Thursday, December 23, 2010

Ssstt... Natal Tinggal Dua Hari Lagi

Ssstt... Natal tinggal dua hari lagi...

Kita tahu bahwa hari Natal yang dirayakan tiap tahun tidaklah berbeda dengan hari-hari lain. Tiap Minggu kita juga beribadah di gereja menyembah Tuhan yang sudah lahir, mati dan bangkit. Tiap Minggu kita juga mengingat akan kebesaran dan kasih Tuhan. Lalu apa bedanya Natal dengan minggu-minggu lain?

Kita manusia terikat oleh waktu. Kita hidup di dalam waktu. Itu sebabnya kita selalu belajar dari mengikuti ritme waktu. Hari-hari yang berharga kita peringati, seperti hari ulang tahun kita, hari pernikahan kita, atau hari baptisan kita. Untuk apa? Untuk mengajar kita beroleh hati yang bijaksana. Juga ada hari-hari yang kita pakai untuk mengingatkan kita akan sesuatu yang baik, seperti hari kasih sayang, hari guru, hari papa, hari mama, dan seterusnya. Kita perlu semua itu karena kita ini makhluk pelupa! Kita perlu semua itu untuk terus 'men-tune' ritme hidup kita yang gampang terombang-ambing ini.

Maka Tuhan juga mengajar kita melalui ritme waktu: hari Sabat menjadi hari perhentian, ada hari ibadah untuk datang kepada Tuhan dan ada hari-hari raya untuk mengingat karya Tuhan. Walaupun tiap hari kita bisa berhenti kerja, beribadah dan mengingat karya Tuhan, tapi kita perlu ada hari-hari khusus lagi untuk semua itu. Hari-hari seperti itu akan membentuk ritme hidup kita dan memberi kita kekuatan untuk hidup dengan bijaksana.

Saya kira itulah Natal. Kebaktian Natal memang tidak beda esensinya dengan kebaktian yang kita lakukan minggu demi minggu. Tapi karena ritme waktu, setiap tahun ada satu hari yang khusus kita pakai untuk mengingatkan kita akan kasih Tuhan yang Dia nyatakan pada waktu Natal. Tiap tahun, hari itu kita khususkan untuk mengingat hadiah yang Allah berikan bagi kita: Allah jadi manusia!

Natal tinggal dua hari lagi. Khususkanlah hari itu! Biarkan Roh Kudus sekali lagi menyegarkan hatimu, dengar Dia berbisik: Ssstt... Allah mengasihimu!

Selamat Natal!

Sunday, November 28, 2010

Pelayanan Anak Muda

Salah satu karunia yang saya sadar Tuhan berikan kepada saya adalah melayani anak muda. Saya sangat suka dengan anak muda, berbaur dengan mereka, menemani mereka dalam pergumulan hidup dan perjalanan hidup rohani mereka.

Saya berasal dari sebuah gereja kecil di Jakarta. Di situ saya melayani sebagai pembimbing remaja. Dan di situ juga saya mulai mengembangkan kesukaan saya melayani anak muda. Pada waktu masuk ke sekolah teologi, saya harus mengakui bahwa sekolah teologi tidak mengembangkan kesukaan saya melayani anak muda. Sebaliknya saya menjadi makin kaku dan ja'im.

Satu tahun praktek pelayanan di gereja tidak mengubah itu. Satu tahun berikutnya melayani di sebuah gereja yang isinya 99% anak muda hanya berhasil mengubah saya sedikit. Satu tahun berikutnya lagi melayani sebagai misionaris juga tidak mengubah apa-apa, kecuali 1 hal yang penting: membuat saya kangen dengan suasana persekutuan yang hangat, khususnya di tengah anak muda seperti yang pernah saya alami. Pelayanan selama lima tahun berikutnya di tengah anak-anak muda GKY Green Ville barulah mengubah segalanya. I always thank God for them.



Saya tidak pernah merasa ahli dalam pelayanan anak muda, bahkan saya merasa kurang sekali belajar melayani anak muda. Saya hanya berusaha menyediakan diri untuk menjadi 'koko' dan 'bapak' rohani mereka walaupun tidak selalu berhasil.

Ada beberapa concern saya akan pelayanan anak muda di gereja-gereja, khususnya gereja Injili:

1. Kebanyakan gereja tidak punya hamba Tuhan yang khusus melayani anak muda, youth pastor. Kalaupun punya, coba lihat siapa yang dijadikan youth pastor? Biasanya mereka yang baru lulus sekolah teologi. Alasannya? Kamu muda, maka ya cocoknya pelayanan anak muda. Dan begitu hamba Tuhan itu makin senior, makin berkembang, dia dipindahkan ke tempat lain. Mungkin menjadi pembina komisi yang lebih dewasa atau bahkan sebagai gembala gereja. Maka pelayanan anak muda selalu sekedar menjadi 'batu loncatan', persiapan menuju pelayanan lain yang 'lebih penting'.

2. Sekolah teologi tidak mempersiapkan orang untuk menjadi youth pastor. Pelayanan anak muda (Youth ministry) biasanya diajarkan hanya sebagai teori. Dan sangat jarang lulusan sekolah teologi yang punya passion untuk pelayanan anak muda. Biasanya (kebanyakan) lulusan sekolah teologi akan mengatakan mereka suka 'pembinaan', suka 'mengajar'. Terus terang saya tidak pernah mengerti apa yang mereka maksud dengan 'pembinaan' dan 'mengajar'. Membina siapa? Mengajar apa? Untuk menjadi seperti apa? Apa yang mau diajarkan (bukan materi yang saya maksudkan)?

Seringkali orang mengatakan "anak muda adalah masa depan gereja". Satu sisi, saya setuju. Mereka adalah masa depan gereja, artinya di masa depan merekalah yang akan menjadi pemimpin-pemimpin gereja. Tapi di sisi lain, saya tidak setuju. Menjadikan anak muda hanya sebagai "masa depan gereja" membuat mereka tidak penting di "masa ini". Masa ini, hari ini, mereka adalah anak Tuhan yang harus dirangkul dan dituntun karena hari ini pun hidup mereka berharga bagi Tuhan.

Saya bersyukur bahwa sekarang pun Tuhan masih memberikan saya kesempatan melayani anak muda, di GKY Singapore. I also thank God for them. Tapi kesulitan waktu seringkali membuat saya menyesal tidak bisa berbuat lebih banyak untuk mereka.


Saya tidak tahu pelayanan apa yang akan saya lakukan nanti setelah menyelesaikan studi saya di Singapore. Saya tidak merindukan jabatan, saya hanya merindukan fungsi, mengerjakan yang harus saya kerjakan. Tapi kemanapun, saya akan terus membagikan concern akan pelayanan anak muda.

Sunday, November 21, 2010

The Summons

Tanpa terasa sudah satu setengah tahun saya di TTC. Tapi karena masalah semester lalu, maka semester yang baru selesai ini adalah semester kedua bagi saya. Sama seperti pada waktu penutupan semester pertama (silakan lihat di sini), saya pun bersyukur dan terharu pada penutupan semester kedua ini.

Di dalam kebaktian penutupan semester 12 November yang lalu, ada sebuah lagu yang dinyanyikan: The Summons. Saya pernah mendengar dan menyanyikan lagu itu sebelumnya, tapi hari itu hati saya sangat tersentuh. Saya percaya lagu itu diurapi Tuhan untuk menyentuh hati banyak orang karena saya tahu ada 2 teman yang juga menulis di blognya tentang lagu ini.

Di bawah ini adalah teksnya:

Will you come and follow me if I but call your name?
Will you go where you don’t know and never be the same?
Will you let my love be shown
Will you let my name be known
Will you let my life be grown in you and you in me?
 
Sejujurnya saya bertanya kepada diri sendiri, "will I ?" Selama beberapa waktu ini saya banyak merenungi hidup rasul Paulus. Paulus adalah orang besar, bukan sekedar karena dirinya, tapi karena ketaatannya pada Tuhan. Saya ingin taat kepada Tuhan seperti dia, tapi maukah saya? It's not easy!


Will you leave yourself behind if I but call your name?
Will you care for cruel and kind and never be the same?
Will you risk the hostile stare
Should your life attract or scare?
Will you let me answer pray’r in you and you in me?
 
Saya ingat ketika Paulus disalahmengerti bahkan difitnah. Dia tanggung itu bagi Tuhan dan bagi gereja yang sangat berharga bagi Tuhan. Hidup dia menarik banyak orang tapi juga dibenci banyak orang. Ada kalanya dia sangat keras ketika menyangkut prinsip, ada kalanya dia menasihati dengan tegas, dan ada kalanya dia lembut. Tapi dia biarkan Tuhan bekerja melalui dia, merawat gereja Tuhan dan menanggung resiko karenanya.


Will you let the blinded see if I but call your name?
Will you set the pris’ners free and never be the same?
Will you kiss the leper clean
And do such as this unseen,
And admit to what I mean in you and you in me?
 
Kadang saya bisa melakukan pekerjaan yang tidak dilihat orang, menolong orang yang kesulitan, berdoa bagi banyak hal, menemani mereka yang sedang sedih, menjadi teman di saat kesusahan, mempersiapkan mereka yang akan meninggal, menghabiskan waktu entah berapa banyak untuk menuntun satu orang demi satu orang. Tapi bisakah ketika orang tidak melihat semua itu dan menuduh saya salah, saya hanya berkata dalam hati bahwa saya melakukan maksud Tuhan?


Will you love the “you” you hide if I but call your name?
Will you quell the fear inside and never be the same?
Will you use the faith you’ve found
To reshape the world around
Through my sight and touch and sound in you and you in me?
 
Pelayanan keluar dari dalam hidup yang ada tatapan, sentuhan, suara Tuhan. Hidup seperti itu akan membentuk sekitarnya. Ketika Tuhan sungguh ada di dalam hati, seperti air yang merembes masuk ke setiap pori-pori hati kita, ah... betapa bedanya hidup kita. Tapi pertanyaannya, seberapa dalam saya menempatkan Tuhan di dalam hati dan hidup saya?


Lord, your summons echoes true when you but call me name
Let me turn and follow you and never be the same
In your company I’ll go
Where your love and footsteps show
Thus I’ll move and live and grow in you and you in me. 

Ah, ini bagian yang paling sulit. Seringkali orang berpikir bahwa ketika seseorang menjadi hamba Tuhan, dia sudah menyambut panggilan Tuhan menyerahkan diri sepenuhnya. Salah! Menyambut panggilan menjadi hamba Tuhan adalah mengambil 1 langkah ketaatan, tapi mengikut Tuhan adalah pilihan yang harus terus dibuat seumur hidup. Langkah ketaatan itu harus terus diambil. Dan saya sangat ingin mengikut Tuhan, bersama Tuhan dan bertumbuh di dalam Tuhan, terus menerus, tapi saya lemah.
 
Tuhan, perdengarkanlah lagi panggilanMu. Tunjukkanlah kasih dan jejak langkahMu. Supaya saya bergerak, hidup dan bertumbuh di dalam Engkau dan Engkau di dalam saya. Tolonglah saya yang lemah.

Thursday, November 18, 2010

Kisah Para Rasul 18: Kekuatan

(Saya pernah menulis artikel ini di dalam bahasa Inggris di sini. Saya pikir sebaiknya ini saya terjemahkan dalam bahasa Indonesia saja)

Kis 18 dimulai dengan kalimat: "Kemudian Paulus meninggalkan Atena, lalu pergi ke Korintus." Dari Atena, Paulus pergi ke Korintus, dan Lukas tidak menceritakan bagaimana kondisi Paulus. Tetapi di dalam surat 1 Korintus, Paulus menceritakan apa yang dia rasakan waktu dia tiba di Korintus: "Aku juga telah datang kepadamu dalam kelemahan dan dengan sangat takut dan gentar." Kenapa? Beberapa penafsir Alkitab mengatakan bahwa mungkin pelayanan Paulus di Atena gagal. Dan itu sebabnya Paulus pergi ke Korintus dengan perasaan yang masih kacau, dengan kelemahan, ketakutan dan gemetar (trembling). Kita tidak tahu pasti mengenai itu.

Apapun penyebabnya, tapi Paulus memberi tahu kita bahwa pada waktu ia tiba di Korintus, ia sedang sangat membutuhkan kekuatan. Paulus sangat lemah waktu itu, ketakutan dan bahkan gemetar. Bagaimana dia bisa meneruskan pelayanannya sebagai misionaris?

