Monday, February 27, 2012

Gereja dan Misi

Orang Kristen umumnya setuju bahwa gereja harus bermisi. Bagi mereka yang tinggal di kota besar sekalipun, mereka tahu bahwa ada banyak sekali ladang misi di luar sana, orang-orang yang miskin, daerah-daerah yang tertinggal, tempat-tempat dimana Injil masih sangat sulit untuk masuk, mereka semua tahu - paling tidak pernah dengar-dengar sedikit.

Dan orang Kristen umumnya setuju bahwa gereja harus melakukan sesuatu, ambil bagian dalam pekerjaan misi. Tapi dalam prakteknya, pekerjaan misi seringkali tidak begitu lancar, agak seret, untuk dijalankan.

Sekalipun gereja-gereja kota itu tahu dan mau untuk bermisi, tapi begitu kesempatan itu tiba, mereka sulit sekali mengambil keputusan yang tepat. Ada banyak kekhawatiran – jangan-jangan nanti begini.. begitu.. dst. Ada banyak keraguan – lebih baik yang ini atau yang itu, dan akhirnya… tidak dua-duanya. Ada banyak faktor yang membuat salah mengambil keputusan karena tidak tahu pergumulan di ladang misi, masalah yang dihadapi, cara kerja lembaga misi, dst.

Ini sangat disayangkan karena ‘gereja2 kota’ punya potensi yang sangat besar untuk melakukan misi, baik dari sisi dana, tenaga, maupun pemikiran. Orang-orang yang mengerjakan pekerjaan di ladang misi membutuhkan dukungan tapi ‘gereja-gereja kota’ yang mampu mendukung tetap tidak tahu bagaimana mendukung.

Saya menemukan beberapa penyebab:

1. Kurangnya informasi tentang ladang misi yang diterima oleh orang Kristen di kota. Beberapa lembaga misi memang membuat buletin tentang kegiatan mereka, beberapa misionaris membuat buletin doa pribadi tentang pergumulan dan pelayanan mereka, tapi saya merasa buletin-buletin itu kurang dibuat informatif dan penyebarannya pun sangat sempit. Saya mengerti dalam konteks Indonesia berita-berita seperti ini seringkali sensitif, maka memang perlu berhati2 demi pekerjaan misi tersebut. Tapi kita harus pikirkan bersama masalah ini. Kurangnya informasi ini membuat banyak orang Kristen hanya dengar ‘kabar burung’ tentang ladang misi dan dengan kondisi ini, adalah loncatan besar untuk mengharapkan mereka terlibat dalam ladang misi.

2. Kurangnya exposure dengan pekerjaan misi. Kalau informasi saja kurang apalagi exposure. Beberapa gereja kadang mengundang misionaris atau lembaga misi untuk kesaksian. Itu bagus, tapi informasi sekali-kali itu tidak cukup. Hanya dengar2 saja tentang ladang misi tidak akan menimbulkan kesan yang mendalam seperti jika kita terlibat langsung. Kesempatan untuk exposure dengan pekerjaan misi ini harus dibuka dan dialami oleh sebanyak mungkin orang Kristen. Tentunya harus dengan koordinasi yang baik dan tidak merugikan pekerjaan misi yang berjalan. Berkenalan dengan misionaris, melihat apa yang mereka lakukan di ladang misi, mengerti kesulitan dan pergumulan mereka, akan membuka banyak hal bagi orang Kristen ‘kota’ yang jauh dari ladang misi. Kebanyakan lembaga misi tidak pernah membuka kesempatan untuk exposure ini selain hanya untuk short term mission trip.

3. Kurangnya seimbangnya pengertian akan misi. Pertama, antara long term dan short term mission. Short term mission trip dibutuhkan untuk exposure jemaat, tapi misi yang harus dilakukan adalah long term. Banyak gereja terjebak hanya melakukan short term mission trip, lalu puas. Tapi sejujurnya, mereka tidak tahu bagaimana harus melakukan long term mission! Kedua, antara misi di kota dan misi di desa. Sebagian orang hanya melihat desa, sebagian lagi hanya melihat kota. Sebagian lagi bilang, harus dua-duanya. Saya rasa semua tidak tepat. Pertanyaannya adalah apakah sudah dipikirkan, didoakan, kemana saat ini Tuhan memimpin gereja untuk melangkah? Pandangan harus luas bahwa ada banyak ladang misi, ada kota, ada desa, tapi seperti meletakkan semuanya di meja dan bertanya kemana Tuhan mau pimpin untuk waktu ini. Kesalahan konsep seperti ini membuat banyak gereja melakukan misi “asal tembak dan lari.”

