Tuesday, May 24, 2011

Memilih Sekolah Teologi/Seminari

Bagi yang ingin melayani full time, seminari atau sekolah teologi adalah tempat persiapan sebelum
terjun ke ladang. Yang dituju adalah ladangnya, arena pertandingannya, bukan sekolah teologi-nya. Tapi sebagai tempat persiapan, sekolah teologi tentu sangat penting. Apa yang akan kita pelajari disitu? Bagaimana kita akan dilatih disitu? Persiapan macam apa yang akan kita dapatkan disitu?

Saya ingin membagikan beberapa hal yang bisa menjadi pertimbangan bagi kita memilih sekolah teologi untuk pertama kalinya (seperti S.Th, M.Div):

1. Dimana nanti kita akan melayani?
Kalau kita akan melayani di Indonesia, ada baiknya mempertimbangkan untuk sekolah teologi di Indonesia. Beberapa keuntungannya adalah: (1) Kita akan mengerti lebih baik konteks pelayanan kita. Kita akan banyak bicara dengan rekan2 sesama mahasiswa dari berbagai gereja di Indonesia, kita akan melayani di beberapa gereja di Indonesia pada waktu praktek pelayanan, dan seterusnya. (2) Bagi mereka yang bahasa Inggrisnya pas2an, kesulitan belajar di luar negeri adalah kita jadi kurang mengasah ketajaman berpikir kita dengan diskusi. Sulit mengajukan pertanyaan, sulit berdebat, sulit untuk macam2, akhirnya banyak pikiran kita yang ‘mentok’ disitu saja. (3) Kesempatan mengasah kemampuan berkhotbah akan lebih banyak di Indonesia. Di luar negeri biasanya jarang sekali kesempatan berkhotbah. ‘Latihan’ khotbah di sekolah teologi pun dilakukan dalam bahasa Inggris yang membuat kita sangat terbatas. Tidak berarti mereka yang sekolah di Indonesia pasti lebih baik, hanya kesempatannya yang lebih banyak.

2. Akademis
Ada 2 komponen penting dalam persiapan secara akademis: dosen dan perpustakaan. Perhatikan jajaran dosen di sekolah tersebut. Jangan masuk ke sekolah teologi yang dosennya menganut teologi liberal. Sekolah seperti itu akan mematikan iman. Jangan terlalu kagum dengan jajaran dosen yang gelarnya hebat karena seringkali ada 2-3 orang dosen saja yang mampu merangsang pikiran kita, itu sudah cukup. Sebagai mahasiswa yang baru mulai belajar, ‘wadah’ kita biasanya tidak akan sanggup menampung terlalu banyak. Tapi struktur pikiran harus dibentuk. Maka saya lebih memilih dosen yang pandai mengajar serta bisa membukakan pikiran daripada dosen yang hebat gelar akademis-nya. Tentu lebih baik kalau dua2nya ada. Tapi sungguh, dosen yang tinggi secara akademis belum tentu bisa mengajar! Jangan juga terlalu kagum dengan jajaran dosen tamu dari luar negeri yang sering dicantumkan namanya karena sebetulnya mereka jarang datang dan setting kuliah intensif biasanya tidak terlalu bermanfaat dibanding kuliah reguler. Lebih baik perhatikan jajaran dosen tetapnya. Kurangnya dosen yang baik bisa ditutupi dengan perpustakaan yang baik.

Faktor lain yang juga penting adalah teman2. Kalau teman2 di sekolah teologi kurang semangat belajar, kurang semangat mengejar pengertian, maka itu akan mempengaruhi kita. Demikian pula kalau sebaliknya. Faktor teman2 ini seringkali jauh lebih besar pengaruhnya dari yang kita perkirakan. Misalnya: Ada dosen yang khotbah berapi-api. Lalu mereka yang mencontoh (namanya juga belajar), diejek sebagai peniru. Maka semua akan cenderung khotbah lemes daripada dibilang meniru! Atau waktu kita malas, tapi kita lihat yang lain belajar terus, lalu diskusi dengan mereka membuat kita sadar bahwa kita banyak tidak tahu dibanding mereka, kita pasti akan terpacu. Bayangkan kalau semua tenang, santai, banyak habiskan waktu untuk facebook, jadi apa kita!?

