Thursday, May 14, 2009

Hamba Tuhan - 3

Di bawah ini adalah cuplikan dari buku Eugene Peterson, “The Contemplative Pastor,” hal.19-22. Tulisan ini mempengaruhi pelayanan saya beberapa tahun terakhir ini. Tetapi apakah saya 'sukses' melakukannya? Sayang.. masih jauh. Tapi ini kerinduan saya. Dan saya berharap ini menjadi kerinduan setiap "pastor".

If I'm not busy making my mark in the world or doing what everyone expects me to do, what do I do? What is my proper work? What does it mean to be a pastor? If no one asked me to do anything, what would I do?

Three things.
I can be a pastor who prays. I want to cultivate my relationship with God. I want all of life to be intimate – sometimes consciously, sometimes unconsciously – with the God who made, directs, and loves me. And I want to waken others to the nature and centrality of prayer. I want to be a person in this community to whom others can come without hesitation, without wondering if it is appropriate, to get direction in prayer and praying. I want to do the original work of being in deepening conversation with the God who reveals himself to me and address me by name. I don't want to dispense mimeographed hand-outs that describe God's business; I want to witness out of my own experience. I don't want to live as a parasite on the first-hand spiritual life of others, but to be personally involved with all my senses, tasting and seeing that the Lord is good. 

I can be a pastor who preaches. I want to speak the Word of God that is Scripture in the language and rhythms of the people I live with. I am given an honored and protected time each week to do that. The pulpit is a great gift, and I want to use it well... I need a drenching in Scripture; I require an immersion in biblical studies. I need reflective hours over the pages of Scripture as well as personal struggles with the meaning of Scrioture. That takes far more time than it takes to prepare a sermon.

I can be a pastor who listens. A lot of people approach me through the week to tell me what's going on in their lives. I want to have the energy and time to really listen to them so that when they're through, they know at least one other person has some inkling of what they're feeling and thinking. Pastoral listening requires unhurried leisure, even if it's only for five minutes... Leisure is a quality of spirit, not a quantity of time. Only in that ambiance of leisure do persons know they are listened to with absolute seriousness, treated with dignity and importance... I can't listen if I'm busy. When my schedule is crowded, I'm not free to listen: I have to keep my next appointment; I have to go to the next meeting. But if I provide margins to my day, there is ample time to listen.


Tuesday, May 12, 2009

Hamba Tuhan - 2

Sebutan umum bagi mereka yang masuk sekolah teologi dan kemudian melayani secara penuh waktu adalah 'hamba Tuhan'. Sebutan ini dipakai begitu saja dan jarang dipertanyakan ketepatannya. Mungkin istilah ini sudah terlalu sering didengar sehingga tidak lagi menggelitik telinga kita, atau mungkin kita berpikir “apalah arti sebuah nama”. 

Dengan berpikir sederhana saja kita akan menyadari ketidak-tepatan sebutan ini. Siapakah hamba Tuhan? Setiap orang Kristen adalah hamba Tuhan. Hamba Tuhan adalah umat Tuhan yang dipanggil keluar dari kegelapan kepada terang Tuhan yang ajaib untuk memberitakan perbuatan yang besar itu. Maka istilah hamba Tuhan tidak tepat dipakai hanya untuk menunjuk sekelompok orang Kristen. Karena kalau begitu, lalu yang lain hamba siapa? Seakan-akan ada hamba Tuhan dan ada yang bukan hamba Tuhan.

Tetapi saya mengakui tidak mudah menemukan istilah penggantinya. 

Alkitab Perjanjian Lama menyebut orang yang melayani dengan cara yang mirip seperti 'hamba Tuhan' hari ini sebagai: nabi atau imam. Tetapi istilah ini pun tidak tepat dipakai karena nabi dan imam menunjuk kepada jabatan yang sekarang sudah tidak ada lagi. Nabi adalah juru bicara Tuhan, penyambung lidah Tuhan, penyampai firman Tuhan. Mereka menerima langsung firman dari Tuhan dan menyampaikannya dengan otoritas. Tulisan merekalah yang kemudian menjadi bagian dari Alkitab. Fungsi kenabian yaitu menyampaikan suara Tuhan terus ada sampai sekarang tetapi jabatan itu tidak ada lagi. Kita hanya menyampaikan dan menjelaskan berita yang sudah diterima oleh para nabi. Imam adalah mereka yang berdiri menjadi perantara antara Tuhan dan umatNya. Mereka berdoa, memohonkan ampun bagi umat Tuhan dan menyatakan apa yang suci, tahir dan yang najis. Dalam Perjanjian Baru, jabatan ini pun tidak ada lagi karena Yesus sudah menjadi imam kita. Fungsi keimaman itu kita teruskan dengan satu imam besar kita yaitu Yesus Kristus. 

