Saturday, December 24, 2011

Natal Tidak 'Jinak'

Kadang saya complain dengan Natal yang di-sekularisasikan. Tiap kali melihat iklan baju, kosmetik, elektronik, yang menggunakan Natal sebagai promosinya - saya complain. Tiap kali mendengar  so called ‘lagu Natal’ diputar di mal, dan lagunya adalah: ‘White Christmas’, ‘Last Christmas I give You My Heart’, ‘I Saw Mommy Kissing Santa Claus’, ‘Santa Claus is Coming to Town’, dan seterusnya - saya complain. Kapan Natal bisa dimurnikan dari semua sekularisasi itu? Kapan Natal kembali dirayakan sebagai pernyataan kasih Allah?

Pop Culture yang mengelilingi Natal membuat banyak orang dibelokkan dari arti Natal yang sesungguhnya. Natal menjadi tidak ‘berbahaya’, dan itu sebabnya banyak orang, termasuk yang bukan Kristen, ikut dalam gempita Natal. Bahkan negara yang jelas menolak kekristenan pun, ikut merayakan Natal. Kita tahu motivasinya: ekonomi! Tidak ada Natal di situ. Yang ada hanya tiruan Natal yang menyesatkan.

Banyak orang berpikir bahwa kondisi ini ada ‘untungnya’. ‘Jinak’nya Natal membuat semua orang tidak keberatan merayakan Natal. Maka itu bias menjadi kesempatan untuk kita memasukkan kisah sesungguhnya tentang Natal. Saya kira sebaiknya kita melihat kondisi itu bukan sebagai ‘keuntungan’ tapi sebagai anugrah Tuhan yang bekerja di tengah kekacauan dan segala bentuk tipuan. Setan mengacaukan Natal tapi Tuhan bisa menjadikannya kebaikan.

Tetapi, yang membuat saya menjadi sangat khawatir adalah berbagai hal yang membelokkan manusia dari Natal itu ternyata juga membelokkan orang Kristen. Orang Kristen pun terbuai dengan Pop Culture di sekitar Natal itu dan menganggap Natal begitu ‘jinak’. Natal kita kaitkan dengan perasaan hangat,  merasa ada sesuatu yang ‘beda’, senang berkumpul dengan keluarga, pesta makan, menyanyikan lagu Natal, dan seterusnya. Coba saja ketik 'Christmas' di google image, maka gambar yang muncul semuanya adalah tentang kehangatan keluarga, rumah yang hangat di tengah salju, hadiah, pohon Natal yang indah, dan seterusnya. Natal yang sangat jinak!

Pegang baik-baik kalimat ini: Natal tidak pernah ‘jinak’! Natal adalah demonstrasi keliaran, kekuatan, dan kedahsyatan kuasa Allah dan kasih Allah.

Bayangkan apa yang terjadi waktu Natal. Rencana ribuan tahun sekarang dilaksanakan! Sakit hati Allah karena dosa, yang sudah ditanggung ribuan tahun, sekarang akan didamaikan! Anak Allah sudah lama menyatakan kerelaan-Nya untuk menjalankan rencana itu dan sekarang Dia sungguh kerjakan! Seluruh malaikat terbelalak dan tidak mengerti, setan gempar dan bertanya-tanya apa yang akan dilakukan Allah, hari itu… Anak Allah.. menjadi manusia! Lalu dengan kelemahan seorang bayi, dengan kerentanan seorang manusia, dengan kerendahan seorang anak tukang kayu, Dia mulai menghajar, memporak-porandakan, dan menghancurkan kuasa setan. Natal sama sekali tidak jinak!

Setan gagal mencegah Natal maka dia membuat Natal menjadi menjadi ‘jinak’, kesenangan semata, dan dia belokkan manusia supaya jangan pernah sampai kepada Natal yang sesungguhnya. Begitu suksesnya dia, sampai2 orang Kristen pun ikut dibelokkan.

Kita tahu bahwa Tuhan tetap bisa bekerja sekalipun di tengah kekacauan yang ditimbulkan oleh setan. Dia tetap bisa berkarya dan menjadikan kebaikan dari segala sesuatu. Tetapi, bukankah menjadi sangat mengkhawatirkan kalau kita, yang seharusnya membawa keliaran, kekuatan, kedahsyatan kasih dan kuasa Allah itu, justru juga sudah ikut terbuai?

Mari ingat lagi liarnya, kuatnya, dahsyatnya, kasih dan kuasa Allah yang bekerja waktu Natal dan yang juga sudah bekerja dalam diri kita sehingga kita bisa disebut ‘anak-anak Allah’!

Merry Christmas to us all!

Sunday, December 18, 2011

Melayani Tuhan: Sumber Kebebasan

William H. Willion di dalam bukunya: Pastor: TheTheology and Practice of Ordained Ministry mengatakan:

To believe that we are in ministry as God’s idea, rather than our own sense of occupational advancement; this is the submission, the yoking that is the source of true freedom (2 Cor. 3:17). Time and again, the main thing that keeps our ministry specifically Christian is to be able to assert with conviction, “We must obey God rather than any human authority” (Acts 5:29).

Saya menemukan bahwa itu sangat..sangat.. benar! Percaya bahwa kita berada dalam pelayanan sebagai idenya Tuhan dan bukan kemauan kita, bukan karir, bukan profesi, berarti tunduk kepada Tuhan, memikul kuk yang justru menjadi sumber kebebasan.

Sejak lulus sekolah teologi, saya ingin studi lanjut, tapi kesempatan sepertinya belum terbuka. Beberapa tahun lalu saya mengingatkan diri sendiri: Untuk apa sih saya studi? Untuk saya atau Tuhan? Kalau untuk Tuhan, dan untuk melayani di ladang Tuhan, maka bukankah terserah Tuhan? Kalau menurut Tuhan baik, maka jalan akan terbuka. Kalau menurut Tuhan tidak baik, maka tidak studi adalah yang terbaik. Sebagai manusia, menurut saya, studi adalah hal yang baik tapi belum tentu menurut Tuhan. Maka saya sangat tenang dan tidak ‘ngotot’, tidak panik, tidak kenapa-napa. Tapi begitu saya yakin Tuhan bilang “ya”, maka saya mulai ngotot. Dan kesadaran seperti itu sangat membebaskan!

Banyak orang juga ngotot, ingin ini dan itu. Dalam pelayanan, ingin jabatan, ingin hormat, ingin posisi, ingin lokasi, dst. Dengan cara itu kita justru memikul kuk yang sangat berat, yang tidak seharusnya kita pikul. Pelayanan adalah idenya Tuhan! Maka sangat menolong jika kita sering-sering mundur sedikit, lalu melihat semuanya dari sudut pandang yang lebih luas, sudut pandangnya Tuhan. Sangat membebaskan!

Willimon berkata, hal utama yang nenjaga pelayanan kita tetap menjadi pelayanan Kristen adalah untuk mampu menegaskan dengan yakin bahwa : Kita harus lebih taat kepada Allah daripada kepada manusia. Kadang sangat sulit untuk lebih taat kepada Allah daripada kepada manusia. Kita punya keinginan, ada tekanan dan masalah dari orang di sekitar kita, ada suara-suara yang menuntun kita ke arah lain, ada pujian yang terus diberikan untuk kita jangan kesana, atau cemoohan yang menghalangi kita untuk tetap disini. Saat itu, dengan yakin kita harus berkata, saya ikut Tuhan dan bukan manusia.

Keyakinan bahwa pelayanan kita adalah dari Tuhan, untuk Tuhan dan bagi kemuliaan Tuhan (terbalik dengan dari kita, untuk kita dan bagi kemuliaan kita), membuat kita bebas melangkah. Dan kuk itu sungguh ringan. Tidak mudah, tidak asal-asalan, tidak senang-senang, tapi ringan dibanding kuk yang kita buat sendiri.

Willimon kemudian melanjutkan:

We fear loss of control. We have anxiety over what life is like to be accountable to someone rather than ourselves. It is somewhat frightening to construe our lives in such a theonomous cast, to have our lives lived in constant reference to the purposes of God. But it is also invigorating to receive the freedom and the dissonance of living the called life in a world where too many people are answerable to nothing more than their own ill-formed desires.

Kita selalu ingin pegang kendali. Kita takut berserah kepada Tuhan, takut selalu ikut maunya Tuhan. Cukup lah ikut 1X, tapi jangan terus2an! Tapi justru ketika semua orang hanya mengikuti keinginannya sendiri yang ngaco, mengikuti panggilan Tuhan memberikan kebebasan bagi kita. Kebebasan yang sejati - karena jiwa yang dijepit oleh nafsu dibebaskan dengan mengikut Penciptanya.

Tuesday, December 13, 2011

Hidupku Adalah Pelayanan BagiMu?

Kalau kita mau coba definisikan, apa sih pelayanan? Kalau kita definisikan pelayanan sebagai sibuk2 dekor, rapat, paduan suara, liturgis, maka kita salah. Semua itu hanyalah aktifitas dalam rangka pelayanan. Maka PELAYANAN itu sendiri pasti lebih besar dari semua itu. 

Ada memang yang mendefinisikan dengan sangat besar, bahwa pelayanan adalah hidup kita. Tema yang banyak dipakai: “Hidupku Adalah Pelayanan BagiMu”. Betul sekali, tapi makna pelayanan jadi buram. Apa artinya “hidupku adalah pelayanan bagiMu”? Semua orang punya hidup. Apakah kalau dalam hidup itu kita melayani dalam aktifitas gereja, hidup jujur dalam pekerjaan, mungkin kadang mengajak orang ke gereja, lalu pasti “hidupku adalah pelayanan bagi Tuhan”?

Mungkin lebih baik kita melihat ‘big picture’ nya dulu.

Allah punya kehendak, maksud, tujuan di dunia ini. Allah punya hati, apa yang Dia senang dan tidak senang. Allah harus ditinggikan, dimuliakan oleh ciptaanNya. Maka melayani Tuhan berarti menjalankan kehendak, maksud, tujuan Allah. Pelayanan berarti melakukan apa yang Allah senang. Pelayanan berarti meninggikan Allah, memuliakan Allah dan menjadikan dunia juga meninggikan Allah, memuliakan Allah.

Dengan cara apa? Allah tidak kenal yang namanya part time. Allah tidak kenal yang namanya ‘kalau sempat’. Allah mau seluruh hidup. Seperti yang Yesus ajarkan: Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu, segenap jiwamu, akal budimu, kekuatanmu.

Mungkin gambaran prajurit akan menolong kita. Paulus bilang, seorang prajurit hanya berpikir bagaimana menyenangkan komandannya. Dunia dan hidup seorang prajurit adalah berperang. Dia hanya punya satu arah, satu tujuan, satu hati, melayani perintah komandannya dalam berperang. 

Bagi prajurit ‘big picture’ nya adalah: perang. Tapi prajurit hidupnya tidak cuma perang. Dia juga harus urus makan, dia harus bersihkan senjata, dia harus cuci baju, dll. Tapi dalam pikirannya harus tetap dia adalah prajurit. Dia masak, makan, cuci baju, bersihkan senjata, karena dia prajurit yang baik. Walaupun yang dia lakukan banyak macamnya, tapi pikirannya hanya satu: saya adalah prajurit. Ada big picture.

Dan apalagi waktu harus perang sungguhan, dia harus pergi perang. Itulah hidupnya. Walaupun dalam hidupnya dia tidak hanya perang, karena ada banyak yang terkait yang harus dia lakukan: makan, cuci baju, dll. Tapi sambil lakukan apapun juga, pikirannya tetap: saya adalah prajurit. Hidupnya adalah perang.

Sama. Bagi kita ada big picture: Maksud Tuhan, hati Tuhan. Ingin supaya dunia meninggikan Allah, memuliakan Allah. Ini perangnya.

Memang kita juga harus makan, harus urus ini dan itu, harus lakukan banyak hal. Kita punya macam2 tanggung jawab sosial di masyarakat, dengan keluarga, teman, dengan lingkungan kita, dsb. Tapi big picture itu tidak boleh hilang. Kita harus ingat bahwa kita lakukan itu semua dalam rangka hidup bagi Tuhan, menjalankan maksud Tuhan, kehendak Tuhan, menyenangkan Tuhan dan ingin orang meninggikan Allah.

Pada waktu ada panggilan untuk ikut perang yang lebih real, mungkin bersaksi kepada teman, mungkin lakukan aktifitas pelayanan di gereja, mungkin pergi ke ladang misi, atau apapun itu, kita harus ikut. Tapi kita ikut bukan karena kita sempet, “ya bantu dikit2”, “ya saya suka sih seru”. Ini perang! Kita sedang menjalankan maksud Tuhan, supaya orang meninggikan Tuhan, memuliakan Tuhan.