4. Kurang lancarnya hubungan antara lembaga misi dan gereja. Orang-orang yang terlibat dalam pekerjaan misi hampir pasti adalah anggota sebuah gereja, Tapi entah mengapa, gereja tidak banyak mendukung mereka dan tidak bertanya tentang pelayanan mereka, sementara mereka juga tidak banyak berusaha menjalin hubungan dengan gerejanya. Ketidak lancaran hubungan ini membuat gereja mendukung ‘ala kadarnya’ dan lembaga misi berjalan sendirian. Dan sebenarnya yang lebih buruk adalah orang Kristen akhirnya tetap tidak didorong untuk melakukan pekerjaan misi. Bagi banyak orang Kristen pekerjaan misi seperti “hutan belantara yang gelap, jauh, mengerikan, dan tentunya bukan bagian saya”.

Kita perlu memikirkan ulang bagaimana memperbaiki semuanya. Ada pekerjaan lebih banyak dan lebih besar yang bisa kita lakukan bersama-sama. Dan bukankah Tuhan memang mau kita melakukannya bersama-sama?

Tuesday, February 21, 2012

Orang 'Sulit'

Di dalam pelayanan, sebagian besar dari kita pernah berhadapan dengan orang yang kita tidak suka. Orang2 tidak tahan dengan sikapnya atau omongannya. Orang2 tidak suka dengan caranya melakukan sesuatu.

Mungkin karena pandangannya aneh, karena dia menekan, menyusahkan, atau karena dia gila hormat, gila kuasa, dsb. Istilahnya selalu ada ‘orang sulit’. Orang-orang seperti ini selalu menuai kebencian dari orang lain di sekitarnya. Orang-orang complain jika berhubungan dengan dia.

Penyebabnya bisa macam-macam. Mungkin orang itu kurang ‘dikasih tau’ (istilah kerennya: kurang di-training). Mungkin juga karena karakternya yang memang astaga buruknya. Dan mungkin juga karena kita yang salah (kita yang menyebalkan!). Tapi anggaplah kesalahannya ada pada orang itu.

Saya menemukan bahwa kalau saja kita mengamati lebih dalam kehidupan orang itu, ternyata hampir selalu orang ‘sulit’ itu adalah orang biasa. Maksud saya, dia punya keluarga, ada suami/istri yang sayang dengan dia, ada anak-anak yang kagum dengan dia, ada orang tua yang bersyukur punya anak dia. Artinya, dia adalah manusia biasa, manusia dengan segala kekurangannya tapi manusia yang juga menyayangi dan disayangi oleh keluarganya.

Maka seberapapun sebalnya kita kepada seseorang, begitu kita melihat lebih jauh ke dalam kehidupannya, kita akan lebih bisa menghargai orang itu sebagai manusia biasa. Pikiran kita yang sebal dan benci dengan dia, tiba-tiba menjadi terasa berlebihan. Ternyata dia tidak seburuk itu!

Maka saya mulai berpikir bahwa mungkin masalahnya adalah orang itu salah tempat. Dia berada pada posisi yang dia tidak cocok. Dia berada pada posisi yang menyebabkan kekurangannya terekspos. Dia berada pada posisi yang memungkinkan keburukannya menjadi makin buruk.

Ada orang yang tidak biasa mengutarakan sesuatu dengan sopan, tidak biasa untuk berempati dengan orang, jika orang seperti ini ditaruh di posisi yang berhubungan dengan orang lain banyak orang akan sebal dengan dia. Ada orang yang tidak tahu menangani kekuasaan, dia mudah terbuai jika kuasa ada di tangannya, jika orang seperti ini ditaruh di posisi untuk membawahi orang lain banyak orang akan ditindas oleh dia. Ada orang yang tidak/belum mampu menangani sesuatu, tapi karena diberikan posisi, maka dia jalankan menurut pemikirannya, dan akan ada banyak orang yang sebal dengan caranya. Ada orang yang insecure dan cenderung membuat semua orang fokus ke dia, jika orang seperti ini diberi posisi pemimpin, semua yang dianggap ‘mengancam’ bisa ditekan olehnya.