Sangat indah ketika Lukas kemudian memberitahu kita bagaimana Tuhan memberikan Paulus apa yang dia butuhkan, kekuatan di saat lemah:

1. Paulus bertemu dengan Akwila dan Priskila (Kis 18:2-3). Akwila dan Priskila adalah sepasang suami istri yang datang dari Roma dan pekerjaan mereka sama seperti Paulus, tukang kemah. Lukas mengatakan bahwa Paulus tinggal bersama-sama mereka dan bekerja bersama-sama mereka. Di tengah keadaan tertekan, pasti sangat menguatkan bagi Paulus bertemu dengan saudara dan saudari seiman, dan saya yakin Paulus menikmati persekutuan dengan mereka ketika ia tinggal dan bekerja bersama mereka.

2. Silas dan Timotius datang (Kis 18:5). Mereka adalah rekan sekerja Paulus yang datang dari Makedonia. Paulus pasti menikmati pertolongan dan kebersamaan dengan mereka. Tetapi Lukas juga mengatakan bahwa ketika mereka datang, Paulus dengan sepenuhnya dapat memberitakan firman. Dia tidak perlu lagi bekerja! Mungkin itu karena Silas dan Timotius membawakan bantuan bagi Paulus dari orang Kristen di Makedonia. Di dalam suratnya, Paulus pernah berterima kasih kepada orang Kristen Makedonia karena mengirim bantuan kepadanya berkali-kali ketika ia sedang membutuhkan (Fil 4:15-16) dan kali itu mungkin adalah salah satunya.

3. Buah pekerjaannya (Kis 18:7-8). Banyak orang Korintus yang mendengar khotbah Paulus menjadi percaya dan dibaptis. Sangat menguatkan bagi Paulus ketika dia tahu bahwa pekerjaannya tidak sia-sia karena dia melihat bahwa Tuhan memberkati pekerjaannya. Bagi setiap kita yang melayani, saya percaya kita tahu rasanya melihat pelayanan kita diberkati dan berbuah.

4. Penglihatan surgawi. Yesus sendiri menguatkan dia melalui penglihatan dan berkata: "Jangan takut!... Sebab Aku menyertai engkau..." (Kis 18:9-10)

Betapa baiknya Tuhan! Dia tahu apa yang dibutuhkan hamba-Nya. Sekalipun Paulus datang ke Korintus dalam kelemahan, ketakutan dan gemetar, ia sangat dikuatkan melalui banyak hal. Tidak heran Lukas kemudian menulis: "Maka tinggallah Paulus di situ selama satu tahun enam bulan dan ia mengajarkan firman Allah di tengah-tengah mereka" (Kis 18:11). Paulus mampu melanjutkan pelayanannya karena Tuhan menguatkan dan memampukan dia. Dia pasti disegarkan oleh kasih, persahabatan dan pertolongan dari orang Kristen lain. Dia dipenuhi dengan sukacita ketika melihat buah pelayanannya. Dan dia sangat tersentuh ketika Yesus sendiri sekali lagi mengkonfirmasi bahwa Dia bersama dengan Paulus terus menerus. Apa lagi yang dia butuhkan?

Saya percaya bahwa Tuhan juga memberikan kita, setiap kita yang melayani Dia, kekuatan demi kekuatan. Kalau tidak bagaimana kita bisa terus mampu melanjutkan pelayanan kita? Tuhan itu baik dan Dia tahu yang kita perlukan.

Lihatlah kekuatan dari Tuhan! Lihatlah pertolonganNya! Dan biarlah kita selalu memuji Dia karena Dia baik.

Monday, October 25, 2010

Hosana

Seruan "Hosana" di dalam Perjanjian Baru hanya muncul di dalam cerita Yesus memasuki kota Yerusalem. Orang banyak menyambut Yesus sambil berseru-seru: "Hosana! Hosana!"

Hosana berasal dari bahasa Ibrani - yang jika dituliskan menjadi - "hoshi'ah na". Di dalam bahasa Yunani dituliskan menjadi "hosanna".

Di dalam Perjanjian Lama, istilah ini muncul beberapa kali di dalam Mazmur (di dalam Alkitab bahasa Indonesia, di Perjanjian Lama tidak ada kata ini karena ia diterjemahkan dan tidak dituliskan langsung). "Hoshi'ah na" adalah seruan kepada Tuhan yang menyatakan doa supaya Tuhan menolong dan memberikan kemenangan. Maka di dalam Alkitab bahasa Indonesia, "hoshi'ah na" itu diterjemahkan menjadi "selamatkanlah", "berikanlah keselamatan", atau "berilah kiranya keselamatan". Lama kelamaan orang Yahudi mengubah seruan minta tolong ini menjadi seruan perayaan, seruan pembebasan. Dan orang Yahudi bahkan kemudian menafsirkan seruan ini sebagai seruan pengharapan mereka akan Mesias.

Itulah sebabnya pada waktu Yesus masuk ke Yerusalem dengan menunggangi keledai muda, orang banyak yang sedang berkobar-kobar mengharapkan Mesias, bersama-sama berseru "Hosana! Hosana!". Perhatikan perkataan mereka "diberkatilah kerajaan yang akan datang, kerajaan bapak kita Daud.." (Markus 11:9). Harapan mereka saat itu sedang sangat tinggi. Dan seruan mereka "Hosana!" adalah seruan "berikanlah keselamatan" atau mungkin seruan pembebasan "inilah pertolongan dari Tuhan, inilah keselamatan dari Tuhan, Tuhan menolong kita, Hosana!"

Hari ini, pada waktu kita juga berseru "Hosana!" atau "Hosiana!", biar kita ingat bahwa seruan kita "selamatkanlah kami" atau "Tuhan menolong kita" sudah digenapi di dalam Yesus. Jadikan ini seruan pembebasan. Tuhan sungguh sudah menolong kita! Hosana!

Wednesday, October 20, 2010

Kecintaan Pada Firman Tuhan

Hari ini kuliah terakhir New Testament Exegesis (kuliah yang saya ikuti sebagai pendengar).

Sepanjang kuliah selama 1 semester ini, kami sudah dibuat terkagum2 dengan keahlian Prof. Tan Kim Huat dalam mengeksegesis. Kadang-kadang saya pikir kapan ya bisa seperti itu? Walaupun dia sangat baik dalam memberikan penjelasan tetapi saya dan juga banyak murid lain yang terintimidasi, khususnya karena masalah bahasa Yunani.

Hari ini di akhir dari kuliahnya Prof. Tan menyampaikan final speech yang sangat berkesan bagi kami. Dia menceritakan kerinduannya melihat munculnya orang-orang yang serius mempelajari bahasa untuk menterjemahkan Alkitab ke dalam bahasa masing-masing dan dia menceritakan keinginannya supaya setiap kami terus melakukan eksegesis. Dia tahu bahwa sangat mungkin kami semua dengan cepat melupakan morfologi bahasa Yunani, yang menurut dia tidak terlalu masalah dengan banyaknya tools yang ada sekarang ini, tapi dia tekankan jangan lupakan grammar! Baca Alkitab dalam bahasa Yunani, ingat grammar-nya, pikirkan, eksegesis!

Prof. Tan kemudian juga bercerita tentang Karl Barth. Ketika murid2 Karl Barth bertanya bahwa setelah semua eksegesis, penelitiannya dan kerja kerasnya, apa yang bisa dia simpulkan? Dan Barth berkata: JESUS LOVES ME! Sampai di kalimat itu, kami bisa mendengar suara Prof. Tan bergetar dan kami melihat matanya berkaca-kaca. Semua langsung terdiam.

Karl Barth adalah teolog besar yang berprinsip selalu mulai dulu dari Alkitab. Dia mulai dengan Alkitab, baru belajar teologi dan hal-hal lain yang lebih luas. Tapi selalu kembali ke Alkitab dulu.

Prof. Tan kemudian juga bercerita tentang seorang ahli Perjanjian Lama yang dari muda sudah menetapkan hati untuk mempelajari Perjanjian Lama karena melihat begitu banyak orang mengkritisi Perjanjian Lama dan tidak percaya lagi dengan Tuhan. Orang itu berpikir bahwa dia akan hidup selama 75 tahun, maka dia membagi hidupnya menjadi 3 bagian: 25 tahun pertama hidupnya dia pakai untuk belajar berbagai bahasa yang terkait dengan Perjanjian Lama: Ibrani, Aramaik, Akadian, dan lain-lain. 25 tahun kedua hidupnya dipakai untuk studi dan research mempelajari berbagai macam hal terkait dengan Perjanjian Lama dan seluruh Alkitab. 25 tahun terakhir hidupnya dipakai untuk menulis dan mengajar. Dan dia lakukan itu karena dia mencintai Tuhan. Masih adakah orang-orang seperti ini yang muncul?

Prof. Tan menceritakan bebannya supaya ada orang-orang yang mau belajar keras, mati-matian seperti ahli Perjanjian Lama itu. Dan seharusnya ada orang-orang kaya yang tidak menghabiskan uang untuk kemewahan seperti membeli mobil mewah, tapi memakai uangnya untuk mendukung orang-orang seperti itu belajar.

Sepanjang final speech itu berkali-kali kami mendengar suaranya bergetar lagi dan matanya memerah. Dia katakan bahwa walaupun kami tidak menjadi teolog atau scholar besar, tapi pada waktu kami menggembalakan dan berkhotbah, bukankah seharusnya kami komitmen untuk mempelajari Alkitab sebaik-baiknya? Dan dia ulangi lagi kalimat yang sama: JESUS LOVES ME! Itulah kesimpulan yang didapat pada waktu kita sungguh-sungguh mempelajari Alkitab. Semua orang bisa mengatakan yang sama tapi dengan kedalaman yang berbeda.

Saya sangat tergerak dengan apa yang dia sampaikan. Saya bersyukur untuk orang-orang seperti Prof. Tan yang sangat mencintai Firman Tuhan dan Tuhan pakai untuk menjadi scholar. Saya tahu saya tidak akan menjadi scholar seperti dia, terlambat. Serius! Tapi saya juga punya tugas mengajar dan menggembalakan domba-domba Tuhan dengan Firman Tuhan dan saya masih bisa belajar.

Belajar Alkitab tidak pernah mudah, saya tahu itu. Saya bersyukur diingatkan untuk kembali serius belajar semampu saya supaya saya bisa terus mengkhotbahkan Firman Tuhan. Itu panggilan saya.
Saya sendiri sangat.. sangat.. merindukan ada orang-orang muda yang punya talenta untuk belajar teologi dan punya talenta untuk berkhotbah (dua hal yang jarang), mau mendedikasikan hidupnya untuk belajar dan mengajar Firman Tuhan. Dari semuda mungkin, ketika daya pikir dan daya ingat masih sangat baik, mereka mau mulai. Dan saya juga sedih degan kenyataan bahwa orang-orang muda seperti itu sangat.. sangat.. jarang!

Tuhan, kasihani gereja-Mu! Bagaimana umat-Mu bisa mencintai Firman-Mu kalau tidak ada yang mau belajar dan mengajarkan Firman-Mu dengan penuh cinta?

Tuesday, October 19, 2010

Haleluya

"Haleluya" adalah kata yang sangat akrab bagi orang Kristen. Begitu seringnya kata ini diucapkan

sehingga bahkan banyak orang bukan Kristen pun tahu bahwa yang menyebut "Haleluya" pasti adalah orang Kristen. Tapi apa arti "Haleluya"? Saya yakin banyak orang Kristen yang tidak tahu artinya.

"Haleluya" adalah kata dari bahasa Ibrani (yang jika ditransliterasi seharusnya menjadi "haleluyah", ada tambahan huruf 'h' di belakangnya). "Haleluyah" akar katanya adalah "halal" (he was praised) dan "yah" (singkatan dari Yahweh) ditambahkan pronoun "u" di tengah-tengah maka terjemahannya adalah "Praise (you) Yahweh", atau terjemahan bebasnya: Kamu semua pujilah TUHAN (Yahweh)!

Kata ini adalah ajakan bagi jemaat untuk memuji Tuhan dan mengharapkan respons. Pemimpin akan berseru: "Kamu semua pujilah TUHAN!" dan jemaat berespon dengan memuji Tuhan.