Maka kita perlu evaluasi hidup kita dengan cara ini.

Apakah kita sedang mengerjakan maksud Tuhan? Apakah kita sedang perang untuk Tuhan?

Hidupku adalah pelayanan bagiMu. Betul. Tapi bagaimana menjadikan hidup pelayanan bagi Tuhan? Semua pekerjaan asal kita lakukan baik2, berarti pelayanan? Punya waktu bantu2 dikit di gereja, berarti pelayanan? Tidak.

Kita harus tanya apa yang Tuhan mau? Kemana, atau pakai gambaran perang tadi, di front mana Tuhan mau kita berperang? Kita harus taat dan berperang di situ. Kalau ada hal-hal terkait lain yang kita perlu lakukan, bekerja, ikut ini itu, tanggung jawab ini itu, semua tetap kita lakukan dalam rangka berperang. Big picture tidak hilang!

Banyak orang bekerja, ikut kelompok hobby ini itu, ikut aktifitas sosial ini itu, tanpa pernah berpikir semua dalam rangka perang bagi Tuhan, semua dalam rangka melayani Tuhan. Maka dia memisahkan hidupnya menjadi dua: pelayanan dan bukan pelayanan.

Dan ironisnya banyak orang yang melakukan aktifitas pelayanan, sibuk ini dan itu, juga tanpa pernah berpikir bahwa itu adalah perang bagi Tuhan. Tidak pernah pikir apa yang Tuhan mau, suka, inginkan. Tidak pernah pikir bahwa dia harus sekuat tenaga, segenap jiwa, hati dan akal budi, mengasihi Allah. Maka mungkin dia melakukan aktifitas pelayanan yang bukan PELAYANAN.

Satu pemikiran terakhir. Kita perlu proporsi. Tidak mungkin kita prajurit tapi kerjanya hanya cuci baju terus. Apa betul Tuhan tidak panggil untuk perang lebih real? Berapa proporsi antara waktu yang kita pakai untuk bekerja, ikut kegiatan ini dan itu, dengan perang yang lebih real? Tanya Tuhan!

Kadang saya kecewa melihat orang yang mau habiskan waktu banyak sekali untuk pekerjaan. Tidak apa kalau itu bagian yang harus dia lakukan. Tapi di luar pekerjaan, dia ambil lagi kegiatan lain yang adalah hobby. Ok kalau memang harus. Lalu dia ambil lagi kegiatan lain, aktif disini dan disana karena suka. Dan akhirnya pelayanan yang langsung, perang yang lebih real, sedikit saja. Alasannya? Bukankah “Hidupku adalah pelayanan bagi Tuhan”? Benarkah? Coba pikir lagi!

Saya tidak mengatakan bahwa yang pelayanan full time pasti lebih baik karena dia berperang real terus. Hidup kita adalah mengikuti panggilan Tuhan, apapun itu. Maka apapun panggilan Tuhan, itu medan perang kita. Tapi saya mau kita bertanya, benarkah kita berpikir begitu? Benarkah yang sekarang saya lakukan adalah panggilan Tuhan? Benarkah hati saya terbakar untuk lebih lagi meninggikan Tuhan, memuliakan Tuhan dan mengajak orang lain juga meninggikan Tuhan dan memuliakan Tuhan?

Wednesday, December 07, 2011

Bless the Lord, my soul

Bless the LORD, O my soul, and do not forget all his benefits-- (Psalms 103:2)
Bless the LORD, O my soul. O LORD my God, you are very great. You are clothed with honor and majesty, (Psalms 104:1)
I will bless the LORD at all times; his praise shall continually be in my mouth. (Psa 34:1)

Ayat-ayat di atas diambil dari New Revised Standard Version. Di dalam terjemahan Indonesia, istilah ‘bless’ diterjemahkan menjadi ‘pujilah’. ‘Pujilah’ tentu lebih akrab bagi kita dan lebih mudah diterima.
Kesulitannya adalah ketika kita menjumpai istilah ‘bless the Lord’ di dalam lagu2 bahasa Inggris. Banyak orang Kristen yang tidak mengerti apa artinya ‘bless the Lord’, bagaimana mungkin kita memberkati Tuhan? Tulisan singkat di bawah ini dari John Piper mungkin bisa menolong (saya terjemahkan ke bahasa Indonesia, artikel aslinya bisa dilihat disini).
Pendapat saya adalah di dalam Alkitab ketika Allah “memberkati” manusia maka mereka tertolong dan dikuatkan dan menjadi lebih baik dari sebelumnya, tetapi ketika manusia “memberkati” Allah, Dia tidak terotolong atau dikuatkan atau menjadi lebih baik. Tetapi manusia memberkati Allah adalah “ekspresi dari memuji bersyukur”, ketika PL menyebut “memberkati Allah” ia tidak “menunjuk pada proses yang bertujuan meningkatkan kekuatan Allah”. Tetapi ia berarti “pernyataan syukur dan kekaguman”.  
Ini sama sekali bukan fenomena semantik yang aneh. Jika Allah adalah “pemberi berkat” yang paling pertama dan sumber yang tidak pernah habis, maka dia haruslah melampaui semuanya dalam keadaan “terberkati” – kepenuhan dan sumber segala “berkat”. Dan jika demikian, maka letupan pujian yang paling natural adalah “Engkau diberkati!” Bahwa pengakuan dan pernyataan sukacita tentang terberkatinya Allah  kemudian digambarkan dengan “memberkati Allah” bukanlah sesuatu yang tidak biasa. Analogi lain, sekalipun tidak persis, adalah ekspresi kita seperti: “Aku membesarkan Tuhan” atau “Mari kita meninggikan namaNya”. Kedua eksresi ini dengan tepat mengakui dan memberikan ekspresi sukacita kepada status Allah yang besar dan tinggi. Kalimat itu tidak bermaksud menjadikan Allah lebih besar atau lebih tinggi. Maka memberkati Allah berarti mengakui betapa besar kekayaanNya, kekuatanNya, dan kemurahanNya dan untuk mengekspresikan rasa syukur dan sukacita kita ketika melihat dan mengalaminya.
Di bawah ini adalah salah satu lagu dari Taize yang saya suka:

Bless the Lord, my soul, and bless God’s holy name. Bless the Lord, my soul, who leads me into life.








Saturday, December 03, 2011

Bethlehemian Rhapsody–Mark Bradford

This is very creative and.. hillarious! :-)
Beberapa orang mungkin menganggap tidak pantas untuk memakai lagu Bohemian Rhapsody (Freddie Mercury - Queen), lagu sekuler, menjadi lagu rohani. Kapan-kapan saya menulis tentang itu. Tapi bener, ini kreatif! Enjoy :-)

Lirik:

Is this the real birth? Is it Nativity? Caught in a census, in the town of his ancestry. Open your eyes, look up to the skies & see...He's just a poor boy, foretold by prophecy because the wise men come, wise men go, angels high, shepherds low; This is how God's love shows, it's a wondrous story to me, to me. Mary just got the word the angel did appear, but he told her not to fear. Mary, now it's just begun. Your son is gonna wash our sins away.

Mary, ooooh....The God who reigns on high has sent his son thru you to die for all.

I see a little sillouetto of a sheep, Shepherds watch, Shepherds watch over their flocks at nighttime. Angels shine like lightning, very very frightening me. Glory to God! Peace on earth! (repeat) Unto you is born this day, the only way! I'm just a shepherd, nobody loves me.

He's just a shepherd from a poor family. Angels said, go to the stable & see. Wise men come, wise men go,Will Herod let him live?  Hey Herod, NO he will not let him live...BETTER GO! (repeat) GO, go, go, go! Oh, Mary, Joseph, Mary, Joseph to Egypt now, gotta save your son who came for me, for me, for me!

So you think that it's just a tale of days gone by? But this child who was born went to Calvary to die. Oh, Jesus, it's the story of Jesus-wash our sins out, wash our sins right out of here. It's a wondrous story, anyone can see. Let's give God the glory, it's a wondrous story to me.

Monday, November 28, 2011

My Thesis Writing - 3

Waktu awal mengerjakan thesis, tiap hari saya harus mengatur bagaimana menyimpan, membawa dan membereskan banyak buku setiap hari. Akhirnya saya mendekati librarian di TTC, dan atas kebaikannya saya mendapat sebuah meja khusus untuk mengerjakan thesis. Mejanya tidak besar, bahkan bisa dibilang kecil sekali, tapi lumayan lah... :-0

Dan di situlah saya duduk sekitar 5-7 jam setiap hari, 3-5 hari setiap minggu, entah sampai berapa bulan ke depan.

Kadang saya mengeluh dengan gelapnya tempat itu, khususnya ketika hujan dan librarian kurang bermurah hati untuk menyalakan lampu, tapi sekarang saya punya lampu meja. Kadang saya mengeluh dengan kecilnya meja itu, tapi jauh lebih baik daripada tiap hari saya harus mengatur bagaimana membawa dan membereskan buku2 sebanyak itu. Kadang saya mengeluh dengan sulitnya bolak-balik mengambil buku di lantai 1 (buku-buku Biblika ada di lt.1), tapi dari situ saya lebih dekat untuk bolak-balik ke toilet :-) There is always a reason to thank God, isn't it!?



Friday, November 25, 2011

Selling Jesus: What’s Wrong With Marketing the Church-Douglas Webster

Dua kata yang seringkali dipertentangkan orang ketika bicara pertumbuhan gereja adalah: “kualitas”
dan “kuantitas”. Mana duluan? Apa yang harus dipentingkan? Sebagian berkata “kualitas”, perhatikan iman jemaat, pembinaan yang mendalam, dst. Sebagian lagi berkata “kuantitas”, perhatikan bagaimana menginjili, bagaimana menarik orang datang, dst, Lalu ada yang mendamaikan dengan berkata kalau ada “kualitas” pasti ada “kuantitas”. Kalau tidak ada “kuantitas” itu tandanya tidak ada “kualitas”. Maka mana dulu? Dua2nya berjalan bersama! Saya tidak terlalu setuju.

Gerakan ‘Church Growth’ dimulai beberapa puluh tahun yang lalu dan entah kapan juga mulai populer di Indonesia. Gerakan ini dimulai dengan concern akan banyaknya gereja tradisional yang menua dan perlahan-lahan mati. Tidak ada lagi gairah di dalam gereja, tidak ada semangat untuk membawa orang percaya kepada Tuhan, semua dilakukan serba rutinitas dan kebiasaan. Gerakan ini mendorong gereja kembali menjadi gereja yang bermisi dan memperhatikan bagaimana membawa orang datang ke gereja dan percaya kepada Yesus. Mereka menganalisa berbagai faktor, dengan menempatkan diri sebagai orang yang belum percaya dan ‘orang baru’ dalam gereja, apa yang membuat mereka akhirnya mau datang dan bahkan stay di suatu gereja? Istilah yang kemudian menjadi populer adalah ‘seeker sensitive’.

Gerakan ini masih sangat populer, demikian pula di Indonesia. Tapi kelemahan utama gerakan ini adalah justru di fokusnya yang pada ‘seeker sensitive’, sudut pandang orang yang belum percaya atau baru datang. Tidak selalu salah. Tapi begitu fokusnya mereka pada hal itu sehingga tanpa sadar yang mereka lakukan tidak beda seperti sedang memasarkan gereja, ‘marketing the church’, menawarkan barang dagangan yaitu gereja dan Yesus. Itulah yang dikritik oleh Douglas Webster dalam buku ini.

Manusia punya kebutuhan, “the real need”. Tapi tidak semua sadar itu, sebagian hanya tahu “the felt need”. Alangkah bahayanya kalau kita menawarkan untuk memenuhi “the felt need”. Tidak heran banyak gereja yang dangkal.

Perhatian utama gereja adalah pada keteraturan manajemen, multimedia yang canggih, sound system yang sangat baik, hamba Tuhan yang hangat, humoris, energetik, segala macam pelayanan untuk segala macam kebutuhan, dan seterusnya. Sekali lagi, tidak sepenuhnya salah, tapi salahnya adalah fokusnya hanya di situ.

Saya sendiri tidak percaya bahwa “kualitas” selalu menghasilkan “kuantitas”. Tidak tentu! Ketika Yesus memberikan “the felt need”, mukjizat, makanan, kesembuhan, orang berbondong mengikut Dia. Ketika Dia mengajarkan bahwa Dialah roti yang turun dari sorga, Dia ditinggalkan orang! “Kualitas” mungkin menghasilkan “kuantitas” tapi tidak selalu.

Buku ini memberikan beberapa sorotan yang tajam untuk kecenderungan kita memasarkan gereja (dan mungkin juga memasarkan Yesus)!

