. Ahikar, sepupunya yang mendapat posisi yang baik di kerajaan, membantunya untuk kembali ke Niniwe.

Pengalaman yang buruk itu tidak menghentikan Tobit untuk berbuat saleh. Ketika ia mendengar ada orang Israel yang mati di pasar, ia kembali mengurus penguburannya sementara orang lain mencela dia karena tidak kapok-kapok melakukan itu. Dalam keadaan najis karena menyentuh mayat, Tobit harus tidur di pekarangan. Dan malam itu, kotoran burung jatuh ke matanya dan membuat dia menjadi buta.

Sejak itu, istrinya harus bekerja menghidupi keluarga. Masalah di dalam keluarga memuncak sampai akhirnya istrinya pun memarahi dia “Dimana perbuatanmu yang baik dan persembahan dan dermamu selama ini?”

Dalam kesedihan, Tobit pun menangis dan berdoa kepada Tuhan, “lebih baik aku mati daripada hidup, ... jangan palingkan wajahMu daripadaku.”

Sementara itu di tempat lain, di Ekbatana di Media, seorang perempuan bernama Sarah anak dari Raguel, juga sedang dihina oleh pembantunya. Sarah sudah menikah 7X dan setiap kali sebelum malam pengantin, suaminya dibunuh oleh setan Asmodeus. Kata-kata pembantunya begitu menyakiti dia. Dalam kesedihannya, ia juga minta kepada Tuhan untuk mati.

Doa kedua orang ini didengar oleh Tuhan. Maka Tuhan mengutus Rafael, salah seorang penghulu malaikat untuk menolong mereka.

Tobit merasa waktu kematiannya sudah dekat karena dia sudah berdoa untuk segera mati. Dia memanggil Tobias anaknya dan memberikan pesan-pesan terakhir. Ia minta Tobias untuk memelihara ibunya, mengingat Tuhan, tetap melakukan kesalehan, mencari istri dari suku yang sama, dan mengambil uang yang pernah dia titipkan di Media. Tobit menyuruh Tobias mencari orang untuk menemaninya pergi ke Media, dan Tobias menemukan Rafael yang menyamar sebagai manusia.

Setelah setuju dengan pembayarannya, Tobias pun berangkat dengan Rafael. Di tepi sungai, mereka diserang oleh seekor ikan besar. Rafael menasihati Tobias untuk menangkap ikan itu, mengambil hati, jantung serta empedunya. Dia memberitahu Tobias bahwa ketika hati dan jantung ikan itu dibakar, asapnya akan mengusir setan, sementara empedunya bisa menjadi obat untuk menyembuhkan kebutaan ayahnya.

Dalam perjalanan, Rafael menyarankan Tobias supaya bermalam di tempat Raguel dan meminta dia untuk menikahi Sarah. Tobias pada awalnya menolak karena dia sudah mendengar cerita tentang Sarah yang 7 calon suaminya selalu mati pada malam pernikahan. Tetapi Rafael menenangkan Tobias dengan mengingatkan dia akan hati dan jantung ikan yang sudah mereka bawa yang bisa mengusir setan.

Setelah tiba di tempat Raguel dan menyampaikan maksud mereka, maka seluruh keluarga setuju. Di malam pernikahan mereka, sebelum tidur Tobias mengajak Sarah untuk berdoa kepada Tuhan, membakar hati dan jantung ikan seperti yang disarankan oleh Rafael. Asap itu mengusir setan Asmodeus dan malaikat membelenggunya.

Sementara itu Raguel begitu pesimis sehingga pagi-pagi dia bangun dan menggali kubur untuk Tobias! Dia sangat bersukacita ketika tahu bahwa Tobias hidup. Dia memuji Tuhan dan melangsungkan pesta besar untuk Tobias dan Sarah.

Sambil pesta berlangsung, Tobias meminta Rafael untuk mengambil uang di Media seperti yang dipesankan oleh Tobit, ayahnya. Tobias tahu bahwa orang tuanya pasti sudah sangat sedih. Maka ia ingin bergegas kembali ke rumah orang tuanya setelah hari-hari pesta berakhir.

Sementara itu, Tobit dan istrinya sangat sedih karena mengira Tobias tidak akan kembali lagi. Betapa sukacitanya ketika mereka dari jauh melihat Tobias datang. Ibunya memeluk dia erat-erat dan mereka bertangis-tangisan. Dan ketika Tobias melihat Tobit ayahnya, ia berlari memeluk ayahnya dan mengoleskan ayahnya dengan obat dari empedu ikan itu. Saat itu juga, Tobit bisa melihat kembali.

Tobit dan Tobias merasa sangat berterima kasih kepada Rafael dan mereka bertekad untuk memberikan upah yang besar kepadanya. Tetapi ketika mereka memanggil dia, Rafael memberitahu mereka siapa dia sebenarnya, dia memuji kesalehan Tobit dan menegaskan bahwa Tuhan mendengar doanya maka dia diutus untuk menolong mereka. Rafael kemudian menghilang dari hadapan mereka.

Tobit hidup sampai berusia 185 tahun. Sebelum meninggal ia berpesan supaya Tobias meninggalkan Niniwe karena kota yang jahat itu akan hancur. Tobit berpesan supaya Tobias tetap berbuat kesalehan, memberikan persembahan dan derma seumur hidupnya. Dia percaya bahwa suatu kali Tuhan akan memulihkan umatNya Israel kembali ke Yerusalem.

Tobias mematuhi pesan ayahnya, ia tinggal bersama dengan mertuanya di Media. Ia hidup sampai berusia 175 tahun dan sebelum meninggal dia mendengar tentang kehancuran Niniwe dan dia bersukacita karenanya.

(Tobit adalah salah satu kitab Apokrifa yang dimasukkan dalam Deuterokanonika oleh gereja Roma Katolik. Mungkin ini adalah kitab yang paling terkenal di antara kitab Apokrifa. Kitab Tobit adalah novel yang ditulis sekitar abad ke-2 SM. Nilai-nilai Yahudi dari kitab ini sangat kentara. Selama ini kalau membuat drama tentang penderitaan, referensi kita adalah kitab Ayub. Mungkin kitab ini bisa menjadi alternatif. It's a very interesting story indeed.)

Sunday, August 30, 2009

White Christmas

(Posted in Dec 16, 2006)

 

I'm dreaming of a white Christmas

Just like the ones I used to know

Where the treetops glisten, and children listen

To hear sleigh bells in the snow

I'm dreaming of a white Christmas

With every Christmas card I write

May your days be merry and bright

And may all your Christmases be white

Lagu yang sangat terkenal ini ditulis pada tahun 1942. Dan sekarang ini, dimana-mana, baik di hotel-hotel maupun di gereja-gereja, lagu ini dinyanyikan.

Tanpa ada maksud menjadi tukang kritik, saya ingin mengkritisi lagu ini.

Kalau kita perhatikan teksnya, maka dengan jelas terlihat bahwa lagu ini sama sekali bukan lagu Natal, dalam arti yang sesungguhnya. Lagu ini hanya menggambarkan perasaan emosional dan kehangatan memori pada waktu Natal, suatu perasaan yang bisa dimiliki oleh siapa saja yang dibesarkan di dalam lingkungan atau keluarga yang biasa merayakan Natal.