Coba bayangkan kalau orang yang anda sebal itu berada dalam posisi yang lain, masihkah anda sama sebalnya dengan dia? Jujur, seringkali perasaan kita pada dia akan sangat berbeda jika posisinya berbeda. Maka banyak orang bilang “dia berubah ya!? begitu jadi majelis/pengurus/ketua/dll dia berubah”. Mungkin karena dia memang tidak cocok di situ atau dia memang tidak mampu menangani kuasa dan prestige yang dia dapat melalui posisi itu.

Tidak berarti orang itu tidak perlu berubah. Tapi bagaimanapun harus kita akui ada karakter, sifat dan sikap tertentu yang membuat seseorang tidak cocok menduduki posisi tertentu. Dan… dengan tidak mengizinkan dia menduduki posisi tertentu, kita justru mengasihi dia. Dia mungkin tidak layak untuk disebali, dibenci, dicaci maki orang, tapi karena dia berada pada posisi yang tidak cocok lah, maka dia menjadi kebablasan, kekurangannya terekspos, dan akhirnya dia menuai segala kritik, kesebalan dan kebencian dari orang lain yang tidak seharusnya.

Paulus pernah memperingatkan hal yang serupa pada waktu ia bicara tentang penilik jemaat: Janganlah ia seorang yang baru bertobat, agar jangan ia menjadi sombong dan kena hukuman Iblis. (1 Tim 3:6). Pesannya adalah ada orang yang belum sanggup menduduki posisi tertentu. Concern Paulus adalah setan bisa hancurkan dia melalui kelemahannya.

Salahnya kita adalah sering mendorong atau membiarkan orang menduduki posisi yang salah (salahnya kadang orang itu juga memang menginginkan posisi yang salah). Kita berpikir “daripada nggak ada yang mau?”, atau “namanya juga pelayanan, masak dilarang?”, atau “bagus juga kok ada orang yang pendapatnya lain”, atau “ah, nanti juga bisa berubah”. Dan akhirnya… cerita lama terulang. Saya sudah banyak menyaksikannya.

Monday, February 13, 2012

Not Better Methods But Better People

E.M. Bounds, seorang pendeta yang hidup di abad 19 sampai permulaan abad 20, pernah mengatakan
kalimat:
People are God’s method. The church is looking for better methods; God is looking for better people.
Saya kira dia sangat benar. Gereja sering terjebak dalam mencari metode yang lebih baik. Walaupun apa itu yang ‘baik’ jarang kita rumuskan juga. Kita sering mencoba mencari, menyusun, memikirkan, berbagai metode yang menurut kita akan membuat lebih ‘baik’ dan kita berpikir bahwa dengan metode yang lebih baik maka pasti hasilnya akan lebih baik.

Jujur kita suka yang lebih banyak, lebih wah, lebih mengagumkan, atau dalam konteks gereja diterjemahkan sebagai: lebih banyak yang datang, lebih megah acaranya, lebih banyak hal yang kelihatan berhasil kita lakukan.

Sebagai gereja bukankah seharusnya kita berjuang supaya gereja kita menjadi better church - bukan dalam arti lebih bagus gedungnya, lebih variatif programnya, lebih banyak jemaatnya, tapi – dalam arti lebih menjalankan menjalankan hidupnya dan fungsinya seperti maunya Tuhan. Sebagai pengurus gereja concern kita adalah gereja harusnya seperti apa, idealnya gereja itu bagaimana, itu yang kita kejar. Bagaimana harusnya ibadahnya? Bagaimana harusnya persekutuan antar jemaatnya? Bagaimana harusnya pembinaan kepada jemaatnya? Bagaimana harusnya semangat pelayanan dan penginjilannya? Kejarlah itu, to be a better church!

Sebagai gereja bukankah seharusnya kita berjuang supaya tiap jemaat menjadi better people – dalam arti makin taat pada Tuhan, makin mengasihi Tuhan, makin menyembah Tuhan? Maka kita tidak puas dengan banyaknya orang yang datang, tetapi pertanyaan kita selalu adalah orang macam apa yang kita ‘hasilkan’? Sekian lama mereka ke gereja, apakah mereka menjadi better people? Kita sendiri jadi orang macam apa? Apakah jadi better people?

Maka saya kira banyak gereja punya tujuan yang salah: yang ‘wah’. Dan keyakinan yang juga salah: metode (atau program) yang baik pasti akan mencapai yang ‘wah’ itu.