Thursday, November 10, 2011

'Sharing' di Dunia Maya

Internet mempercepat informasi. Apa yang kita tulis dalam sekejap mata bisa dibaca oleh orang di belahan dunia lain. Tidak perlu susah2, ada banyak jaringan untuk mempublikasikan diri kita, lewat facebook, mailing list, twitter, blog, dll. Ketik, tekan tombol ‘publish’ (atau tombol apapun itu) dan voila… siapa saja bisa membacanya.

Kita merasa berkuasa karena semua terserah kita. Ingin menulis apa? Silakan! Ingin marah? Silakan! Ingin menyatakan frustasi? Silakan! Terserah kita tulis apa, karena ini facebook kita, twitter kita, blog kita. Tidak ada yang bisa menghalangi kita menulis apapun dan… kita berkuasa untuk menekan tombol ‘publish’ itu.

Kita lupa ada satu – yang sangat penting dan besar – yang tidak mampu kita kontrol: pembaca! Maksud saya apa yang kita tulis akan dibaca orang! Apa yang kita tulis, sedikit banyak, mempengaruhi orang! Apa yang kita tulis membuat orang berpikir sesuatu tentang kita!

Sama seperti tindakan dan perkataan, tulisan juga keluar dari diri kita dan menghasilkan dampaknya. Sekali keluar ia tidak bisa dihentikan lagi. Kita tidak berkuasa lagi atasnya. Ia bisa menolong, bisa merusak, bisa membangun, bisa menyakiti! Dan sama seperti tindakan dan perkataan, tulisan juga mempengaruhi penilaian orang kepada kita.

Saya tidak habis pikir banyak orang yang lupa bahwa menulis di dunia maya bukanlah menulis di ruang private tapi public! Ketika ‘sharing’ di dunia maya, banyak orang mengungkapkan kekesalannya kepada si ini, si itu, tanpa dia sadar si ini dan si itu (atau kenalannya) membaca tulisannya. Banyak (orang Kristen) yang mengeluh teruuusss… sehingga orang lain cape membaca tulisannya dan bertanya2 apakah dia punya iman? Banyak orang yang menulis apa saja yang ada di perasaannya tanpa berpikir benarkah dia mau orang lain tahu? Untuk apa orang lain tahu? Bagaimana ketika orang lain tahu? Banyak orang yang bercerita hal pribadi dan kemudian bingung atau marah ketika orang lain tahu! Aneh bukan? Tapi inilah fenomena baru, ‘sharing’ di dunia maya dengan ilusi ‘terserah saya’. Betulkah?

Bahkan sebetulnya ketika kita ingin ‘publish’ atau ‘posting’ sesuatu, kita harus berpikir dulu apakah yang kita tulis berguna? membangun? perlu? Buat apa kita menghabiskan waktu ratusan ‘friends’ kita membaca sesuatu yang tidak perlu!? (1 menit X 200 orang = 3 jam 20 menit waktu yang terbuang). Bukankah waktu-waktu itu lebih baik dipakai untuk hal yang lebih berguna? Tapi sekali lagi inilah juga fenomena baru, semua orang berilusi ‘saya adalah pusat perhatian’! Betulkah?

Seperti di dunia realita, tiap hal harus kita pikirkan baik2, demikian pula di dunia maya. Mungkinkah kita sudah terlalu banyak bersentuhan dengan dunia maya sehingga kita kurang mengerti dunia realita lagi?

Thursday, November 03, 2011

Book Lover?

Suatu kali ada pemberitahuan dari TTC bahwa salah seorang alumni TTC ingin menjual sebagian bukunya dan membagikan sebagian lagi bukunya. Yang berminat, silakan langsung menghubungi dia.

Tadinya saya tidak tertarik kesana karena saya terlalu sibuk. Tapi akhirnya saya menghubungi dia dan kemudian pergi ke rumahnya. Saya datang agak ‘terlambat’ karena sudah banyak orang yang ke rumahnya dan mengambil buku2 yang baik. Tapi masih cukup banyak buku yang dia tumpuk begitu saja di ruang depan rumahnya. Dan saya dipersilakan untuk melihat, memilih dan mengambil berapa saja yang saya inginkan. Ada yang dia jual ada yang dia berikan gratis.

Saya sempat bertanya kepada dia apa alasannya. Dia berkata bahwa dia ingin pindah ke rumah yang lebih kecil dan rumahnya tidak akan mampu menampung buku2 yang dia miliki. Dia punya sekitar 8000 buku! Saya kaget, itu jumlah yang sangat besar! Dan dia berkata bahwa dia ingin kurangi sampai sekitar 1000 saja yang dia bawa. Usianya sudah hampir 60 tahun dan dia merasa sudah cukup untuk dia memiliki buku2 itu, tidak banyak lagi kesempatan membaca dan sudah waktunya untuk dia bagikan ke orang lain. Lalu dia berkata, “berpisah dengan buku2 ini, saya merasa sakit.”

Mendengar kalimat dia membuat saya berpikir bahwa suatu kali saya juga akan melakukan yang sama seperti dia. Saya juga pencinta buku – book lover – dan pasti juga sakit bagi saya berpisah dengan buku2 saya (sekarang saja saya kangen dengan buku2 yang saya tinggal di Jakarta). Tapi saya juga jadi berpikir, apakah perlu untuk memiliki buku sebanyak itu? Beberapa buku saya lihat masih baru, tidak ada tanda bekas dibaca. Bahkan ada yang masih dibungkus platik belum dibuka.

Peristiwa ini menjadi reminder bagi saya. Kita manusia selalu cenderung berlebihan. Kita selalu cenderung menginginkan dan membeli apa yang kita suka sampai jauh melebihi kebutuhan kita! Baik itu mobil, tas, baju, sepatu, perhiasan, barang koleksi, atau laptop, handphone yang kita ganti lebih sering dari yang kita perlu.

Kembali ke masalah buku, saya berjanji pada diri sendiri untuk membeli buku yang memang perlu dan akan dibaca. Selama di TTC saya juga mendapat banyak kesempatan mendapat buku gratis atau membeli buku dengan harga murah. Saya bisa serakah, ambil sebanyak2nya. Pertanyaannya adalah apakah saya perlu? Saya mencoba melatih diri dengan hanya membeli atau mengambil buku yang saya tahu memang perlu. Kalau setelah saya baca sedikit, ternyata saya salah dan tidak perlu buku itu, atau setelah membaca 1X rasanya saya tidak akan memerlukannya lagi, saya akan berikan kepada orang lain atau saya letakkan di ‘free books corner’ di perpustakaan. Saya juga mencoba menyortir buku2 saya di Jakarta yang tidak terlalu saya perlukan dan saya menemukan cukup banyak, lebih dari 60 yang tidak saya perlukan lagi. Sebagian kecil, buku2 yang mahal saya jual murah, sisanya langsung saya bagikan.

Dengan cara demikian saya melatih diri untuk terus decluttering hidup saya. Mari belajar prinsip ini: Beli seperlunya dan berikan secepatnya. Karena kita cenderung serakah, ada orang yang senang membeli terus (lebih dari yang dia perlu) tapi juga senang membagi, dan dia rasa tidak masalah. Saya yakin itu juga salah! Beli hanya seperlunya! Lalu apa yang tidak kita perlukan, berikan secepatnya kepada yang memerlukan.

Di bawah ini adalah buku2 yang saya ambil waktu itu. Saya akan nikmati dulu sambil berpikir mana yang perlu dan mana yang tidak :-)




Monday, October 31, 2011

My Thesis Writing - 2

Saya baru menerima berita dari School of Postgraduate Studies - TTC bahwa proposal saya diterima tanpa perlu direvisi lagi.

Pemilihan judul thesis saya – Paul’s Missionary Expectations of His Churches: An Ecclesiological Approach to Resolving a Recent Debate – adalah pimpinan Tuhan yang luar biasa. Ada kisah panjang di balik itu.

Sejak masih kuliah saya sering mendengar orang berkhotbah tentang penginjilan. Kurang lebih arahnya selalu adalah: “Penginjilan adalah tugas setiap kita. Penginjilan adalah kemana-mana membagikan berita Injil – lewat traktat, lewat perbincangan, lewat apa saja. Penginjilan dilakukan kapan saja dan kepada siapa saja – kepada teman, kepada orang yang duduk di samping kita di kereta, kepada supir taksi. Berita Injil adalah Yesus mati bagi dosamu, bangkit pada hari yang ketiga, maukah engkau percaya dan mengikut Dia?” Kurang lebih selalu begitu.

Uniknya, saya menemukan bahwa kurang lebih responnya selalu dua macam: Mereka yang menjadi tertantang untuk melakukannya dan Tuhan berkati dan mereka yang menjadi merasa bersalah karena merasa tidak bisa. Something wrong?

Waktu saya kuliah teologi, di sebuah kesempatan saya berdebat dengan seorang dosen tentang masalah ini. Dia sangat marah sampai mengeluarkan saya dari kelas! (Sekarang saya tersenyum mengingat peristiwa itu, dulu sih tidak). Pendek cerita, pengalaman itu membekas bagi saya. Saya makin berpikir dengan dalam, something wrong dalam konsep orang Kristen tentang penginjilan, paling tidak dalam level populer. Beberapa ayat Alkitab yang sering dipakai untuk mengkhotbahkan tentang penginjilan menurut saya tidak pernah dibahas dengan benar. Pengutipan ayatnya salah dan pembahasannya pun salah.

Kesibukan membuat saya kemudian tidak terlalu mengingatnya lagi.

Selama kuliah di TTC, saya mengambil kuliah Ancient Texts for NT Studies. Setahu saya, dalam waktu beberapa tahun ini saya adalah satu-satunya mahasiswa yang mengambil kuliah itu sebagai kredit. Kemudian karena teman saya ingin membuat thesis mengenai Kisah Para Rasul, maka profesor kami merancang mata kuliah baru yang belum pernah dia ajarkan: Paul as Missionary in Acts. Saya ikut kuliah itu.

Saya pernah berpikir bahwa saya akan membuat thesis mengenai Yohanes. Tapi ketika saya berpikir keras akan judul thesis saya, tiba-tiba ingatan tentang pergumulan masa lalu muncul kembali. Mengapa saya tidak membuat sesuatu mengenai penginjilan? Saya ingin belajar tentang penginjilan, apa sebenarnya yang diajarkan Alkitab tentang penginjilan?

Tiba-tiba semua menjadi make sense untuk saya. Kuliah Ancient Texts for NT Studies menolong saya untuk familiar dengan berbagai teks kuno yang sering dikutip studi Paulus. Kuliah Paul as Missionary in Acts merangsang kembali pemikiran saya akan konsep Paulus tentang misi. Maka saya memutuskan, mengapa saya tidak menyelidiki konsep Paulus tentang misi?

Itu sebabnya semester lalu, supervisor saya meminta untuk saya membuat paper: Was Second Temple Judaism a Missionary Religion? Studi itu memberi saya gambaran tentang apa yang akan saya buat.

And here I am, merenung, berpikir - kadang hampir frustasi – tentang Paul’s Missionary Expectations of His Churches. Concern saya adalah pastoral. Bagaimana gereja harus bermisi – atau lebih tepat mendorong jemaat bermisi? Bermisi seperti apa? Saya berharap concern itu membakar lagi hati saya tiap kali saya hampir frustasi.

Thursday, October 27, 2011

The Bible in Translation - Bruce Metzger

Belum lama saya selesai membaca buku ini. Metzger adalah seorang ahli dalam manuskrip kuno
Alkitab. Beberapa bukunya menjadi standar dalam bidang itu. Dia juga menjadi anggota komite penerjemahan Revised Standard Version (RSV) dan New Revised Standard Version (NRSV).

Dalam buku ini dia menceritakan latar belakang dari berbagai versi Alkitab kuno seperti Septuaginta, Targum, Syria, Latin, Coptic, dan sebagainya. Kemudian dia juga menceritakan kisah di balik pembuatan berbagai versi Alkitab dalam bahasa Inggris, lebih dari 40 versi yang dia bahas.

Kalau anda pernah menggunakan berbagai versi Alkitab bahasa Inggris dan sering bertanya-tanya apa bedanya, maka buku ini akan menarik. Atau kalau anda tertarik dengan kritik teks Alkitab, atau sejarah penerjemahan Alkitab ke dalam berbagai versi kuno, maka buku ini akan menarik. Tapi kalau tidak, mungkin anda hanya akan menguap sambil membaca buku ini :-)

Buku ini terbit tahun 2001, artinya dia pasti tidak memasukkan versi Akitab yang terbit setelah tahun 2001 seperti Today’s New International Version (TNIV), New English Translation (NET), dan English Standard Version (ESV). Ada buku lain yang serupa dengan buku ini dan fokusnya hanya pada Alkitab versi bahasa Inggris: How to Choose a Translation for All Its Worth (Gordon Fee & Mark Strauss). Buku ini terbit tahun 2007 maka bisa memasukkan beberapa versi yang lebih baru dalam pembahasannya. Saya ingin membaca juga buku itu.

