Sunday, June 19, 2011

Menindas

Ketika pulang ke Jakarta beberapa minggu lalu, saya duduk di sebelah seorang perempuan. Sedikit percakapan dengan dia membuat saya tahu bahwa dia bekerja di Singapore sebagai domestic worker. Sudah 2 tahun dia di Singapore dan ini adalah kepulangannya yang pertama kali ke Indonesia.

Tidak heran dia bingung bagaimana mengisi kartu bea cukai yang dibagikan di pesawat. Saya kemudian membantunya. Ketika keluar dari pesawat dia juga bingung harus kemana dan saya menunjukkan dia jalan ke imigrasi. Selepas imigrasi, dia bingung lagi dimana mengambil bagasi. Setelah semua selesai, dia jalan duluan untuk keluar.

Tiba-tiba saya lihat dengan dia berjalan tergesa-gesa kembali ke arah saya dengan wajah ketakutan. Dia berkata: “Pak, tolong saya… saya nggak boleh keluar di situ… orangnya aneh banget.. saya takut…” Saya jadi bingung ada apa. Tapi instink saya sebagai orang Indonesia tahu bahwa ini pasti ada kaitannya dengan UUD (ujung-ujungnya duit). Maka saya panggil 1 orang porter dan bertanya “apa betul dia tidak boleh keluar dari sana?” Jawaban porter itu khas dalam sistem korupsi Indonesia: “wah musti ada yang bantu pak”. Saya tahu maksudnya. Lalu saya katakan “saya baru ketemu dengan dia, saya cuma mau nolong dia, sebetulnya harusnya keluar dimana?” Setelah sadar dia tidak akan mendapat uang dari saya, porter itu berkata bahwa memang secara peraturan tidak boleh, tiap TKW (sekarang nama kerennya “Penata Layan Rumah Tangga”) memang harus keluar dari pintu khusus.

Saya tahu dia pasti akan dimintai uang. Tapi saya tidak berdaya. Akhirnya saya hanya menenangkan dia dan berpesan supaya dia mengeluarkan sedikit uang di kantong dan jangan membuka dompetnya. Waktu dia pergi, perasaan saya seperti melepas dia masuk ke jalur ‘pembantaian’.

Sambil berjalan keluar, saya merasa muak dengan korupnya sistem di Indonesia. Orang itu naik pesawat yang sama dengan saya. Siapapun yang membayar pesawatnya, tapi dia adalah penumpang pesawat yang saya yakin tidak diberi diskon karena dia TKW. Tapi di pesawat, sikap sopan santun pramugari menjadi berbeda ketika melayani dia dan melayani saya. Mengapa? Sebagai warga negara Indonesia, dia boleh mendapatkan passport seperti saya, tapi dia mendapat passport yang berbeda dari saya. Mengapa? Dan kalau dia punya uang untuk jalan-jalan ke luar negeri, apakah tiap kali pulang dia akan selalu diperlakukan sebagai TKW, keluar lewat jalur TKW, padahal dia sedang jadi turis? Mengapa?

Dan yang juga membuat saya muak, saya pernah melihat bagaimana seorang petugas cleaning service di bandara memperlakukan TKW. Saya bertanya kepada dia dimana toilet, dan saya mendapat jawaban dengan sikap yang sangat sopan. Tapi ketika seorang TKW bertanya kepada petugas yang sama, dia mendapat jawaban dengan kasar!

Bukan cuma korupnya sistem di Indonesia, tapi betapa keterlaluannya orang-orang Indonesia itu!

Bagi kita orang Kristen, jangan sampai kita melakukan yang sama. Amsal berkata:

Siapa menindas orang yang lemah, menghina Penciptanya, tetapi siapa menaruh belas kasihan kepada orang miskin, memuliakan Dia. (Amsal 14:31)

Thursday, June 02, 2011

Adventure of Faith - Michael Green

Beberapa bulan terakhir ini saya membaca beberapa buku biografi/autobiografi. Saya menyukainya karena selalu ada hal-hal menarik yang bisa direnungkan dari refleksi kehidupan orang lain, pengalaman mereka, pemikiran mereka akan banyak hal, atau berbagai kesulitan yang pernah mereka alami dan jalan keluarnya.

Dalam hal pengalaman pelayanan, Michael Green adalah salah salah satu orang yang ‘langka’. Dalam autobiografinya, dia menceritakan refleksinya selama 50 tahun di ladang pelayanan. Dan 50 tahun yang dia lalui adalah 50 tahun yang sangat berwarna-warni. Dia menulis 48 buku, pernah berkunjung dan melayani di hampir 40 negara, seorang penginjil dan pengkhotbah terkenal, pernah menduduki berbagai posisi dalam pelayanan, bertemu dengan banyak pemimpin gereja dan dunia.

Seperti yang dikatakan oleh John Stott tentang dia:
Few people have had such a variety of gifts, and such a range of experiences, as Michael Green. So he is able to evaluate firsthand many different ministries, movements and controversies.
Buku ini bukan hanya bercerita tentang kehidupan dan pelayanannya tetapi seperti judul bukunya, ini adalah refleksi dia atas 50 tahun pelayanannya. Di dalamnya dia mengemukakan pendapatnya dan perenungannya atas berbagai hal, issue, orang yang dia temui selama 50 tahun pelayanannya. Tidak heran, bukunya cukup tebal: 392 halaman! Namanya juga 50 tahun!!!

Ada beberapa hal yang di dalam buku ini yang ingin saya komentari lebih lanjut. Salah satunya sudah saya lakukan di Passion for Excellence. Lain kali mungkin yang lainnya.

Ada seorang dosen saya yang ingin menuliskan autobiografinya juga. Saya tidak tahu banyak tentang dia, tapi mungkin dia juga punya banyak pengalaman yang bisa dia bagikan. Kalau saya sendiri? Saya pikir saya tidak pantas menulis autobiografi, cukuplah menulis di blog… :-)