3. Api pelayanan
Semangat yang berkobar untuk melayani, kuasa dalam menyampaikan firman Tuhan, pengorbanan di dalam pelayanan, pengalaman yang luas, adalah hal-hal yang menular dari dosen ke mahasiswa. Suasana akademis saja hanya akan mempersiapkan mahasiswa untuk akademis saja dan bukan untuk pelayanan. Maka perhatikan siapa dosennya, bagaimana pelayanan mereka, bagaimana khotbah mereka, dan seterusnya.

Menurut saya, tiga hal di atas adalah yang paling penting dan paling bisa kita lihat pada waktu memilih. Di luar itu, seperti faktor disiplin atau yang sering disebut faktor ‘pembentukan’, menurut saya tidak terlalu penting. Saya percaya kita perlu belajar disiplin di sekolah teologi, perlu ada aturan hidup bersama, perlu ada disiplin rohani, tapi tidak seperti anak2. Kadang hal-hal seperti itu melemahkan bukan memperkuat persiapan menjadi hamba Tuhan yang baik.

Sebetulnya kalau kita bisa tahu ‘dalam’nya sekolah teologi itu, faktor lain yang menurut saya sangat penting adalah:

4. Relasi Dosen dan Mahasiswa
Bagaimana dosen berelasi dengan mahasiswa? Apakah ada dosen2 yang care kepada mahasiswa? Apakah ada ‘katup’ penyaluran emosi dan masalah yang mau meledak? Banyak tekanan akan dirasakan oleh mereka yang sekolah teologi dan tanpa ada dosen yang berfungsi sebagai katup penyaluran emosi itu, beberapa mungkin meledak. Apakah mahasiswa diperlakukan sebagai anak, adik, yang dibimbing, diajar, diperlengkapi dengan kasih atau sebagai murid saja? Suasana belajar dan persiapan kita sangat dipengaruhi oleh ini. Dan sayangnya banyak sekolah teologi di Indonesia terlalu sedikit memperhatikan ini.

Pertimbangan2 di atas adalah untuk mereka yang baru akan masuk sekolah teologi. Lain kasusnya bagi mereka yang ingin studi lanjutan (post graduate degree) yang sifatnya lebih mandiri, karena saat itu yang lebih penting adalah sisi akademis dan theological stand dari dosen2 di sekolah tersebut.
Sebenarnya ada pertimbangan2 lain yang juga penting (seperti apakah dosennya punya pengalaman pastoral yang cukup), tapi saya pikir pertimbangan2 di atas cukup untuk memilih sekolah teologi – khususnya di Indonesia. Daftar di atas bukan gambaran sekolah teologi yang ideal, tapi hanya point2 pertimbangan. Tidak ada yang sempurna.

Oh ya, sebelum lupa, sekolah teologi selalu berubah, yang 5 tahun lalu kita dengar baik belum tentu hari ini masih sama baiknya. Perhatikan kondisinya saat sebelum anda masuk bukan kondisinya 5 atau 10 tahun lalu.

Selamat memilih tempat persiapan sebelum terjun ke ladang!

Friday, May 20, 2011

Sibuk?

Di zaman sekarang, siapa yang tidak sibuk? Khususnya bagi yang hidup dan bekerja di Singapore, kota yang modern, transportasi yang mudah, koneksi internet yang cepat, membuat kehidupan seringkali justru lebih sibuk.