Jangan salah mengerti, saya sama sekali tidak menentang lagu ini dinyanyikan. Tetapi kalau lagu ini dinyanyikan dalam gereja, apalagi dalam konteks ibadah, maka itu sudah salah kaprah.

Kalau lagu ini dinyanyikan sebagai suatu lagu memori, nah itu baru benar. Tetapi mari kita kritisi sedikit lagi. Lagu ini menyatakan dengan tepat sekali perasaan orang-orang yang biasa tinggal di negara Barat, yang karena suatu alasan kemudian harus pergi jauh ke tempat lain dimana tidak ada salju pada waktu Natal. Memori dan kerinduan mereka akan kampung halaman menjadi bangkit ketika memasuki suasana Natal. Tetapi saya kira tidak ada orang yang sejak kecil hidup di Indonesia, akan memiliki memori seperti yang dituliskan dalam lagu ini. ‘White Christmas’ adalah Natal dalam konteks musim salju, yang memang tidak ada di Indonesia, kecuali mungkin di puncak beberapa pegunungan saja. Ditambah lagi kalimat ‘I’m dreaming of a white Christmas with every Christmas card I write’, makin tidak kontekstual bagi kita yang sekarang lebih banyak memakai email dan sms untuk mengucapkan selamat Natal. Maka perasaan dreaming seperti itu juga tidak kita rasakan.

Mari kita menyanyi, lagu apa saja, dengan pikiran dan perasaan (maksud saya jangan mematikan pikiran dan perasaan dengan menyanyikan lagu yang tidak kita pikirkan dan rasakan, apalagi dalam ibadah).

Thursday, August 27, 2009

Asosiasi

(Posted in Jan 3, 2007)

Memakai sesuatu untuk menunjukkan hal yang lain adalah sesuatu yang sering kita temukan di sekitar kita. Ketika berkomunikasi, orang memakai mimik muka, gerakan tangan, atau nada suara untuk menunjukkan perasaannya. Gaya arsitektur bangunan tertentu juga ingin menunjukkan karakteristik fungsi bangunan itu, misalnya: setahu saya tidak ada rumah sakit yang berarsitektur gaya gothik, sementara istana presiden arsitekturnya bukan sekedar megah tapi menunjukkan wibawa. Simbol atau logo perusahaan bertujuan menunjukkan kesan apakah perusahaan itu futuristik, kreatif, berwibawa, dan sebagainya. Perusahaan-perusahaan rela membayar sangat mahal untuk hal ini (seperti yang dilakukan Pertamina beberapa waktu lalu ketika mengganti logonya, dan sempat diributkan oleh sebagian kalangan), karena jangan sampai apa yang ditampilkan justru menimbulkan kesan yang tidak diinginkan. Saya tidak tahu istilah yang tepat untuk ini, saya sebut saja asosiasi. Ketika melihat yang ditampilkan, kita mengasosiasikannya dengan sesuatu yang lain. Melihat mimik muka tertentu, kita mengasosiasikannya dengan kemarahan. Melihat logo tertentu kita mengasosiasikannya dengan kreatifitas perusahaan.

Allah juga memakai cara yang serupa. Ketika Dia menyatakan Diri kepada kita, Dia tidak bisa menyatakan sepenuhnya keberadaan diriNya yang tidak terbatas. Maka di Perjanjian Lama, Allah menyatakan diri lewat sosok malaikat, suara dari langit, tiang awan, tiang api, halilintar, dan sebagainya. Semua itu disebut theophany (penampakan Allah), dan ketika kita melihat semua itu, kita mengasosiasikanNya dengan karakter Allah, misalnya kepedulianNya, kedahsyatanNya atau kuasaNya.

Dalam ibadah, kita juga memakai cara ini. Kita menempatkan salib di depan gereja dan di ruang kebaktian, kita memajang lukisan atau mozaik yang menceritakan tentang kisah di Alkitab, kita memakai musik yang indah, semua untuk menunjukkan sesuatu, membuat jemaat mengasosiasikannya dengan sesuatu. Memang yang paling penting bukanlah apa yang ‘dipakai’ tetapi apa yang mau ‘ditunjukkan’. Tetapi masalahnya kalau yang ‘dipakai’ itu salah, akan mengacaukan apa yang mau ‘ditunjukkan’. Maka saya kira kita perlu memikirkan ulang elemen-elemen yang dipakai di gereja, apakah berhasil menunjukkan sesuatu yang benar.

Sebagai contoh, masih dalam kaitan dengan Natal, kita boleh bertanya: Pohon Natal dipajang untuk menunjukkan apa? Dekorasi kado di bawah pohon Natal ditempatkan untuk menunjukkan apa? Santa Claus (termasuk elemennya seperti topinya yang sering dipakai waktu Natal) ditampilkan untuk menunjukkan apa?

Saya tidak ingin terlalu keras dalam hal ini. Bagi saya, ketika melihat pohon Natal dan dekorasi Natal, saya langsung mengasosiasikannya dengan sukacita, keramaian dan suasana Natal yang setiap tahun dirayakan. Rasanya, “ah, Natal sudah tiba”. Kado di bawah pohon Natal menunjukkan memori suasana Natal di keluarga Kristen, dimana banyak orang tua memberikan kado bagi anak-anaknya yang masih kecil. Saya pribadi agak terganggu dengan dekorasi kado karena saya tidak punya pengalaman itu maka saya tidak bisa mengasosiasikannya dengan apapun. Tetapi mungkin bagi sebagian orang, dekorasi seperti itu mengingatkan mereka akan cinta kasih dalam keluarga pada waktu Natal yang pernah mereka alami. Tetapi yang sangat mengganggu bagi saya adalah Santa Claus dengan segala perlengkapannya. Saya tidak mengerti apa yang ingin ‘ditunjukkan’ dengan ‘memakai’ Santa Claus.

Kalau Santa Claus muncul dalam perayaan Natal anak-anak, atau para guru sekolah minggu memakai topi Santa Claus, mungkin yang ingin ditunjukkan adalah suasana sukacita ketika kado dibagikan. Tetapi ini pun mengganggu karena mengapa harus Santa Claus yang membagikan kado? Apa yang kita harap akan diasosiasikan oleh anak-anak dengan figur Santa Claus? Dan lebih mengganggu lagi adalah ketika elemen ini muncul dalam perayaan Natal orang dewasa. Apa yang ingin diasosiasikan? Saya tidak ingin memutlakkan hal ini, tetapi saya ingin kita kritis, karena jangan-jangan elemen yang kita pakai justru mengaburkan apa yang sebenarnya ingin kita tunjukkan: Natal itu sendiri. Dalam istilah perusahaan: logo yang dipakai malah menimbulkan kesan yang tidak diinginkan tentang perusahaannya. Dalam istilah komunikasi: mimik muka yang ditampilkan malah menimbulkan salah paham. Dalam istilah Alkitab: theophany-nya salah dan membuat orang salah mengerti Allah atau bahkan membawa orang kepada dewa lain (wah ini gawat, untungnya Allah tidak pernah salah memilih cara menampakkan diri).

