Friday, January 27, 2012

Remember Me in Your Prayer

“Tolong doain ya”, permintaan itu seringkali kita dengar dari teman atau keluarga kita. Tapi berapa banyak permintaan seperti itu yang sungguh kita responi dengan doa?

Permintaan doa memang sering menjadi basa-basi di lingkungan orang Kristen. Yang minta didoakan juga tidak sungguh2 berharap didoakan, dan yang mendengar juga tidak sungguh2 menanggapinya.

Mungkin ada 2 masalah yang lebih dalam di balik itu. Pertama, kita cenderung egois. Kita berdoa untuk diriku, kebutuhanku, pergumulanku, kesedihanku, dan keinginanku. Kita tidak terlalu peduli dengan kebutuhan, pergumulan, kesedihan orang lain. Maka dengan cepat kita lupa ada orang yang minta didoakan.
Kedua, kita mungkin meragukan kuatnya dosa dan kuasanya doa. Kita beranggapan “ah, nggak didoain juga nggak ada apa2” (kuatnya dosa?) dan “ah, didoain juga nggak ada perbedaan apa2” (kuasanya doa?). Maka orang lain kita kesampingkan dari daftar doa kita.

Kita lupa kuatnya dosa, ngerinya iblis, yang mengintai dan ingin menghancurkan setiap kita. Tidak ada pengecualian, tiap kita berada dalam daftar keinginan iblis. Dia oportunis sejati yang terus mencari waktu yang tepat.

Kita meragukan kuasanya doa, seruan kepada Allah yang berkuasa, kepada Allah yang mendengar, dan kepada Allah yang menjawab doa. Kita ragu bahwa Allah bekerja menjawab doa yang dinaikkan dengan iman kepada Dia.

Kalau kita ingat dan percaya 2 hal di atas, bahwa tiap kita bisa dijatuhkan oleh iblis dan bahwa ada anugrah Allah yang kita minta melalui doa, kita akan berdoa dengan lebih sungguh bagi orang2 di sekitar kita.

Mulailah berdoa, bukan hanya untuk kebutuhan, keinginan, pergumulan kita, tapi doakan kehidupan rohani kita. Doakan kehidupan rohani keluarga kita. Doakan orang2 yang minta didoakan. Bahkan doakan orang2 yang kita ingat. Doakan supaya kita semua dijauhkan dari pencobaan, disertai dalam lembah kekelaman, dikuatkan untuk hidup dekat dengan Tuhan.

Kalau saja kita lebih banyak saling mendoakan, ada banyak pekerjaan setan yang dihancurkan dan pekerjaan Tuhan dinyatakan.

Tuesday, January 17, 2012

Berpikir Secara Teologis

Kita percaya tidak ada dualisme dalam hidup Kristen. Pengertian kita tentang Allah bukanlah hanya untuk dibicarakan dalam khotbah, tetapi seharusnya menjadi dasar semua yang kita lakukan baik dalam pelayanan, ibadah, maupun kehidupan keluarga ataupun pekerjaan. Alkitab bukanlah hanya untuk dibaca dan membuat kita ‘tersentuh’, tetapi menuntun kita dalam setiap aspek kehidupan kita.

Maka tiap hal dalam hidup kita, baik itu kehidupan di gereja, mengenai bentuk kebaktian, cara persembahan, mengundang pengkhotbah, disiplin gereja, pelaksanaan sakramen, pemilihan majelis, pemberkatan nikah, apapun juga… harus dipikirkan dari sisi teologis. Atau itu dalam kehidupan keluarga, mengenai pernikahan, komitmen, kesetiaan, punya anak, mendidik anak, pengambilan keputusan dalam keluarga, apapun juga… harus dipikirkan dari sisi teologis. Demikian pula kehidupan kita yang lainnya seperti pemilihan karir, etika kerja, bisnis, hubungan dengan orang lain, sikap terhadap lingkungan, dan apapun juga… apapun yang terpikir… harus dipikirkan secara teologis.