Uniknya kesibukan tidak hanya menjadi symptom, tetapi menjadi simbol status bahkan kebanggaan. Di satu sisi kita tidak senang sibuk, tetapi di sisi lain kita tidak suka disebut ‘tidak sibuk’, atau ‘kurang kerjaan’. Di satu sisi kita mengeluh ketika sibuk, tetapi di sisi lain kita bangga bahwa kita orang sibuk. Sebagian orang perlahan-lahan mulai menikmati kesibukannya. Baginya hidup adalah sibuk dan dia tidak suka hidupnya tidak ada sesuatu yang dikerjakan.

Bagaimana hamba Tuhan harus hidup di tengah jemaat yang kebanyakan sibuk dan suka untuk sibuk ini? Apakah juga harus menjadi “busy pastor”? Sepertinya itu yang diharapkan sebagian jemaat dan itu yang juga ‘dipamerkan’ oleh sebagian hamba Tuhan. Kalau tidak sibuk, malu rasanya, jemaat semua sibuk kok hamba Tuhan nganggur?

Kalimat Eugene Peterson di dalam bukunya “The Contemplative Pastor” sangat mengejutkan:

I’m not arguing the accuracy of the adjective [busy]; I am, though, contesting the way it’s used to flatter and express sympathy… But the word busy is the symptom not of commitment but of betrayal. It is not devotion but defection. the adjective busy set as a modifier to pastor should sound to our ears like adulterous to characterize a wife or embezzling to describe a banker.

Terjemahan bebasnya:

Saya tidak mempermasalahkan ketepatan kata sifat sibuk itu; tetapi saya mempertanyakan cara kata itu digunakan untuk memuji atau menyatakan simpati… Tetapi kata sibuk bukanlah tanda komitmen tapi pengkhianatan. Itu bukan pengabdian tapi ketidaksetiaan. Kata sifat sibuk yang dikenakan kepada hamba Tuhan di telinga kita harus berbunyi seperti berzinah dikenakan kepada istri atau korupsi dikenakan kepada bankir.

Saya kira sibuk adalah musuh setiap orang, bukan hanya hamba Tuhan. Kalau saya boleh definisikan ulang: sibuk berarti mengerjakan banyak hal tapi mengabaikan yang esensial dalam hidup dan panggilan kita. Dan bagi setiap orang ‘yang esensial’ ini berbeda.

Bagi saya, ‘yang esensial’ itu berarti membaca Alkitab, lebih banyak berdoa, membaca buku, mempersiapkan khotbah dengan baik,punya waktu untuk ngobrol dengan sebanyak mungkin jemaat, bisa merenung dan memikirkan strategi pelayanan dengan lebih baik, punya waktu ngobrol dan jalan-jalan dengan istri, bisa belajar banyak hal dengan banyak cara (belajar keindahan manusia, keindahan alam, belajar penderitaan manusia, dsb), berolah raga, bisa pulang teratur menengok orang tua dan mertua saya, kira2 seperti itu. Kalau saya sibuk (baca: tidak mengerjakan ‘yang esensial’ itu) maka saya sedang mengkhianati hidup dan panggilan saya.

Bagi anda apa ‘yang esensial’ itu? Sebagai orang Kristen, qpakah anda punya waktu untuk berdoa, membaca Alkitab, membaca buku rohani? Sebagai anggota keluarga, apakah anda punya waktu yang berkualitas untuk keluarga? Sebagai anggota gereja, apa yang anda lakukan? Dan sebagai manusia dengan karunia dan panggilan dari Tuhan, apa yang esensial? Apakah hanya bekerja? Apakah hanya pergi dan meeting ke sana sini? Kalau ‘yang esensial’ itu yang tidak dikerjakan, maka sangat mungkin itu berarti anda sibuk, dan itu sama sekali tidak membanggakan.

