Tuesday, April 08, 2008

1 Samuel 13 - Ketidaktaatan


Saul adalah raja pertama dari bangsa Israel. Kitab 1 Samuel pasal 9-12 mencatat hal-hal yang indah
tentang bagaimana Saul dipilih Tuhan menjadi raja, bagaimana namanya dibuat menjadi harum di antara orang Israel, sehingga Samuel pun bisa berlega hati minta diri dari bangsa Israel. Tetapi mulai 1 Samuel 13, yang diceritakan adalah kemerosotan Saul. Ketidaktaatan dan ketidak bijaksanaan Saul mulai diperlihatkan, sampai akhirnya 1 Samuel 15:35 menyimpulkan: “…Samuel berdukacita karena Saul. Dan Tuhan menyesal, karena Ia menjadikan Saul raja atas Israel”. Itulah kesimpulan akhir yang menyedihkan tentang Saul.

Selama Saul memerintah, bangsa Israel terus berada dalam kondisi peperangan dengan bangsa-bangsa lain. 1 Samuel 13-15 menceritakan kemenangan-kemenangan awal Saul atas Filistin dan juga Amalek. Maka dari sisi manusia, bisa dikatakan 1 Samuel 13 ini adalah permulaan yang baik dari pemerintahan Saul. Baru saja jadi raja, sudah menang perang terus. Dia mengawali pemerintahannya dengan menunjukkan kemampuannya melawan musuh. Tetapi justru di sini pointnya. Cerita kesuksesan Saul bercampur dengan komentar yang buruk dari Tuhan.

Dan akhirnya seluruh cerita ditutup di 1 Samuel 15 dengan kesimpulan yang menyedihkan itu tentang Saul. Sekalipun Saul bisa memenangkan peperangan dan banyak mengerjakan hal yang baik selama dia menjadi raja, tetapi dia tidak taat pada Tuhan. Kalau mau diukur dari keberhasilan, Saul sangat sukses. Tapi bukan itu yang Tuhan lihat. Tuhan tidak memuji kesuksesannya, tetapi Tuhan bersedih melihat hatinya.

Kesalahan Saul dalam 1 Samuel 13 ini adalah dalam hal mempersembahkan korban. Kesalahan Saul adalah karena ia tidak mentaati firman Tuhan yang disampaikan oleh Samuel (13:13-14).

Saul ingin segera membakar korban karena pada waktu itu rakyat mulai berserak meninggalkan dia. Tentara Israel punya sedikit sekali senjata yang layak karena mereka sama sekali tidak menguasai teknik untuk mengasah besi. Tidak ada seorang pun tukang besi di Israel, maka mereka tidak memiliki satu pun pedang atau tombak (13:19,22). Hanya Saul dan Yonatan yang punya. Yang lain pakai apa? Mungkin kapak, arit, atau alat-alat pertanian lainnya yang tidak layak dijadikan senjata berperang. Sementara itu, mempersembahkan korban sebelum berperang adalah kebiasaan bangsa-bangsa zaman itu sebagai cara mendapat perkenanan dewa mereka. Bangsa Israel juga punya konsep yang sama. Itu sebabnya dalam keadaan yang serba lemah, sementara korban belum dipersembahkan, mereka sangat takut dan mulai meninggalkan Saul. Maka Saul ingin membangkitkan semangat rakyat dengan membakar korban, seperti berkata “Lihat korban sudah dipersembahkan! Allah pasti tolong!”.

Samuel sudah memberikan perintah supaya Saul pergi dulu ke Gilgal dan menunggu dia selama 7 hari di sana sampai dia datang dan barulah mempersembahkan korban (10:8). Tetapi sesudah ditunggu 7 hari lamanya, Samuel belum datang juga sementara rakyat sudah tidak sabar. Keadaan memburuk karena musuh makin dekat mengepung dan semua sudah ketakutan, ada yang bersembunyi di gua dan ada yang melarikan diri. Maka Saul pun melanggar perintah Tuhan.

Ada 3 hal lagi yang menjadi kesalahan besar Saul:

Pertama, dia pintar beralasan. 
Kita bisa berkata bahwa tindakan Saul masuk akal. Persis seperti alasan Saul mengapa dia mempersembahkan korban tanpa menunggu Samuel: “Rakyat itu berserak-serak meninggalkan aku dan engkau tidak datang pada waktu yang telah ditentukan, padahal orang Filistin telah berkumpul di Mihkmas, maka pikirku: Sebentar lagi orang Filistin akan menyerang aku di Gilgal, padahal aku belum memohonkan belas kasihan TUHAN; sebab itu aku memberanikan diri, lalu mempersembahkan korban bakaran” (13:11-12).

Kata-kata Saul hebat, alasannya tepat, semuanya masuk akal. Tetapi Saul lupa 1 hal: Tuhan lebih senang orang yang taat! Alasan apapun, sekalipun masuk akal, menjadi tidak masuk akal karena melawan perintah Tuhan.

Kalau kita lihat nanti di 1 Samuel 15, kita menemukan kisah yang mirip terulang lagi. Saul tidak taat lagi, dan ketika ditegur, dia langsung memberikan lagi alasan-alasan yang masuk akal. Ini kelemahan Saul yang paling dasar: dia pintar bicara dan mencari alasan ketika ditegur.

Kedua, Saul dikuasai oleh keadaan dan bukan oleh iman.

John Bunyan mengatakan kalimat yang agung: “Aku lebih baik berjalan di dalam gelap bersama Tuhan daripada berjalan sendirian di dalam terang”. Lebih baik di dalam gelap, tidak tahu mengapa, tidak tahu harus bagaimana, tetapi tetap bersama Tuhan, daripada seakan-akan tahu jelas apa yang harus dilakukan, tahu jalan kemenangan, tetapi sendirian karena tidak bersama Tuhan.

Tetapi pikiran Saul lain. Dan seringkali begitu jugalah kita! Ketika kita melihat keadaan tidak beres, kita sering ingin segera melakukan sesuatu. Kita tidak suka ada sesuatu yang berjalan di luar kontrol kita, kita ingin pegang kendali. Tetapi ini salah! Ini seringkali sama dengan keinginan manusia menjadi sama seperti Allah. Kita ingin mengatur hidup kita, ingin semua berada dalam kontrol kita. Padahal lebih baik lemah, seperti tidak bisa berbuat apa-apa, berada dalam kegelapan, tapi jelas menantikan Tuhan.

Terakhir, Saul menganggap Tuhan hanya seperti mainan. Ketika dia mempersembahkan korban, dia juga hanya ingin memakai Tuhan untuk memberkati peperangan. Dia ingin memakai upacara persembahan korban kepada Tuhan itu sebagai alat untuk memompa semangat prajuritnya. Ia tidak menganggap serius Tuhan.

Belajar mentaati Tuhan, belajar tetap taat sekalipun keadaan tidak memungkinkan, belajar tetap menunggu Tuhan sekalipun seperti tidak bisa ditunggu, itu adalah pelajaran-pelajaran penting dalam kehidupan. Saul melakukan kewajiban agama, Saul bicara tentang Allah, Saul juga melakukan pekerjaan Allah. Semua itu dia lakukan, tetapi itu tidak cukup. Masalahnya adalah hati, 'The heart of the matter is a matter of the heart' (Inti dari masalahnya adalah masalah hati). Allah tidak ingin semua itu tanpa hati yang merindukan dan mentaati Dia.

Bagaimana hati anda?