Buku Metzger ini seharusnya menjadi buku referensi. Bagaimana mungkin saya bisa hafal apa yang dia tuliskan, versi ini seperti apa, versi itu cerita di baliknya bagaimana, dan seterusnya. Saya perlu melihat lagi dan melihat lagi buku ini ketika diperlukan.

Tuesday, October 25, 2011

Jemaat Milik Siapa?

Ada satu istilah yang saya tidak suka: CURI DOMBA. Istilah ini begitu populernya di antara orang Kristen. Pokoknya kalau ada anggota gerejanya yang pindah ke gereja lain, maka dia akan bilang itu curi domba. Sepintas saja kita tahu istilah ini tidak benar.

Pertama, domba bukan punya dia, tapi dombanya Tuhan. Sama seperti gereja bukan punya dia, tapi punyanya Tuhan. Maka domba punya Tuhan, ditempatkan di gereja punya Tuhan, siapa yang boleh protes? 

Kedua, kalau orang itu pindah, kita perlu tanya kenapa. Mungkin karena memang dia lebih baik dilayani di gereja itu. Mungkin karena kita tidak sanggup melayani semua orang dan kebutuhan orang ini terabaikan. Atau mungkin sederhana saja karena dia lebih bisa bertumbuh disitu. Tiap orang dan tiap gereja punya keunikannya karena isinya adalah orang-orang yang berbeda. Maka kondisi gereja yang satu mungkin lebih kondusif, lebih cocok, untuk dirinya daripada gereja yang lain.

Saya tahu istilah curi domba muncul cenderung dari keegoisan kita. Kita ingin jemaat kita banyak, kita ingin gereja kita paling hebat, dan banyak contoh gereja berbuat ‘curang’ dalam hal ini:

Satu kali saya diberitahu ada gereja yang kalau tahu di gereja lain ada pemain musik yang bagus, maka gereja itu kemudian mengimingi2 orang itu untuk main musik di gerejanya dengan diberikan uang.

Ada juga gereja yang sengaja mengunjungi jemaat gereja lain, mengajaknya datang ke berbagai acara di gereja itu dan membujuknya untuk pindah. Tidak apa mengajak orang datang ke acara gereja kita kalau dengan demikian orang itu mendapat berkat. Tapi anehnya seringkali kita mengadakan KKR tapi yang diajak datang adalah jemaat gereja lain. Tidak apa juga mengunjungi jemaat gereja lain, tapi coba tanya untuk apa?

Bagi saya hal-hal seperti di atas bukan curi domba. Itu adalah perpecahan gereja! Ketika sesama gereja Tuhan saling mementingkan diri sendiri, bersaing, memusuhi saudaranya, dan merusak saudaranya dengan uang, itulah perpecahan! Kita patut marah (dan berduka) dengan adanya perpecahan tapi bukan karena ‘curi domba’.

Sedikit menyimpang dulu. Jangan salah mengerti, saya tidak mengatakan semua gereja sama. Ada ‘gereja’ yang sangat ngaco sehingga sebenarnya dia bukan gereja, seperti ‘gereja’ saksi Yehova, ‘gereja’ Mormon, dst. Dalam kasus seperti itu, adalah tugas kita untuk merebut kembali domba Tuhan! Ada juga gereja yang sungguh percaya kepada Allah Tritunggal, keselamatan dalam Kristus, dan semua pengakuan iman orthodoks, tapi dalam beberapa bagian salah mengerti Alkitab, malas belajar, menekankan hal-hal yang salah, bagi saya mereka tetaplah gereja Tuhan. Kesalahan mereka perlu dikoreksi tapi mereka tetaplah saudara kita, jangan perlakukan mereka seperti musuh!

Kembali ke topik curi domba, jangan cepat mengatakan gereja ini atau itu mencuri domba. Tapi coba lihat apakah gereja kita melayani dengan baik? Apakah gereja kita mengajarkan Firman Tuhan dengan baik? Apakah gereja kita menjadi tempat persekutuan yang baik? Apakah orang itu bertumbuh di gereja kita? Dan akhirnya, apakah orang itu lebih bertumbuh di gereja lain?

Tuhan mau tiap orang Kristen bertumbuh, makin mengenal Dia, mengasihi Dia, hidup bagi Dia. Fokuslah pada itu! Asalkan orang itu bisa bertumbuh, mengenal Tuhan, mengasihi Tuhan, hidup bagi Tuhan, kemanapun dia pergi, bersukacitalah! Ikut bersukacitalah dengan Tuhan karena domba itu milik Tuhan.

Sebaliknya, berdukalah kalau jemaat gereja kita pindah ke gereja lain karena gereja kita tidak baik! Berdukalah kalau jemaat kita pindah ke gereja yang akan makin membuat mereka tidak bertumbuh! Ikut berdukalah dengan Tuhan karena sekali lagi, domba itu milik Tuhan.

Monday, October 24, 2011

Pelayan Milik Siapa?

Waktu saya masih kuliah melayani di persekutuan mahasiswa, saya ingat saya pernah berdebat dengan seorang teman. Masalahnya sederhana, saya mendekati seorang rekan mahasiswa lain dan menawarkan kepadanya untuk terlibat dalam sebuah pelayanan. Apa masalahnya? Teman saya mencoba meyakinkan saya bahwa tindakan itu tidak benar. Orang yang saya dekati itu adalah anggota sebuah persekutuan, dimana ada ketua dan pengurusnya. Maka teman saya berkata seharusnya saya bicara dulu dengan ketua dan pengurus persekutuan tempat orang itu berada sebelum menawarkan pelayanan kepada dia. Alasannya? Supaya mereka bisa memutuskan apakah mereka mengizinkan orang itu untuk terlibat dalam pelayanan yang saya tawarkan atau tidak (karena jangan-jangan mereka merencanakan supaya orang tersebut melayani di bidang lain).

Saya sangat tidak setuju dengan teman saya. Dengan darah anak muda waktu itu, saya berargumen dengan sangat keras. “Kalau saya bicara dengan si ketua persekutuan, lalu tidak diizinkan, apakah saya tidak boleh menawarkan pelayanan kepada orang itu? Bagaimana kalau sebenarnya orang itu mau pelayanan di bidang yang saya tawarkan, tidak bolehkah? Siapa yang memberi hak kepada si ketua untuk mengatur hidup dan pelayanan orang itu? Dia bukan Tuhan! Apakah dengan menjadi anggota sebuah persekutuan, maka hidup dan pelayanan orang itu diserahkan kepada pengurus persekutuan? Milik siapa sebetulnya dia itu?” – Ya, saya sekeras itu dulu, sekarang lebih lumayan lah  :-)

Sampai hari ini, saya yakin argumen saya benar. Dan saya kaget menemukan bahwa hari ini di gerejapun terjadi hal yang sama seperti di persekutuan mahasiswa itu.

Ada sebagian orang berpendapat: “Tidak etis kalau kita menawarkan seorang hamba Tuhan untuk pindah tempat pelayanan sementara dia masih baik-baik disitu. Tunggu sampai dia mau keluar, baru tawarkan, maka jelas bukan salah kita”. Pendapat ini diterima, dijalankan, bahkan oleh para pendeta dan institusi terkenal di Indonesia. Sepertinya takut kalau dianggap mengiming-imingi orang itu atau dianggap ‘membajak’ orang itu. Saya sangaaattt heraaann… dan saya sangat tidak setuju! (Saya yakin alasannya adalah cari aman, supaya institusi yang bersangkutan tidak marah).

Ada juga gembala yang marah ketika tahu hamba Tuhan di bawahnya ada yang ditawari/didekati untuk melayani di tempat lain. Dia yakin adalah haknya untuk diberi tahu terlebih dahulu. Harus bicara dulu dengan dia (baca: minta izin) baru boleh dekati. Saya sangat tidak setuju!

Saya tidak perlu mengulang lagi, argumen saya masih sama seperti di atas. Bahkan dengan menjadi hamba Tuhan di sebuah gereja, tidak pernah berarti orang itu menyerahkan hidupnya untuk diatur oleh gereja tersebut. Dia boleh diatur dalam rangka tugas, dipindahkan, ditugasi kemana, dst. Tapi dia tidak menyerahkan hidupnya seumur hidup untuk diatur kemana dia boleh melayani. Selama dia melayani disitu dia boleh diatur, tapi dia tidak bisa diatur untuk selamanya melayani disitu.

Tiap orang dan institusi berhak mendekati, sharing beban, menawarkan pelayanan kepada tiap orang, siapa saja, apakah dia terikat atau tidak terikat dengan institusi lain, apakah dia ‘baik-baik’ atau ‘kurang baik’ di institusinya. Selama bukan uang dan kuasa yang ditawarkan, maka itu bukanlah iming-iming. Yang ditawarkan adalah kemungkinan pelayanan! Maka biarkanlah tiap orang bergumul sesuai dengan panggilan Tuhan untuk dirinya. Kalau dia yakin Tuhan panggil dia untuk tetap di tempatnya yang sekarang, dia akan tetap disitu. Tapi kalau Tuhan memang pimpin dia untuk pindah, dia akan pindah.Tapi kalau tidak ditawari, maka bagaimana dia melihat kemungkinan itu? Lewat mimpikah???

Kita harus ingat kembali, tiap pelayan milik siapa? Kita ini milik siapa? Pelayanan kita milik siapa? Gereja kita milik siapa? Institusi kita milik siapa? Milik Tuhan!!!

Monday, October 17, 2011

The Living Church - John Stott

Sudah lama saya punya buku ini, pemberian dari salah satu anak rohani saya, tapi baru saja sempat
membaca buku ini. Saya sangat menyukai tulisan John Stott dengan kelugasannya dan ketajaman berpikirnya.

Buku ini bukan buku yang sulit untuk dibaca. Tapi John Stott memang cenderung menulis dengan sangat padat. Dengan mudah kita bisa merasa mengerti apa yang dia sampaikan setelah membaca bukunya satu kali. Tapi coba baca lagi, ternyata ada lagi yang lebih dalam yang dia sampaikan! Saya membaca buku ini dengan cukup cepat, merasa mengerti, dan sekarang saya berpikir bahwa seharusnya buku ini tidak dibaca secepat itu. Mungkin akan lebih baik bagi saya kalau sambil membaca sambil membuat ringkasan dari buku ini.

John Stott mulai dengan menjelaskan visi Allah untuk Gereja-Nya. Lalu dia membahas satu persatu elemen dalam gereja: Ibadah, Pemberitaan, Pelayanan, Persekutuan, Berkhotbah, Persembahan, dan Dampak gereja. Satu persatu dia kupas, dan sekali lagi, dengan sangat padat. Walaupun ini buku yang bisa dibaca sekali, tapi menurut saya ini buku yang perlu dibaca berulang kali. Bacalah buku ini untuk mengerti dan memikirkan ulang tentang gereja.

Menarik bahwa di akhir bukunya ia mencantumkan tiga lampiran, dan salah satunya adalah refleksinya sebagai seorang yang berusia 80 tahun (waktu itu). Dia mengingatkan setiap pelayan untuk mempunyai “Q” yaitu Quiet atau hari tenang. Dia mulai dengan 1 hari setiap bulan. Dia pergi ke rumah seorang teman dimana sebuah ruangan disiapkan untuknya dan makanan diantar untuknya ketika waktu makan tiba. Tidak ada yang tahu dimana dia berada, kecuali sekretarisnya yang hanya akan menghubungi dia jika ada keadaan darurat. Dia menyendiri 12 jam dalam ruangan itu untuk menatap ke depan, kemana harus mengarah, berdoa, merancang khotbah, menulis, mencari pikiran Tuhan. Akhirnya dia punya “Q” untuk 1 hari setiap minggu dan bahkan ada waktu seperti itu setiap malam.

Betapa rindunya saya punya waktu seperti itu dengan lebih disiplin. Dan betapa rindunya saya tiap hamba Tuhan, bahkan tiap orang Kristen, punya “Q” itu secara rutin.

Saturday, October 15, 2011

Mayoritas: Waras?

Ada ungkapan “ketika satu orang waras berada di tengah banyak orang gila, maka yang gila menjadi seperti waras dan yang waras menjadi seperti gila”. Mengapa begitu? Mayoritas! Yang waras menjadi berbeda sendiri di tengah orang gila dan akhirnya dialah satu-satunya yang ‘aneh’ disitu.