Hal kedua yang ingin saya bahas adalah mengenai kejujuran kita dalam memakai sesuatu. Mengambil contoh komunikasi lagi, kita bisa sengaja memakai mimik muka, gerakan tangan dan intonasi untuk mengaburkan maksud kita yang sesungguhnya (istilah kasarnya: menipu).

Kita tahu pasti bahwa Tuhan melihat hati dan itu yang terpenting. Bagi orang Israel dulu, Tuhan katakan yang paling penting adalah sunat hati, bukan sunat fisik. Tuhan benci pada ibadah dan persembahan korban mereka, karena hati mereka jauh dari Tuhan. Tetapi Tuhan juga mau supaya hati itu ditunjukkan lewat tindakan, seperti datang beribadah, memberikan perpuluhan, melakukan sunat (bagi orang Israel zaman itu), dan lain sebagainya. Dan ketika mereka melakukan itu, mereka tidak boleh sembarangan, karena sekali lagi, itu menunjukkan apa yang ada di hati. Maka betapa eratnya kaitan antara yang di dalam dan yang di luar, antara yang ‘dipakai’ dan yang ingin ‘ditunjukkan’.

Kalau kita mengasihi Tuhan, apakah kita sungguh menunjukkan hati kita dalam tindakan kita? Tuhan tidak pernah katakan ‘yang penting hati, tidak usah ada tindakan’. Sunat hati yang Tuhan tuntut musti ditunjukkan lewat ketaatan melakukan sunat fisik. Apa yang sudah kita lakukan?

Sebaliknya, ketika kita datang beribadah, melayani, memberikan perpuluhan, bahkan tindakan fisik kita seperti berlutut, mengangkat tangan, bertepuk tangan, meletakkan tangan di dada, dan sebagainya, apakah betul-betul keluar dari hati yang mengasihi Tuhan atau hanya tindakan di luar yang tidak ada hubungan dengan yang di dalam? Mungkin kita lakukan hanya karena terpaksa, atau karena ikut-ikutan (yang lain angkat tangan, masa saya tidak). Apapun alasannya itu salah (istilah kasarnya: menipu Tuhan!).

Karena sikap kita menunjukkan yang ada di hati, maka sikap kita musti authentic, tidak ikut-ikutan, tapi orisinil karena fresh from the oven (baca: hati). Oven yang baik akan menghasilkan ‘kue’ sikap yang juga baik. Dan apa yang ditampilkan oleh kita membuat orang mengasosiasikannya dengan apa yang sungguh ada di hati kita. That’s called authentic!

Friday, August 21, 2009

Tuhan Akan Menyelesaikannya Bagiku

Kuliah sudah berjalan 6 minggu. Saya masih semangat, walaupun tanda-tanda stress mulai nampak.

Yang unik adalah saya menemukan tanda-tanda itu juga muncul pada mahasiswa lain. Ada yang jenuh, ada yang mulai frustasi, ada yang sudah tidak tahu harus bagaimana. Kondisi ini wajar terjadi di sekolah theologia, tetapi yang agak unik adalah ini sudah terjadi hanya dalam waktu 6 minggu!

Sampai sekarang saya masih bisa menyelesaikan assignments yang diberikan. Tetapi saya tahu betul bahwa saya tidak on the pace. Di dalam pikiran saya, ada daftar HAVE TO:

I have to learn English (How come my English is so poor?)

I have to learn Greek (Anyway, I am a post grad student in New Testament!)

I have to study the ancient texts related to New Testament (That's the course I'm taking)

I have to read pastoral and spirituality books (I have to deepen my spirituality and pastoral heart)

I have to prepare sermons..

I have to take care of my congregations..

I have to manage church's activities..

Bagaimana mungkin ada begitu banyak hal yang HAVE TO DO?

Maka tiap pagi, saya menengadah dan mengangkat tangan minta kemurahan Tuhan. Saya tahu saya tidak akan mampu kerjakan semuanya dengan sebaik-baiknya dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Tetapi saya minta pimpinan dan kemurahan Tuhan.

Bagaimana jalan keluarnya? Tidak tahu! Setiap kali saya dalam keadaan tidak-tahu-jalan-keluarnya, Mazmur 138:8 sangat menghibur saya:

TUHAN akan menyelesaikannya bagiku! Ya TUHAN, kasih setiaMu untuk selama-lamanya; janganlah Kautinggalkan perbuatan tanganMu!

Tindakan-tindakan 'Kecil' Dalam Kasih

(Posted in Dec 1, 2006)

Tindakan-tindakan 'kecil' yang dilakukan dalam kasih, sebenarnya sangat tidak kecil.

Waktu masih di sekolah teologi, kami memiliki seorang dosen yang kami tahu sangat sibuk. Suatu malam, dalam keadaan lelah, dia datang membawakan martabak untuk kami. Dia hanya datang sekitar 15 menit, memberikan martabak dan bercanda sebentar dengan kami. Tetapi entah kenapa, apa yang dia lakukan menyentuh saya, dan tidak pernah saya lupakan sampai saat ini.

Satu kali saya bersama istri ingin pergi melihat suatu pertunjukan. Dan beberapa hari sebelum kami pergi ke sana, istri saya mengajak teman lain untuk ikut. Secara keseluruhan acara kami hari itu sangat biasa: perjalanan yang sangat macet khas Jakarta, percakapan biasa dalam mobil, pertunjukan yang sama sekali tidak ‘wah’, makan bersama di restoran padang yang juga biasa. Tetapi waktu sampai di rumah, salah seorang teman yang ikut mengirim sms kepada saya (saya mengganti nama dan sedikit gaya tulisannya untuk privacy): “Ko, thx bgt ya bwt hr ni.Tlg sampaikan jg thx bwt c Yudith. Aku seneng bgt d’ajak jln2 :) asik, rasanya spt kluarga bnran aja lg jln2. Xie2”. Dia memberitahu saya bahwa dia jarang pergi jalan-jalan bersama keluarganya.

Saya tidak menyangka tindakan kecil yang kami lakukan (hanya mengajak ikut jalan-jalan ke tempat yang tidak istimewa!), ternyata menyentuh dia.

Waktu saya mengingat peristiwa itu, saya mencoba mengingat peristiwa-peristiwa lain dalam hidup saya. Ternyata saya menemukan, banyak peristiwa yang tidak bisa saya lupakan adalah tindakan-tindakan 'kecil' yang dilakukan orang-orang dengan kasih kepada saya. Saya tidak mungkin sebutkan semuanya di sini, dan saya juga tidak bisa katakan betapa indahnya apa yang mereka lakukan. Tetapi kalau saya mengingat lagi peristiwa-peristiwa itu, saya masih tersentuh.

Dan yang paling mengejutkan, tindakan-tindakan 'kecil' dalam kasih itu, juga menyentuh hati Yesus.