Lama kelamaan kata ini dipakai secara independen sebagai ungkapan pujian bagi Tuhan. Maka ketika orang ingin memuji Tuhan, dia bisa langsung mengatakan "Haleluya!" (bukan lagi sebagai ajakan). Maka mungkin terjemahannya menjadi: "Puji Tuhan!"

Di dalam Perjanjian Lama, kata "Haleluya" hanya muncul di Mazmur (23X). Tapi kata ini juga muncul di kitab-kitab lain di luar Alkitab yang ditulis sebelum Perjanjian Baru ditulis, menandakan bahwa orang Yahudi terus memakai kata ini dalam ibadah mereka. Di dalam Perjanjian Baru, kata "Haleluya" muncul di Wahyu (4X) dan ini menandakan bahwa kata ini juga biasa dipakai oleh orang Kristen dalam ibadah mereka.

Di kitab Wahyu, semua kata "Haleluya" munculnya adalah di Wahyu 19, berulang-ulang seperti refrain lagu. Dan Wahyu 19 adalah bagian penutup dari kitab Wahyu: nyanyian kemenangan bagi Anak Domba Allah, Yesus Kristus. Saat itu, seluruh dunia akan berseru bersama-sama "Haleluya! Pujilah Yahweh!"

Mari kita ingat, pada waktu kita mendengar kata ini diucapkan "Haleluya!", kita juga bisa berkata "Puji Tuhan! Puji Allah kita! Haleluya!"

Monday, September 06, 2010

Talking In a Different Level

Saya sedang mengalami krisis, sebut saja krisis pengetahuan komprehensif (nggak tahu apakah istilah ini tepat). Maksudnya begini, dulu waktu masih mahasiswa di Trisakti, saya pernah ikut sekolah teologi malam, ikut kelas PA dan memimpin kelompok PA, dan juga membaca buku-buku teologi. Dengan pengetahuan yang saya dapat dari semua itu, saya cukup 'mampu' menjawab berbagai pertanyaan teologis. Saya bahkan berani membuka sesi tanya jawab di depan remaja-remaja yang saya layani.

Pada waktu saya masuk ke sekolah teologi full time, makin banyak belajar, dan kemudian makin banyak melayani, saya merasa makin 'mampu' lagi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan teologis. Saya ingat seorang dosen saya bertanya "siapa yang berani membuka sesi tanya jawab pada waktu berkhotbah?", dan dia yakin tidak ada dari kami yang berani karena sesi tanya jawab berarti siap menjawab pertanyaan apapun yang mungkin muncul. Tapi -dalam hati- saya tidak mengerti kenapa tidak berani karena saya bahkan sudah melakukannya sebelum masuk sekolah teologi. Mungkin saya sombong waktu itu :-(

Tapi setelah sekian tahun melayani, akhirnya saya mulai mengerti. Saya mulai tidak berani dan kadang saya agak bingung "kok dulu saya berani banget ya???" Saya masih berani membuka sesi tanya jawab, tapi ada hal-hal yang saya rasa lain dengan dulu. Saya tidak seberani dan seyakin dulu di dalam beberapa hal. Apa yang terjadi?

Sekarang saya sedang studi di program M.Th. Ada banyak pengetahuan yang masuk di kepala saya. Ada banyak pikiran-pikiran saya yang dipoles dan ditantang. Dan saya menemukan bahwa saya makin tidak berani lagi. Di dalam menjawab, di dalam mengungkapkan sesuatu, saya cenderung sangat berhati-hati karena saya tahu 'lubang-lubang'nya. Saya tahu tidak bisa ngomong begitu, tidak terlalu tepat dirumuskan begini, ada kemungkinan bukan begitu, dst. Apa yang terjadi?

Seorang profesor saya mengatakan, pada waktu kita makin belajar, dari yang 'tahu' bisa menjadi 'tidak tahu'. Sebetulnya bukannya kita jadi tidak tahu, tapi kita berbicara dalam level yang berbeda. We are talking in a different level. Apa yang dulu kita tahu mungkin tidak salah, tapi karena sekarang kita masuk ke dalam level pembicaraan yang berbeda, baru kita temukan bahwa apa yang dulu kita pikir kita tahu ternyata masih banyak kurangnya. Itu sebabnya kita jadi merasa tidak tahu.

Kalau boleh pakai perumpamaan (yang pasti tidak 100% pas): Seperti suatu bangunan. Ide, konsep, berbagai pengetahuan teologis adalah rangka besinya, tapi untuk membuatnya menjadi bangunan yang kuat, kita perlu pasir dan semen yang mengisi ruang di antaranya. Dulu bangunan teologis saya itu sudah jadi, tapi kemudian saya belajar lagi, rangka besi ditambah lagi, ada yang direnovasi lagi, maka in a different level, bangunan itu bolong lagi dan harus kembali diisi dengan pasir dan semen.

Studi teologi memerlukan waktu yang sangat panjang. Kita harus belajar dulu berbagai pengetahuan, lalu meresapinya, memikirkan implikasinya, kaitannya dengan berbagai hal lain, barulah itu menjadi bangunan. Dan ketika kita terus belajar, akan ada lagi rangka besi lain yang ditambahkan dan perlu direnovasi, maka sekali lagi in a different level bangunan itu bolong lagi dan harus kembali diisi dengan pasir dan semen. Demikian seterusnya.

Saya berharap krisis ini tidak berkepanjangan. Saya harap bisa menemukan cara dan kesempatan untuk kembali menata rangka-rangka besi baru ini menjadi struktur yang kuat dan kembali mengisinya menjadi bangunan lagi.

Satu hal terakhir, saya jadi terpikir, alangkah bahayanya kalau kita sudah terlalu lama merasa fine dengan bangunan teologis kita. Karena mungkin itu berarti kita sudah lama berhenti belajar. Tidak ada lagi sesuatu yang ditambahkan dan dibangun disitu. Dan celakanya, bangunan teologis yang berhenti dibangun, bukan berarti tidak akan berubah tingginya tapi justru akan makin rendah.

Monday, August 23, 2010

Customer Service

Beberapa bulan lalu ada diskusi di koran-koran Singapore tentang penerapan service charge di restoran. Service charge biasanya dikenakan kepada setiap konsumen untuk kemudian dibagikan kepada para karyawan. Sebagian berpendapat ini baik supaya karyawan bekerja tanpa mengharapkan tip dan memilih-milih konsumen. Sebagian  lagi berpendapat cara seperti ini sering di-abuse oleh pihak manajemen yang tidak pernah membagikannya kepada para karyawan. Maka lebih baik mengizinkan pemberian tip sukarela karena akan memacu karyawan untuk memberikan pelayanan yang baik dan juga sebagai evaluasi bagi diri mereka.

Perdebatannya sebetulnya hanyalah seputar sistem mana yang terbaik untuk menghasilkan pelayanan yang baik di industri jasa itu. Satu prinsip dasar yang ada di balik semua itu adalah, mereka akan memberikan pelayanan yang baik kalau itu menguntungkan bagi mereka. Senyum, muka ramah, sikap sopan, pelayanan yang cepat, semua bukan karena mereka senang dan ingin melakukannya tetapi karena itu menguntungkan. Si pemberi jasa berada di posisi yang 'lebih rendah', ia diharapkan untuk melayani, ia diharapkan untuk berbuat seperti yang diinginkan oleh konsumen. Dan kalau konsumen puas, maka dia juga menerima keuntungan. Sekalipun tanpa tip atau service charge, paling tidak si karyawan akan tetap memberi pelayanan yang baik karena takut kepada supervisor yang mengawasi.

Sekarang bayangkan kalau si pemberi jasa berada di posisi yang 'lebih tinggi' dan dia tidak menerima keuntungan apa-apa dari puas atau tidaknya si konsumen. Dia menerima keuntungan kalau atasannya senang bukan kalau anda senang, Misalnya: dosen, administrasi di sekolah dan pegawai kantor pemerintah. Mereka adalah pemberi jasa tapi dalam pengertian tertentu berada di atas yang diberikan jasa. Dosen memberikan nilai. Sekolah bisa menghentikan proses belajar. Administrasi bisa mempermudah/mempersulit. Kantor pemerintah bisa menahan, menghukum atau menolak izin tertentu. Saat itu, kondisi terbalik. Anda marah, anda yang sulit! Apakah pelayanan yang diberikan tetap baik? Apa betul si 'karyawan' berusaha dengan sopan, ramah, dan murah hati, melayani?

Tentu bukan maksud saya bahwa murid itu raja atau rakyat itu bebas berbuat apa saja dan dosen atau pegawai pemerintah harus memenuhi semua permintaan. Tapi mari pikir ulang apa itu service? Apa itu pelayanan? Dalam dunia yang sangat mementingkan diri, sebetulnya tidak ada yang pernah mengerti apa itu pelayanan. Masing-masing melayani hanya kalau menguntungkan dan kalau saya berada di posisi 'lebih rendah'.

Saya jadi membandingkannya lagi dengan gereja dan sekolah teologi. Bagaimana sikap para hamba Tuhan senior terhadap yang yunior? Bagaimana sikap para dosen yang bisa menentukan 'hidup/mati'nya murid dengan nilai dan kebijakan? Bagaimana sikap para karyawan di tata usaha gereja atau administrasi sekolah teologi? Apakah mereka melayani dengan baik? Memperlakukan yang dilayani dengan baik? Merendahkan diri untuk melayani?

Alangkah ironisnya kalau kita sebagai orang kristen juga ikut aturan main dunia - cari apa yang menguntungkan, bermain tinggi rendah posisi, memberikan profesionalitas tanpa pelayanan - dan bukan aturan main Tuhan. Kita tidak pernah boleh lupa apa yang Firman Tuhan ajarkan:

"Saudara-saudara, memang kamu telah dipanggil untuk merdeka. Tetapi janganlah kamu mempergunakan kemerdekaan itu sebagai kesempatan untuk kehidupan dalam dosa, melainkan layanilah seorang akan yang lain oleh kasih" (Gal 5:13)

"dan rendahkanlah dirimu seorang akan yang lain di dalam takut akan Kristus" (Ef 5:21)

Apakah kita lakukan itu? Dimana contoh keteladanan pelayanan hari ini? Mengapa makin jarang?

Thursday, August 19, 2010

Filemon 5

Di dalam kuliah dengan Prof. Tan Kim Huat, muncul 1 ayat yang membuat saya kaget, Filemon 5. Di dalam bahasa Yunani, ayat itu bisa diterjemahkan begini (perhatikan urutannya):

"Because I hear about your love and your faith which you have toward the Lord Jesus and to all the saints"

Di dalam bahasa Inggris tidak ada masalah yang jelas terlihat (walaupun sebenarnya ada). Tetapi di dalam bahasa Yunani masalahnya segera terlihat. Kata yang diterjemahkan sebagai "which" di dalam bahasa Yunani berbentuk singular. Padahal Paulus mengatakan "your love" dan "your faith", ada dua. Artinya hanya satu yang ditujukan "toward the Lord Jesus and to all the saints" yaitu "faith". Paulus mendengar tentang kasih Filemon dan tentang iman Filemon kepada Tuhan Yesus dan semua orang kudus.

Ini sulit diterima oleh banyak orang karena bagaimana kita beriman kepada Yesus dan semua orang kudus? Beriman kepada Yesus ok, tapi kepada semua orang kudus? Ini mengganggu doktrin kita.
Menarik sekali bahwa kebingungan ini bukan hanya dialami oleh kita tapi bahkan oleh orang-orang Kristen di masa lalu. Di dalam Codex Bezae (dari abad V) dan beberapa naskah salinan Alkitab yang belakangan, urutan kalimatnya dibalik menjadi: "I hear about your faith and your love which you have toward the Lord Jesus and to all the saints" Perfect! Dengan urutan begini maka tidak ada masalah. Paulus mendengar tentang iman Filemon dan tentang kasihnya (bukan imannya) kepada Yesus dan kepada semua orang kudus. Tapi naskah-naskah yang lebih kuno, bukti-bukti yang ada menunjukkan bahwa itu salah.

Yang mengejutkan saya adalah NIV sebagai versi Alkitab yang paling banyak dipakai di kalangan Injili (termasuk di Indonesia) memberikan solusi yang lebih kreatif. Mereka menuliskannya begini: "I hear about your faith in the Lord Jesus and your love for all the saints". Brilian! Mereka pisahkan: "iman kepada Yesus" dan "kasih kepada semua orang kudus". Secara doktrin tepat, iman ya kepada Yesus, kepada orang kudus bukan iman tapi kasih.