Saya melihat ada sebuah trend yang sangat buruk di dalam dunia dan yang juga masuk ke dalam gereja. Trend ini dipelajari dari dunia, dihasilkan oleh dosa dan diterima sebagai sesuatu yang lumrah. Saya sebut saja trend ini: Kuasa!

Semua orang mencari kuasa. Semua orang mencari gengsi. Di kantor semua saling sikut untuk posisi. Di pemerintahan jangan tanya lagi. Di mana-mana orang ingin dihargai karena posisinya, diperlakukan lebih istimewa, dipandang lebih tinggi. Dan trend ini juga masuk ke dalam gereja. Maka di gereja pun saya menemukan ada dua hal aneh yang terjadi:

1.Orang yang mengingini jabatan langsung dicurigai motivasinya pasti kuasa.

Alkitab berkata ‘orang yang menghendaki jabatan penilik jemaat menginginkan pekerjaan yang indah’. Artinya kita bisa mengingini jabatan tertentu bukan untuk kuasa tapi untuk mengerjakan pekerjaan yang indah – fungsi! Ketika seseorang ingin menjadi majelis, ingin menjadi gembala, ingin menduduki jabatan tertentu, pertanyaannya adalah apa motivasinya? Kuasa? Atau untuk mengerjakan fungsi yang indah? Masalahnya di zaman seperti ini, kita sulit untuk percaya ada orang yang mengingini jabatan dengan motivasi mulia. Semua orang mengingini kuasa. Maka aneh, tidak waras, ada orang yang mengingini jabatan tanpa menginginkan kuasa dan hanya menginginkan fungsi.

2. Orang yang tidak mengingini jabatan langsung dianggap pura-pura.

Sebaliknya saya menemukan orang sulit percaya kalau ada yang berkata bahwa dia tidak ingin jabatan. Dia tidak ingin mendapatkan kuasa. Kita langsung curiga bahwa orang ini sedang pura-pura rendah hati. Atau kita curiga bahwa dia punya inferiority complex. Padahal dia mungkin tidak mau karena dia sadar karunianya, dia sadar panggilannya, dia sadar ada orang lain yang lebih cocok, dan seterusnya.

Ketika kita berlaku waras dan semua menganggap kita tidak waras, masihkah kita menjaga kewarasan kita?

Thursday, October 13, 2011

Perbedaan Pendapat

Perbedaan pendapat di dalam pelayanan adalah hal yang lumrah. Tidak mungkin kita selalu bisa sepakat dalam segala hal. Tapi saya jadi berpikir lebih jauh ketika menemukan banyak orang yang bahkan menyukai perbedaan pendapat! Alasannya perbedaan pendapat akan mempertajam keputusan kita, menolong kita berpikir lebih baik, dst.

Saya setuju! Kita perlu perbedaan pendapat. Orang yang maunya semua orang sama dengan dia bukanlah pemimpin yang baik. Tetapi saya merasa ada yang salah ketika orang sengaja membiarkan orang-orang yang akan berbeda pendapat masuk dalam satu tim tanpa berpikir apakah itu baik atau tidak. Biasanya alasannya: “Kita perlu orang yang kritis”, “Kita perlu orang yang berani bicara”, “Kita perlu orang yang bukan ‘Yes man’, “Justru bagus kalau ada orang-orang yang berani beda”.

Saya percaya perbedaan pendapat BISA baik, tapi tidak boleh ‘diagung-agungkan’ karena sebenarnya BELUM TENTU baik.

Ada perbedaan pendapat yang disebabkan oleh karakter yang buruk. Ada orang-orang tertentu, yang entah kenapa, memang suka dengan polemik. Selalu ada saja yang dia permasalahkan dan dia tidak ragu untuk mendamprat siapa saja. Ada orang yang berpikir dengan ‘aneh’, dan cara berpikirnya itu membuat dia melihat masalah dari sudut pandang yang salah. Celakanya biasanya orang seperti ini ngotot dengan pandangannya! Ada orang yang tidak pernah mau belajar melihat sudut pandang orang lain karena baginya selalu dirinya yang benar. Bagi saya perbedaan pendapat yang disebabkan oleh karakter yang buruk ini sama sekali tidak baik.

Ada perbedaan pendapat yang disebabkan oleh value atau konsep yang berbeda. Misalnya: Kalau yang satu berpikir “asal jemaat datang, ikut kegiatan, aktif pelayanan, that’s good, itulah pertumbuhan”, sementara yang satu lagi berpikir “that’s not good enough, pertumbuhan harus lebih dalam dari itu”. Maka keputusan dalam pelayanan pasti beda. Kalau perbedaan value-nya berkaitan dengan integritas, itu sangat.. sangat.. serius. Kalau perbedaannya dalam hal konsep, maka tergantung konsep apa yang menjadi perbedaan dan seberapa serius perbedaannya. Tapi percayalah, tidak gampang merubah value atau konsep seseorang, apalagi jika usia sudah lebih tua.

Ada perbedaan pendapat yang disebabkan oleh informasi dan pengalaman yang berbeda. Misalnya: Orang yang pernah mengalami kesulitan keuangan yang parah dengan orang yang tidak pernah mengalami kesulitan keuangan pasti akan mengambil keputusan yang berbeda ketika berhadapan dengan bagaimana melakukan pelayanan diakonia. Orang yang banyak terjun ke ladang misi dengan orang yang tidak pernah tahu ladang misi pasti akan mengambil keputusan yang berbeda dalam mendukung pelayanan misi.

Silakan berbeda pendapat, tapi menurut saya syarat mutlak yang harus ada pada tiap anggota tim/pengurus/panitia/apa saja, adalah mereka harus teachable, humble dan loving each other. 

Teachable – Betapa pentingnya ini. Kita tidak tahu segala hal. Apa yang menurut kita baik belum tentu selalu baik. Maka selalu mau belajar, mau mendengar, sangat penting.

Humble – Bagaimana mungkin kita bisa bekerja sama tanpa kerendahan hati? Kalau kita selalu punya agenda sendiri dan semua orang yang berbeda kita anggap menghalangi jalan kita, maka tidak ada kerja sama.

Loving each other – Bagi saya ini mungkin yang paling penting. Kita boleh berbeda pendapat tapi kalau kita tidak mengasihi satu sama lain, tidak menghargai, tidak berusaha menghindari pertengkaran, melihat orang lain sebagai ‘yang bisa dipakai’, maka semua bisa hancur. Seringkali orang sebut ini ‘spirit menjaga kesatuan’, tapi saya kira lebih dalam dari itu.

Saya simpulkan: Perbedaan pendapat BISA baik asalkan KARAKTER (teachable, humble, loving each other) orang-orang yang berbeda pendapat itu baik. Di luar itu, mencari orang-orang yang berbeda pendapat untuk dimasukkan dalam satu tim, akan menghancurkan tim itu.

Sebelum kita berkata perbedaan pendapat adalah hal yang baik, coba pikir dulu apa yang menyebabkan perbedaan pendapat itu? Sungguh, perbedaan pendapat BELUM TENTU baik! Adanya orang-orang yang ‘berani bicara’. ‘berani beda pendapat’, ‘kritis’, dalam tim BELUM TENTU baik! Lihat dulu apa yang menyebabkan dia berbeda.

Friday, September 30, 2011

Judas and the Gospel of Jesus - N.T. Wright

Saya menemukan buku ini secara tidak sengaja di Christian Book Distributor, dan saya kaget melihat harganya: 1.99 USD! Real bargain, no excuse! Langsung saya pesan.

Penemuan dokumen kuno yang disebut “The Gospel of Judas” sempat membuat heboh di kalangan orang Kristen karena promosi yang ditampilkan adalah dokumen ini akan memberitahu kita rahasia yang selama ini kita tidak tahu, rahasia yang ditutupi oleh kebohongan Alkitab, bahwa Yesus bukanlah seperti yang diceritakan dalam Injil dan Yudas bukanlah pengkhianat tapi pahlawan.

Dengan sangat sistematis dan kadang-kadang bombastis, N.T.Wright menunjukkan apa sebetulnya “The Gospel of Judas” ini. Dan N.T.Wright memberi judul bukunya: Judas and the Gospel of Jesus. Tidak ada “the Gospel of Judas”, tidak ada Injil – kabar baik – dari Yudas, yang ada hanyalah Yudas dan Injil dari Yesus.

Dokumen yang disebut “The Gospel of Judas” ini berasal dari abad ketiga atau keempat, jauh setelah Yesus naik ke surga dan Yudas mati. Dan isi dokumen ini memperlihatkan dengan jelas bahwa ajaran yang disampaikan adalah ajaran Gnostik. Mereka (pengikut Gnosticism) memakai tokoh Yesus dan Yudas untuk menyampaikan ajaran mereka. Apa yang bisa kita ketahui tentang Yesus dari dokumen ini? Tidak ada! Apa yang bisa kita ketahu tentang Yudas dari dokumen ini? Tidak ada! Mereka hanya memakai nama Yesus dan Yudas, lalu diisi dengan skenario dan dialog imajiner.

Tapi kalau begitu mengapa dokumen ini menimbulkan kehebohan? Seperti biasa: Marketing! Marketing adalah melihat trend masyarakat, apa kebutuhannya lalu menawarkannya. Dalam banyak kasus, marketing adalah melihat trend masyarakat, kemana masyarakat bisa dipancing supaya merasa membutuhkan, lalu menawarkan ‘kebutuhan’ itu. Masyarakat sebagian tidak percaya Yesus, orang ‘Kristen’ liberal suka dengan segala sesuatu yang berbau akademis dan bisa menyangkal Alkitab, orang Kristen sendiri banyak yang tidak tahu apa-apa tentang Gnostik dan mudah diombang-ambingkan. Maka perfect! Tawarkan ‘Injil’ yang baru ini dan semua heboh! Popularitas dan uang pun mengalir! That’s the Gospel of Judas!

Saya kira buku dari N.T. Wright ini sangat menolong untuk orang Kristen yang ingin tahu tentang topik ini sekaligus membuka mata kita untuk tidak cepat menerkam semua yang ditawarkan oleh para ‘ahli’. By the way, Da Vinci Code dari Dan Brown adalah salah satu kasus yang mirip. Orang Kristen dihebohkan bahkan oleh N-O-V-E-L!!!??

Saturday, September 24, 2011

Sexual Character - Marva Dawn

Marva Dawn adalah salah satu penulis favorit saya. Bukunya yang satu ini sebenarnya sudah saya baca sebagian beberapa tahun lalu, bahkan sudah saya khotbahkan. Baru-baru ini saya membaca ulang buku ini dan kali ini – akhirnya - sampai selesai.

Dawn membagi bukunya menjadi tiga bagian:

Bagian pertama dia bercerita tentang ‘the problem’. Dia bicara tentang bagaimana masyarakat kita sakit, kesepian, dan mencari pemecahannya melalui seks, tanpa pernah berpikir bahwa Tuhan tidak merancangnya demikian. Makin mereka memakai seks dengan salah, makin buruk keadaannya. Dan dia menutup dengan bagian yang sangat inspiring: “The Church Must Be The Church: An Ethics of Character”. Etika karakter adalah etika yang bertanya “saya mau jadi orang seperti apa dengan melakukan ini?”

Bagian kedua dia menjelaskan rancangan Tuhan akan karakter seksual manusia. Dia membicarakan tujuan pernikahan, makna dari sexual union, dan bagaimana buah roh terwujud dalam sikap kita terhadap seksualitas. Dawn selalu menekankan penting komunitas gereja dalam saling membentuk.

Bagian terakhir adalah bagaimana menerapkan prinsip-prinsip yang sudah dibahas itu di dalam masalah praktis seperti: friendship, homosexuality, marriage, divorce, nurturing children, abortion, teenagers, dating, and “sex”.

Banyak hal yang dia tuliskan dalam buku ini mungkin merupakan pergumulan dan kerinduan pribadinya akan kehidupan keluarga dan komunitas Kristen yang ideal. Seringkali dia hanya bertanya “apa yang bisa kita lakukan…? bagaimana kita bisa menjadi…? bagaimana kita bisa mengajarkan…?” dst.

Marva Dawn adalah seorang scholar dengan Ph.D di bidang etika dan Alkitab. Dia tidak hanya banyak bergelut dengan dunia akademis tetapi juga banyak melayani sebagai jemaat biasa di gerejanya dan bahkan melayani anak-anak muda. Maka buku ini, satu sisi tidak rumit, tapi di sisi lain juga tidak kehilangan kedalaman.

Verdict: Buku yang sangat baik, highly recommended!