Tapi… mengapa sedikit sekali orang Kristen yang berpikir secara teologis? Saya berikan beberapa contoh, pernahkah kita berpikir secara teologis:

Mengapa di beberapa gereja, jika ada pasangan yang mengaku sudah melakukan hubungan seks sebelum menikah, maka pemberkatan tidak boleh dilakukan di ruang kebaktian tetapi di ruang lain atau bahkan gedung lain? Mengapa kita melakukan perjamuan kudus 1 bulan 1X, mengapa tidak lebih sering atau lebih jarang? Mengapa ibadah dipisah antara anak2, remaja, dan orang dewasa? Mengapa perlu menikah? Atau mengapa harus menikah? Mengapa punya anak? Apa nilai di balik cara kita merekrut karyawan, memberlakukan jam kerja karyawan, tuntutan kepada karyawan, dst?
Saya bisa teruskan daftar pertanyaan ini panjang sekali. Bahkan kalau anda perhatikan, banyak tulisan saya dalam blog ini adalah usaha saya untuk berpikir secara teologis.

Sadar atau tidak sadar ada nilai, ada kompas, ada alasan, mengapa kita melakukan sesuatu. Dan apa nilai, kompas, atau alasan itu? Apa dasarnya? Siapa yang mengajarkan itu? Kalau nilai, kompas dan alasan kita bukan berdasarkan teologi, bukan pengertian kita tentang Allah yang dinyatakan dalam Alkitab, maka pasti yang lain. Maka pilihannya adalah berpikir secara teologis, dan hidup diarahkan oleh itu, atau berpikir secara lain, dan hidup diarahkan oleh itu.

Saya menyayangkan kurangnya orang Kristen berpikir. Bahkan kalau saja kita mau berpikir, dengan logis, seperti metode Socrates, banyak hal yang kita lakukan akan nampak salahnya dan sembarangannya. Saya meratapi kurangnya orang Kristen mau berpikir lebih mendalam – berdasarkan Alkitab – tentang berbagai hal yang dia temui dalam hidupnya. Tidak heran gereja kadang lebih dipengaruhi oleh marketing, psikologi, dan manajemen daripada Alkitab! Tidak heran juga banyak orang Kristen hidupnya, cara bisnisnya, tidak ada bedanya dengan orang bukan Kristen!

Saya sadar tidak mungkin kita sanggup sempurna, memikirkan semuanya dari kacamata teologis. Kita manusia terbatas, selalu ada hal yang belum kita pikirkan. Tapi paling tidak, mari mulai, sebisa kita, berpikir – dan berpikir secara teologis.

Monday, January 16, 2012

The Best Things in Life - Peter Kreeft

Buku ini berisi percapakan imajiner antara Socrates dan orang modern di dalam sebuah universitas.

Peter Kreeft membayangkan jika Socrates muncul di tengah dunia modern, berjalan2 dan bercakap2 dengan orang2 modern di tengah kampus, kira2 apa yang akan dia katakan atau tanyakan?
Metode Socrates di dalam mencari kebenaran dan mengajarkan kebenaran adalah dengan bertanya. Dia akan terus bertanya, dia tidak puas dengan jawaban sederhana, dan pertanyaan2 yang sangat logis dan tajam itulah yang ditanyakan oleh Socrates kepada orang2 modern itu.

Peter Kreeft dengan sangat baik mencoba memperlihatkan betapa naifnya berbagai asumsi orang modern, hal2 yang sudah dianggap kebenaran dan keharusan. Jika saja kita mau berpikir dan bertanya lebih jauh, kita akan lebih bijak dalam hidup ini dan lebih jelas melihat apa yang penting dan tidak penting, apa yang baik dan buruk.