Saya jadi ingat beberapa perkataan Yesus, “sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudaraKu yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku”, atau “barangsiapa memberi air sejuk secangkir sajapun kepada salah seorang yang paling kecil ini, karena ia muridKu, Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya ia tidak akan kehilangan upahnya dari padanya”. Juga ketika seorang janda miskin memberikan persembahan 2 peser (jumlah yang mungkin kalau dikonversikan ke uang kita hanya bernilai beberapa ratus rupiah saja), Yesus mengatakan “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya janda miskin ini memberi lebih banyak dari pada semua orang yang memasukkan uang ke dalam peti persembahan”.

Apakah tindakan-tindakan kecil yang dilakukan dalam kasih itu kecil? Tidak!

Mulailah lakukan itu.

Tuesday, August 18, 2009

Lectio Divina

(Posted in Nov 22, 2006)

Tulisan ini saya cuplik dari buku Kenneth Boa, Conformed to His Image, 93.

Seni kuno Lectio Divina atau sacred (sakral/suci) reading diperkenalkan kepada dunia Barat oleh desert father dari Timur, John Cassian, pada awal abad ke-5. Seni ini dipraktekkan oleh para biarawan Cistercian dan saat ini ditemukan kembali oleh sebagian besar komunitas Kristen. Pendekatan yang sangat baik ini mengkombinasikan disiplin belajar, berdoa dan meditasi menjadi suatu metode yang sangat powerful, yang jikalau dijalankan dengan konsisten, dapat merubah hidup rohani seseorang. Sacred reading ini terdiri dari 4 elemen:

1. Lectio (membaca). Pilihlah teks yang sangat singkat dan telan itu dengan membacanya beberapa kali. Saya biasanya memilih sebuah ayat atau bagian yang pendek dari dari Perjanjian Lama atau Perjanjian Baru, dari pasal yang saya baca dalam pembacaan Alkitab saya di pagi hari.

2. Meditatio (meditasi). Ambil beberapa menit untuk merefleksikan kata-kata dan frase-frase dalam teks yang telah anda baca. Renungkan bagian itu dengan menanyakan pertanyaan-pertanyaan dan menggunakan imajinasi anda.

3. Oratio (doa). Setelah menginternalisasikan bagian ini, serahkan kembali ke Tuhan dalam bentuk doa yang dipersonalisasikan (JS: ayat itu diadaptasi menjadi doa pribadi, minta supaya ayat itu terjadi dalam hidup kita)

4. Contemplatio (kontemplasi). Bagi sebagian besar kita, ini akan menjadi bagian yang paling sulit, karena bagian ini terdiri dari berdiam diri dan penyerahan diri di hadapan Allah. Kontemplasi adalah buah dari dialog ketiga elemen yang pertama; persekutuan yang lahir dari penerimaan kita akan kebenaran ilahi dalam pikiran dan hati kita.

Pendekatan orang-orang zaman modern di dalam membaca Alkitab adalah “baca, mengerti, and that’s good”. Penekanannya adalah di “mengerti”. Tetapi kita tahu that’s not good enough. Sebagian lagi menekankan “baca, hafalkan, mengerti atau tidak mengerti, karena akan berguna suatu hari”. Penekanannya adalah di “hafal”. Tetapi kita juga tahu that’s not good enough.

Sebenarnya kita sering membicarakan tentang ‘merenungkan Firman’, tetapi di zaman modern ‘merenungkan Firman’ sering dibaca menjadi ‘mengerti atau menghafal Firman’. Ada sesuatu yang hilang di situ. Merenungkan tidak boleh berarti lain selain sungguh-sungguh merenungkan.

Di zaman post-modern ini, banyak teolog menggali lagi keindahan spiritualitas tokoh-tokoh iman zaman kuno. Lectio Divina adalah salah satu pendekatan yang ditemukan kembali. Kita bukan saja membaca, menghafal, mengerti, tetapi juga minta dengan sungguh-sungguh kepada Tuhan supaya Firman itu hidup dalam hidup kita, dan mencoba supaya Firman itu menembus masuk dalam hati kita yang paling dalam.

Untuk bagian kontemplasi, saya setuju ini menjadi bagian yang sulit karena kita adalah ‘orang-orang yang terlalu sibuk’ dan ‘panik’, padahal kontemplasi membutuhkan ‘berdiam diri dan penyerahan diri’. Kita harus belajar punya waktu kontemplasi di hadapan Tuhan. Kita bukan mengosongkan diri seperti yang dilakukan aliran-aliran spiritualitas lain, tetapi kita mengkontemplasikan Firman Tuhan.

Satu masukan saya untuk kontemplasi. Pendekatan Lectio Divina ini sedang coba kami lakukan di dalam KTB majelis GKY Green Ville. Dalam 1 ruangan yang tidak terlalu besar, kami membagi majelis dan hamba Tuhan menjadi 4 kelompok. Bisa dibayangkan, dengan diskusi yang seru, ruangan itu menjadi terlalu ramai. Maka sebenarnya tidak mungkin menjalankan elemen kontemplasi ini. Tetapi kami menggantinya dengan berjanji untuk terus mengingat ayat itu dalam hidup sehari-hari, paling tidak selama 1 bulan ke depan sebelum rapat majelis yang berikut. Dan kami juga mencoba saling mengingatkan di antara kami. Diharapkan ketika dalam kehidupan sehari-hari, terjadi hal-hal yang berkaitan dengan ayat tersebut, kami langsung ingat lagi ayat itu, sehingga ayat itu makin terinternalisasi.

Walaupun kontemplasi dengan berdiam diri dan menyerahkan diri kepada Tuhan adalah sesuatu yang menurut saya harus kita lakukan juga, tetapi cara kontemplasi dengan ‘bergerak’ ini juga sesuatu yang sangat baik.

Bagaimanapun pemazmur mengatakan “Berbahagialah orang yang … kesukaannya ialah Taurat Tuhan dan merenungkan Taurat itu siang dan malam” (Mzm 1:1-2). Bagaimana mungkin orang itu merenungkan siang dan malam, kalau bukan sambil ‘bergerak’ atau merenungkannya sambil menjalankan aktivitas sehari-hari?

Wednesday, August 12, 2009

One Hour a Day

Suatu kali Henri Nouwen (seorang teolog Katolik) bertanya kepada Ibu Teresa di Calcutta tentang bagaimana ia bisa mengatur hidupnya dengan lebih baik. Ibu Teresa menjawab, "Spend one hour a day in adoration of our Lord, and you'll be alright."

Setiap kita punya kecenderungan untuk berdosa, melupakan Tuhan, bergeser dari pusat kehidupan kita. Dan sedihnya, kadang-kadang 'tanpa' sadar kita sudah terlalu jauh. Saya berikan tanda kutip pada kata 'tanpa' karena sebenarnya kita sadar tetapi hanya berbuat sedikit atau tidak berbuat apa-apa sama sekali.

Bagaimana kita bisa mengatur hidup kita lebih baik? Cobalah mulai dengan mengatur waktu lebih banyak untuk menyembah Tuhan. Satu jam memang bukanlah angka mutlak, tidak harus satu jam, tetapi kebanyakan orang Kristen memakai waktu terlalu sedikit untuk menyembah Tuhan.