Wednesday, September 21, 2011

My Thesis Writing - 1

Terasa (bukannya tidak terasa) sudah 2 tahun lebih saya memulai studi di TTC. Dan sekarang saya berada dalam tahap penulisan thesis. Baru saja proposal saya disetujui dan diserahkan ke School of Postgraduate Studies. Dari antara kelompok murid yang semester ini memulai penulisan thesis, kelihatannya saya murid terakhir yang disetujui proposalnya (nggak ngiri sih, tapi deg2an). Sementara saya masih bergumul dengan proposal, teman2 lain ada yang sudah memulai Bab 2!

Judul sementara thesis saya adalah: “Paul’s Missionary Expectation of His Churches: An Ecclesiological Approach to Resolving a Recent Debate”. Ada cerita panjang di balik pemilihan judul ini, will share it later.

Saya berharaaapppp… bisa menyelesaikan thesis ini di bulan April 2012. Mission –rather– impossible for me. Teman-teman lain menetapkan target untuk menyelesaikan thesis mereka di akhir tahun ini atau paling lambat awal tahun depan. Saya… yah sudah sangat senang kalau bisa selesai di bulan April 2012. Sangat sulit untuk bisa konsentrasi tiga perempat penuh (kalo penuh udah pasti nggak mungkin) sambil melayani sebagai gembala. Maka saya sambil menentukan target sambil menyiapkan hati kalau-kalau tidak bisa selesai tepat waktu.

Kalau semua lancar saya harap akhir bulan Oktober saya bisa menyelesaikan Bab 1. God help me.

Sunday, September 18, 2011

Life Begins at Forty?

Banyak orang bilang bahwa bagi pria, life begins at forty. Dulu saya tidak terlalu mengerti kalimat itu, sampai akhir-akhir ini.

Beberapa waktu yang lalu seorang teman bercerita tentang pergumulannya akan hidupnya. Apa sebetulnya yang ingin dia lakukan dalam hidup? Pekerjaan seperti apa yang dia inginkan? Kemana arah hidupnya? dst. Yang menarik adalah ketika dia bilang bahwa mungkin dia berpikir semua itu karena krisis yang dia alami menjelang usia 40 tahun.

Saya agak tersentak… karena hampir 1 tahun sebelumnya, saya punya pergumulan yang serupa. Rupanya… mungkinkah… itulah yang dimaksud krisis menjelang usia 40 tahun!

Sejak menjadi hamba Tuhan, saya tahu hidup saya untuk melayani Tuhan di ladang pelayanan. Saya menjalani hari demi hari, tahun demi tahun, dengan kesadaran itu. Bukannya saya tidak punya target atau tujuan yang lebih spesifik (saya pergi ke Singapore untuk studi adalah salah satu target yang akhirnya tercapai juga), tapi saya menjalani hidup saya dengan (mungkin istilah saya kurang tepat) ‘menerima apa adanya’.

Tapi beberapa waktu yang lalu, saya mulai berpikir, apa sebetulnya yang saya – atau tepatnya Tuhan - inginkan dengan hidup saya. Ketika usia lebih muda, waktu sepertinya masih sangat panjang dan kemungkinan sangat tidak terbatas. Tapi sekarang berbeda. Saya mulai menghitung, setelah selesai studi berapa tahun lagi yang saya punya sebelum pensiun? (kalau saya masih hidup tentunya!). Tidak terlalu banyak, mungkin hanya 22 atau 23 tahun! Sungguh itu tidak banyak. Lalu apa yang ingin saya lakukan dalam sekian tahun yang masih sisa itu?

Saya mencoba membuat beberapa alternatif pilihan hidup. Di usia sekarang, saya sudah bisa mengukur kemampuan saya, jalur hidup saya, peluang yang terbuka bagi saya, beban saya yang sesungguhnya, dan seterusnya. Bagi saya semua adalah tanda mengenali ke arah mana sebetulnya Tuhan mau bawa saya. Sempat ada hal-hal yang saya sesali karena dulu tidak saya lakukan, tapi cepat2 saya lupakan karena tidak ada gunanya menyesali yang sudah lewat. Pertanyaan saya selalu ke depan, apa sebenarnya yang ingin saya lakukan, apa yang Tuhan percayakan pada saya, yang harus saya lakukan supaya nanti saya tidak menyesal.

Maka mungkin betul bagi pria life begins at forty. Pada usia 40 tahun, kita sudah mengalami cukup banyak hal untuk berpikir dengan lebih matang akan hidup kita. Pada usia 40 tahun, saat belum tua tapi juga tidak terlalu muda lagi, kita mulai berpikir apa yang ingin kita lakukan dengan sisa hidup kita.

Banyak orang bilang ketika usia 40, kita tidak terlalu berani lagi untuk mengambil resiko. Terlalu banyak pertimbangan, terlalu banyak ketakutan, terlalu banyak pengalaman di masa lalu, dan akhirnya kita akan selalu memilih yang aman. Tapi saya tidak ingin begitu.

Saya ingin tetap berani mengambil resiko untuk mengikut Tuhan. Dan sekalipun saya sudah memikirkan beberapa alternatif yang ‘mungkin’, saya memberi celah untuk surprise dari Tuhan. Bagaimanapun saya tidak tahu sepenuhnya apa yang Tuhan sediakan bagi saya di masa depan, I’m ready for another surprise! Dan kalau Tuhan sudah pimpin sampai hari ini, saya percaya Tuhan akan pimpin lagi sampai akhirnya.

Thursday, September 08, 2011

As Each Part Does Its Work - 2

Tulisan ini menyambung tulisan sebelumnya As Each Part Does Its Work.

Ada sebuah program reality show yang ditayangkan di salah satu stasiun TV di Singapore yang saya suka dan sempat nonton beberapa kali: Undercover Boss. Program itu direkam di beberapa negara, kalau saya tidak salah di Australia, UK dan Amerika, atau mungkin negara2 lainnya.

Konsep program ini adalah meminta boss (bisa owner atau CEO atau CFO, intinya mereka yang berada pada pucuk pimpinan perusahaan) untuk menyamar menjadi karyawan (dengan jabatan yang rendah) di perusahaannya sendiri. Mereka bisa menyamar sebagai trainee atau karyawan baru yang ditempatkan disitu. Tujuannya adalah dia memahami betul apa yang terjadi di perusahaannya, kesulitan yang ada di bawah, dan melihat langsung bagaimana para karyawannya bekerja. Dan di akhir dari program itu – seperti biasa ala Hollywood – surpriseee!!! Orang-orang yang ‘beruntung’ menjadi rekan kerjanya selama dia menyamar akan dipanggil dan diberitahu bahwa ternyata dia adalah boss di perusahaan itu. Berikutnya bisa ditebak – reward dan mungkin punishment? – saya tidak tahu.

Selama menyamar, ada kamera2 tersembunyi yang merekam aktivitas mereka. Dan adegan2 yang ada memperlihatkan bahwa si boss ini tidak trampil dalam banyak hal. Ketika ‘bekerja’ di bagian customer service dia harus banyak dilatih bagaimana menjawab pelanggan yang menelpon dengan marah2. Dia kebingungan sementara ‘rekan kerja’nya sangat tenang menanganinya. Ketika ‘bekerja’ di pabrik dia kesulitan untuk bisa cepat bekerja dengan ban berjalan. Seringkali akhirnya dia kagum dengan para karyawan yang sangat trampil dan pas di bidangnya – jauh melebihi dia!

Boss itu trampil di bidangnya yang asli: mengelola keuangan, punya instink investasi, mengatur kebijakan perusahaan, dll. Tapi di bidang lain (yang sebenarnya berada di bawah kuasa dia): melayani pelanggan, menerima telpon, merangkai bunga, dll, dia jauh kalah ahli dengan karyawannya.

Saya jadi geli sendiri ketika baru2 ini melihat karyawan mertua saya. Saya dan istri bercanda bahwa untuk jadi karyawan mereka perlu ketrampilan ekstra, harus serba bisa. Kadang diminta menyetir mobil, carikan barang di pasar, ambilkan bibit tanaman di taman, bantu melayani pelanggan, dan berbagai hal lainnya, pokoknya harus serba bisa. Saya bukan orang yang sigap, saya pemikir, perencana, pembicara, tapi bukan pekerja fisik yang sigap. Maka kalau saja posisi saya adalah karyawan dan bukan menantu, wah pasti saya dipecat! Untungnya saya menantu dan saya trampil jadi menantu hehe…

Saya jadi terpikir, bukankah demikian pula di gereja. Saya jadi hamba Tuhan yang melayani di gereja dan saya bersyukur bahwa Tuhan memperlengkapi saya untuk tugas itu. Tapi sebagai gembala, di bawah saya ada banyak bidang pengurus. Dan saya tidak trampil mengerjakan banyak bidang yang mereka kerjakan. Saya agak buta dalam hal keuangan, saya tidak mengerti sound system dan berbagai peralatannya, saya –rasanya- tidak akan disukai kalau menjadi guru sekolah minggu, dan seterusnya. Belum lagi masalah waktu, saya tidak mungkin mampu mengerjakan semuanya. Sekarang ini untuk memikirkan dan mengarahkan pun saya sudah keteteran.

Betul, tiap orang ada tempatnya. Kalau saja semua menjalankan bagiannya maka pasti seluruh tubuh berjalan. Tapi kalau ada yang salah tempat dan membuat macet, pasti seluruh tubuh akan merasakan dampaknya.

Maka wow… alangkah indahnya Efesus 4:16: “From him the whole body, joined and held together by every supporting ligament, grows and builds itself up in love, as each part does its work.” Gereja diumpamakan seperti tubuh. Dan seluruh tubuh menerima pertumbuhan dari Kristus, membangun diri di dalam kasih, as each part does its work!

Monday, September 05, 2011

Family Man - The Biography of James Dobson

Ini buku biografi paling tebal yang pernah saya baca, 393 halaman! Saya tertarik dengan kehidupan James Dobson karena saya mengenalnya dan mengaguminya melalui buku2nya.

Membaca buku ini membuat saya lebih ‘mengenal’nya, kehidupannya, karakternya, ethos kerjanya, pengaruhnya, kebiasaannya, dan beberapa nilai yang dia perjuangkan.

Dobson adalah seorang yang sangat besar dan juga pemimpin yang sangat besar. Dia memimpin organisasi pelayanan yang sangat besar di Amerika dengan ribuan karyawan - dengan gaya manajemen yang dia kembangkan sendiri. Salah satu sistem yang dia pakai disebut sebagai “hot pending”. Dia akan mengirim memo atau email dengan icon warna merah sebagai tanda bahwa dia minta itu dijadikan prioritas dan dia minta jawaban paling lambat 1 minggu. Dia mengontrol seluruh organisasi dengan cara itu. Cara yang efektif tapi tidak disukai oleh karyawannya.

Membaca mengenai gaya kepemimpinannya – dengan keunikan tersendiri - membuat saya menyadari bahwa tiap orang memang memiliki gaya kepemimpinan yang berbeda. Tidak semua orang akan cocok dan bisa bekerjasama dengan kita seperti juga yang terjadi pada James Dobson. Bukan berarti kita tidak perlu belajar memimpin dengan lebih baik, tapi sulit menetapkan gaya kepemimpinan mana yang lebih baik.

Sejauh ini dari apa yang saya baca dan pelajari, salah satu ciri dari para pemimpin yang sangat efektif – termasuk juga James Dobson – adalah sangat disiplin dalam memakai waktu. Dan ini juga saya temukan dalam kehidupan para scholars. Terlalu banyak yang harus dikerjakan, dan akan lebih banyak yang bisa dikerjakan dengan pemakaian waktu yang disiplin. Salah satu contoh betapa disiplinnya Dobson adalah ketika dia memutuskan untuk berolah raga rutin tiap pagi. Dalam waktu lebih dari 8 tahun, lebih dari 3000 hari, hanya 5 hari dia absen – 2 hari karena dia lupa dan 3 hari karena dia stroke! Saya jadi makin berharap saya juga bisa disiplin memakai waktu :-(

Ketika baru menyelesaikan Ph.D nya, Dobson berdoa kepada Tuhan:
“You’ve got people who are very willing to serve You, but they’re not qualified. And people who are very qualified who aren’t willing to serve. I now have a measure of qualifications, and I’m deeply willing. Please use me.”
Kehidupannya menunjukkan Tuhan menjawab doanya. Penulis buku ini, Dale Buss, menutup biografi Dobson dengan kalimat:
One at a time, he has treasured lives, touched lives, and even transformed lives for Christ. “This is a noble and gentle warrior,” says Representative Trent Frank, one of those lives. “I know the glorified Christ will look in his eyes and say, ‘Well done, good and faithful servant.’”
Walaupun banyak hal yang Dobson lakukan dan perjuangkan dalam hidupnya. Bagi saya yang paling berharga mungkin adalah sumbangsihnya dalam kehidupan banyak keluarga di banyak negara melalui tulisan2nya. Dan itu saja sudah membuat hidupnya sangat berharga.