Beberapa topik yang dia diskusikan adalah: Pendidikan, Karir, Teknologi, Agama, Kesuksesan, Kebahagiaan, Musik Rock, Seks. Komunisme dan Kapitalisme, dan Nilai2 Objektif.
Saya kira membaca buku ini akan menolong kita juga untuk menjadi lebih bijaksana :-)
Di bawah ini adalah sedikit kutipan, contoh percakapan yang akan anda temui waktu membaca buku ini.

Felicia: Of course not. My argument may be logically weak, but the point isn't logic, it's society. Casual sex is just socially accepted today, as it wasn't in the past. That's what I meant by the twentieth century.


Socrates: It is accepted today. But is everything that is accepted acceptable?

Felicia: Of course; that's what it means. The socially acceptable is whatever society accepts. The acceptable equals the accepted.

Socrates: But does the socially accepted equal the ethically acceptable?

Felicia: How can you distinguish the two?

Socrates: Unless you do, how can you ever make an ethical cnhasm of your society? Genocide was accepted in Nazi Germany. Did that make it ethically acceptable, ethically right?

And the conversation, or more precisely, the questioning, goes on…

Thursday, January 12, 2012

Life is Short

Apa yang penting untuk kita lakukan dalam hidup ini? Pertanyaan ini baru sangat kuat berbicara
ketika kita tahu bahwa hidup kita tidak akan lama lagi.

Dalam Retreat Young Adult Fellowship di GKY Singapore bulan Agustus lalu, kami menonton bersama “The Bucket List”. Film itu berkisah tentang dua orang yang menderita kanker dan tahu hidup mereka tidak lama lagi. Mereka membuat daftar apa yang ingin mereka lakukan dalam sisa hidup mereka. The list of things that you want to do before you kick the bucket (ungkapan yang artinya meninggal dunia). Pesannya sangat kuat: Jika hidup itu singkat, apa yang sebenarnya penting untuk kita lakukan?

Beberapa waktu yang lalu saya berkenalan dan melayani seorang yang sedang berobat di Singapore karena menderita kanker. Selama di Singapore, dia yang belum Kristen ini, banyak dilayani oleh orang Kristen dan akhirnya dia menjadi percaya dan dibaptis. Semua sepertinya berjalan baik, kemoterapi selesai dan kankernya dinyatakan bersih. Kami semua sangat bersukacita. Tapi tidak lama setelah dia kembali ke Indonesia, datanglah berita yang mengejutkan. Kankernya kambuh kembali dan kali ini jauh lebih ganas. Dokter hanya menawarkan satu alternatif: kemoterapi dengan obat yang sangat keras. Kemungkinan sembuh tidak besar sementara resiko pengobatan adalah pendarahan di otak dan koma. Apa yang akan terjadi jika dia menolak pengobatan? Dokter menjawab: 6 bulan! Dia bertanya ke dokter lain, jawabannya lebih membuat pesimis: 3-6 bulan! Dia memutuskan untuk tidak menjalani pengobatan itu dan menerima resiko untuk meninggal dalam waktu yang diperkirakan oleh dokter. Waktu saya mendengar itu, saya mengunjungi dia. Kami menangis bersama.

Berita itu bukan hanya membuat dia tergoncang tapi juga saya. Setelah pulang dari rumah sakit hari itu, saya jadi berpikir apa yang akan saya lakukan kalau dokter mengatakan yang sama kepada saya? Saya yakin saat itu, seperti dia, saya akan berpikir apa yang penting yang harus saya lakukan dalam waktu yang tersisa. Sekarang sudah 5 bulan berlalu dan dia baru saja dipanggil Tuhan. Saya mendengar bahwa dalam waktu 5 bulan itu, keluar masuk rumah sakit, dia bukan saja mengatur keuangan keluarga tapi dia juga banyak memakai waktu untuk berdoa dan mendengar Alkitab dibacakan.