Saya tahu di tengah kesibukan dan kelelahan hidup kita, sangat.. sangat.. sulit.. untuk melakukannya. Tapi tanpa itu, kita akan terus bergeser, terombang-ambing, melayang-layang, dihembuskan oleh angin yang bukan dari Tuhan.

Spend one hour a day in adoration of our Lord, and you'll be alright!

Wednesday, July 29, 2009

Belajar dan Belajar

Kuliah baru saja dimulai, belum sampai tiga minggu. Saya sudah mulai merasa agak kewalahan. Saya melihat teman-teman sudah begitu sibuk belajar. Mereka sudah melakukan riset ini dan itu, mereka sudah tenggelam dalam buku-buku, pendek kata mereka sudah "in" dengan studi. Sementara saya masih tertatih-tatih mengikuti.

Sebenarnya semangat belajar saya sedang cukup tinggi. Topik yang sedang saya pelajari saat ini juga cukup menarik bagi saya. Tetapi berbagai kesibukan (atau mungkin kurang ahlinya saya mengatur waktu) banyak menghalangi waktu belajar saya. Ditambah lagi saya harus banyak melakukan penyesuaian dengan suasana akademis yang sudah lama saya tinggalkan. Semua itu mulai membuat saya khawatir (walaupun saya tahu Tuhan berkata jangan khawatir).

Sekian tahun lamanya saya merindukan kesempatan untuk studi lanjut. Sekian tahun di ladang pelayanan membuat saya sangat sadar akan kekurangan saya. Saya ingin sekali mempersiapkan diri untuk dipakai Tuhan lebih lagi. Saya ingat pada waktu saya akan pergi studi, beberapa jemaat menyatakan bahwa menurut mereka saya tidak perlu studi lagi. Saya tahu bahwa bagi jemaat yang penting adalah saya melayani dan berkhotbah, dan jikalau itu sudah baik (menurut mereka) maka itu sudah cukup. Saya juga tahu bahwa studi lanjut mungkin tidak akan membuat pelayanan dan khotbah saya lebih baik (sekali lagi menurut jemaat kebanyakan). Tetapi studi teologi seperti membentuk fondasi rumah yang memang tidak kelihatan, tetapi memakan waktu lama dan biaya mahal. Fondasi yang kuat tidak menjamin di atasnya ada rumah yang sedap dipandang. Tetapi tanpa fondasi yang kuat tidak mungkin didirikan rumah yang sedap dipandang sekaligus kokoh. Itu yang sedang saya coba lakukan.

Saya kira saya harus mengingatkan diri sendiri terus menerus bahwa  saya harus studi sebaik mungkin karena waktu studi seperti ini mungkin tidak akan pernah terulang lagi dalam hidup saya. Dan saya ingin setelah studi saya (tepatnya Tuhan) bisa mendirikan rumah yang sedap dipandang sekaligus kokoh.

Tolong doakan saya..

Tuesday, July 21, 2009

Trinity Theological College







Just to share about the college. (1) Trinity Theological College tampak depan, susah ngambilnya karena gedungnya memang ketutupan (2) Chapel (3) Dormitory (4) Dosen dan mahasiswa (5) Mahasiswa Post Graduate

Thursday, May 14, 2009

Hamba Tuhan - 3

Di bawah ini adalah cuplikan dari buku Eugene Peterson, “The Contemplative Pastor,” hal.19-22. Tulisan ini mempengaruhi pelayanan saya beberapa tahun terakhir ini. Tetapi apakah saya 'sukses' melakukannya? Sayang.. masih jauh. Tapi ini kerinduan saya. Dan saya berharap ini menjadi kerinduan setiap "pastor".

If I'm not busy making my mark in the world or doing what everyone expects me to do, what do I do? What is my proper work? What does it mean to be a pastor? If no one asked me to do anything, what would I do?

Three things.
I can be a pastor who prays. I want to cultivate my relationship with God. I want all of life to be intimate – sometimes consciously, sometimes unconsciously – with the God who made, directs, and loves me. And I want to waken others to the nature and centrality of prayer. I want to be a person in this community to whom others can come without hesitation, without wondering if it is appropriate, to get direction in prayer and praying. I want to do the original work of being in deepening conversation with the God who reveals himself to me and address me by name. I don't want to dispense mimeographed hand-outs that describe God's business; I want to witness out of my own experience. I don't want to live as a parasite on the first-hand spiritual life of others, but to be personally involved with all my senses, tasting and seeing that the Lord is good. 

I can be a pastor who preaches. I want to speak the Word of God that is Scripture in the language and rhythms of the people I live with. I am given an honored and protected time each week to do that. The pulpit is a great gift, and I want to use it well... I need a drenching in Scripture; I require an immersion in biblical studies. I need reflective hours over the pages of Scripture as well as personal struggles with the meaning of Scrioture. That takes far more time than it takes to prepare a sermon.

I can be a pastor who listens. A lot of people approach me through the week to tell me what's going on in their lives. I want to have the energy and time to really listen to them so that when they're through, they know at least one other person has some inkling of what they're feeling and thinking. Pastoral listening requires unhurried leisure, even if it's only for five minutes... Leisure is a quality of spirit, not a quantity of time. Only in that ambiance of leisure do persons know they are listened to with absolute seriousness, treated with dignity and importance... I can't listen if I'm busy. When my schedule is crowded, I'm not free to listen: I have to keep my next appointment; I have to go to the next meeting. But if I provide margins to my day, there is ample time to listen.


Tuesday, May 12, 2009

Hamba Tuhan - 2

Sebutan umum bagi mereka yang masuk sekolah teologi dan kemudian melayani secara penuh waktu adalah 'hamba Tuhan'. Sebutan ini dipakai begitu saja dan jarang dipertanyakan ketepatannya. Mungkin istilah ini sudah terlalu sering didengar sehingga tidak lagi menggelitik telinga kita, atau mungkin kita berpikir “apalah arti sebuah nama”. 

Dengan berpikir sederhana saja kita akan menyadari ketidak-tepatan sebutan ini. Siapakah hamba Tuhan? Setiap orang Kristen adalah hamba Tuhan. Hamba Tuhan adalah umat Tuhan yang dipanggil keluar dari kegelapan kepada terang Tuhan yang ajaib untuk memberitakan perbuatan yang besar itu. Maka istilah hamba Tuhan tidak tepat dipakai hanya untuk menunjuk sekelompok orang Kristen. Karena kalau begitu, lalu yang lain hamba siapa? Seakan-akan ada hamba Tuhan dan ada yang bukan hamba Tuhan.

Tetapi saya mengakui tidak mudah menemukan istilah penggantinya. 