Monday, August 29, 2011

Courageous Leadership - Bill Hybels

Saya membaca buku ini karena ingin belajar tentang leadership. Dan saya menemukan insights, wisdom, mengenai leadership dalam buku ini. Buku ini memberikan beberapa hal berharga yang bisa membantu saya dalam leadership. Apa yang dia sampaikan perlu saya pikirkan ulang dan renungkan bagaimana diterapkan dalam konteks saya.

Tapi di sisi lain, saya juga kecewa dengan buku ini – atau tepatnya, dengan Bill Hybels. Saya menemukan banyak ayat Alkitab yang dia kutip untuk mendukung posisinya justru tidak tepat. Dia mengutip ayat sekenanya dan memakainya juga sekenanya. Saya kecewa karena buku ini ditulis oleh Bill Hybels! Dia seorang gembala dari sebuah gereja yang sangat besar. Dan buku ini juga dimaksudkan untuk para pemimpin gereja.

Saya beri 1 contoh saja. Ketika dia membahas mengenai “The Leader’s Pathway”, dia mengatakan bahwa ada macam2 jalan untuk kita punya hubungan dekat dengan Tuhan dan tiap orang yang berbeda punya jalan kerohanian yang juga berbeda. Sampai disini saya setuju. Berikutnya dia menyebutkan berbagai “pathways” itu. Sampai sini saya juga setuju. Tapi saya sangat kaget ketika dia membahas tentang “The Intellectual Pathway”, dia menyebut Paulus sebagai salah 1 contoh orang dengan tipe ini. Di bawah saya kutip tulisannya:
I think it is quite possible that the apostle Paul had an intellectual pathway. For him, the transformation of the world depended on the “renewing of our minds” (Romans 12:2). Paul was quick to appeal to the rational side of human nature, apparently convinced that once a person’s mind belonged to God, everything else would follow. Win the intellectual argument, and it would be game, set, match. Victory!
Karena Paulus orang dengan “intellectual pathway” maka tidak heran dia berikan nasihat supaya kita jangan menjadi serupa dengan dunia ini tetapi berubahlah oleh pembaruan budi! Kalau Paulus tipenya lain mungkin dia berikan nasihat lain. Implikasinya, nasihat Paulus bukan sesuatu yang otoritatif bagi orang yang tipenya lain bukan? Dan tiap kali kita baca ayat Alkitab lain, kita akan coba nilai si penulisnya orang seperti apa, lalu apakah cocok dengan tipe saya. Kalau tidak cocok, maka nasihat itu bukan untuk saya bukan? Ini penafsiran yang sangat sembarangan! Kalau anda berargumen, “ah bukan itu maksud dia”, coba baca bab itu dan anda akan mengerti maksud saya. Dan karena bukan hanya di bagian itu dia memakai ayat Alkitab sembarangan, saya kira memang itu polanya dia.

Saya tidak mendiskreditkan buku ini dan menganggapnya tidak berguna. Konsep Bill Hybels tentang 3 Cs (Character, Competence, Chemistry) dalam Chapter Four "Building a Kingdom Dream Team" sangat bijaksana. Dan Chapter Seven "Discovering and Developing Your Own Leadership Style" sangat berguna. Bacalah buku ini dan anda akan mendapatkan apa yang anda cari: wisdom dan insights untuk leadership. Ini buku yang bagus untuk itu. Tapi, seperti juga membaca buku lainnya, bacalah dengan kritis.

Saturday, August 27, 2011

Kisah Para Rasul 9:10-18

(Tulisan ini adalah bahan saat teduh untuk Retreat Young Adult Fellowship GKY Sg 7-9 Aug 2011. Sebagian bahan diambil dari artikel dalam www.intouch.org)

 

Anda sedang berjalan di tengah sebuah kota kecil di bawah terik matahari sore. Rasanya anda tidak ingin masuk ke rumah itu, rumah yang pernah anda lihat tapi belum pernah anda masuki. Lutut mulai terasa panas, tenggorokan tercekat, sambil anda memikirkan apa yang menanti anda dalam rumah itu.

Sambil pintu itu terbuka, anda makin tegang, sementara tuan rumah kemudian berkata, “Silakan masuk”. Pada mulanya, semua terlihat seperti bayangan sambil mata anda menyesuaikan diri dengan gelapnya ruangan itu. Perlahan-lahan, ketika mata anda mulai terbiasa, anda melihat seorang pria duduk di situ, seorang dengan pakaian yang bagus dan jenggot yang tipis, dia tidak melihat kepada anda, kepada siapapun atau kemanapun. Matanya tidak melihat apa-apa. Untuk orang inilah anda datang, orang yang telah membunuh teman-teman anda. Inilah orang yang telah datang untuk mengambil nyawa anda.

Cerita imajinasi di atas mungkin bukanlah gambaran yang sebenarnya dari apa yang terjadi dalam Kis 9. Tapi mungkin itu membantu kita mengerti apa yang dialami oleh Ananias. Dia diutus oleh Kristus untuk berdoa bagi seorang musuh gereja terbesar waktu itu: Saulus dari Tarsus, atau seperti yang sekarang kita kenal sebagai rasul Paulus.

Kis 8 memberitahu kita bahwa di Yerusalem, Saulus sudah berusaha membinasakan jemaat, masuk ke rumah demi rumah, menyeret laki-laki dan perempuan ke luar dan menyerahkan mereka untuk dimasukkan ke dalam penjara (8:3). Ketika penganiayaan itu meluas, banyak jemaat melarikan diri ke kota-kota lain untuk menyelamatkan diri. Tapi Saulus tidak puas dan ia mengejar mereka untuk membinasakan mereka. Di tengah perjalanan itulah, ia bertemu dengan Yesus, sang Terang itu membutakan mata orang yang hatinya buta ini. Tuhan kemudian menyuruh dia menunggu di kota itu untuk instruksi selanjutnya.

Siapa Ananias? Alkitab tidak bercerita banyak tentang dia. Tapi yang pasti Ananias tahu siapa Saulus dan untuk apa dia datang. Perintah Tuhan sederhana: “pergilah ke jalan yang bernama Jalan Lurus, dan carilah di rumah Yudas, seorang dari Tarsus yang bernama Saulus. Ia sekarang berdoa, dan dalam suatu penglihatan ia melihat, bahwa seorang bernama Ananias masuk ke dalam dan menumpangkan tangan atasnya, supaya ia dapat melihat lagi” (9:11). Siapa yang bisa menyalahkan Ananias kalau dia ketakutan? Dia menjawab, “Tuhan, dari banyak orang telah kudengar tentang orang itu, betapa banyaknya kejahatan yang dilakukannya…” Tapi Yesus berkata: “Pergi” dan dia pergi.

Ananias taat kepada Yesus sekalipun sangat besar resikonya. Dan dia tidak hanya melakukan (dengan terpaksa), tapi dia melakukannya dari hati. Pada waktu masuk ke rumah itu, dia memanggil Saulus dengan “saudaraku”, sebutan yang biasa dia pakai untuk sesama orang Kristen. Betapa dia belajar mengasihi orang itu! Ananias kemudian menumpangkan tangan atas Saulus dan menyembuhkannya. Bahkan dia membaptis Saulus, orang itu yang beberapa hari lalu ingin membunuh dia!

Ananias dengan rendah hati membiarkan Tuhan bekerja melalui dia, dan hasilnya Saulus menjadi misionaris terbesar dalam sejarah Kristen. Cerita seperti ini bukan 1 kali terjadi. Coba lihat di Alkitab: Yusuf terus taat walaupun resikonya dipenjara, dan hasilnya adalah Tuhan memakai dia luar biasa. Ester mengambil resiko dengan datang kepada raja untuk bangsanya, dan hasilnya seluruh bangsa Israel selamat. Petrus dan kawan-kawan meninggalkan pekerjaan mereka mengikut Yesus dan hasilnya adalah kekristenan berkembang. Cerita seperti ini terus kita temukan sepanjang sejarah kekristenan.

Kita tidak pernah tahu ketaatan kita akan menghasilkan apa dalam kerajaan Tuhan. Tapi ketaatan walaupun besar resikonya, kemauan untuk ikut perintah Tuhan walaupun tidak mengerti apa yang akan terjadi, kegelisahan dengan hidup yang tidak melakukan apa-apa, dan kesetiaan mengerjakannya dengan rendah hati, akan dipakai Tuhan seperti gelombang yang terus bergulung sampai kekekalan. Pertanyaannya, ketika Yesus berkata “Pergi”, maukah kita pergi?

Fanny Crosby menciptakan sebuah lagu yang sangat indah. Renungkanlah kata-katanya:

Master, Thou callest, I gladly obey;
Only direct me, and I'll find Thy way.
Teach me the mission appointed for me,
What is my labor, and where it shall be?

Master, Thou callest, and this I reply,
"Ready and willing,
Lord, here am I."

Wednesday, August 24, 2011

Mazmur 103:13-18

(Tulisan ini adalah bahan saat teduh untuk Retreat Young Adult Fellowship GKY Sg 7-9 Aug 2011)
 
Membaca Mazmur 103:13-18 ini membuat kita merasa sangat diberkati. Begitu terkenalnya Mazmur ini di kalangan orang Kristen: Allah sayang kepada kita! Tapi tunggu dulu. Membaca Mazmur ini dengan lebih teliti membuat kita melihat ada 3 hal yang diungkapkan kepada kita:

1. Kasih Allah
Dengan sangat indah ia memang menggambarkan kasih Allah kepada kita “seperti bapa sayang kepada anak-anaknya”. Begitu sayangnya Allah kepada kita sehingga ayat-ayat sebelumnya mengatakan kasih itu “setinggi langit di atas bumi” (103:11).

2. Kita ini fana
Tuhan tahu bahwa kita ini fana, hanya hidup sementara dalam dunia. Dia “ingat bahwa kita ini debu” (103:14) dan “hari-harinya seperti rumput, seperti bunga di padang demikianlah ia berbunga; apabila angin melintasinya maka tidak ada lagi ia” (103:15-16). Kita ini bukan apa-apa, kita ini hanya lewat saja dalam dunia ini, hari-hari kita bagi Allah sangatlah singkat. Bagi kita, hidup yang sementara seringkali berarti menikmati hidup ini sepuasnya. Tapi bagi Allah hidup kita yang sementara ini membuat Dia menaruh belas kasihan kepada kita.

3. Mereka yang takut akan Dia
Ini yang paling sering terlewatkan oleh kita, yaitu Tuhan sangat menyayangi “debu” ini, “rumput dan bunga di padang yang sebentar ditiup angin” ini, bukan sembarang orang. Tapi mereka “yang takut akan Dia” (103:14), mereka “yang berpegang pada perjanjian-Nya dan yang ingat untuk melakukan titah-Nya” (103:18).

Dunia yang kita tinggali ini bukanlah surga. Dunia ini juga bukan tempat tinggal kita untuk selamanya. Kita hanya mampir dalam dunia ini. Tapi apa yang kita lakukan selama kita mampir dalam dunia ini? Bersenang-senang? Mengejar maunya kita sendiri? Mencari keuntungan, kenyamanan, kepuasan sendiri? Kalau saya boleh pakai gambaran lain, mungkin seringkali Allah melihat kita dari atas dan geleng-geleng kepala. Waktu Dia lihat kita hidup untuk diri sendiri, waktu Dia lihat kita berbuat dosa, waktu Dia lihat kita tidak peduli akan orang lain, Dia geleng-geleng kepala, mengurut dada dan kasihan pada kita. Dia tahu kita hanya debu dalam dunia ini, sebentar lagi waktu kita akan lewat. Hanya karena kasihan Dia tidak timpakan kepada kita setimpal dengan dosa kita.

Suatu kali ada seseorang yang pernah bertanya kepada Max Lucado: “Ketika anak cucu anda tahu bahwa engkau hidup di dalam zaman dimana 1.75 milyar manusia hidup dalam kemiskinan dan 1 milyar manusia kelaparan, bagaimana mereka akan menilai respons anda?” Pertanyaan itu membuat dia tidak bisa tidur semalaman. Apa respons dia terhadap dunia yang seperti ini? Bagaimana nanti anak cucunya akan menilai respons dia? Apa jawab kita kalau kita juga ditanya pertanyaan yang sama?

Mungkin kita sudah mampir dalam dunia ini selama 20 tahun atau lebih, apa yang sudah kita lakukan selama ini? Apa yang sudah kita lakukan untuk teman kantor kita? Tetangga kita? Saudara kita di gereja? Apa yang sudah kita lakukan untuk kerajaan Tuhan?