Tapi yang menyedihkan saya adalah terjemahan itu tidak setia dengan Alkitab! Naskah Yunani mana yang mereka pakai sehingga mereka berani menterjemahkannya begitu?

Dan saya membuka Alkitab bahasa Indonesia (LAI), ternyata.... terjemahannya sama seperti NIV (hanya dibalik lagi): "aku mendengar tentang kasihmu kepada semua orang kudus dan tentang imanmu kepada Tuhan Yesus".

Mungkin sebagian ada yang merasa "ah, hal kecil begini kok diperdebatkan". Betul, ini hal kecil dalam arti tidak akan mengubah apapun tentang kebenaran Kristen. Tapi bagi saya ini hal besar dalam arti ada prinsip yang sangat penting di balik ini: kesetiaan kepada Firman Tuhan.

Argumen dari Douglas Moo dalam PNTC: The Letters to the Colossians and to Philemon bahwa karena Paulus biasanya bicara tentang "iman kepada Yesus" dan "kasih kepada orang kudus" (Kol 1:4, Ef 1:15) maka disini Paulus juga bermaksud seperti itu, tidak bisa diterima. Paulus bisa berbicara dengan maksud dan kalimat yang lain di setiap suratnya. Demikian pula dengan usaha Douglas Moo untuk membuat ayat ini berbentuk kiastik A-B-B'-A' terlalu dipaksakan. Pertanyaannya tetaplah: apa yang dikatakan oleh Alkitab?

Bagaimanapun sulitnya mengerti kalimat Paulus, tapi pertama, terima dulu apa yang dikatakan oleh Alkitab. Istilah "iman" (pistis) bisa berarti faithfulness, kesetiaan. Maka ayat ini bisa berarti Paulus mendengar tentang kasih Filemon dan tentang iman (pistis) Filemon kepada Yesus dan kesetiaan (pistis) Filemon kepada semua orang kudus (orang percaya). Mungkin ada tafsiran lain yang lebih baik. Tapi pada intinya, terima dulu kesaksian Alkitab baru kita renungkan maksudnya.

Kesedihan saya adalah mengapa orang Kristen, orang Injili yang seringkali menyatakan diri setia kepada Firman Tuhan, ternyata lebih setia pada doktrinnya daripada kesaksian Alkitab sendiri?

Monday, August 16, 2010

Pembasuhan Kaki

Selama Retreat GKY Singapore 8-10 Agustus 2010 di Johor Bahru, ada banyak sukacita,
pengalaman, keindahan sentuhan Tuhan yang kami rasakan. Dalam banyak kesempatan, Retreat itu masih menjadi topik pembicaraan di antara para peserta. Salah satu momen yang sangat berkesan bagi mereka adalah ketika saya membasuh kaki empat orang jemaat. Hampir semua orang menangis pada waktu itu.

Menarik mendengarkan bagaimana momen itu menyentuh mereka. Ada yang menangis karena melihat peristiwa itu mengingatkan bahwa mereka harus melayani lebih sungguh. Ada yang menangis karena melihat saya sebagai gembala membasuh kaki. Ada yang bahkan tidak tahu kenapa menangis!

Beberapa orang ada yang bertanya apa yang saya rasakan pada waktu itu. Ada yang mengira bahwa momen itu berbicara dengan kuat kepada mereka yang dibasuh kakinya dan bukan kepada saya yang membasuh. Tidak ada yang tahu, saya juga menangis waktu itu. Pada waktu saya berjalan ke depan dengan handuk di tangan, saya menangis. Momen itu berbicara dengan sangat kuat juga kepada saya.

Yohanes adalah satu-satunya penulis Injil yang mengganti peristiwa perjamuan makan terakhir dengan pembasuhan kaki. Semua penulis Injil bercerita bahwa di malam terakhir itu, Yesus mengadakan perjamuan makan terakhir dengan murid-muridNya. Tapi Yohanes sama sekali tidak menyebut itu dan dia menggantinya dengan peristiwa pembasuhan kaki. Mungkinkah Yohanes sengaja menceritakan ini karena waktu itu orang-orang Kristen sudah mulai berebut kedudukan, mulai berebut menjadi yang terbesar, mulai melupakan kasih dan pelayanan? Bahwa di malam terakhir sebelum Yesus disalib, Dia membasuh kaki murid-muridNya dan meminta mereka saling membasuh kaki satu sama lain.

Kalau kita membaca Yoh 13, gambaran yang diberikan sangat kuat: Yesus telah tahu, bahwa saat-Nya sudah tiba untuk beralih dari dunia ini kepada Bapa. Sama seperti Ia senantiasa mengasihi murid-muridNya demikianlah sekarang Ia mengasihi mereka sampai kepada kesudahannya (13:1), Iblis telah membisikkan rencana dalam hati Yudas Iskariot, anak Simon, untuk mengkhianati Dia (13:2), Lalu bangunlah Yesus dan menanggalkan jubahNya. Ia mengambil sehelai kain lenan dan mengikatkannya pada pinggangNya, kemudian Ia menuangkan air ke dalam sebuah basi, dan mulai membasuh kaki murid-muridNya lalu menyekanya dengan kain yang terikat pada pinggangNya itu (13:4-5), dan setelah Yesus memerintahkan mereka saling membasuh kaki (13:14), Ia sangat terharu, lalu bersaksi: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya seorang di antara kamu akan menyerahkan Aku" (13:21).

Perhatikan suasananya. Yesus tahu Ia akan mati dan akan kembali kepada Bapa. Yesus tahu salah seorang muridNya akan menyerahkan Dia. Yesus bahkan tahu ada yang sedang berpikir untuk menjadi yang terbesar dan semua akan meninggalkan Dia. Semua suara-suara dari hati manusia itu seperti bergema di telinga Yesus. Tapi seperti Dia selalu mengasihi murid-muridNya, demikianlah Dia mengasihi mereka sampai kesudahannya! Dan dia bangun, tanggalkan jubah, ambil kain dan air, lalu membasuh kaki murid-muridNya.

Penderitaan di depan mata sementara murid-muridNya tidak tahu. Sebentar lagi Dia akan tinggalkan mereka sementara mereka masih berdebat siapa yang terbesar. Dalam kesedihanNya melihat murid-muridNya satu persatu, hati Yesus dipenuhi dengan kasih kepada mereka dan Dia membasuh kaki mereka, 1X di ruangan itu dan 1X lagi di atas kayu salib. Dia membasuh kaki mereka, melayani mereka, dengan memberikan nyawaNya.

Saya menangis ketika akan membasuh kaki karena di dalam hati saya, berulang-ulang muncul "Tuhan membasuh kakiku. Tuhan mati bagiku. Tuhan lebih dulu melayani kepadaku."

"Jadi jikalau Aku membasuh kakimu, Aku yang adalah Tuhan dan Gurumu, maka kamupun wajib saling membasuh kakimu" (Yoh 13:14)

Friday, August 13, 2010

Imamat 26 - Persekutuan Dengan Sang Kudus

(Posted in 26 June 2008)

Tema yang mendasari kitab Imamat adalah fellowship with the Holy (persekutuan dengan Sang Kudus). Kitab Imamat dari depan sampai belakang berbicara soal imam, korban, peraturan kesucian ibadah dan peraturan kesucian hidup. Maka isi kitab Imamat adalah seputar bagaimana hidup dan bersekutu dengan Tuhan yang kudus.

Bersekutu dengan Sang Kudus adalah hal yang mudah karena kita bahkan diundang untuk itu. Tetapi itu juga bukan hal yang mudah karena kita cenderung melawan Dia. Dan ketika kita melawan Dia, kita menghancurkan persekutuan itu.

Imamat 26 dibagi menjadi 2 bagian: bagian berkat jikalau mereka mentaati Tuhan dan bagian kutuk jikalau mereka tidak mentaati Tuhan.

Bagian berkat dimulai dengan syarat (ay.3): kalau kamu “hidup menurut ketetapanKu” (walk in my laws), “berpegang pada perintahKu” (keep my Commandments) dan “melakukannya” (do them). Kalau mereka sungguh seperti demikian, maka Tuhan memberkati mereka.

Bagian kutuk dimulai dengan kalimat: “Tetapi jika kamu tidak mendengarkan Daku…" (ay.14-15). Jikalau mereka lakukan itu, Tuhan akan menghukum mereka.

Rentetan hukuman yang dituliskan terdengar sangat keras, dari mulai penyakit, tanah yang tidak menghasilkan, binatang buas, sampai yang paling mengerikan dikatakan mereka akan memakan anak mereka sendiri. Rentetan hukuman ini seperti: “Kalau tidak bertobat, ini hukumannya, kalau tidak bertobat lagi, ini tambahannya lagi, kalau masih kurang, ini tambahannya lagi…”. Sangat keras sekali!

Tetapi coba kita pikir dari sisi lain. Kalau hukumannya sederhana dan Tuhan hanya berkata “Jika kamu tidak mendengarkan Daku, Aku tinggalkan kamu”. Apa yang terjadi? Jauh lebih hancur, tidak akan ada yang tahan!

Bayangkan jika ada orang tua yang kesal dengan anaknya yang masih berusia dua tahun, lalu ia menghukum anaknya bukan dengan memarahi, bukan dengan memukul, tapi meninggalkannya di rumah sendirian! Anaknya pasti mati. Itu justru hukuman yang sangat kejam!

Maka dalam daftar hukuman bagi umat Tuhan ini, justru kita melihat keindahan kasih Tuhan. Tuhan tidak tinggalkan umatNya tetapi Tuhan pukul supaya mereka kembali taat. Dan yang sangat indah, kalau mereka kembali, Ia masih disana, Ia tidak pernah tinggalkan, Ia sambut mereka lagi.

Di bagian yang terakhir (ay.40-46), setelah kutukan yang begitu panjang, Tuhan sekali lagi mengungkapkan berita anugrah: “Tetapi bila mereka mengakui kesalahan mereka…Aku akan mengingat perjanjian-Ku dengan Yakub,…Ishak… dan Abraham”.

Pola ini terus terulang di dalam PL. Tuhan menyampaikan berkat yang diberikan kalau mereka taat dan Tuhan menyampaikan kutuk yang dijatuhkan kalau mereka tidak taat. Tetapi selalu diakhiri dengan berita anugrah “kalau kamu bertobat…”.

Bahkan Tuhan katakan: “Apabila mereka ada di negeri musuh mereka, Aku tidak akan menolak mereka dan tidak akan muak melihat mereka, sehingga Aku membinasakan mereka dan membatalkan perjanjian-Ku dengan mereka, sebab Akulah Tuhan, Allah mereka”.

Lihat! Tuhan tidak pernah tinggalkan dan buang umatNya. Hati Tuhan masih selalu menunggu. Tuhan hanya mau mereka kembali kepada Dia. Hanya mengakui kesalahan dan dosa mereka, merendahkan diri di hadapanNya dan mohon kemurahanNya, itu yang Tuhan mau. Dan persekutuan dengan Sang Kudus akan dipulihkan.

Saat ini dimana posisi kita? Apakah dalam persekutuan yang baik dengan Sang Kudus? Atau justru sedang melawan Dia? Kalau kita sedang melawan Tuhan, yang Tuhan inginkan adalah kembali mengaku dosa, merendahkan diri lagi dihadapan Tuhan, dan Tuhan akan memulihkan lagi.

Lihat! Tuhan tidak pernah tinggalkan dan buang kita, umatNya. Hati Tuhan masih selalu menunggu!

Sunday, July 25, 2010

Iblis Telah Mencegah Kami

Sebab kami telah berniat untuk datang kepada kamu-- aku, Paulus, malahan lebih dari sekali--, tetapi Iblis telah mencegah kami (1 Tes 2:18)

Paulus pernah datang ke Tesalonika, memberitakan Injil dan mendirikan gereja di sana. Tetapi karena kerusuhan disana (dikisahkan dalam Kis 17:1-10), maka mereka bergegas dipaksa oleh jemaat untuk meninggalkan kota itu. Peristiwa ini disebut oleh Paulus sebagai "we were torn away from you" (1 Tes 2:17 NIV - terj. LAI: terpisah dari kamu). Paulus tahu tugasnya di Tesalonika belum selesai, ada hal-hal yang belum dia ajarkan kepada mereka, maka ketika harus pergi dia merasa seperti dirampas dari jemaat Tesalonika.