Ada satu orang lagi yang saya kenal sebagai orang Kristen lama. Dia tidak banyak terlibat pelayanan karena kesibukan bisnis, tetapi dia selalu menyempatkan diri datang kebaktian. Ketika dia divonis dokter menderita kanker, seluruh hidup menjadi berubah. Dia harus lepaskan semua bisnisnya dan diam di rumah untuk pengobatan. Dalam keadaan itu, dia mengingat… “Dulu saya ingin aktif pelayanan tapi tidak pernah sempat. Lalu usia makin tua dan sudah masuk usia manula. Saya ingin pelayanan di komisi manula, tapi juga tidak sempat karena kesibukan bisnis. Sekarang tiba2 bisnis harus dilepas.” Sekarang dia punya waktu! Tapi tubuhnya tidak mengizinkan. Apakah dia menyesal? Mungkin.

Life is short! Kita semua tahu itu. Tapi betapa sulitnya kita hidup dengan kesadaran itu! Hidup itu singkat. Mari hidupi dengan baik, lakukan yang baik, yang mulia, yang bernilai kekal. Lakukan lebih banyak lagi hal2 seperti itu! Cintai orang2 di sekitar kita yang Tuhan berikan untuk kita, orang tua, suami atau istri, anak2, teman2. Mengapa menghabiskan waktu untuk saling membenci, sebal, marah? Mengapa tidak mengasihi lebih lagi? Bahkan pikirkan bagaimana lebih dari itu, lebih berani lagi menyerahkan diri untuk dipakai Tuhan, melayani lebih lagi, mencintai yang Tuhan cintai, mengarahkan hati kepada hadiah surgawi, mengambil resiko untuk mengasihi sesama. Hidup itu singkat, bagaimana kita menghidupinya?

Jangan sampai tiba waktunya kita menengok ke belakang dan berkata, "sudah terlambat". Kita tidak pernah terlambat untuk bertobat selama kita masih hidup. Tapi kita bisa terlambat untuk melakukan yang baik, yang Tuhan inginkan. Mari mulai sekarang juga. Ingat: Hidup itu singkat!

Wednesday, January 11, 2012

Pendeta vs Penginjil


Foto waktu saya ditahbiskan menjadi Penatua Khusus SInode GKY - Juni 2009

Seringkali saya ditanya, “apa sih bedanya pendeta dengan penginjil?” Pertanyaan sederhana tapi serius karena menunjukkan betapa banyaknya orang Kristen yang tidak mengerti tentang gereja – yang dia datangi tiap minggu.

Saya belum pernah mendengar ada yang memberi penjelasan tentang itu. Maka pertanyaan itu akhirnya menggantung di pikiran jemaat (dan mungkin juga hamba Tuhan?). Satu-satunya jawaban yang tersedia adalah dari fenomena yang terlihat: ‘Pendeta boleh membaptis, memimpin perjamuan kudus, memimpin pemberkatan nikah’ sementara penginjil tidak boleh. ‘Penginjil ditahbis menjadi pendeta’ sementara pendeta tidak ditahbis menjadi penginjil. Itu fenomenanya. Dan karena dunia mengajarkan bahwa yang lebih pastilah lebih tinggi. Kesimpulannya pendeta lebih tinggi dari penginjil dan pentahbisan berarti kenaikan jabatan. Benarkah begitu? Ada beberapa masalah disini:

Pertama, saya perlu luruskan dulu masalah istilah. Istilah ‘penginjil’ yang umumnya dikenal di gereja sekarang, sebetulnya tidak sama dengan pengertian di Alkitab. Di Alkitab tidak ada indikasi bahwa ‘penginjil’ (atau pemberita Injil di dalam Alkitab) lebih rendah daripada ‘pendeta’ (atau ‘gembala’ di dalam Alkitab). Keduanya adalah fungsi atau panggilan dari Tuhan, karunia yang Allah berikan untuk gerejaNya. Sulit membedakan dengan saklek. Mungkin sederhananya: Mereka yang melayani di gereja disebut ‘pendeta’ dan mereka yang pelayanannya mengabarkan Injil di luar gereja disebut ‘penginjil’.

