Thursday, April 28, 2011

Meminta Maaf - Takamitsu Muraoka

Saya membaca paper dari Prof.Takamitsu Muraoka, seorang Jepang yang adalah doktor dalam bahasa Ibrani lulusan Hebrew University of Jerusalem ((Israel) dan pernah mengajar di Manchester University (UK), Melbourne University (Australia), dan Leiden University (Belanda). Dia menyampaikan paper ini di Trinity Theological College (Singapore) tahun 2005.

Di dalamnya dia menceritakan sudut pandang dia, seorang Jepang, akan penjajahan dan kekejaman Jepang di masa lalu dan dampaknya di masa kini. Menarik bagi saya, seorang Indonesia, yang negaranya dulu juga pernah dijajah Jepang dan banyak menerima informasi hanya dari buku-buku sejarah waktu SD-SMA.

Saya tidak pernah mengalami penjajahan Jepang. Maka walaupun saya bisa membayangkan betapa menderitanya dulu orang Indonesia pada masa penjajahan, tapi saya tidak merasakan sedikitpun kebencian atau kepahitan kepada orang Jepang. Dan saya terkejut membaca kisahnya bagaimana dia menemukan kebencian atau mungkin lebih tepat kepahitan kepada bangsa Jepang masih terasa sampai sekarang.

Dia bercerita bagaimana ketika perdana menteri Jepang datang ke Belanda dan meletakkan karangan bunga di sebuah monumen di sana, keesokan harinya dia tidak bisa menemukan satupun berita tentang itu di dua koran berbahasa Jepang yang paling ternama di Belanda (padahal banyak wartawan yang hari itu ikut, tapi tidak ada yang memuatnya dalam berita)! Dia juga bertemu dengan banyak orang Belanda yang pernah disiksa Jepang di Indonesia, dan masih menyimpan kepahitan yang sangat dalam.

Dia mengakui kejamnya tentara Jepang dalam masa perang dunia kedua itu. Dia bahkan mengungkapkan beberapa kisah yang sangat mengerikan, seperti pembangunan jalur kereta yang melintasi hutan Thailand-Burma dan di Indonesia. Berapa banyaknya yang mati disitu dan berapa besarnya penderitaan orang-orang Inggris, Australia, New Zealand, India, Indonesia dan negara-negara Asia lainnya, tidak ada yang tahu. Di bagian-bagian yang paling sulit, dikatakan setiap kayu rel diletakkan dengan memakan 1 nyawa!

Orang-orang Jepang yang sekarang memang tidak bisa disalahkan karena pada waktu peristiwa itu terjadi mereka masih terlalu kecil untuk bertanggung jawab. Tapi satu hal yang menarik, dia berkata "history, even painful history, needs to be remembered, kept in memory, not only by those who caused such pain, but also by those who suffered it." Dia ingin orang mengingatnya bukan untuk membenci tapi mengampuni.

Ada beberapa hal yang dia lakukan:

1. Mengaku bahwa negaranya pernah menyebabkan kehancuran dan penderitaan yang sangat besar, khususnya bagi negara-negara di Asia dan Pasifik. Dia tidak mencari alasan, tapi menawarkan simpati yang tulus bagi setiap korban dan keluarganya.

2. Dia sangat concern dengan negaranya yang sampai hari ini tidak mau menghadapi sejarah kelam itu dengan jujur.

3. Dia memberikan perpuluhan bukan hanya dalam uang tapi juga waktu, dia memberikan 1/10 waktunya, sekitar 5 minggu setiap tahun untuk membagikan ilmunya kepada para teolog dan mahasiswa di negara-negara Asia yang pernah menderita karena bangsa Jepang. Dan dia lakukan itu tanpa menerima imbalan apapun.