Alkitab Perjanjian Lama menyebut orang yang melayani dengan cara yang mirip seperti 'hamba Tuhan' hari ini sebagai: nabi atau imam. Tetapi istilah ini pun tidak tepat dipakai karena nabi dan imam menunjuk kepada jabatan yang sekarang sudah tidak ada lagi. Nabi adalah juru bicara Tuhan, penyambung lidah Tuhan, penyampai firman Tuhan. Mereka menerima langsung firman dari Tuhan dan menyampaikannya dengan otoritas. Tulisan merekalah yang kemudian menjadi bagian dari Alkitab. Fungsi kenabian yaitu menyampaikan suara Tuhan terus ada sampai sekarang tetapi jabatan itu tidak ada lagi. Kita hanya menyampaikan dan menjelaskan berita yang sudah diterima oleh para nabi. Imam adalah mereka yang berdiri menjadi perantara antara Tuhan dan umatNya. Mereka berdoa, memohonkan ampun bagi umat Tuhan dan menyatakan apa yang suci, tahir dan yang najis. Dalam Perjanjian Baru, jabatan ini pun tidak ada lagi karena Yesus sudah menjadi imam kita. Fungsi keimaman itu kita teruskan dengan satu imam besar kita yaitu Yesus Kristus. 

Maka istilah apa yang tepat? Alkitab sebenarnya memberikan satu istilah yang sangat baik: "Gembala". Para pemimpin umat Tuhan di dalam Perjanjian Lama disebut sebagai Gembala dan di Perjanjian Baru ditegaskan bahwa para pemimpin gereja harus menjadi Gembala bagi umat Tuhan. Tidak seperti istilah 'hamba Tuhan' yang menyatakan keadaan atau status semua orang Kristen, istilah “Gembala” langsung menggambarkan fungsi dari mereka yang dipanggil Tuhan untuk pelayanan Firman dan doa. Istilah “Gembala” begitu sarat dengan makna, membangkitkan imajinasi dan menegaskan tanggung jawab.

Sayangnya istilah “Gembala” juga sudah dirusak di dalam gereja. Gembala biasa dipakai untuk menunjuk 'hamba Tuhan' yang menjadi pimpinan di sebuah gereja. Padahal setiap orang yang menyerahkan diri untuk melayani Tuhan penuh waktu dalam pelayanan Firman dan doa adalah Gembala. Kepada mereka Tuhan perintahkan “gembalakanlah domba-dombaKu”. 

Saya tidak bermaksud mengganti begitu saja sebutan 'hamba Tuhan' karena sebutan itu sudah begitu umum dan saya tidak berada pada kapasitas untuk mengganti sebutan itu (maka dengan sedikit terpaksa saya akan tetap memakai istilah itu). Tetapi yang saya sayangkan adalah rusaknya istilah “Gembala”. Ketika menyebut “Gembala”, yang terpikir adalah jabatan sebagai pemimpin gereja dan bukan tanggung jawab, pengorbanan, kasih yang Tuhan bebankan pada orang yang menjadi Gembala. Istilah itu tidak lagi disebut dengan pengertian yang benar. Sementara bagi mereka yang bukan Gembala, mereka kehilangan pengingat akan fungsi mereka sebagai Gembala. Mereka hanya ingat mereka adalah 'hamba Tuhan'.


Sunday, May 03, 2009

Hamba Tuhan

Beberapa waktu ini saya mendapat pertanyaan-pertanyaan seperti: Mengapa seseorang mau menjadi hamba Tuhan? Kita tahu jawabannya adalah karena panggilan Tuhan, tapi Tuhan memanggil dia untuk melakukan apa? Apa yang membedakan pelayanan seorang hamba Tuhan dan yang bukan hamba Tuhan? 

Saya sendiri dulu sempat mempertanyakan hal itu selama saya kuliah di sekolah teologi. Sampai akhirnya saya menemukan jawabannya di dalam Kis 6:1-6. Pada waktu itu para rasul melayani segala hal di dalam jemaat. Tetapi bagaimanapun mereka bukan superman. Mereka kewalahan. Sementara jemaat bersungut-sungut karena ketidakberesan dalam pengaturan pelayanan diakonia. Maka para rasul mengambil keputusan untuk menceritakan pergumulan mereka kepada jemaat. Mereka sudah banyak bekerja, tetapi tetap tidak bisa memuaskan semuanya. Dan yang paling mereka khawatirkan adalah mereka juga tidak memuaskan Tuhan karena “kami melalaikan Firman Allah untuk melayani meja”. Karena itu mereka meminta supaya jemaat memilih tujuh orang untuk mengerjakan tugas pelayanan meja atau diakonia itu sementara mereka “dapat memusatkan pikiran dalam doa dan pelayanan Firman”

Bagian ini memberi petunjuk apa yang membedakan pelayanan para rasul sebagai pemimpin gereja dan pelayanan para jemaat lain: “memusatkan pikiran dalam doa dan pelayanan Firman”. 

Setelah para rasul tiada, peran mereka digantikan oleh orang-orang yang mereka angkat sebagai pemimpin-pemimpin jemaat seperti Timotius, Titus, Filipus dan tentunya orang-orang lain yang tidak disebutkan namanya di dalam Alkitab. Tetapi lama kelamaan, gereja makin sulit mencari orang yang memusatkan diri dalam doa dan pelayanan Firman karena semua jemaat punya pekerjaan lain selain melayani di gereja. Kesadaran bahwa pelayanan Firman itu begitu serius menyebabkan sebagian penatua mengkhususkan diri untuk melayani hal itu. Mereka tidak mengerjakan pekerjaan lain, tetapi seperti para rasul mereka memusatkan pikiran dalam doa dan pelayanan Firman. Itulah hamba Tuhan!

Saya tidak mengatakan bahwa doa dan pelayanan Firman hanya dilakukan oleh hamba Tuhan. Pelayanan Firman bisa dikerjakan oleh semua orang Kristen. Tetapi seriusnya pelayanan itu menuntut adanya orang-orang yang mengkhususkan waktu untuk mempelajari Firman dan mengajarkannya dengan setia. Demikian pula doa adalah kehidupan setiap orang percaya. Saya percaya yang dimaksud oleh Petrus dengan doa di dalam bagian ini adalah doa di dalam hubungan dengan pelayanan Firman. Pelayanan Firman mutlak bergantung kepada kuasa Tuhan. Pelayanan Firman menuntut kepekaan mengenal kehendak Tuhan dan kebutuhan manusia. Pelayanan Firman adalah pelayanan kasih kepada orang yang dilayani. Maka doa adalah bagian yang tak terpisahkan dari pelayanan Firman. Doa dan pelayanan Firman bisa dilakukan oleh semua orang Kristen, tetapi hamba Tuhan melakukannya sepenuh waktu. Bagi mereka yang melayani di gereja (pendeta) saya bisa tambahkan, mereka juga melayani misteri anugrah Allah, firman dalam bentuk yang kelihatan yaitu sakramen.

Maka ketika ada orang yang merasa terpanggil menjadi hamba Tuhan, dia harus bertanya kepada dirinya apakah Tuhan memanggil dia untuk pelayanan seperti itu secara penuh waktu dan dia rela mengerjakannya?