Kesalahannya di gereja sekarang adalah: Pokoknya mereka yang belum ditahbis menjadi ‘pendeta’ disebut ‘penginjil’. Maka istilah ‘penginjil’ bukan lagi menunjuk pada panggilan dan karunia Tuhan, tapi pada keadaan sebelum ditahbis!! Ini salah kaprah yang sudah sangat meluas.

Kedua, tidak ada sedikitpun indikasi di dalam Alkitab ada orang Kristen yang lebih tinggi atau lebih rendah. Yang ada hanyalah fungsi. Lalu apa itu pendeta? Pendeta adalah orang2 yang Tuhan panggil untuk melayani umat Tuhan, menggembalakan, mengajar Firman Tuhan. Panggilan mereka adalah dari Tuhan. Tapi tidak bisa setiap orang yang mengaku menerima panggilan Tuhan lalu menjadi pendeta. Panggilan itu harus dikonfirmasi oleh jemaat Tuhan.

Jemaat perlu waktu untuk melihat dan yakin bahwa orang itu sungguh dipanggil Tuhan untuk melayani Firman Tuhan full time di gereja itu. Setelah yakin, maka gereja mengkonfirmasi panggilan dia dalam pentahbisan. Jadi pentahbisan bukan kenaikan jabatan, tapi konfirmasi. Pendeta bukan lebih tinggi, tapi sudah dikonfirmasi.

Pertanyaannya mereka yang belum dikonfirmasi disebut apa? Di gereja2 Tionghoa di Indonesia, mereka biasa disebut ‘Penginjil’ atau ‘Guru Injil’. Dan inilah sumber salah kaprahnya.

Maka yang disebut ‘penginjil’ atau ‘guru Injil’ di dalam gereja saat ini adalah orang2 yang merasa dipanggil Tuhan untuk melayani Firman Tuhan full time di gereja, tapi belum ditahbiskan karena gereja masih perlu waktu untuk melihat dan mengkonfirmasi pelayanan mereka.

Pertanyaan terakhir, lalu bagaimana dengan mereka yang lamaaaaaa… melayani di gereja tapi tidak ditahbis? Terus-terusan menjadi ‘penginjil’ selama puluhan tahun?

Setiap gereja seharusnya punya kriteria untuk mengenali panggilan menjadi pendeta di dalam diri seseorang. Standar kriterianya bisa berbeda untuk setiap gereja. Tetapi jelas tidak cukup dan tidak boleh kriterianya hanya masalah waktu pelayanan (sudah pelayanan sekian tahun maka harus ditahbis) dan kebutuhan gereja (kalau jumlah pendeta kurang maka dilakukan penahbisan). Mungkin ada orang yang terpanggil untuk mengerjakan jenis pelayanan tertentu di gereja tetapi tidak tidak terpanggil khusus untuk pelayanan Firman Tuhan dan sakramen (sebagai pendeta) atau mungkin dianggap tidak mampu untuk kepemimpinan sebagai pendeta di gereja itu. Tetapi kriterianya harus jelas dulu.

Saya tahu masalahnya tidak sesederhana itu. Tapi yang saya mau adalah konsepnya dulu yang dipikirkan, praktisnya dan teknisnya belakangan. Jangan sekedar berpikir praktis: Hamba Tuhan masuk – pelayanan – kalau ‘bagus’ dan ‘diperlukan’ ya jadi pendeta, kalau nggak ya sudah terus saja jadi penginjil.

