Monday, September 06, 2010

Talking In a Different Level

Saya sedang mengalami krisis, sebut saja krisis pengetahuan komprehensif (nggak tahu apakah istilah ini tepat). Maksudnya begini, dulu waktu masih mahasiswa di Trisakti, saya pernah ikut sekolah teologi malam, ikut kelas PA dan memimpin kelompok PA, dan juga membaca buku-buku teologi. Dengan pengetahuan yang saya dapat dari semua itu, saya cukup 'mampu' menjawab berbagai pertanyaan teologis. Saya bahkan berani membuka sesi tanya jawab di depan remaja-remaja yang saya layani.

Pada waktu saya masuk ke sekolah teologi full time, makin banyak belajar, dan kemudian makin banyak melayani, saya merasa makin 'mampu' lagi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan teologis. Saya ingat seorang dosen saya bertanya "siapa yang berani membuka sesi tanya jawab pada waktu berkhotbah?", dan dia yakin tidak ada dari kami yang berani karena sesi tanya jawab berarti siap menjawab pertanyaan apapun yang mungkin muncul. Tapi -dalam hati- saya tidak mengerti kenapa tidak berani karena saya bahkan sudah melakukannya sebelum masuk sekolah teologi. Mungkin saya sombong waktu itu :-(

Tapi setelah sekian tahun melayani, akhirnya saya mulai mengerti. Saya mulai tidak berani dan kadang saya agak bingung "kok dulu saya berani banget ya???" Saya masih berani membuka sesi tanya jawab, tapi ada hal-hal yang saya rasa lain dengan dulu. Saya tidak seberani dan seyakin dulu di dalam beberapa hal. Apa yang terjadi?

Sekarang saya sedang studi di program M.Th. Ada banyak pengetahuan yang masuk di kepala saya. Ada banyak pikiran-pikiran saya yang dipoles dan ditantang. Dan saya menemukan bahwa saya makin tidak berani lagi. Di dalam menjawab, di dalam mengungkapkan sesuatu, saya cenderung sangat berhati-hati karena saya tahu 'lubang-lubang'nya. Saya tahu tidak bisa ngomong begitu, tidak terlalu tepat dirumuskan begini, ada kemungkinan bukan begitu, dst. Apa yang terjadi?

Seorang profesor saya mengatakan, pada waktu kita makin belajar, dari yang 'tahu' bisa menjadi 'tidak tahu'. Sebetulnya bukannya kita jadi tidak tahu, tapi kita berbicara dalam level yang berbeda. We are talking in a different level. Apa yang dulu kita tahu mungkin tidak salah, tapi karena sekarang kita masuk ke dalam level pembicaraan yang berbeda, baru kita temukan bahwa apa yang dulu kita pikir kita tahu ternyata masih banyak kurangnya. Itu sebabnya kita jadi merasa tidak tahu.

Kalau boleh pakai perumpamaan (yang pasti tidak 100% pas): Seperti suatu bangunan. Ide, konsep, berbagai pengetahuan teologis adalah rangka besinya, tapi untuk membuatnya menjadi bangunan yang kuat, kita perlu pasir dan semen yang mengisi ruang di antaranya. Dulu bangunan teologis saya itu sudah jadi, tapi kemudian saya belajar lagi, rangka besi ditambah lagi, ada yang direnovasi lagi, maka in a different level, bangunan itu bolong lagi dan harus kembali diisi dengan pasir dan semen.

Studi teologi memerlukan waktu yang sangat panjang. Kita harus belajar dulu berbagai pengetahuan, lalu meresapinya, memikirkan implikasinya, kaitannya dengan berbagai hal lain, barulah itu menjadi bangunan. Dan ketika kita terus belajar, akan ada lagi rangka besi lain yang ditambahkan dan perlu direnovasi, maka sekali lagi in a different level bangunan itu bolong lagi dan harus kembali diisi dengan pasir dan semen. Demikian seterusnya.

Saya berharap krisis ini tidak berkepanjangan. Saya harap bisa menemukan cara dan kesempatan untuk kembali menata rangka-rangka besi baru ini menjadi struktur yang kuat dan kembali mengisinya menjadi bangunan lagi.

Satu hal terakhir, saya jadi terpikir, alangkah bahayanya kalau kita sudah terlalu lama merasa fine dengan bangunan teologis kita. Karena mungkin itu berarti kita sudah lama berhenti belajar. Tidak ada lagi sesuatu yang ditambahkan dan dibangun disitu. Dan celakanya, bangunan teologis yang berhenti dibangun, bukan berarti tidak akan berubah tingginya tapi justru akan makin rendah.