Max Lucado menulis sebuah buku dengan judul: Outlive Your Life: You Were Made to Make a Difference. Kita memang sementara, tapi lakukanlah sesuatu melampaui hidupmu itu! Lakukanlah sesuatu yang bernilai. Lakukanlah sesuatu untuk membuat perbedaan selama engkau mampir dalam dunia ini.

Kita tidak harus melakukan yang besar. Small things can make a big difference. Kesulitan dan masalah memang banyak, ada orang kelaparan disana, ada orang tidak bisa sekolah disitu, ada orang dianiaya di tempat lain, ada bencana alam di tempat lain lagi, ada yang menangis di sini, dan seterusnya. I cannot do everything, but I can do my thing. I can do one thing that God has called me to do! Seperti sebuah orkestra, tiap orang memainkan bagiannya dan conductor yang mahir akan menghasilkan musik yang agung. Mainkan bagian kecil kita dan percayalah bahwa Allah akan menghasilkan sesuatu yang agung dari padanya.

Seperti bapa sayang kepada anak-Nya, demikianlah Tuhan menyayangi kita yang adalah debu ini, yang takut akan Dia dan ingat melakukan titah-Nya.

Tuesday, August 23, 2011

As Each Part Does Its Work

Beberapa hari yang lalu dalam KTB di Youth Fellowship, kami membahas Efesus 4:1-16. Saya menemukan bahwa Alkitab terjemahan bahasa Indonesia sangat tidak enak untuk bagian ini. Maka kami memakai terjemahan bahasa Inggris versi NIV.

Beberapa hal saja yang ingin saya bagikan:

Ay. 7-8: “But to each one of us grace has been given as Christ apportioned it. This is why it says: "When he ascended on high, he took many captives and gave gifts to his people.”  Bagi setiap kita Kristus memberikan kasih karunia sebagaimana yang Dia sudah tentukan. Dia memberikan pemberian2 (gifts) kepada umat-Nya. Dan pemberian apa, berapa ukurannya, Kristus tentukan.

Ay. 11: “So Christ himself gave the apostles, the prophets, the evangelists, the pastors and teachers,” Selain pemberian bagi pribadi2 umatNya, Kristus memberikan pemberian melalui para pemimpin gereja. Dan tujuannya bukan supaya mereka mengerjakan semua pelayanan tapi…

Ay. 12: “to equip his people for works of service” Pernahkah anda berpikir bahwa para hamba Tuhan, pastors, teachers, diberikan Tuhan untuk memperlengkapi umatNya untuk pelayanan!? Mereka adalah pemberian Tuhan bagi gereja, supaya tiap orang, TIAP anak Tuhan, bisa melayani!
Saya langsung singkat saja ke ayat terakhir:

Ay.16: “From him the whole body, joined and held together by every supporting ligament, grows and builds itself up in love, as each part does its work” Tubuh Kristus ini, dipersatukan dan diikat oleh “every supporting ligament”. Kalau kita ikuti logika Paulus, maka sangat logis kalau yang dimaksud dengan “every supporting ligament”, adalah “apostles, prophets, evangelists, pastors, teachers”. Tubuh Kristus itu, dipersatukan, diikat, dikuatkan, ditopang, oleh para hamba Tuhan yang Tuhan berikan untuk gereja-Nya. Dan dengan cara demikian, tubuh itu menerima pertumbuhan dari Kristus, membangun dirinya di dalam kasih. DANNN… jangan lupa frase terakhir: as each part does its work! Ini luar biasa. Semua itu terjadi ketika tubuh itu, masing2 bagiannya mengerjakan pekerjaannya. Hamba Tuhan dipakai Tuhan untuk menopang, untuk memperlengkapi. Tapi tujuan akhirnya adalah semua mengerjakan bagiannya, semua mengerjakan pelayanan. Dengan cara itulah, tubuh menerima pertumbuhannya dari Kristus.

Salah satu kelemahan besar orang Kristen adalah menganggap dirinya hanya ‘bantu-bantu dikit’, sementara semuanya tugas hamba Tuhan. Kalaupun dia ‘bantu-bantu banyak’, begitu menyentuh hal-hal yang bersifat mengajar, membimbing, mendoakan, langsung yakin itu bukan bagiannya.

Kadang saya mengurut dada melihat bagaimana orang Kristen bersikap dalam pelayanan. Coba kalau ada keluarga, baik yang dekat maupun superrrrr… jauh, atau teman dari papa punya adik punya teman kebetulan istri bossnya lagi sakit, siapa yang diminta untuk datang dan berdoa? Hamba Tuhan. Coba kalau ada salah satu anggota keluarga yang hampir meninggal dan belum percaya, siapa yang diminta untuk datang dan menginjili? Hamba Tuhan. Pertanyaan saya, lalu apa tugas orang Kristen yang ada di sekitar orang itu? Apakah mereka tidak bisa berdoa? Apakah mereka tidak bisa menyampaikan berita Injil? Biasanya ditambah dengan pesan: “Ini darurat, tolong segera datang, layani” dan tidak ada yang melayani orang itu sebelum Hamba Tuhan tiba.

Pernah ada orang yang menemani salah satu keluarganya yang sakit. Selama orang itu sakit, tidak banyak yang bisa dilakukan. Maka ada ide bagus, bagaimana kalau ada PA untuk orang itu? Bukankah dia perlu Firman Tuhan? Dan karena orang itu banyak waktu (sedang sakit), bagaimana kalau PA tiap hari? Ide sangat bagus! Tapi siapa yang harus memimpin? Hamba Tuhan!!! Pertanyaan saya sederhana, lalu mengapa bukan dia? Berapa tahun dia jadi orang Kristen? Tidak bisakah membuka Alkitab, membacakannya, merenungkannya, atau mencari bahan yang bisa dia bagikan?

Saya tidak mengeluh untuk tugas saya, tapi saya mengeluh melihat banyak orang Kristen tidak melakukan bagiannya. Coba ihat di gereja berapa banyak orang Kristen yang tidak pernah melakukan apapun juga untuk pekerjaan Tuhan! Saya tahu pelayanan bukan hanya di gereja, dimana saja. Tapi silakan deh dihitung pelayanan yang di luar, mendoakan orang, menuntun teman yang sedang membutuhkan bimbingan rohani, bersaksi kepada orang di kantor, apa saja… coba lihat berapa banyak yang tidak pernah mengerjakan “the work of service” itu. Coba lihat juga berapa banyak yang pelayanan hanya ‘bantu-bantu dikit’, hanya ‘sibuk-sibuk dikit’. Maka banyak yang melakukan ‘Christian work’ tapi pasti bukan ‘the work of service’ dan bukan ‘his part’.

Mungkin memang salah hamba Tuhan, lupa bahwa dirinya dipanggil “to equip His people for works of service” sehingga tidak melakukan bagiannya. Dan salah orang Kristen juga yang tidak melihat bahwa dia sudah terima gifts dari Kristus. Dan ketika ada hamba Tuhan, itu juga adalah gifts dari Kristus untuk menolong dia melayani.

Alangkah indahnya ayat ini: “From him the whole body, joined and held together by every supporting ligament, grows and builds itself up in love, as each part does its work” (Eph 4:16).

Friday, August 12, 2011

Life is Beautiful

Salah satu yang saya usahakan tiap kali pulang Indo adalah cari tukang pijat atau pergi ke tempat pijat. Sangat affordable dibanding dengan di Singapore! (ah.. sekarang aja udah kepengen lagi :-))

Beberapa minggu lalu ketika pulang ke Indo, saya dipijat oleh seorang tuna netra bernama pak W. Usianya kira2 sama dengan saya. Waktu yang cukup panjang, 2 jam (beneran 2 jam! hehe..) membuat kami bisa ngobrol lebih dari sekedar basa-basi.

Dulu dia bukan tuna netra. Dia punya penglihatan yang normal hanya ada masalah glaukoma. Suatu hari ketika dia pulang kerja dengan mengendarai motor, ia terjatuh. Tidak ada luka yang serius, jatuhnya tidak membentur tulang ekor, juga tidak membentur kepala. Setelah bangun, dia mengendarai motor lagi untuk pulang mengobati luka. Sampai di rumah kepalanya terasa pusing, maka dia pun pergi tidur. Ketika bangun tidur, dia sudah tidak bisa melihat lagi. Dia tidak tahu persis apa alasannya, tetapi yang pasti sejak saat itu dunianya menjadi gelap.

Dokter mengatakan kebutaannya tidak bisa disembuhkan. Tidak bisa menerima vonis dokter, dia mencari pengobatan alternatif. Waktu berlalu, uang makin habis, dia tidak kunjung sembuh. Selama beberapa tahun berikutnya dia menjadi orang yang pemarah. Dia tidak bisa menerima bahwa sekarang dia harus bergantung pada orang lain, untuk makan, beli rokok, mandi, untuk segala hal. Tiap kali ada orang bertanya, “bagaimana bisa jadi buta?” Jawabannya: “mau apa tanya2? emangnya bisa nyembuhin?” Kemarahannya lama-lama menjadi depresi. Sempat dia mencoba bunuh diri.

Akhirnya setelah 3 tahun berlalu, dengan bantuan keluarga, dia mulai bisa menerima kenyataan. Setelah diberitahu oleh beberapa orang, dia memilih untuk masuk sekolah menjadi tukang pijat untuk tuna netra. Ada 1 pengalaman lucu disana. Ketika dia baru masuk, dia berjalan sambil berpegangan pada tembok. Tiba2 dahinya terbentur dengan dahi orang lain. Orang itu langsung mengomel “dasar orang buta!” Dengan kesakitan dia pegang dahinya dan hatinya juga sakit. Lalu ada temannya yang dia kenal lewat disitu dan bertanya ada apa. Dia bilang baru aja berbenturan dengan orang lain. Lalu iseng2 dia tanya, “emang tadi itu siapa sih? orang awas (orang dengan mata normal) ya?” Temannya menjawab, “oh.. bukan itu si Rully, orang buta juga!” Dhueeennggg.. dia langsung kesal sambil geli sendiri, dikatain buta sama orang buta!?

Ketika saya tanya, “Pak, pernah kangen pengen ngelihat lagi?” Dia bilang “nggak”. Wah saya menjadi tertarik sekali. Lalu saya tanya kenapa. Dia bilang “kadang2 saya pikir lebih enak jadi orang buta”. Saya makin tertarik, “apanya yang enak?” Dia bilang, “hati saya lebih damai, lebih ada kebersamaan dengan teman2, lebih bisa tenang tahan emosi daripada dulu sebelum buta”. Lalu dia berkata bahwa kalau dia tidak buta dia tidak bisa bertemu dengan istrinya yang juga tuna netra. Dia bersyukur untuk keadaannya itu. Dan dia juga bersyukur bahwa dalam kondisi yang buta, dia bia bekerja, menabung, bahkan membantu keluarganya dan keluarga istrinya di kampung.

Lalu dengan nada bercanda dia berkata, “Saya sama istri juga lebih mesra. Coba aja pasti pak Jeffrey sama ibu kalah mesra”. (Dalam hati saya, enak aja, dia mana tau kami mesra apa nggak hehe..) Lalu dia bilang, “saya sama istri kalau jalan gandengan terus. (Saya langsung protes, saya juga gandengan!). Dia bilang, “ini bukan pegangan tangan tapi pegangan pundak. Kami pernah nabrak mobil sama2, nyemplung selokan juga sama2! Coba, mesra mana?”  (Wah, kalau kayak gitu sih menang dia deh hehe..). Lalu dia juga cerita, kalau pergi belanja ke supermarket, mereka selalu hanya beli yang memang dibutuhkan untuk dibeli. Dari rumah udah pikir mau beli apa, lalu minta diantar oleh teman ke supermarket, dan sampai sana mereka hanya beli sesuai rencana. Tidak pernah karena melirik-lirik, lalu jadi kepengen…. tentu aja mau lirik apa!!??

Saya kagum dengan bagaimana dia memandang keadaannya, bahkan bercanda tentang kebutaannya. Masih ingat film Life is Beautiful? Diceritakan tentang bagaimana seorang ayah mencoba membuat kehidupan di kamp konsentrasi seperti permainan bagi anaknya supaya anaknya terus melihat the beauty of the game. Dia lakukan itu supaya anaknya bertahan dengan melihat keindahan di balik kengerian. Hidup itu indah! Walaupun keadaan bisa menghancurkan keindahan itu dari luar tapi mereka yang tetap bisa melihat keindahannya, berpegang pada keindahan itu, mereka akan tetap bisa bertahan bahkan menikmati hidup.

Apalagi jika kita melalui hidup ini bersama Tuhan. Itulah hidup yang paling hidup! Saya berharap suatu kali pak W menemukan Tuhan dan mengalami hidup yang jauh lebih indah lagi.