Demikian pula ketika seorang hamba Tuhan masuk dalam pelayanan, dia harus selalu mengingatkan dirinya akan hal ini. Dia bukan seorang event organizer. Dia bukan seorang CEO gereja. Dia bukan seorang administrator ulung. Dia bukan seorang businessman. Dia adalah seorang pelayan Firman. Memang dia ikut menentukan strategi dan arah pelayanan gereja dan dia ikut mengambil keputusan di dalam pelayanan gereja, tetapi semua itu dia lakukan sebagai seorang pelayan Firman yang menjaga supaya gereja tetap pada arah yang benar. Pekerjaannya yang terutama bukanlah sekedar melakukan aktivitas-aktivitas gerejawi, tetapi ia melayani Firman melalui aktivitas-aktivitas gerejawi.  

Ketika para rasul frustasi dengan beban pelayanan yang begitu berat, rasa frustasi itu bukan karena mereka malas tetapi karena mereka mengabaikan pelayanan Firman. Maka mereka menyerahkan urusan-urusan lain itu kepada orang lain. Hari ini banyak gereja mengharapkan hamba Tuhan mengerjakan semua urusan gereja karena berpikir bahwa tugas hamba Tuhan adalah ‘running the church’. Dan banyak hamba Tuhan lupa panggilannya yang utama, mereka sibuk lakukan banyak hal yang mengalihkan perhatian mereka dari doa dan pelayanan Firman. Dan itulah kelemahan besar gereja. 

Friday, May 01, 2009

Belajar Berkata "Tidak"

Salah satu kesulitan yang dihadapi banyak orang adalah berkata "tidak". Penyebabnya? Bermacam-macam. Saya coba sebutkan beberapa di bawah ini:

Merasa tidak enak ("Sungkan menolak dia")
Kasihan ("Aduh bagaimana dia nanti")
Merasa bersalah ("Kalau sampai nanti tidak berhasil, pasti karena saya bilang tidak")
Bangga karena dibutuhkan ("Aduh senangnya dibutuhkan dan dipuji")

Kalau anda termasuk orang yang sulit berkata "tidak". Alasan mana yang paling sering menjadi alasan anda?

Saya tidak bermaksud untuk cynical karena saya pun termasuk orang yang sulit berkata "tidak". Dan saya tahu bahwa di samping alasan-alasan di atas, kita mungkin juga punya alasan-alasan yang baik. Tetapi satu hal yang harus kita ingat adalah: ketika kita berkata "ya" kepada sesuatu, kita sedang berkata "tidak" kepada yang lain.

Bagaimana bisa begitu? Waktu kita sangat terbatas, 24 jam setiap hari. Ada begitu banyak hal yang harus kita lakukan, maka kalau kita bukan orang malas, pasti dengan mudah 24 jam itu terisi. Setiap kali kita berkata "ya", kita sedang mengisi jadwal kita dan pada saat yang sama kita sedang berkata "tidak" kepada yang lain karena jadwal sudah penuh. Ini bukan masalah tentang hal yang baik dan buruk karena mungkin pilihannya semua baik. Tetapi kita tetap harus memilih mana yang harus kita lakukan.

Maka pilihannya sebenarnya bukan apakah saya harus berkata "ya" atau "tidak", tetapi yang mana yang harus saya iya-kan. Apakah kita ingin mengisi sendiri agenda kita, dengan hal-hal yang memang seharusnya kita iya-kan, atau kita biarkan orang lain yang mengisi agenda kita, dengan berkata ini dan itu yang harus kita iya-kan?

Hidup dengan tujuan adalah hidup yang tahu kapan harus berkata "ya" dan kapan harus berkata "tidak".

Monday, March 23, 2009

Gelisah?

Beberapa kali saya ditanya, “Apa sih sebenarnya yang dipelajari di sekolah teologi hingga perlu waktu bertahun-tahun untuk lulus?” Ada lagi yang bertanya, “Apa di sekolah teologi belajarnya urutan dari Kejadian sampai Wahyu?” Saya suka tersenyum karena pertanyaan-pertanyaan itu lucu bagi saya. Biasanya kemudian saya menjawab dengan menyebutkan beberapa pelajaran di sekolah teologi (walaupun mungkin bagi dia apa yang saya sebutkan seperti bla..bla..bla..), paling tidak memberikan sedikit gambaran bahwa kami tidak belajar berurutan dari Kejadian sampai Wahyu.

Saya menyadari bahwa pertanyaan seperti itu hanya salah satu cerminan dari masalah kebutaan orang Kristen terhadap teologi. Kalau saja mereka belajar teologi, dengan sendirinya pertanyaan seperti itu tidak akan muncul. 

Salah satu kesan yang saya alami ketika baru masuk ke sekolah teologi, mengikuti berbagai kuliah dan melihat perpustakaan dengan buku yang begitu banyak, saya merasa dunia teologi seperti samudra luas. Begitu banyak yang harus dipelajari, begitu banyak bidang, semua berkaitan, semua saling menunjang, dan uniknya langsung atau tidak langsung semua berpusat pada satu buku kecil yang dimiliki oleh hampir semua orang Kristen (apalagi di Indonesia) yaitu Alkitab. 

Sejak lulus dari sekolah teologi, sebenarnya saya tidak pernah berhenti membaca buku. Masa praktek pelayanan 1 tahun saya lewati dengan mengajar 2 mata kuliah di sekolah teologi (dan itu memaksa saya untuk membaca buku) dan sangat banyak berkhotbah. Setelah itu selama 1 tahun saya menggembalakan sebuah jemaat di Beijing dan praktis setiap minggu saya berkhotbah (itupun membuat saya membaca buku). Setelah itu, selama 1 tahun berikutnya saya mengajar 7 mata kuliah di sebuah sekolah teologi di China (dan itu sangat.. sangat.. memaksa saya untuk membaca buku!). Setelah pulang ke Indonesia dan melayani di gereja, saya juga tidak berhenti membaca buku (walaupun hampir selalu sebagai persiapan untuk berkhotbah).

Tetapi belakangan ini saya gelisah karena menemukan bahwa saya masih sangat kurang pengetahuan. Terlalu banyak hal yang saya tidak tahu! Saya tidak berharap untuk tahu segalanya. Tetapi setelah sekian tahun belajar teologi dan menjadi murid Alkitab yang, menurut saya, cukup serius, saya terkejut ketika menyadari bahwa terlalu banyak yang saya tidak tahu. Saya terkejut ketika melihat ada masalah atau fenomena tertentu dan tidak tahu bagaimana menjawabnya. Saya terkejut ketika menyadari ketidakpekaan teologis saya pada isu-isu tertentu. Dan saya sangat terkejut saat saya membaca ulang Injil, banyak pertanyaan yang muncul dalam pikiran saya sendiri dan tidak bisa saya jawab. Sekali lagi, saya tidak berharap bahwa saya bisa menjawab semua pertanyaan, tetapi paling tidak jangan sebanyak itu yang tidak bisa saya jawab!

Beberapa tahun yang lalu saya sangat gelisah melihat banyak orang Kristen hampir tidak tahu apa-apa tentang teologi. Tetapi sekarang saya menjadi lebih gelisah lagi karena menyadari saya pun kurang belajar. Saya mulai sadar bahwa saya memang tidak pernah berhenti membaca buku, tetapi ternyata jumlahnya sangat sedikit dibanding dengan yang seharusnya saya baca sebagai murid Alkitab apalagi sebagai orang yang mengajarkan Alkitab. Maka akhir-akhir ini saya memaksa diri untuk lebih banyak membaca buku, baik itu mengenai biblical theology, pastoral, worship, spiritualitas, etika, kebudayaan, apa saja. 