Itu sebabnya dia berkata bahwa dia "sungguh-sungguh, dengan rindu yang besar, telah berusaha untuk datang menjenguk" jemaat Tesalonika lagi (1 Tes 2:17). Dan di dalam ay.18 sekali lagi dia katakan bahwa mereka ("kami" - mungkin Paulus dan Silas atau rekan-rekan lainnya) telah berniat untung datang kepada jemaat Tesalonika. Dan mereka tidak main-main, bukan sekedar ingin, tapi sungguh-sungguh berusaha.

Untuk menekankan maksudnya, Paulus berkata "aku" - paling tidak "aku sendiri" sudah berusaha dan bukan sekali tapi lebih dari sekali. Istilah Yunani yang dipakai adalah "satu kali dan dua kali" yang bisa diterjemahkan "lagi dan lagi, berkali-kali". NIV menterjemahkannya sebagai "I, Paul, did, again and again". Sangat besar usaha Paulus untuk kembali kepada mereka.

Tetapi -dia katakan- "Iblis telah mencegah kami". Istilah "mencegah" kurang kuat. Istilah Yunani yang dipakai adalah enekopsen yang berasal dari dunia militer yang dipakai ketika tentara menghancurkan jalan supaya tidak bisa dilalui oleh musuh. Ini istilah perang! Iblis menutup jalan, menutup kemungkinan, menghentikan usaha Paulus dan rekan-rekannya untuk maju terus ke Tesalonika. Untuk apa? Supaya Paulus tidak bisa memperlengkapi jemaat Tesalonika lebih jauh, supaya Paulus tidak bisa menjadi berkat di sana, supaya jemaat Tesalonika bisa lebih mudah dikacaukan, atau entah apa lagi tujuan Iblis. Bagaimana Iblis menutup jalan itu tidak dijelaskan kepada kita, tetapi Paulus sangat jelas bahwa pekerjaan pelayanannya terhambat karena pekerjaan Iblis.

Pernahkah kita berpikir seperti Paulus? Ketika pelayanan terhambat, mungkin karena penyakit, mungkin karena keributan di antara pelayan, atau karena halangan-halangan lain, adalah karena pekerjaan Iblis (tidak selalu memang tetapi paling tidak Iblis senang melihatnya). Pelayanan bukan sekedar sibuk-sibuk mengerjakan ini dan itu atau mengatur berbagai hal supaya rapi, tetapi ini adalah peperangan rohani!

Alangkah beratnya peperangan ini kalau seringkali kita mempermudah musuh untuk menyerang kita dengan kebodohan, kesombongan dan dosa di antara kita sendiri. Kita berebut posisi, kita saling curiga, kita marah kepada saudara-saudara kita karena alasan sederhana, kita malas berbagian, bagaimana kita bisa berperang dengan baik?

Dan alangkah tidak mungkinnya kita menangkan perang ini dengan kekuatan sendiri. Kita hanya dan hanya bekerja, ditempel dengan "a little prayer". Iblis terus giat bekerja, mencegah, menutup, menghancurkan, menghentikan. Dan kita ingin melawannya dengan kekuatan kita? No way! Kita harus berdoa dan berdoa dengan sungguh-sungguh meminta pertolongan Tuhan. Be aware! We are in spiritual warfare. Iblis adalah musuh yang sangat real, tapi ingat dia bukan musuh yang mahakuasa karena yang mahakuasa hanyalah Tuhan.

Wednesday, July 14, 2010

Starting a New Semester in TTC

I withdrew as a student of Trinity Theological College almost 5 months ago. Time flies, and now here I am, being an M.Th student again at TTC.

Last semester, I enrolled in "NT Text and Canon" class. It had just started for a month or so when I knew that I couldn't continue my study. By the kindness of my lecturer, Prof. Tan Kim Huat, I was allowed to continue attending his lectures to the end of semester (even though they have to be held in Coffee Bean)! I am touched by his kindness and commitment to teach.

This semester I am taking "Paul as Missionary in Acts". I thought that I would do nothing related to Paul in my M.Th program because "NT Text and Canon" should be my last course before the guided study. By the grace of God, I now have a chance to study Paul. Knowing that I am thinking of writing my thesis on the Gospel of John, some people said that I should start doing something on John by now, not on Paul. But I am happy with this. I have done a course on NT background (Ancient Texts for NT Studies), another course on NT Text and Canon (though I didn't write a paper for that). And now I get the chance to study Paul before continue to John. Studying these 2 giant apostles is a must for all NT students. So that's wonderful, no need to change it!

Beside that M.Th course, I am also auditing an undergrad's class: NT Exegesis. I don't have to submit any paper for this one but I really want to put much effort on it.

That's all, 2 courses, should be more than enough to fill up all the lacunas in my schedule.

At the same time, my ministry in GKY Singapore is not getting easier, indeed it is getting tougher. More ministry to do, more people to pastor, more things to pray for. Yet somehow I am confident that I can still manage my time. I will try my best to choose what to do and not to do and also try to be more discipline (fiuhh.. this will be tough).

I pray that this present semester, with all the difficulties and unpredictable things that I have to deal with, will not lead me to the 'grave' but lead me closer to God. May God's presence and help be always tangible for me.

Friday, July 02, 2010

Undangan Khotbah - 2

Maafkan saya kalau apa yang saya tuliskan di bawah ini tidak enak untuk dibaca, tetapi saya ingin sekali mengungkapkan ini khususnya bagi rekan-rekan hamba Tuhan. Pengalaman sekian tahun melayani sebagai pengkhotbah mengajar saya untuk tidak lagi merasa bangga ketika diundang berkhotbah. Ketika suatu tempat mengundang kita untuk berkhotbah, ada beberapa macam alasan yang mungkin ada:

1. Kita diundang berkhotbah karena "politik".
Maksud saya, mungkin karena kita punya posisi dan orang tidak enak jika tidak mengundang kita (saya banyak mendengar kasus seperti ini, yang mengundang sebenarnya terpaksa mengundang atau yang mengundang hanya ingin supaya hubungan baik terjaga). Mungkin juga karena posisi kita maka kalau kita diundang, akan ada kerja sama dan pengertian yang lebih baik antara dua pihak: gereja kita dan gereja dia. Mungkin juga karena kalau kita diundang, si pengundang berharap kita juga akan balik mengundang dia (serius!). Atau alasan-alasan lainnya (tidak mungkin saya sebutkan semuanya), yang pada intinya adalah kita diundang bukan karena mereka mengenali karunia berkhotbah dalam diri kita tetapi karena keuntungan yang didapat dengan mengundang kita.

2. Kita diundang berkhotbah justru karena khotbah kita jelek (atau minimal tidak terlalu bagus)!
Maafkan saya kalau terlalu keras. Saya tahu ada hamba Tuhan yang sengaja mengundang pengkhotbah tamu yang memang tidak terlalu bagus khotbahnya supaya dirinya tidak terlihat terlalu jelek kalau nanti dibanding-bandingkan oleh jemaat. Ada yang mengundang pengkhotbah yang bagus dari luar kota, tapi tidak mau mengundang pengkhotbah yang bagus dari kota yang sama. Ada yang mengundang pengkhotbah yang bagus dari sinode gereja lain, tapi tidak mau mengundang pengkhotbah yang bagus dari sinode gereja yang sama. Macam-macam variasinya tapi semua intinya sama: insecurity.

3. Kita diundang berkhotbah karena relasi.
Maksudnya kita diundang berkhotbah hanya karena si pengundang kenal dengan kita. Lagi-lagi, karena dia tidak enak jika tidak mengundang kita dan ingin menjaga relasi dengan kita. Dia tidak akan mengundang kita kalau dia tidak kenal.

4. Kita diundang berkhotbah karena "selera" yang salah.
Saya seringkali tidak habis pikir bagaimana mungkin orang suka dengan khotbah tertentu, yang objectively sangat buruk. Ada orang yang hanya melihat kharisma, ada yang melihat masa lalu (dulu dia bagus, tapi ingat itu "DULU"), ada yang melihat humor, dan ada juga yang melihat gaya tertentu sebagai khotbah yang "dalam" dan bagus tanpa mengerti isinya. Banyak orang tidak bisa menilai khotbah (kiranya Tuhan mengampuni kesalahan kami yang kurang mengajar dengan baik).

5. Kita diundang berkhotbah karena anda memang diberi Tuhan karunia berkhotbah.
Point saya adalah, apa sih yang dibanggakan ketika diundang untuk berkhotbah? Nothing! Kalaupun kita diundang karena kita memang punya karunia berkhotbah, lalu apa yang dibanggakan? Itu dari Tuhan! Ide khotbah, kemampuan bicara, dan kuasa yang menyertai, semua dari Tuhan! Apalagi kalau kita diundang berkhotbah karena alasan-alasan yang salah, apa yang kita banggakan? Kebanggaan membuat kita tidak pernah memperbaiki diri.

Bagi para pengundang pengkhotbah, mari ingat kembali tanggung jawab kita kepada Tuhan. Jangan permainkan mimbar dan jemaat yang Tuhan percayakan kepada kita. Jangan pakai hak mengundang pengkhotbah untuk kepentingan diri kita. Bagi para pengkhotbah, kita memang tidak pernah tahu motivasi si pengundang dan juga tidak perlu terlalu peduli, tapi kalau kita menerima undangan khotbah, tidak perlu bangga tapi mari berkhotbah sebaik-baiknya kepada jemaat Tuhan dan untuk Tuhan.

Sekali lagi maaf kalau saya terlalu keras. Saya hanya ingin kita aware dengan masalah ini.

Wednesday, June 30, 2010

Undangan Khotbah - 1

(Saya pernah menulis tentang khotbah di dalam 2 tulisan - Mengajarkan Firman Tuhan - 1 dan Mengajarkan Firman Tuhan - 2. Kali ini saya ingin menulis lagi tentang khotbah di dalam dua seri tulisan dengan judul Undangan Khotbah, dan sebagian besar isinya saya tujukan untuk para rekan hamba Tuhan)
 
Pada waktu mulai menjadi hamba Tuhan, salah satu hal yang mengejutkan bagi saya adalah ketika menerima undangan khotbah. Saya biasa menjadi pengurus, menyambut dan menemani pengkhotbah, tapi saya belum pernah disambut dan ditemani sebagai pengkhotbah! Tiba-tiba saya mengalami loncatan status dan itu mengejutkan (sekaligus mengerikan).

Bagi banyak mahasiswa teologi dan juga mereka yang baru lulus dari sekolah teologi - adalah kebanggaan jika diundang untuk berkhotbah. Kita diundang, dikirimi surat, kita datang dan kemudian disambut sebagai pengkhotbah. Dan ketika makin lama makin banyak tempat yang mengundang, makin lama makin besar event yang mengundang, kita merasa makin bangga. Saya tahu perasaan seperti itu! Dan tanpa disadari, kerendahan hati waktu menyambut panggilan Tuhan berubah menjadi ketinggian hati.

Perasaan itu mungkin muncul karena banyak dari kita yang memberikan diri masuk ke sekolah teologi karena menyambuti panggilan Tuhan melalui seorang hamba Tuhan. Mungkin kita pernah berada dalam sebuah kebaktian besar, dihadiri banyak orang, dan di situ kita menyambuti panggilan Tuhan. Pada waktu kita masuk sekolah teologi, kita mulai membayangkan diri kita akan menjadi seperti hamba Tuhan itu, berkhotbah dengan penuh kuasa di dalam kebaktian seperti demikian. We want to be like them! 

Atau perasaan seperti itu muncul karena melihat dosen-dosen kita. Mereka mungkin pengkhotbah 'besar', mereka terkenal, diundang kemana-mana, dan kita yang sedang belajar di bawah mereka membayangkan bahwa suatu kali kita akan seperti mereka. Kita merasa bahwa sangat besar 'gengsi' menjadi pengkhotbah. Kita sering kagum dengan orang-orang yang memiliki talenta berkhotbah dan kita juga mendengar nada kekaguman itu dari orang-orang di sekitar kita. Pengkhotbah, dalam batas tertentu, seperti selebriti (maaf kalau saya berlebihan). Dan kita juga ingin dikagumi.