Maka istilah apa yang tepat? Alkitab sebenarnya memberikan satu istilah yang sangat baik: "Gembala". Para pemimpin umat Tuhan di dalam Perjanjian Lama disebut sebagai Gembala dan di Perjanjian Baru ditegaskan bahwa para pemimpin gereja harus menjadi Gembala bagi umat Tuhan. Tidak seperti istilah 'hamba Tuhan' yang menyatakan keadaan atau status semua orang Kristen, istilah “Gembala” langsung menggambarkan fungsi dari mereka yang dipanggil Tuhan untuk pelayanan Firman dan doa. Istilah “Gembala” begitu sarat dengan makna, membangkitkan imajinasi dan menegaskan tanggung jawab.

Sayangnya istilah “Gembala” juga sudah dirusak di dalam gereja. Gembala biasa dipakai untuk menunjuk 'hamba Tuhan' yang menjadi pimpinan di sebuah gereja. Padahal setiap orang yang menyerahkan diri untuk melayani Tuhan penuh waktu dalam pelayanan Firman dan doa adalah Gembala. Kepada mereka Tuhan perintahkan “gembalakanlah domba-dombaKu”. 

Saya tidak bermaksud mengganti begitu saja sebutan 'hamba Tuhan' karena sebutan itu sudah begitu umum dan saya tidak berada pada kapasitas untuk mengganti sebutan itu (maka dengan sedikit terpaksa saya akan tetap memakai istilah itu). Tetapi yang saya sayangkan adalah rusaknya istilah “Gembala”. Ketika menyebut “Gembala”, yang terpikir adalah jabatan sebagai pemimpin gereja dan bukan tanggung jawab, pengorbanan, kasih yang Tuhan bebankan pada orang yang menjadi Gembala. Istilah itu tidak lagi disebut dengan pengertian yang benar. Sementara bagi mereka yang bukan Gembala, mereka kehilangan pengingat akan fungsi mereka sebagai Gembala. Mereka hanya ingat mereka adalah 'hamba Tuhan'.


Sunday, May 03, 2009

Hamba Tuhan

Beberapa waktu ini saya mendapat pertanyaan-pertanyaan seperti: Mengapa seseorang mau menjadi hamba Tuhan? Kita tahu jawabannya adalah karena panggilan Tuhan, tapi Tuhan memanggil dia untuk melakukan apa? Apa yang membedakan pelayanan seorang hamba Tuhan dan yang bukan hamba Tuhan? 

Saya sendiri dulu sempat mempertanyakan hal itu selama saya kuliah di sekolah teologi. Sampai akhirnya saya menemukan jawabannya di dalam Kis 6:1-6. Pada waktu itu para rasul melayani segala hal di dalam jemaat. Tetapi bagaimanapun mereka bukan superman. Mereka kewalahan. Sementara jemaat bersungut-sungut karena ketidakberesan dalam pengaturan pelayanan diakonia. Maka para rasul mengambil keputusan untuk menceritakan pergumulan mereka kepada jemaat. Mereka sudah banyak bekerja, tetapi tetap tidak bisa memuaskan semuanya. Dan yang paling mereka khawatirkan adalah mereka juga tidak memuaskan Tuhan karena “kami melalaikan Firman Allah untuk melayani meja”. Karena itu mereka meminta supaya jemaat memilih tujuh orang untuk mengerjakan tugas pelayanan meja atau diakonia itu sementara mereka “dapat memusatkan pikiran dalam doa dan pelayanan Firman”

Bagian ini memberi petunjuk apa yang membedakan pelayanan para rasul sebagai pemimpin gereja dan pelayanan para jemaat lain: “memusatkan pikiran dalam doa dan pelayanan Firman”. 

Setelah para rasul tiada, peran mereka digantikan oleh orang-orang yang mereka angkat sebagai pemimpin-pemimpin jemaat seperti Timotius, Titus, Filipus dan tentunya orang-orang lain yang tidak disebutkan namanya di dalam Alkitab. Tetapi lama kelamaan, gereja makin sulit mencari orang yang memusatkan diri dalam doa dan pelayanan Firman karena semua jemaat punya pekerjaan lain selain melayani di gereja. Kesadaran bahwa pelayanan Firman itu begitu serius menyebabkan sebagian penatua mengkhususkan diri untuk melayani hal itu. Mereka tidak mengerjakan pekerjaan lain, tetapi seperti para rasul mereka memusatkan pikiran dalam doa dan pelayanan Firman. Itulah hamba Tuhan!