Kegelisahan ini menyebabkan saya mau belajar. Tetapi kegelisahan saya menjadi-jadi ketika sadar bahwa banyak orang Kristen tidak gelisah! Bahkan banyak hamba Tuhan tidak gelisah, bertahun-tahun melayani dan setiap tahun hanya membaca beberapa halaman buku teologi! Bagaimana kita bisa menjadi serupa dengan Kristus sementara kita tidak mengenal Dia dengan baik? Bagaimana kita bisa bertahan bahkan bercahaya di dalam dunia ini sementara kita tidak mengenal kebenaran Tuhan? Dan, bagaimana kita mengajarkan Firman Tuhan?

Belajar teologi dengan dalam memang bukan segala-galanya. Tetapi belajar teologi adalah salah satu disiplin rohani (yang banyak diabaikan oleh orang Kristen). Belajar teologi adalah bagian dari mencintai Tuhan. Belajar teologi adalah bagian dari kegelisahan melihat dunia yang perlu dilayani. Saya ingin kegelisahan ini dirasakan oleh para hamba Tuhan dan orang Kristen. Maukah ikut gelisah bersama saya?


Tuesday, March 03, 2009

Supaya Kamu Dapat Berdoa

"Kesudahan segala sesuatu sudah dekat. Karena itu kuasailah dirimu dan jadilah tenang, supaya kamu dapat berdoa" (1 Petrus 4:7)

Kesudahan Segala Sesuatu Sudah Dekat
Surat 1 Petrus ditulis mungkin sekitar tahun 60-an M, artinya sampai sekarang sudah berlalu lebih dari 1940 tahun. Tetapi waktu itu, Petrus mengatakan ‘sudah dekat’. Kesadaran (awareness) semacam ini selalu muncul dalam Alkitab. Yesus juga mengatakan sudah dekat dan ‘berjaga-jagalah’. Ada 2 arti ‘sudah dekat’ :

Pertama, bagi kita pribadi, waktu kita tidak lama. Begitu kita dipanggil Tuhan, itulah ‘kesudahan segala sesuatu’ bagi kita, pribadi.

Kedua, sebelum generasi di zaman Yesus itu berlalu, tanda-tanda akhir zaman sudah digenapi. Maka tidak ada lagi peristiwa yang memisahkan kita dari kedatangan Kristus. Yesus bisa datang kapan saja! Kondisi seperti ini berarti ‘sudah dekat’.

Petrus perlu menyebutkan ini karena kalau kita berpikir bahwa kesudahan segala sesuatu masih jauh, itu adalah pikiran yg menyesatkan dan akan menjauhkan kita dari Kerajaan Allah. Yesus sungguh-sungguh bisa datang kapan saja.

Kuasailah dirimu dan jadilah tenang
Keduanya lebih ke arah pikiran (mind) daripada tubuh. Ada 2 hal muncul dalam pikiran saya mengenai arti perintah ini:

Pertama, jangan biarkan pikiranmu panik akan berbagai masalah yang engkau hadapi dalam dunia. Kita bisa berdoa sambil sibuk melakukan banyak hal, tapi kita tidak bisa berdoa sambil panik.
Kedua, arahkan pikiranmu kepada Tuhan yang akan segera datang, jangan berpikir Dia masih jauh dan lama. Pikiran seperti ini akan memfokuskan kita kepada Tuhan dan kebenaranNya.

Supaya kamu dapat berdoa
Mengapa perintah ini diberikan setelah 2 kalimat di atas? Calvin mengatakan “Dia mau mengingatkan mereka untuk berdoa dengan sungguh-sungguh, bukan secara formal”. Kalau doa hanya formalitas, dalam keadaan apapun, dengan pikiran bagaimanapun, asalkan kita biasa berdoa atau lancar berkata-kata, kita pasti bisa berdoa. Tetapi doa yang sungguh-sungguh, hanya bisa ketika kita sadar “Kesudahan segala sesuatu sudah dekat…kuasai diri… dan jadilah tenang”.

Thursday, January 29, 2009

Sahabat Yang Aneh

Alkitab memakai banyak istilah melukiskan hubungan kita dengan Tuhan dan salah satu yang sangat personal adalah ‘sahabat’. Suatu kali ketika saya sedang merenungi hubungan saya dengan Tuhan, saya mencoba membayangkan Tuhan sebagai sahabat saya sebagaimana yang Dia janjikan. Seperti apa sebenarnya persahabatan kami?

Sebagai sahabat, saya jelas bukan sahabat yang baik. Saya sangat sering membuat Dia kecewa, bahkan tanpa ragu menyakitiNya. Saya tahu apa yang tidak Dia suka tapi tokh saya lakukan. Saya seringkali memanfaatkan Dia dan tidak memikirkan perasaanNya. Bahkan ketika Dia ingin berkomunikasi, saya seringkali menutup telinga. Sebagai sahabat, saya ini pengkhianat, jahat, malas, keterlaluan.

Lalu saya bertanya apa yang dirasakan Tuhan sebagai sahabat saya? Seorang sahabat tentu akan marah bahkan benci.

“Apakah Engkau marah Tuhan?”

Sangat aneh ketika saya menemukan bahwa Tuhan tidak membenci saya. Tuhan benci kepada kegagalan, dosa, dan kejahatan saya, tapi dia tidak membenci saya.

“Tuhan, bukankah apa yang saya lakukan tidak bisa dipisahkan dari diri saya? Saya sendiri yang melakukan semuanya, dengan sadar dan entah berapa ratus atau ribu kali. Mengapa Engkau tidak membenci saya?”

Saya jadi merasa tidak enak hati dengan Tuhan. Ketika terjadi konflik di antara sahabat maka hubungan akan terasa menjadi kaku dan ada yang mengganjal. Itu yang saya rasakan. Tetapi saya mencoba bertanya,

“Tuhan, apakah Engkau juga rasa ada yang mengganjal?”
 
Tuhan menjawab, “Ya, jelas ada yang mengganjal, ada sesuatu yang merusak relasi kita”
 
“Lalu bagaimana Tuhan?”

Tuhan diam …........... dan Dia ingatkan saya apa yang sudah Dia lakukan.

Saya tidak habis pikir! Benar-benar tidak habis pikir! Saya yang salah, tapi Tuhan malah menyelesaikannya dengan memberikan diriNya untuk saya di kayu salib. Dan sampai hari ini, Dia sabar melihat saya sering melakukan berbagai hal yang merusak relasi kami. Dia tetap tidak membenci malah terus mengulurkan tanganNya untuk berbaikan lagi.

“Tuhan, apakah Engkau rasa ada yang mengganjal?”

“Ya tentu, tapi Aku sudah bereskan. Tinggal giliran kamu yang bereskan. Buka hatimu, bertobat, terima anugrah-Ku.”
 
Engkau sahabat yang aneh Tuhan… terlalu baik… terlalu baik...