Tanpa sadar kita membangun khayalan dalam diri kita bahwa saya bisa seperti itu, atau saya harus seperti itu, atau saya sudah seperti itu (padahal tidak). Saya ingat ada mahasiswa sekolah teologi yang bangga sekali diundang berkhotbah dalam sebuah event yang cukup besar sehingga dia khusus mengajak adik kelasnya untuk mengambil foto saat dia berkhotbah, mengajukan tantangan dan banyak orang maju ke depan. Saya juga pernah diajak seorang rekan untuk menemani dia pergi berkhotbah supaya saya bisa melihat pelayanannya yang besar dan 'belajar dari dia' (it made me feel uncomfortable!). Saya juga pernah mendengar mahasiswa sekolah teologi yang iri karena rekannya dikirim berkhotbah ke tempat pelayanan yang 'bergengsi'.

Tidak perlu panjang lebar, saya kira kita tahu bahwa di balik semua itu ada dosa. Dosa ingin membanggakan diri, dosa ingin mencari signifikansi diri dengan 'prestasi', dosa mengukur diri dengan ukuran dunia, dan dosa memakai mimbar untuk memuliakan diri.

Khotbah memang pelayanan yang mulia. Kita boleh menginginkan pelayanan yang mulia, kita boleh ingin dipakai Tuhan, kita boleh bahkan harus berusaha memperbaiki diri dalam berkhotbah, tapi semua itu tujuannya haruslah untuk Tuhan, for the greater glory of God. "Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil" (Yoh 3:30) Coba lihat ulang hati kita masing-masing!

Monday, May 24, 2010

Ascension Day and Pentecost Day in Singapore

One intensely strange phenomena that I recently observed in Singapore is that many (maybe all?) Christian churches do not celebrate Jesus' Ascension Day and the Pentecost Day. I don't know why. What's the reason? Is it practical or theological? But this issue quite bothers me.

Our Christian faith based on history, the salvation history. The Christmas Day, Good Friday, Easter, Ascension Day and then summed up with the Pentecost Day are events that simply cannot be forgotten. They shape up our faith, they explain our faith. Churches can just ignore and forget Mother's Day, Father's Day or any other day, although those events are worthy to celebrate, but we just cannot ignore and forget the events that shape our faith. Those events are tightly connected. We can't imagine Christmas Day without Good Friday since that is the purpose of His coming. We can't imagine Good Friday without Easter otherwise Jesus would not be our Savior. We can't imagine Easter without Ascension since Jesus said "I came from the Father and have come into the world; again, I am leaving the world and am going to the Father," it was round trip. And we can't imagine Ascension without Pentecost since Jesus said that it was one of His purpose to go back to heaven.

So why do the Christian churches in Singapore only celebrate Christmas, Good Friday and Easter? Can anybody explain what is the reason?

Thursday, May 20, 2010

Mencintai Gereja

Saya pernah menulis artikel tentang kekecewaan pada gereja (bisa dilihat di sini) lebih dari 3 tahun yang lalu. Di dalamnya saya menulis tentang berbagai alasan yang menyebabkan orang bisa kecewa pada gereja atau meninggalkan gereja dan saya mengajak supaya kita jangan melakukannya. Saya baru membacanya lagi dan saya masih setuju dengan apa yang saya tulis 3 tahun lalu itu.

Saya tahu 'dapur'nya gereja. Saya tahu dosa, kedegilan, politik salah, dan berbagai kerumitan lain di dalam gereja. Tapi saya tetap sangat mencintai gereja.

Bagaimana kita boleh tidak mencintai apa yang Tuhan cintai? Yesus berkata, "... Aku akan mendirikan jemaat-Ku (I will build my church) dan alam maut tidak akan menguasainya" (Mat 16:18). Dia mati di kayu salib untuk mendirikan gereja itu dan melepaskannya dari alam maut. Dia mati untuk orang-orang yang adalah bagian dari gerejaNya. Mungkinkah kita boleh tidak mencintai gerejaNya?

Tuhan memanggil kita melayani Dia di berbagai bidang, bisa di sekolah, lembaga pelayanan, ladang misi, dunia bisnis, pekerjaan sosial, pemerintahan, dll. Tapi kemanapun orang Kristen melayani, dia pasti menjadi bagian dari gereja lokal. Gereja lokal menaungi 'gereja-gereja individu', yaitu anak-anak Tuhan (masih ingat lagu "aku gereja.. kamu gereja.."?). Bagaimanapun banyaknya kesalahan gereja, tapi gereja terus membentuk rantai yang tidak pernah putus sepanjang sejarah, sambung menyambung dipakai Tuhan di dalam dunia ini. Ada gereja yang akhirnya ditinggalkan Tuhan, menjadi mati, tapi selalu ada lagi yang bangkit, dan rantai itu tidak pernah putus.

Saya banyak bergumul dengan kehidupan gereja dan kadang dibuat sedih karenanya. Para pemimpin gereja sungguh harus bertobat! Saya juga! Tapi mari tetap mencintai gereja, baik gereja lokal maupun 'gereja-gereja individu' di dalamnya. Cintailah gereja sebagaimana Tuhan mencintainya dan mencintai kita di dalamnya.

Sunday, May 16, 2010

Panggilan Makedonia

Kis 16:9 menceritakan penglihatan yang diterima oleh Paulus pada waktu ia berada di Troas. Malam hari itu dia melihat seorang Makedonia berdiri di situ dan berseru kepadanya, katanya: "Menyebranglah ke mari dan tolonglah kami". Setelah melihat itu, Paulus menyimpulkan bahwa Allah memanggil mereka untuk memberitakan Injil di sana.

Walaupun Alkitab tidak pernah bercerita tentang penampilan orang itu, tetapi bisa kita perkirakan bahwa orang itu memakai kostum tradisional khas Makedonia (kalau tidak bagaimana Paulus tahu itu orang Makedonia?). Walaupun orang Makedonia memiliki beberapa kostum, tetapi sangat mungkin yang dipakai adalah kostum pria (bukan wanita) biasa (bukan kostum perang atau pernikahan). Dan salah satu elemen yang terkenal dari kostum ini adalah topi lebar yang disebut Kausia. Topi khas Makedonia ini sudah ditemukan gambarnya dari abad ke-4 BC, dan disebut juga oleh penulis abad pertama.




Bahkan di zaman modern ini pun, topi dengan model ini masih bisa ditemukan di Makedonia, walaupun mungkin dengan sedikit perbedaan.



Bayangkanlah orang dengan topi seperti ini melambai-lambaikan tangan kepada Paulus dan berseru, "Menyebranglah ke mari dan tolonglah kami!". Paulus pun berespon. Dia pergi kesana, mengabarkan Injil, mendirikan jemaat di sana, dan kemudian menulis dua surat kepada mereka yang menjadi bagian dari Alkitab kita. Jemaat itu berada di ibukota dari Makedonia: Tesalonika!

Tuesday, May 11, 2010

Budaya Membaca Bagi Hamba Tuhan

Beberapa waktu lalu seorang jemaat berkata kepada saya, "Kenapa ya hamba Tuhan di Singapore kalau diminta khotbah 40 menit, bisa selesai dalam 40 menit dan ada isinya, tapi hamba Tuhan di Indonesia ngomong ngalor ngidul panjang tapi sedikit isinya?"

Saya tidak sepenuhnya setuju dengan kalimat itu. Tetapi dia insist bahwa itulah yang dia temui selama ini. Mungkin pernyataan dia ada benarnya, walaupun tidak 100%. Dalam percakapan kami kemudian ada 1 point yang muncul dalam pikiran saya: Budaya Membaca (Saya pernah menulis tentang Budaya Membaca dan kali ini saya teringat lagi).

Budaya membaca orang Indonesia memang masih sangat jauh dari orang Singapore. Salah satu contoh yang jelas terlihat adalah di public libraries. Saya terkagum-kagum dengan public libraries di Singapore (bukan hanya 1 tapi banyak), fasilitas yang baik, koleksi buku yang banyak, sistem yang canggih dan terutama ketertarikan banyak orang untuk nongkrong di situ dari anak usia sekolah sampai mereka yang lanjut usia (ya lah.. saya tahu sebagian hanya baca koran sambil menikmati AC gratis, tapi tidak semua begitu). Ingin membandingkan dengan suasana perpustakaan umum di Indonesia? Keinginan membaca bagi anak usia sekolah? Atau orang tua? Lebih baik jangan.

Saya juga cukup sering ke toko buku rohani di Singapore dan beberapa kali berbincang sedikit dengan pengunjung lain. Mereka adalah hamba Tuhan di gereja, tetapi yang menarik bagi saya adalah buku-buku yang mereka baca adalah buku-buku yang termasuk kategori 'berat'. Artinya selepas dari sekolah teologi, mereka tidak berhenti membaca buku-buku kategori 'berat' (saya tahu, pasti tidak semua seperti itu, tetapi cukup banyak yang seperti itu). Bandingkan dengan para hamba Tuhan di Indonesia (lebih baik saya persempit kepada hamba Tuhan di gereja Injili berlatar belakang Chinese karena saya lebih tahu kondisinya dibandingkan dengan di gereja lain). Saya pernah menulis tentang keprihatinan saya tentang ini. Berapa banyak hamba Tuhan di Indonesia yang masih membaca buku-buku teologi, 1 saja dalam 1 tahun? You will be surprised!

Di Trinity Theological College, siapa saja boleh masuk dan menggunakan perpustakaan dengan membayar $5 (kira-kira Rp.33.000)/hari tanpa fasilitas peminjaman. Dan sangat sering saya melihat tamu-tamu seperti itu. Bandingkan lagi dengan di Indonesia. Waktu saya di Jakarta, ada 1 sekolah teologi yang memberikan fasilitas kepada kami untuk menjadi anggota. Dengan hanya membayar Rp.100.000/tahun kami bisa bebas datang kapan saja dan bahkan meminjam 5 buku setiap kalinya. Berapa banyak hamba Tuhan yang memanfaatkan fasilitas ini? Better not ask!

Bagaimana mungkin hamba Tuhan yang tugasnya adalah belajar dan mengajar Firman Tuhan, begitu tidak tertarik untuk belajar? Mengapa? Bagaimana membangkitkan semangat belajar di antara para hamba Tuhan? Paling tidak, itu harus mulai dari sekolah teologi. Tapi saya yakin gereja juga harus berperan mendukung dan mendorong hamba Tuhan untuk terus belajar. Jangan hanya lihat kepandaiannya bersosialisasi, menajemennya, kerajinannya membesuk, keahliannya melakukan ini dan itu. Berikan waktu, berikan kesempatan, berikan penghargaan kepada hamba Tuhan yang mau belajar. Dan mungkin salah satu yang penting, yang akan menimbulkan kerusuhan kalau dilakukan di Indonesia, jangan biarkan mereka yang tidak mau belajar terus menjadi pengajar jemaat! Wow.. pasti rusuh!

Monday, April 26, 2010

Permata di Balik Air Mata

Kemarin setelah kebaktian, seorang jemaat memberikan saya buku ini: Permata di Balik Air Mata.

Isinya tentang pergumulan sepasang suami istri hamba Tuhan: Hendra dan Esther J. Rey untuk pergi dan kemudian melayani di China.

Saya baru saja selesai membaca buku itu. Isinya sangat sederhana, kisah-kisah biasa tentang pergumulan, doa, pimpinan Tuhan, kejutan-kejutan mukjizat Tuhan, dan kesulitan hidup dan pelayanan di China.

Buku ini membuat saya bernostalgia. I was there. Beberapa kesan dan pengalaman yang mereka ceritakan serupa dengan yang saya alami. Dengan segala hal yang sering membuat saya kesal di sana, tapi tetap perasaan saya adalah: I miss China.

Buku ini juga membuat saya 'terbakar'. Walaupun pelayanan saya dulu di China tidak persis seperti pelayanan Pak Hendra dan Ibu Esther, tetapi beberapa hal serupa dengan yang saya lakukan. Saya ingat kondisi gereja di sana, tempat-tempat pelatihan, murid-murid yang pernah saya ajar, ketegangan karena harus selalu siap lari, kesepian yang sulit diceritakan, macam-macam. Mungkin sekarang saya mulai terlalu 'nyaman'.

