Tuesday, April 26, 2011

Beban

Istilah "beban" secara harfiah berarti sesuatu yang kita bawa atau kita pikul. Tapi di antara orang Kristen, istilah ini punya arti yang sangat unik yaitu suatu kerinduan atau bahkan suatu desakan dalam hati untuk mengerjakan sesuatu sebagai pelayanan kepada Tuhan. Maka kita sering mendengar orang berkata: "Beban saya adalah..." atau "Saya terbeban untuk..." atau "Saya tidak punya beban untuk.."

Seorang teman memberikan definisi yang unik. Dia mengatakan bahwa "beban" harus berkaitan dengan orang dan bukan dengan kegiatan. Maksudnya, tidak tepat kalau kita mengatakan "saya terbeban mengajar" karena itu berkaitan dengan aktivitas. Seharusnya kita berkata "saya terbeban mengajar anak-anak kecil itu". Beban kita atau kerinduan atau desakan dalam hati kita adalah untuk anak-anak kecil itu DAN kegiatan yang ingin kita lakukan adalah mengajar.

Saya setuju dengan definisi dia. Dan saya mulai memperhatikan bagaimana orang-orang menggunakan istilah "beban" untuk pelayanannya. Ternyata banyak yang berkaitan dengan aktivitas: "Beban saya adalah pembinaan" (kata banyak mahasiswa teologi yang baru lulus), "Beban saya adalah musik" (kata orang-orang yang punya talenta di bidang musik), "Beban saya adalah mengajar" (kata mereka yang ingin mengajar di sekolah teologi), "Beban saya adalah penggembalaan" (kata hamba Tuhan yang sudah lebih senior), "Beban saya adalah menulis" (kata mereka yang suka menulis), "Beban saya adalah sekolah minggu (kata mereka yang suka anak-anak), "Beban saya adalah sound system" (kata mereka yang punya keahlian di situ), "Beban saya adalah paduan suara" (kata yang suka menyanyi), dst.

Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa semua itu salah. Tapi mungkinkah yang kita sebut beban sebetulnya hanyalah 'kesukaan" atau "hobby" kita?

Tidak salah juga! Karena Tuhan bisa pakai kesukaan dan hobby kita untuk melayani. Tapi alangkah bedanya kalau kita kaitkan beban itu dengan orang dan bukan kegiatan: "Kepada siapa kita terbeban? Apakah kita mengasihi mereka?" Pikirkan orangnya!

Saya tambahkan 1 lagi, alangkah lebih bedanya kalau beban itu kita kaitkan juga dengan tujuan: "Untuk apa kita lakukan itu? Apa yang kita bayangkan atau harapkan atau rindukan akan terjadi dengan apa yang kita lakukan itu?" Pikirkan tujuannya!

Maka kalau kita katakan "beban" kita adalah pembinaan, kita harus bertanya dua pertanyaan lanjutan: "Membina siapa?" dan "Akan membina mereka untuk menjadi seperti apa?"

Kalau kita katakan "beban" kita adalah penggembalaan, kita harus bertanya "Menggembalakan siapa" dan "Ingin menggembalakan mereka menjadi seperti apa?"

Kalau kita berkata "beban" kita adalah sekolah minggu, kita harus bertanya "Apakah kita mengasihi mereka?" dan "Apa yang ingin kita ajarkan kepada mereka? Apa doa kita, kerinduan kita untuk anak-anak itu?"

Kalau kita berkata "beban" kita adalah paduan suara, kita harus bertanya "Apakah saya mengasihi jemaat yang saya layani?" dan "Apa yang saya inginkan terjadi melalui pelayanan di paduan suara ini?"

dan seterusnya, dan seterusnya...

Selalu dua hal yang dipikirkan: orang yang dilayani dan tujuan melayani. Saya yakin kalau setiap orang Kristen memikirkan "beban" nya dengan cara demikian, pasti kita akan mengerjakan pelayanan dengan sangat berbeda.

Maka kalau sekarang kita ditanya "Apa bebanmu?" Walaupun jawaban mungkin tidak berubah (kalau tidak nanti jawabnya akan kepanjangan): "sekolah minggu", "sound system", "mengajar", dan sebagainya, alangkah bedanya kalau kita mengambil waktu untuk memperjelas dan mempertajam beban itu dengan berdoa dan memikirkan lebih jauh orang yang kita layani dan dengan tujuan apa. Tidak selalu kita bisa sangat jelas dan tajam mendefinisikan beban itu, tapi paling tidak kita tahu bahwa beban tidak seharusnya berhenti hanya di kegiatan tok.

Sekarang permisi tanya: Apa bebanmu?