Dia bercerita bagaimana dia sering terharu beribadah bersama dengan orang-orang di negara-negara Asia lainnya, karena di antara mereka banyak yang orang tuanya menderita karena bangsa Jepang.
Saya kagum dengan dia. Perang dan kekejaman Jepang di masa lalu bukan salah dia. Tapi dia merasa ikut bertanggung jawab dan dia mau ikut "meminta maaf" dengan caranya sendiri. Alangkah indahnya kalau setiap kita mau belajar bukan saja saling memaafkan tapi juga saling meminta maaf. Tidak harus dengan kata-kata tapi terutama dengan hati dan tindakan.

Tuesday, April 26, 2011

Beban

Istilah "beban" secara harfiah berarti sesuatu yang kita bawa atau kita pikul. Tapi di antara orang Kristen, istilah ini punya arti yang sangat unik yaitu suatu kerinduan atau bahkan suatu desakan dalam hati untuk mengerjakan sesuatu sebagai pelayanan kepada Tuhan. Maka kita sering mendengar orang berkata: "Beban saya adalah..." atau "Saya terbeban untuk..." atau "Saya tidak punya beban untuk.."

Seorang teman memberikan definisi yang unik. Dia mengatakan bahwa "beban" harus berkaitan dengan orang dan bukan dengan kegiatan. Maksudnya, tidak tepat kalau kita mengatakan "saya terbeban mengajar" karena itu berkaitan dengan aktivitas. Seharusnya kita berkata "saya terbeban mengajar anak-anak kecil itu". Beban kita atau kerinduan atau desakan dalam hati kita adalah untuk anak-anak kecil itu DAN kegiatan yang ingin kita lakukan adalah mengajar.

Saya setuju dengan definisi dia. Dan saya mulai memperhatikan bagaimana orang-orang menggunakan istilah "beban" untuk pelayanannya. Ternyata banyak yang berkaitan dengan aktivitas: "Beban saya adalah pembinaan" (kata banyak mahasiswa teologi yang baru lulus), "Beban saya adalah musik" (kata orang-orang yang punya talenta di bidang musik), "Beban saya adalah mengajar" (kata mereka yang ingin mengajar di sekolah teologi), "Beban saya adalah penggembalaan" (kata hamba Tuhan yang sudah lebih senior), "Beban saya adalah menulis" (kata mereka yang suka menulis), "Beban saya adalah sekolah minggu (kata mereka yang suka anak-anak), "Beban saya adalah sound system" (kata mereka yang punya keahlian di situ), "Beban saya adalah paduan suara" (kata yang suka menyanyi), dst.

Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa semua itu salah. Tapi mungkinkah yang kita sebut beban sebetulnya hanyalah 'kesukaan" atau "hobby" kita?

Tidak salah juga! Karena Tuhan bisa pakai kesukaan dan hobby kita untuk melayani. Tapi alangkah bedanya kalau kita kaitkan beban itu dengan orang dan bukan kegiatan: "Kepada siapa kita terbeban? Apakah kita mengasihi mereka?" Pikirkan orangnya!

Saya tambahkan 1 lagi, alangkah lebih bedanya kalau beban itu kita kaitkan juga dengan tujuan: "Untuk apa kita lakukan itu? Apa yang kita bayangkan atau harapkan atau rindukan akan terjadi dengan apa yang kita lakukan itu?" Pikirkan tujuannya!

Maka kalau kita katakan "beban" kita adalah pembinaan, kita harus bertanya dua pertanyaan lanjutan: "Membina siapa?" dan "Akan membina mereka untuk menjadi seperti apa?"

Kalau kita katakan "beban" kita adalah penggembalaan, kita harus bertanya "Menggembalakan siapa" dan "Ingin menggembalakan mereka menjadi seperti apa?"

Kalau kita berkata "beban" kita adalah sekolah minggu, kita harus bertanya "Apakah kita mengasihi mereka?" dan "Apa yang ingin kita ajarkan kepada mereka? Apa doa kita, kerinduan kita untuk anak-anak itu?"

Kalau kita berkata "beban" kita adalah paduan suara, kita harus bertanya "Apakah saya mengasihi jemaat yang saya layani?" dan "Apa yang saya inginkan terjadi melalui pelayanan di paduan suara ini?"

dan seterusnya, dan seterusnya...