Saya tidak pernah melupakan mereka yang di China, tapi jujur saya sudah lama tidak berdoa bagi mereka. Saya akan berdoa lagi... kiranya Tuhan memberkati pekerjaanNya di China, melindungi dan terus menguatkan anak-anakNya.

Saturday, April 24, 2010

2 Raja-raja 6:24-7:16 Doa Dalam Kesukaran

(Ringkasan khotbah di Persekutuan Doa GKY Singapore 23 April 2010)

Bangsa Aram berperang dengan Israel dan mereka mengepung langsung ibukota Israel. Di zaman itu,
pengepungan berarti kelaparan di dalam kota. Dan penulis kitab Raja-raja ini memberi kita gambaran seperti apa dahsyatnya kelaparan itu: Sampai ada 2 orang ibu yang berjanji untuk bergantian menyembelih anaknya sendiri supaya bisa makan! (6:26-29)

Waktu raja Israel mendengar sampai ada rakyatnya yang makan anaknya sendiri, dia tidak tahan lagi. Dia pakai kain kabung, tanda berduka dan tertekan, dan dalam kemarahannya, yang terlintas dalam pikirannya adalah: bunuh Elisa! (6:31). Dia berkata “Sesungguhnya malapetaka ini adalah daripada TUHAN. Mengapakah aku berharap kepada TUHAN lagi?” Dia marah kepada Tuhan, dan dia ingin melampiaskan kemarahannya dengan membunuh nabi Tuhan. Balas dendam kepada Tuhan!

Tetapi luar biasa, terlepas dari kejahatan Israel, Tuhan masih mau menyampaikan firmanNya melalui Elisa, dan isinya adalah berita anugrah! Janji Tuhan adalah: "Besok kira-kira waktu ini...", dalam 24 jam seluruh ekonomi Israel akan total berubah (7:1). Harga-harga yang begitu mahal karena sangat langka akan menjadi begitu murah karena berkelimpahan.

Perwira yang menjadi ajudan raja langsung bereaksi, “Tidak mungkin! Sekalipun Tuhan membuat tingkap-tingkap di langit, masakan hal itu mungkin terjadi?” (7:2). Dengan kata lain dia berkata “Biarpun Tuhan lakukan mukjizat, tingkap langit sampai terbuka pun, tidak akan hal itu terjadi.

Dia tidak menyangka bahwa Tuhan akan melakukannya dalam cara yang sama sekali tidak pernah dia bayangkan: Tuhan akan bawa makanan itu masuk berlimpah-limpah bukan lewat mana-mana, bukan lewat langit, tapi dari pintu gerbang. Tuhan akan berikan makanan berlimpah-limpah bukan dari suplai ladang atau sawah atau pedagang-pedagang, bukan dari semua yang mereka pikirkan, tetapi dari milik pasukan Aram. Dan yang sangat drastis adalah itu akan terjadi dalam 1 malam!

Ada beberapa hal saya ajak kita renungkan:

1. Mengapa perwira ajudan raja itu bisa berkata: "Sekalipun Tuhan membuat tingkap-tingkap di langit, masakan hal itu mungkin itu terjadi"? Padahal dia orang Israel, dia tahu bahwa Allah maha kuasa. Dia tahu kisah bagaimana Allah menghukum Mesir dengan 10 tulah, dia tahu cerita bagaimana tiap hari Allah turunkan manna bagi orang Israel selama puluhan tahun di padang gurun, dia tahu semua cerita-cerita perbuatan dahsyat Allah di masa lalu. Tetapi dia akan berkata, "Itu dulu. Sekarang, tidak mungkin!"

Mungkin ini juga menjadi masalah kita. Kita baca di Alkitab tentang kuasa Allah. Kita baca betapa Allah bisa melakukan perkara besar. Tetapi paling mentok kita hanya berkata, "Itu dulu. Sekarang, tidak mungkin!"

Kita juga bisa percaya ketika mendengar cerita tentang kuasa Tuhan bekerja kepada orang lain di tempat lain. Ketika kita dengar orang lain mengalami mukjizat ini dan itu, kita percaya itu dari Tuhan. Kita dengar cerita kebangunan rohani di negara ini dan itu, kita amini itu dari Tuhan.

Tapi ketika kita alami kesukaran, jalan buntu. berdoa dan tidak ada perubahan, kita sulit percaya bahwa Tuhan yang sama yang mengerjakan semua itu bisa melakukan sesuatu kepada saya sekarang dan di sini.

2. Dalam pikiran perwira itu, karena kota itu dikepung kiri kanan dan tak mungkin ada bahan makanan masuk maka kalau Tuhan mau tolong, satu-satunya cara adalah Tuhan musti jatuhkan dari langit. Tidak ada cara lain! Dan bagi dia, itu pun tidak akan cukup.

Sama, kita bisa berpikir dalam keadaan kita, kalau Tuhan mau tolong, musti begini atau begitu cara tolongnya, musti terjadi ini atau itu, ada perubahan ini dan itu, dst. Dan kita mengajari Tuhan.
Tapi kenapa Tuhan harus ikuti pikiran kita? Tuhan bisa lakukan dengan cara apa saja. Seperti dalam cerita ini, tanpa buka tingkap langit Tuhan bisa berikan makanan.

3. 7:5-7 menceritakan ketika orang-orang kusta itu sampai di perkemahan orang Aram, tidak ada 1 orang pun disana sebab "Tuhan telah membuat tentara Aram itu mendengar bunyi kereta, bunyi kuda, bunyi tentara yang besar”. Begitu mengerikannya bunyi itu dan mereka mengira Israel memanggil raja-raja daerah lain, pasukan yang sangat besar untuk menolong mereka. Dengan ketakutan, mereka langsung lari. Gampang sekali!

Kita bisa tanya, “Tuhan kenapa nggak dari dulu, kenapa tunggu begitu lama? Kenapa tunggu sampai begitu kelaparannya sampai ada ibu yang makan anaknya?

Kita tidak tahu kenapa, tetapi ibu makan anak itu bukan karena Tuhan tapi karena dosa. Dan Tuhan biarkan dosa terjadi, ada yang saling membunuh, ada yang mungkin mencuri, menjarah, merampok, ada yang memaki Tuhan, ada yang tidak percaya Tuhan. Tuhan biarkan semuanya. Sampai waktunya tiba, Tuhan menyatakan kuasaNya.

Setelah Tuhan menolong, bagaimana reaksi orang Israel? Saya kira sama dengan reaksi semua orang di manapun juga:

Orang yang tidak percaya kepada Tuhan, tetap tidak akan peduli kepada Tuhan.

Orang yang percaya Tuhan tapi selama kesukaran dan penantian marah, kecewa, ngomel sama Tuhan, atau bahkan 'mengancam' tinggalkan Tuhan, akan tertunduk malu.

Tetapi orang yang terus berharap, percaya dan berdoa, merekalah yang bersukacita luar biasa!

Kita yang mana?

Tuesday, April 20, 2010

Petrus 'Takut' Kepada Kalangan Yakobus?

Tetapi waktu Kefas datang ke Antiokhia, aku berterang-terang menentangnya, sebab ia salah. Karena sebelum beberapa orang dari kalangan Yakobus datang, ia makan sehidangan dengan saudara-saudara yang tidak bersunat, tetapi setelah mereka datang, ia mengundurkan diri dan menjauhi mereka karena takut akan saudara-saudara yang bersunat. Dan orang-orang Yahudi yang lainpun turut berlaku munafik dengan dia, sehingga Barnabas sendiri turut terseret oleh kemunafikan mereka. (Galatia 2:11-13)

Kita tidak tahu berapa lama Petrus tinggal di Antiokhia, tetapi di dalam beberapa kesempatan dia, dan tentu dengan Paulus dan Barnabas, makan bersama dengan jemaat disana baik Yahudi maupun non Yahudi. Makan bersama (table-fellowship) adalah tanda persekutuan dan bagi jemaat mula-mula itu mungkin berarti makan bersama dalam perjamuan kudus dan perjamuan kasih. Kemauan Petrus untuk ikut makan bersama dengan mereka seperti memberikan pengesahan dari pimpinan gereja di Yerusalem bahwa orang non Yahudi diterima dalam gereja. Mereka adalah sama satu tubuh Kristus. Sangat indah!

Sangat disayangkan, keindahan itu terganggu ketika "beberapa orang dari kalangan Yakobus" datang. Siapa mereka? Kita hanya bisa menebak, mungkin mereka adalah utusan Yakobus, untuk menyampaikan sesuatu kepada jemaat di Antiokhia atau kepada Petrus. Atau mungkin mereka adalah murid-murid Yakobus. G. Walter Hansen (IVPNTC: Galatians) mengatakan pertanyaan yang lebih penting adalah apa yang mereka katakan kepada Petrus? Apa yang mereka sampaikan kepada Petrus sehingga dia tidak lagi mau makan bersama jemaat non Yahudi "karena takut akan saudara-saudara yang bersunat"?

Siapa "saudara-saudara yang bersunat" itu? Hansen mengatakan mereka bukan "kalangan Yakobus". Petrus adalah salah seorang pilar jemaat di Yerusalem, mengapa dia harus takut kepada utusan atau murid Yakobus? Di dalam surat Galatia, "saudara-saudara yang bersunat" itu adalah orang Yahudi, bisa orang Yahudi Kristen atau non Kristen.

Banyak penafsir setuju bahwa untuk mengerti ini kita harus melihat konteks sejarah. Ronald Y.K. Fung (NICNT: The Epistle to the Galatians) memberikan 2 alasan:

Pertama, Petrus adalah pimpinan pekerjaan misi gereja Yerusalem kepada orang Yahudi, dan kalau berita ia makan bersama dengan orang non Yahudi dipakai sebagai berita bahwa ia murtad dari agama Yahudi, maka ia menjadi batu sandungan bagi orang-orang yang dia Injili.

Kedua, orang Kristen Yahudi di daerah Yerusalem dan Yudea sudah cukup terancam oleh saudara-saudara Yahudi mereka dan kalau berita bahwa orang Yahudi yang menjadi Kristen sekarang sudah tidak ada bedanya lagi dengan orang non Yahudi, maka keselamatan mereka akan makin terancam. Maka berita dari "kalangan Yakobus" itu mungkin adalah permohonan kepada Petrus untuk berhati-hati demi saudara-saudara yang lain.

Dengan latar belakang ini, kita sangat bisa mengerti alasan Petrus. Saudara-saudaranya sesama orang Yahudi Kristen akan marah kepadanya, "gara-gara kamu kami dianiaya! bukankah kamu bisa lebih bijaksana?" Dan orang Yahudi non Kristen yang dia Injili akan berkata "benar kata para pemimpin kami, Yesus bukan penggenap Taurat seperti yang kamu katakan, tapi pemurtad Taurat! buat apa kami jadi Kristen dan murtad kepada Allah?" Hansen mengatakan, apa salahnya kalau Petrus menjaga preference and sensitivity gerejanya? Kalau Paulus boleh menjadi seperti orang non Yahudi kepada orang non Yahudi, maka mengapa ia tidak boleh menjadi seperti orang Yahudi kepada orang Yahudi?

Kita sangat bisa mengerti apa yang dilakukan Petrus. Tetapi bagi Paulus, apapun alasannya, yang dilakukan oleh Petrus dan Barnabas adalah munafik. Mereka percaya bahwa di dalam Kristus tidak ada perbedaan, tetapi kelakuan mereka berbeda dengan apa yang mereka percaya. Dan dalam hal ini, bagi Paulus, Injil adalah taruhannya.

Scot McKnight (NIVAC: Galatians) menyimpulkan keadaan ini sebagai Peer Pressure. Kita biasa beranggapan peer pressure terbatas dialami oleh remaja, padahal itu dialami oleh setiap kita. Dalam kasus Petrus, ini bukan peer pressure biasa (sekedar mengikuti kelakuan atau gaya hidup tertentu) tetapi ada alasan lebih kuat di baliknya: kekhawatiran akan pemberitaan Injil atau keselamatan saudara-saudara seiman. Tetapi Petrus tetap salah. Merenungi kisah ini membuat saya bertanya, seberapa jauh saya juga dikendalikan oleh peer pressure? Saya tidak bebas dari itu. Sebagai penutup, saya mengutip kalimat dari McKnight:

"It doesn't seem to matter what decisions we make; someone will criticize our choices. If we are handcuffed by a fear of people's criticisms, we will never accomplish anything. Such fear is nothing more than peer pressure. Peter made a bad decision when he felt that pressure; we will too. But God calls us to a fearless obedience of his will as we live in the Spirit. What we need is courage, courage to live according to our faith and its implications rather than according to our emotions, fleeting passions, and fear of others".