Saya tidak mengatakan bahwa doa dan pelayanan Firman hanya dilakukan oleh hamba Tuhan. Pelayanan Firman bisa dikerjakan oleh semua orang Kristen. Tetapi seriusnya pelayanan itu menuntut adanya orang-orang yang mengkhususkan waktu untuk mempelajari Firman dan mengajarkannya dengan setia. Demikian pula doa adalah kehidupan setiap orang percaya. Saya percaya yang dimaksud oleh Petrus dengan doa di dalam bagian ini adalah doa di dalam hubungan dengan pelayanan Firman. Pelayanan Firman mutlak bergantung kepada kuasa Tuhan. Pelayanan Firman menuntut kepekaan mengenal kehendak Tuhan dan kebutuhan manusia. Pelayanan Firman adalah pelayanan kasih kepada orang yang dilayani. Maka doa adalah bagian yang tak terpisahkan dari pelayanan Firman. Doa dan pelayanan Firman bisa dilakukan oleh semua orang Kristen, tetapi hamba Tuhan melakukannya sepenuh waktu. Bagi mereka yang melayani di gereja (pendeta) saya bisa tambahkan, mereka juga melayani misteri anugrah Allah, firman dalam bentuk yang kelihatan yaitu sakramen.

Maka ketika ada orang yang merasa terpanggil menjadi hamba Tuhan, dia harus bertanya kepada dirinya apakah Tuhan memanggil dia untuk pelayanan seperti itu secara penuh waktu dan dia rela mengerjakannya?

Demikian pula ketika seorang hamba Tuhan masuk dalam pelayanan, dia harus selalu mengingatkan dirinya akan hal ini. Dia bukan seorang event organizer. Dia bukan seorang CEO gereja. Dia bukan seorang administrator ulung. Dia bukan seorang businessman. Dia adalah seorang pelayan Firman. Memang dia ikut menentukan strategi dan arah pelayanan gereja dan dia ikut mengambil keputusan di dalam pelayanan gereja, tetapi semua itu dia lakukan sebagai seorang pelayan Firman yang menjaga supaya gereja tetap pada arah yang benar. Pekerjaannya yang terutama bukanlah sekedar melakukan aktivitas-aktivitas gerejawi, tetapi ia melayani Firman melalui aktivitas-aktivitas gerejawi.  

Ketika para rasul frustasi dengan beban pelayanan yang begitu berat, rasa frustasi itu bukan karena mereka malas tetapi karena mereka mengabaikan pelayanan Firman. Maka mereka menyerahkan urusan-urusan lain itu kepada orang lain. Hari ini banyak gereja mengharapkan hamba Tuhan mengerjakan semua urusan gereja karena berpikir bahwa tugas hamba Tuhan adalah ‘running the church’. Dan banyak hamba Tuhan lupa panggilannya yang utama, mereka sibuk lakukan banyak hal yang mengalihkan perhatian mereka dari doa dan pelayanan Firman. Dan itulah kelemahan besar gereja. 

Friday, May 01, 2009

Belajar Berkata "Tidak"

Salah satu kesulitan yang dihadapi banyak orang adalah berkata "tidak". Penyebabnya? Bermacam-macam. Saya coba sebutkan beberapa di bawah ini:

Merasa tidak enak ("Sungkan menolak dia")
Kasihan ("Aduh bagaimana dia nanti")
Merasa bersalah ("Kalau sampai nanti tidak berhasil, pasti karena saya bilang tidak")
Bangga karena dibutuhkan ("Aduh senangnya dibutuhkan dan dipuji")

Kalau anda termasuk orang yang sulit berkata "tidak". Alasan mana yang paling sering menjadi alasan anda?

Saya tidak bermaksud untuk cynical karena saya pun termasuk orang yang sulit berkata "tidak". Dan saya tahu bahwa di samping alasan-alasan di atas, kita mungkin juga punya alasan-alasan yang baik. Tetapi satu hal yang harus kita ingat adalah: ketika kita berkata "ya" kepada sesuatu, kita sedang berkata "tidak" kepada yang lain.

Bagaimana bisa begitu? Waktu kita sangat terbatas, 24 jam setiap hari. Ada begitu banyak hal yang harus kita lakukan, maka kalau kita bukan orang malas, pasti dengan mudah 24 jam itu terisi. Setiap kali kita berkata "ya", kita sedang mengisi jadwal kita dan pada saat yang sama kita sedang berkata "tidak" kepada yang lain karena jadwal sudah penuh. Ini bukan masalah tentang hal yang baik dan buruk karena mungkin pilihannya semua baik. Tetapi kita tetap harus memilih mana yang harus kita lakukan.

Maka pilihannya sebenarnya bukan apakah saya harus berkata "ya" atau "tidak", tetapi yang mana yang harus saya iya-kan. Apakah kita ingin mengisi sendiri agenda kita, dengan hal-hal yang memang seharusnya kita iya-kan, atau kita biarkan orang lain yang mengisi agenda kita, dengan berkata ini dan itu yang harus kita iya-kan?

Hidup dengan tujuan adalah hidup yang tahu kapan harus berkata "ya" dan kapan harus berkata "tidak".