Selalu dua hal yang dipikirkan: orang yang dilayani dan tujuan melayani. Saya yakin kalau setiap orang Kristen memikirkan "beban" nya dengan cara demikian, pasti kita akan mengerjakan pelayanan dengan sangat berbeda.

Maka kalau sekarang kita ditanya "Apa bebanmu?" Walaupun jawaban mungkin tidak berubah (kalau tidak nanti jawabnya akan kepanjangan): "sekolah minggu", "sound system", "mengajar", dan sebagainya, alangkah bedanya kalau kita mengambil waktu untuk memperjelas dan mempertajam beban itu dengan berdoa dan memikirkan lebih jauh orang yang kita layani dan dengan tujuan apa. Tidak selalu kita bisa sangat jelas dan tajam mendefinisikan beban itu, tapi paling tidak kita tahu bahwa beban tidak seharusnya berhenti hanya di kegiatan tok.

Sekarang permisi tanya: Apa bebanmu?

Thursday, April 21, 2011

Jumat Agung dan Paskah - lagi?

Minggu berganti minggu, bulan berganti bulan dan tahun berganti tahun... Waktu terus berlalu dengan sangat cepat. Kalender gereja juga terus berjalan. Setelah hari kenaikan Yesus tahun lalu, Pentakosta, Natal... dan sekarang... Jumat Agung dan Paskah - lagi!

Beberapa orang mungkin merasa cepat sekali waktu berlalu, rasanya belum lama kita kebaktian Jumat Agung dan Paskah! Sekarang... sudah Jumat Agung lagi? Ya.. besok kita akan merayakan Jumat Agung lagi dan hari minggu nanti, Paskah lagi.

Kata 'lagi' seakan membuat kita merasa ada rutinitas. Tidak ada yang salah dengan rutinitas. Manusia hidup dalam rutinitas waktu. Selama masih hidup di dunia, kita tidak bisa lepas dari rutinitas, ada makan, ada mandi, ada tidur, tiap hari ada rutinitas. Yang menjadi masalah adalah kalau kita lupa makna yang lebih besar dari rutinitas itu, dan hanya melihat makan, mandi, dan tidur itu. Yang menjadi masalah adalah kalau kita tidak bisa melihat untuk apa rutinitas itu, buat apa makan, mandi dan tidur itu.

Jumat Agung dan Paskah, sama seperti semua perayaan yang diperintahkan Tuhan dulu kepada orang Israel, adalah rutinitas. Sesuatu yang harus terus dilakukan, diingat, diadakan, tiap tahun, rutinitas. Tapi apakah kita kehilangan maknanya? Itu yang menjadi masalah.

Kata 'lagi' juga membuat kita merasa bahwa ini kurang penting. Karena 'lagi' berarti dulu ada dan masih akan ada lagi. Tapi kita lupa rutinitas tidak berarti selalu ada. Sekarang kita bisa makan, tapi nanti malam? Sekarang kita bisa mandi, tapi besok pagi? Tahun ini kita bisa memperingati Jumat Agung dan Paskah lagi, tapi tahun depan? Tidak ada yang tahu.

Seperti tiap peristiwa dalam hidup kita, bahkan yang rutin seperti makan, mandi, tidur, selalu ada maksud Tuhan, selalu ada makna lebih besar di baliknya, dan selalu ada kesukaan dan karunia Tuhan di dalamnya, demikian pula Jumat Agung dan Paskah. Atau lebih tepatnya, apalagi Jumat Agung dan Paskah!

Kalau Tuhan berikan kita tahun ini kesempatan merayakan lagi Jumat Agung dan Paskah, mari temukan maksud Tuhan, temukan maknanya yang lebih besar bagi hidup kita daripada sekedar ke gereja, temukan kesukaan dan karunia Tuhan di dalamnya!

Selamat merayakan Jumat Agung dan Paskah!

Saturday, April 09, 2011

Tuaian Masih Banyak.. Pekerja Makin Sedikit

Saya sangat terganggu dengan kenyataan makin sedikitnya orang yang menyerahkan diri menjadi
hamba Tuhan penuh waktu di Indonesia.