Oh Lord, help us to live a free lives, free from all kinds of bondage that You have set us free!

Tuesday, April 06, 2010

Sombong Dan Disombongin

Kita tahu apa itu sombong dan melalui banyak hal kita selalu diingatkan untuk tidak sombong. Ternyata ada perwujudan lain dari kesombongan yang jarang kita perhatikan, dan itu muncul ketika kita - saya sebut itu sebagai - "disombongin". 

Belajar untuk tidak sombong adalah satu hal. Tapi belajar untuk menerima disombongin adalah hal lain lagi. Esensinya sama tapi nuansanya berbeda.

Belajar untuk tidak sombong sudah sangat sulit. Kita harus selalu mengingat kelemahan kita, mengingat bahwa apa yang kita miliki semuanya dari Tuhan dan bukan dari kita, mengingat bahwa di atas kita selalu masih ada orang lain. Kita tidak boleh membanggakan diri dan menunjukkan kehebatan atau superioritas kita dengan tujuan dipuji. Itulah belajar untuk tidak sombong.

Tapi ketika kita merasa sudah lumayan, cukup tidak sombong, tiba-tiba datanglah seseorang yang sangat sombong. Dia merendahkan kita, terang-terangan menganggap kita lebih rendah dari dia dan membanggakan dirinya di depan kita, padahal menurut penilaian kita, dia masih lebih buruk dari kita. Gayanya dan bualannya bahkan membuat sebagian orang percaya. Saat itu apa yang terjadi? Pertama, sebal. Kedua, marah. Ketiga, dalam hati muncul pikiran "gile ni orang, masih bagusan juga gua". Keempat, kalau orang lain percaya sama kesombongannya, kita gatal sekali untuk kasih tahu orang-orang kejelekan dia dan kebagusan kita.

Saya kira banyak dari kita pernah punya pengalaman seperti di atas. Pertanyaannya, kalau kita bereaksi seperti itu ketika disombongin, apakah betul kita sudah tidak sombong? Saya kira kita tahu jawabannya.

Maka belajar untuk tidak sombong memang adalah satu hal dan belajar untuk menerima disombongin adalah hal lain lagi. Tapi esensinya sama. Mungkin lebih baik kita katakan, pada waktu kita disombongin, itulah saatnya kita melihat lebih dalam lagi ke dalam hati kita dan bertanya "apa betul saya tidak sombong?"

Wednesday, March 24, 2010

John - The Apostle of Love

Rasul Yohanes seringkali disebut sebagai "the beloved disciple" (murid yang dikasihi) di dalam Alkitab. Tetapi gereja kemudian juga menyebutnya sebagai "the apostle of love" (rasul kasih).

Membaca tulisan Yohanes dalam Injil dan juga surat-suratnya, membuat saya mengerti mengapa ia disebut seperti itu. Di dalam Injil Yohanes, dia mencatat perintah Yesus untuk murid-muridNya, orang-orang yang percaya kepadaNya, supaya mereka saling mengasihi: "Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi. Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-muridKu, yaitu jikalau kamu saling mengasihi" (Yoh 13:34-35). Bukan 1X dia tuliskan ini tetapi beberapa kali dengan kalimat yang mirip untuk menekankan maksudnya: Inilah perintahKu, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu (Yoh 15:12); Inilah perintahKu kepadamu: Kasihilah seorang akan yang lain (Yoh 15:17).

Di dalam surat 1 Yohanes, dia mengulang perintah Yesus untuk saling mengasihi di antara sesama orang percaya (saudara) dengan berbagai cara. Ketika saya membaca surat 1 Yohanes, kadang saya merasa lelah dengan kalimat-kalimat yang seperti pengulangan terus menerus. Untuk mengutip beberapa saja:

Barangsiapa mengasihi saudaranya, ia tetap berada di dalam terang, dan di dalam dia tidak ada penyesatan (1 Yoh 2:10)

Kita tahu, bahwa kita sudah berpindah dari dalam maut ke dalam hidup, yaitu karena kita mengasihi saudara kita. Barangsiapa tidak mengasihi, ia tetap di dalam maut (1 Yoh 3:14)

Saudara-saudaraku yang kekasih, marilah kita saling mengasihi, sebab kasih itu berasal dari Allah; dan setiap orang yang mengasihi, lahir dari Allah dan mengenal Allah (1 Yoh 4:7)

Tidak ada seorangpun yang pernah melihat Allah. Jika kita saling mengasihi, Allah tetap di dalam kita, dan kasihNya sempurna di dalam kita (1 Yoh 4:12)

Dan perintah ini kita terima dari Dia: Barangsiapa mengasihi Allah, ia harus juga mengasihi saudaranya (1 Yoh 4:21)

Dalam surat yang sangat pendek (105 ayat), entah berapa kali dia mengulang perintah-perintah seperti itu. Saya sangat tertarik ketika Rodney Whitacre (dalam IVPNTC: John) mengutip dua kisah dari gereja mula-mula tentang Yohanes:

Waktu Yohanes sudah sangat tua, setiap kali dia dibawa ke pertemuan jemaat dia akan selalu berkata, "Little children, love one another." Ketika murid-muridnya bosan dengan perkataannya, mereka bertanya, "Guru, mengapa engkau selalu mengatakan itu?" Dan Yohanes menjawab "Ini adalah perintah Tuhan. Jika ini saja dilakukan, sudah cukup" - Jerome (abad ke-4-5)

Ketika Yohanes bertemu dengan seorang penjahat yang bertobat tapi jatuh lagi ke dalam dosa, dia mendorong penjahat itu untuk bertobat dan berkata, "Jika harus, aku akan rela menderita kematian bagimu, sebagaimana Tuhan menderita bagi kita, bagi hidupmu, aku akan berikan hidupku" - Clement of Alexandria (abad ke-2-3)

Dia bukan saja mengulang-ulang perintah tentang kasih di dalam tulisannya, tetapi juga di dalam perkataannya dan tindakannya. Yohanes, sungguh tepat disebut "the apostle of love." We really have much to learn from him.

Sunday, March 21, 2010

What Wives Wish Their Husbands Knew About Women

James Dobson adalah salah seorang penulis topik keluarga yang sangat saya sukai. Buku Dobson ini adalah salah satu buku yang saya baca waktu baru menikah. Saya sudah tidak ingat persis isinya tetapi beberapa nasihat bijaknya saya ingat sampai sekarang. Buku ini mengajar saya untuk sensitif dan bertanggung jawab kepada kesejahteraan emosi istri saya.

Terjemahan bahasa Indonesia untuk buku ini diberi judul yang sangat buruk "Istri Anda Rewel?" Kalau ada suami yang merasa something wrong dalam relasinya dengan istrinya (maksudnya: istrinya rewel), lalu ia membeli buku ini untuk mencari solusi, bisa anda bayangkan reaksi istrinya, "Jadi maksudmu aku rewel??!!".

Berkali-kali ketika mendengar masalah sepasang suami istri, saya langsung teringat untuk merekomendasikan buku ini. Menurut saya banyak masalah akan bisa dihindarkan kalau saja suami mau memperhatikan perasaan istri. Nasihat bijaknya: "Kesejahteraan emosi istri adalah tanggung jawab suami!"

Dalam perbincangan di kelas pra nikah GKY Singapore, saya teringat untuk merekomendasikan lagi buku ini. Maka waktu pergi ke toko buku rohani, saya mencoba mencarinya. Harganya tidak terlalu mahal. Tetapi yang sangat saya sayangkan adalah covernya yang buruk, kertasnya yang tidak bagus dan terlebih lagi typography-nya yang sangat tidak menarik (hurufnya kecil dan tidak enak untuk dibaca). Meminta orang membaca buku sudah cukup sulit, apalagi jika bukunya tidak sedap dipandang seperti ini.

I hope somebody will reprint this book in a better edition. Anybody, please!?

Thursday, March 04, 2010

Ia Sengaja Tinggal Dua Hari Lagi

"...Kedua perempuan itu mengirim kabar kepada Yesus: "Tuhan, dia yang Engkau kasihi, sakit... Yesus memang mengasihi Marta dan kakaknya dan Lazarus. Namun setelah didengarnya, bahwa Lazarus sakit, Ia sengaja tinggal dua hari lagi di tempat, dimana Ia berada" (Yoh 11:3, 5-6)

Kita tahu kisah ini. Ketika Yesus mendengar berita tentang Lazarus dari Betania, Ia sengaja tinggal dua hari lagi dan baru berangkat Betania. Dan apa yang terjadi? Lazarus sudah mati. Biasanya orang melihat kisah ini sebagai kesengajaan Yesus, menunggu Lazarus mati, untuk kemudian membangkitkannya. Penundaan Yesus menyebabkan Lazarus mati dulu sebelum Yesus tiba. Tetapi bukan itu kisahnya.

Yesus tinggal dua hari lagi di tempat dimana Dia berada baru kemudian berangkat, tetapi pada waktu tiba di Betania, Lazarus sudah empat hari meninggal.

Ada beberapa kemungkinan:
1. Jarak antara Betania dan tempat Yesus berada adalah empat hari perjalanan. Setelah pembawa berita itu sampai kepada Yesus, Yesus tinggal dua hari lagi dan tepat ketika Yesus akan berangkat Lazarus pun meninggal. Maka setelah Yesus berjalan empat hari ke Betania, Lazarus sudah empat hari meninggal.

2. Jarak antara Betania dan tempat Yesus berada adalah dua hari perjalanan. Maka tepat saat pembawa berita itu sampai kepada Yesus, Lazarus pun meninggal. Maka Yesus tunggu dua hari lagi, lalu berjalan dua hari lagi, dan ketika sampai di Betania, Lazarus sudah empat hari meninggal.

3. Jarak antara Betania dan tempat Yesus berada adalah satu hari perjalanan. Maka tepat ketika pembawa berita itu baru berangkat, Lazarus meninggal. Ketika dia sampai kepada Yesus, Lazarus sudah satu hari meninggal. Yesus tinggal dua hari lagi dan berjalan 1 hari lagi, maka pada waktu sampai di Betania, Lazarus sudah empat hari meninggal.

Kemungkinan manapun, bukan penundaan Yesus yang menyebabkan Lazarus meninggal. Karena sekalipun Yesus langsung berangkat setelah menerima berita, Lazarus tetap sudah meninggal ketika Yesus sampai di Betania.

Lalu untuk apa Yesus tinggal dua hari lagi?

Biasanya orang yang meninggal dikubur pada hari yang sama. Empat hari sudah Lazarus berada di dalam kubur, tubuhnya pasti sudah mulai membusuk. Tidak akan ada keraguan bahwa dia sungguh-sungguh meninggal.

Rodney Whitacre mengutip sebuah teks Yahudi yang mengutip tulisan dari abad ke-3 yang mengatakan bahwa para peratap harus terus datang ke kubur selama tiga hari karena orang yang meninggal masih terus ada di situ. Jiwa akan terus ada disitu dan berpikir untuk kembali ke tubuh, tetapi ketika melihat tubuh yang mulai rusak, jiwa pergi dan mengabaikan tubuh. Itu kepercayaan orang Yahudi. Maka tangisan akan memuncak pada hari ketiga karena itu adalah hari terakhir orang yang meninggal itu hadir disana. Maka ketika Lazarus disebutkan sudah empat hari meninggal, ini menambah dramatis mukjizat yang akan dilakukan Yesus. Lazarus sungguh sudah mati, tubuhnya sudah membusuk dan bahkan tidak ada orang Yahudi yang bisa berkata bahwa jiwanya masih di situ! Di tengah segala ketidak-mungkinan, Yesus membangkitkan Lazarus!

Kita tidak tahu persis mengapa Yesus tinggal dua hari lagi sebelum berangkat, kita hanya bisa menduga. Tetapi satu hal yang kita tahu, seperti yang dikatakan Whitacre "His delay leads to a greater blessing." Penundaan Yesus, memimpin kepada berkat yang lebih besar, bagi Lazarus, bagi Maria dan Marta, dan bagi orang-orang Yahudi yang hadir di situ atau mendengar kisah itu.