Friday, January 06, 2012

My Ordination 1 Jan 2012 - Part 2



Photo credit: Willy Siauw (www.willysiauw.com)

Di dalam kebaktian pentahbisan pendeta sinode GKY, biasanya salah satu orang yang ditahbiskan diminta untuk menyampaikan khotbah sulung mewakili rekan2 yang lain. Beberapa hari sebelum pentahbisan, saya diberitahu bahwa saya yang diminta untuk menyampaikan khotbah sulung tersebut. Saya diberi waktu maksimal 10 menit, maka saya mencoba untuk menyampaikan apa yang menurut saya paling esensial dan penting untuk disampaikan. Di bawah ini adalah khotbah singkat yang saya sampaikan waktu itu:

Saya punya waktu 10 menit untuk menyampaikan pikiran, janji dan tekad saya. Pada waktu saya diminta untuk menyampaikan khotbah sulung mewakili rekan2 yang lain, saya mencoba untuk flash back ke belakang dan mengingat2.

Salah satu pergumulan yang saya alami pada waktu masih di sekolah teologi adalah, saya bertanya2, apa artinya menjadi hamba Tuhan? Semua orang melayani Tuhan, tapi apa yang membedakan pelayanan semua orang Kristen dengan sekelompok orang Kristen yang disebut hamba Tuhan? Saya tahu istilah ini kurang tepat karena sebetulnya semua orang adalah hamba Tuhan. Tapi kita terlanjur menggunakan istilah ini.

Saya bergumul cukup lama untuk memikirkan dan menemukan apa sebetulnya panggilan kami, tugas kami, yang Tuhan bebankan, sehingga kami dipisahkan dan disebut sebagai hamba Tuhan?

1 bagian Alkitab di dalam Kis 6:1-6 memberikan petunjuk yang sangat penting apa yang dipikirkan oleh para rasul tentang tugas utama mereka, fokus utama mereka sebagai hamba Tuhan.

Pada waktu itu orang Kristen baru berkumpul bersama sebagai gereja. Gereja PB baru dimulai, dan siapa yang melayani? Para rasul melayani segala hal di dalam jemaat. Saya bisa membayangkan bahwa segala urusan, apapun juga di dalam gereja, ditangani oleh mereka. Dan bagian ini memberitahu kita bahwa para rasul akhirnya sadar mereka bukanlah superman. Mereka kewalahan. Sementara jemaat bersungut-sungut karena ketidakberesan dalam pengaturan pembagian makanan bagi janda2 miskin. Atau boleh kita sebut jemaat complain dengan kurang rapihnya administrasi, kurangnya perhatian kepada jemaat, kurangnya pelayanan sosial.

Maka para rasul mengambil keputusan untuk menceritakan pergumulan mereka kepada jemaat. Dan menarik, para rasul berkata bahwa yang paling mereka khawatirkan adalah mereka tidak memuaskan Tuhan karena “kami melalaikan Firman Allah untuk melayani meja”. Karena itu mereka meminta supaya jemaat memilih 7 orang untuk mengerjakan tugas pelayanan meja, pelayanan diakonia, pelayanan administrasi, pelayanan pemerhati itu sementara mereka “dapat memusatkan pikiran dalam doa dan pelayanan Firman”. Dan ini berlanjut dalam sejarah gereja. Orang yang memusatkan pikiran dalam doa dan pelayanan Firman. Itulah yang disebut hamba Tuhan!
 
Pelayanan Firman bisa dikerjakan oleh semua orang Kristen. Tetapi seriusnya pelayanan itu menuntut adanya orang-orang yang mengkhususkan waktu untuk mempelajari Firman Tuhan dan mengajarkannya dengan setia. Dan karena pelayanan mereka menuntut kepekaan mengenal kehendak Tuhan, kebutuhan manusia, dan memohon anugrah Allah, maka doa adalah bagian yang tak terpisahkan dari pelayanan Firman.

Maka saya percaya menjadi hamba Tuhan berarti selalu mengingatkan diri akan hal ini. Dia bukan seorang event organizer, mengatur berbagai acara yang wah. Dia bukan seorang CEO gereja, yang bisa mengatur strategi bagaimana gereja bertumbuh. Dia bukan seorang administrator ulung, yang kerjanya menangani administrasi. Dia adalah seorang pelayan Firman. Dengan belajar, menyampaikan Firman, berdoa dan memimpin sakramen. Sekalipun dia melakukan berbagai kegiatan, tapi tugas utamanya adalah belajar Firman dan mengajarkan Firman. Berdoa dan mengajak jemaat berdoa. Itu hamba Tuhan.