Dengan malu saya harus mengaku bahwa saya pun seringkali sibuk! Tapi saya berjuang – dan akan terus berjuang - untuk tidak sibuk. Saya tidak mau disebut busy pastor! Dan jangan mau disebut sebagai suami sibuk, istri sibuk, orang tua sibuk, orang Kristen sibuk, anak sibuk, dan yang lain2nya. Sekali lagi, karena ketika orang mengatakan kita sibuk, itu mungkin karena ada ‘yang esensial’ yang kita abaikan. Mari sama2 berjuang untuk tidak sibuk.

Saturday, May 14, 2011

Mengapa ada 'Singer'?

Di dalam ibadah di beberapa gereja kita suka menemukan ada beberapa orang yang berdiri di depan, ikut menyanyi dengan microphone. Mereka disebut 'Singer'.

Beberapa gereja mungkin tidak pernah memikirkan apa fungsi 'singer'. Alasan praktis yang biasanya dikemukakan: Untuk menolong worship leader menyanyi (apalagi kalau worship leader-nya kurang PD) dan supaya ada kesan meriah dengan adanya beberapa orang yang berdiri di depan.

Paling tidak ada 2 hal yang seharusnya dipertimbangkan untuk menempatkan singer di dalam sebuah ibadah:

1. Suara

Singer ada untuk menolong worship leader dan jemaat dalam menyanyi. Maka suara sangat penting. Dengan kata lain, jangan sampai singer justru menyanyi dengan tidak baik atau lebih parah lagi false.

2. Ekspresi/Sikap

Jemaat bukan hanya mendengar suara singer tapi juga melihat ekspresi mereka. Ekspresi mereka bisa menolong jemaat menyanyikan pujian itu dari hati atau bisa merusak semuanya.

Beberapa waktu yang lalu saya menyaksikan sebuah konser musik, berupa paduan lagu kontemporer dan tarian. Ada worship leader, ada paduan suara dan juga ada tim penari. Musik dan lagu yang dinyanyikan sangat baik dan theologically sound. Tarian juga dilakukan dengan energik, yang wanita melakukan gerakan seperti tarian balet dan yang pria membawa bendera.

Jelas tarian dilakukan supaya 'memperkuat' lagu yang dinyanyikan, membuatnya lebih berkesan, lebih 'masuk' bagi kita dengan memberikan tarian yang menggambarkan semangat dan pesan lagu-lagu yang dinyanyikan. Lagu-lagunya banyak mengenai kebesaran Allah, kekuatan Allah, keindahan Allah. Dan tarian mereka - seharusnya - dimaksudkan untuk menggambarkan itu.

Tapi ternyata hasilnya tidak seperti itu bagi saya. Tarian mereka bukan memperkuat lagu yang dinyanyikan tapi malah agak mengganggu. Saya coba menganalisa mengapa saya terganggu:

Pertama, koreografinya agak monoton (hampir serupa untuk semua lagu) sehingga saya tidak lagi merasakan penekanan yang jelas untuk lagu berbeda. Malahan koreografi yang monoton itu mengaburkan keunikan pesan setiap lagu.

Kedua, ekspresi wajah mereka yang kadang senyum-senyum saling 'memberi kode' di antara mereka, atau kadang tidak tersenyum (ketika harusnya tersenyum), atau terlalu serius (ketika saya kira harusnya tersenyum), juga sangat mengganggu. Saya tidak menghakimi bahwa mereka tidak punya jiwa memuji Tuhan karena saya pasti tidak bisa melihat hati mereka. Tetapi bukankah mereka tampil untuk 'memperkuat' lagu yang dinyanyikan? Saya jadi berpikir buat apa ada tarian? Bukankah tarian itu untuk memperkuat pesan, tapi mengapa malah memperlemah?