Dari percakapan dengan beberapa rekan yang mengajar di sekolah teologi, bukan hanya jumlah yang menurun tapi juga 'mutu' yang menurun. Banyak yang masuk ke sekolah teologi sebetulnya tidak siap secara intelektual dan pengetahuan (Saya menemukan keluhan yang sama di Singapore yaitu makin menurunnya pengetahuan Alkitab dari mereka yang masuk sekolah teologi). Padahal studi teologi sama sekali tidak mudah.

Sedikit informasi, tahukah anda berapa rata-rata jumlah mahasiswa baru yang diterima oleh 1 sekolah teologi di Indonesia? Jangan bandingkan dengan penerimaan mahasiswa baru di universitas-universitas umum. Setahu saya hampir tidak ada yang lebih dari 50 orang, dan biasanya berkisar hanya antara 15-40 orang! Beberapa sekolah teologi yang saya tahu, biasanya menerima tidak pernah lebih dari 30 orang. Dari jumlah itu pun, biasanya tidak semua akan lulus dan menjadi hamba Tuhan penuh waktu.

Dan bagaimana kalau dari jumlah yang tinggal sedikit itu, ternyata lebih sedikit lagi yang sanggup belajar Firman Tuhan dengan dalam dan mengajarkannya dengan baik? Saya tidak meremehkan siapa pun, saya percaya ada tempat untuk tiap orang untuk melayani Tuhan dengan kapasitas yang berbeda. Tapi gereja Tuhan perlu orang-orang yang diberkati Tuhan dengan kepandaian dan kedalaman berpikir. Dimanakah orang-orang seperti itu? Dulu banyak hamba Tuhan yang mau pergi melanjutkan studi tapi kesulitan biaya. Sekarang ada biaya yang disediakan pun, belum tentu ada yang bisa dan mau melanjutkan studi!

Apa sebetulnya yang terjadi? Mengapa makin sedikit orang yang mau menjadi hamba Tuhan penuh waktu? Apa yang akan terjadi dengan gereja Indonesia di masa depan? Apa yang bisa kita semua lakukan untuk masalah ini? Apakah para pemimpin gereja di Indonesia sadar akan hal ini? Apa yang bisa dilakukan oleh GKY Singapore untuk masalah ini? Setiap tahun ada banyak anak Indonesia yang datang studi di Singapore, dan umumnya mereka sangat pandai. Tapi berapa persen yang kemudian menjadi hamba Tuhan penuh waktu dibanding mereka yang kemudian bekerja di bidang lain? Adakah 10%? Saya bahkan ragu apakah ada 0,5%! Pertanyaan-pertanyaan seperti ini mengganggu saya.

Kalau kita tidak sama-sama berdoa untuk hal ini dan kalau kita (saya sebut 'kita', karena saya berharap salah satunya adalah yang membaca tulisan ini) tidak mau dipakai Tuhan menjadi hamba Tuhan penuh waktu, mungkin akan tiba masanya 'lost generation' dalam kepemimpinan kekristenan di Indonesia.

Betulkah Tuhan tidak memanggil lagi orang-orang untuk menjadi hamba Tuhan penuh waktu di Indonesia? Apakah Tuhan sedang 'meninggalkan' gereja-gereja di Indonesia? Atau sebetulnya Tuhan masih memanggil, tapi karena pilihan terlalu banyak, tawaran terlalu banyak, dan menjadi hamba Tuhan penuh waktu adalah pilihan dan tawaran yang terasa paling tidak menarik, maka sedikit yang 'merasa terpanggil'? Atau terlalu takutkah kita untuk menjadi hamba Tuhan penuh waktu?

Gereja harus berdoa bersama untuk hal ini. Orang-orang Kristen harus berdoa untuk hal ini. Maukah anda berdoa bahwa mungkin Tuhan mau pakai anda? Maukah anda berdoa bahwa mungkin Tuhan mau pakai anak anda?