Hari ini banyak orang Kristen mengharapkan hamba Tuhan mengerjakan semua urusan gereja karena berpikir bahwa tugas hamba Tuhan adalah menjalankan gereja (running the church). Selama kegiatan terorganisir, ada program yang inovatif, maka dia hamba Tuhan yang baik. Hari ini banyak orang Kristen mengharapkan hamba Tuhan pokoknya banyak membesuk, banyak memperhatikan. Tidak peduli apa yang dia lakukan, apa yang dia bicarakan, sudut pandang apa yang dia sampaikan, pokoknya asal dia datang, membesuk, berdoa, dia hamba Tuhan yang baik. Hari ini banyak orang Kristen mengharapkan hamba Tuhan pokoknya khotbah, apapun khotbahnya, berapapun sedikitnya dia persiapan dan merenungkan Firman, pokoknya dia khotbah. Saya kira Alkitab tidak ajarkan itu. Dan banyak hamba Tuhan lupa panggilannya yang utama, mereka sibuk lakukan banyak hal yang mengalihkan perhatian mereka dari doa dan pelayanan Firman.

Kalau sdr perhatikan jubah pendeta Protestan hampir selalu berwarna hitam. Jubah ini sangat mirip seperti toga yang dipakai pada waktu seseorang diwisuda. Dan memang itulah artinya.

Gereja di abad pertengahan menekankan pelayanan sakramen untuk tiap orang yang ditahbis menjadi pastur. Tapi para reformator mengubah itu, jubah pendeta Protestan adalah jubah akademis. Jubah ini melambangkan orang yang belajar dan diangkat oleh gereja untuk menjadi pengajar Firman.

Maka hari ini, di hadapan Tuhan dan di hadapan saudara, jemaat Tuhan, saya mewakili rekan2 yang lain berjanji untuk seumur hidup menjadi pelayan Firman: Belajar Firman Tuhan sedalam mungkin dan berusaha mengajarkannya sebaik mungkin. Berdoa dengan sungguh2, mengalami Tuhan dalam doa dan mengajak jemaat berdoa. Dan terakhir, untuk melakukan semuanya tidak demi keuntungan pribadi, tidak demi apapun, tapi demi kasih kepada Tuhan dan kepada saudara, jemaat Tuhan. Dan kami berjanji untuk menaruh jemaat Tuhan di dalam hati kami.

Demi nama Tuhan, saya minta, ingatkanlah kami para hamba Tuhan untuk menjadi pelayan Firman. Tegurlah kami ketika kami sibuk mengerjakan segala sesuatu yang lain tapi mengabaikan pelayanan Firman Allah. Mintalah untuk kami belajar dan mengajarkan Firman. Dan doakanlah kami agar urapan Tuhan dan kuasa Tuhan sungguh dicurahkan untuk kami. Dan kiranya berkat Tuhan dicurahkan untuk gerejaNya. Amin.

Thursday, January 05, 2012

My Ordination 1 Jan 2012 - Part 1


  Photo Credit: Willy Siauw (www.willysiauw.com)

Di awal tahun ini saya ditahbiskan menjadi pendeta sinode Gereja Kristus Yesus, tepat setelah 7 tahun 3 bulan saya melayani full time di GKY. Ada beberapa hal yang ingin saya sharingkan dari pentahbisan tersebut dan saya akan menuliskannya dalam beberapa bagian.

Berkaitan dengan itu, masing-masing kami yang ditahbiskan diminta untuk menuliskan kesaksian pelayanan kami untuk dimuat dalam buku acara pentahbisan. Di bawah ini adalah tulisan saya:

Saya percaya bahwa menjadi Pendeta adalah panggilan Tuhan. Itu bukan panggilan dari manusia atau dari gereja, tapi dari Tuhan. Dan panggilan itu saya dengar bukan hari ini, tapi lebih dari lima belas tahun yang lalu. Dan panggilan itu sudah saya jawab “ya” lebih dari lima belas tahun yang lalu. 
 