Demikian pula dengan adanya singer di dalam ibadah. Seringkali saya menemukan mereka tidak memperkuat tapi memperlemah ibadah dengan suara dan ekspresi/sikap mereka. Sayangnya banyak yang tidak mempedulikan ini karena “yang penting ada singer” atau “dari dulu selalu ada singer”. Saya tidak bermaksud mengatakan kita tidak perlu singer. Bukan! Tapi kita harus pikirkan bagaimana ibadah diperkuat! Salah satunya dengan mempertimbangkan apakah perlu singer atau tidak, bagaimana penempatan posisi singer, bagaimana melatih singer, dan bagaimana memilih singer.

Friday, May 06, 2011

Church Usher

Saya menemukan 1 buku yang menarik perhatian saya: A Guide for the Church Usher oleh Thomas L. Clark. Mungkin ada beberapa hal yang nanti bisa saya bagikan. Tapi ini sekilas dulu (saya terjemahkan):

Yang masih saya ingat ketika awal sekali saya pergi ke gereja adalah orang-orang dewasa yang berbicara kepada orang tua saya, memberi mereka beberapa helai kertas, berjalan dengan mereka masuk ke dalam ruang kebaktian, dan bermain dengan saya. Tidak lama saya mengenal mereka sebagai teman-teman dan saya menantikan untuk bertemu mereka setiap minggu di gereja. Sebagai seorang anak kecil, saya mulai tahu orang-orang yang ceria ini adalah usher gereja.

Waktu remaja, saya diizinkan untuk melayani sebagai usher pada waktu minggu-minggu khusus di gereja. Saya tidak sepenuhnya mengerti peran atau fungsi usher, tapi saya senang dan punya banyak kenangan indah di waktu-waktu itu.

Sebagai mahasiswa sekolah teologi, waktu itu saya menjadi anggota gereja yang memiliki usher yang baik. Saya memperhatikan sukacita para usher dan merasakan kehangatan dan perhatian mereka. Mereka tahu nama saya dan selalu punya kalimat yang ramah untuk diucapkan.

Setelah ditahbis ke dalam pelayanan dan melayani di gereja pertama saya, usher menjadi sangat terkait dengan pelayanan saya. Saya terus belajar peran dan fungsi mereka. Saya bergantung pada pertolongan mereka. Mereka berespon dengan sangat baik kepada permintaan saya dan memperkaya hidup saya.

Saya sudah dilayani oleh usher di gereja besar maupun kecil, dengan berbagai latar belakang etnik – pria dan wanita, tua dan muda – semua menjadi bagian dari pengalaman saya.

Kalau anda melayani sebagai usher gereja, apa yang anda pikir ketika membaca tulisan Thomas Clark di atas? Kadang sangat sulit memberitahu para usher betapa pentingnya pelayanan mereka. Usher bukan sekedar penting karena membawa persembahan, membagikan warta, dsb. Tapi usher penting karena kesan pertama orang terhadap gereja adalah ketika melihat usher. Dan ini bukan hanya bagi mereka yang pertama kali ke gereja, tapi bahkan orang yang sudah sering ke gereja pun akan merasakan pentingnya pelayan usher (dalam istilah Thomas Clark: “memperhatikan sukacita, merasakan kehangatan dan perhatian mereka”).

Sama seperti setiap peran yang penting, selalu punya 2 sisi terbalik: menguatkan atau melemahkan. Usher bisa memperkuat pelayanan gereja dengan sikap dan kata-kata mereka, atau sebaliknya memperlemah pelayanan gereja juga dengan sikap dan kata-kata mereka.

Mungkin kita sudah terlalu lama melayani sebagai usher, mungkin kita sudah terlalu biasa ke gereja, mungkin kita sudah terlalu lama jadi orang Kristen, maka mungkin sudah terlalu sulit bagi kita untuk membayangkan pentingnya pelayanan usher. Ada baiknya kita membayangkan, dulu ketika kita pertama ke gereja, usher macam apa yang kita temui? Ada kesan yang baik? Buruk? Atau tidak ada kesan? Bayangkan bedanya kesan kita dulu kepada gereja itu kalau usher yang kita temui bersikap berbeda.