Ketika itu saya masih kuliah di Universitas Trisakti. Melalui berbagai peristiwa dan beberapa hamba Tuhan, saya yakin Tuhan memanggil dan menunggu jawaban saya. Maka waktu itu saya menjawab “ya” untuk melayani Tuhan sepenuh waktu seumur hidup saya. Saya menjawab “ya” untuk belajar Firman Tuhan dan memberitakannya. Saya menjawab “ya” untuk menaruh umat Tuhan di dalam hati saya. 
 
Kemudian tahun 1998 saya masuk ke Institut Reformed untuk dipersiapkan disana. Sekian tahun masa persiapan di sekolah teologi dan kemudian sekian tahun pelayanan membuat saya makin jelas melihat kemana Tuhan membawa saya. Ada kerinduan-kerinduan khusus yang Tuhan tanamkan dalam hati saya. Saya rindu melihat gereja yang belajar Firman Tuhan, orang-orang Kristen mau berpikir tentang imannya, mau mengerti kebenaran dengan mendalam. Saya rindu melihat gereja yang anggotanya saling mengasihi, begitu rupa sehingga berani untuk berkorban dan menderita untuk kebaikan saudaranya. Saya rindu melihat gereja yang beribadah kepada Tuhan dengan segenap hati, menikmati relasi dengan Tuhan dan berusaha hidup menyenangkan Tuhan. Saya rindu melihat gereja yang bersaksi, setiap orang Kristen sesuai dengan karunianya masing-masing, mengambil bagian untuk membawa orang percaya kepada Tuhan. Saya berharap itulah yang akan terus menjadi kerinduan saya.
 
Selama lebih dari lima belas tahun ini, tidak pernah sekalipun saya meragukan panggilan Tuhan ataupun menyesali jawaban saya. Saya hanya menyesali kekurangan saya, dalam segala hal, dalam melayani Dia. Saya menjalani panggilan itu kadang dengan tegap, kadang dengan terseok-seok, kadang hampir terjerembab. Tapi anugrah Tuhan selalu menopang saya sehingga tidak pernah tergeletak dan Tuhan sangat bermurah hati untuk terus memakai saya. 
 
Saya bersyukur untuk hak istimewa bisa melayani di GKY Green Ville dan GKY Singapore. Saya bisa melayani mereka karena mereka mengasihi, mendoakan, dan melayani saya. Melalui bersama dengan mereka, saya makin mengerti arti panggilan Tuhan yang saya jawab “ya” lebih dari lima belas tahun yang lalu itu. Untuk mereka, saya tidak henti-hentinya bersyukur.
 
Secara khusus, saya berterima kasih kepada beberapa hamba Tuhan yang secara istimewa Tuhan pakai untuk membentuk pola pikir, arah pelayanan, dan terutama kerohanian saya: Pdt. Yung Tik Yuk, Pdt. Dr. Stephen Tong, Pdt. Dr. Hendra G. Mulia, dan Pdt. Yohan Candawasa. Melalui mereka, Tuhan sudah sangat memberkati saya.
 
Dan terakhir, saya sangat berterima kasih kepada istri saya yang menyetujui jawaban “ya” saya sejak kami belum menikah. Sampai hari ini dia selalu siap menjadi penghibur, pengkritik dengan kasih, dan pendoa yang paling setia bagi saya.
 
Maka bagi saya hari ini, tidak lain tidak bukan, adalah peneguhan dari mereka dan dari gereja dimana Tuhan tempatkan saya untuk melayani, bahwa betul lima belas tahun yang lalu saya dipanggil Tuhan dan saya sudah, masih, dan akan terus menjawab “ya” kepada Tuhan.