Perjuangan kita akhirnya adalah mencari berbagai metode supaya kita berhasil. Bagaimana metode penginjilan yang sukses? Bagaimana program persekutuan yang berhasil? Bagaimana cara kerja gereja yang maju? Bagaimana lagu, alat musik, acara, dalam kebaktian yang menarik? Bagaimana… dan bagaimana… metode untuk ini dan itu…? Fokus kita adalah pada metode untuk tujuan yang ‘wah’.

Mengapa kita tidak berjuang untuk menjadi better church to produce better people?

Monday, February 06, 2012

Paradoks Doa

Salah satu misteri besar dalam kehidupan kita sebagai orang Kristen adalah bagaimana kita harus berdoa.

Di satu sisi, kita tahu bahwa kita tidak boleh khawatir karena kita harus percaya pada Allah yang pasti memelihara. Kita juga tidak boleh takut karena kita harus percaya bahwa Allah itu baik. Kita juga harus yakin bahwa apapun yang terjadi tidak pernah lepas dari kontrol Allah. Kita tahu bahwa apapun yang Allah akan berikan, sekalipun awalnya terasa tidak enak bagi kita, bisa menjadi kebaikan bagi kita. Karena itu kita harus belajar mengatakan: “jadilah kehendak-Mu”.

Tetapi, di sisi lain, bukankah Tuhan mengajarkan kita untuk berseru kepada-Nya siang dan malam? Kita harus terus menerus meminta kepada-Nya seperti yang diajarkan dalam perumpamaan tentang hakim yang lalim (Luk 18:1-7). Atau seperti yang juga diajarkan oleh Yesus supaya kita terus meminta, mencari, mengetok pintu, sampai diberikan, ditemukan dan dibukakan pintu (Luk 11:5-10).

Kadang dengan mudah kita bisa berkata “jadilah kehendak-Mu” ketika permohonan doa itu tidak menyangkut diri kita tetapi orang lain, mungkin mereka yang sedang sakit atau kesusahan. Kita berkata “jadilah kehendak-Mu” karena mungkin di dalam hati kita tidak terlalu peduli dengan apapun yang akan terjadi! Tetapi ketika permohonan doa itu sangat menyangkut diri kita atau orang yang kita kasihi, masihkah kita berdoa dengan sikap "terserah Tuhan"?

Kita pasti akan memohon dengan sangat dan ngotot kepada Tuhan. Berkali-kali kita akan minta lagi dan minta lagi. Bahkan mungkin sambil menangis dan berduka. Tetapi di saat seperti itu, seringkali kita diingatkan, bukankah Tuhan tahu yang terbaik dan kehendak Tuhan adalah yang terbaik?

Maka di satu sisi kita ingin ngotot, di sisi lain kita tahu bahwa harusnya kita berserah. Lalu bagaimana seharusnya kita berdoa? Itulah paradoks doa. Seperti Yesus berdoa di taman Getsemani. Dia tahu persis bahwa Dia harus minum cawan itu. Tapi Dia tetap berdoa dengan sungguh-sungguh, bukan 1X tapi 3X! Artinya Dia berdoa terus, meminta, mencari, mengetok, dengan sungguh-sungguh. Tapi, setiap kali, Dia berdoa dengan sikap “jadilah kehendak-Mu”. Paradoks!

Paradoks doa ini yang harusnya kita alami dan lakukan waktu berdoa. Kita meminta dengan sungguh, terus menerus, memohon kepada Tuhan, dan sekaligus berserah kepada kehendak Tuhan. Kita tidak boleh hanya meminta dengan ngotot tanpa percaya bahwa Tuhan tahu yang terbaik dan kehendak Tuhan adalah yang terbaik. Kita juga tidak boleh hanya "berserah" tanpa meminta dengan sungguh-sungguh, karena mungkin itu hanya tanda ketidakpedulian kita. Meminta dengan sungguh-sungguh dan berserah. Sangat sulit!

Saya percaya bahwa kehidupan doa adalah bagian dari perjalanan iman kita. Seperti tidak ada orang yang sempurna imannya, demikian pula tidak ada orang yang sempurna dalam berdoa. Mari terus belajar berdoa, dengan sungguh dan berserah kepada Tuhan.

Thursday, February 02, 2012

Reveal Yourself and Let Me Find You in Love



God, teach me to seek You, and reveal Yourself to me when I seek You,
For I cannot seek You unless You first teach me, nor find You unless You first reveal Yourself to me.

Let me seek You in longing, and long for You in seeking.

Let me find You in love, and love You in finding.

Ambrose of Milan, 339-397

Puisi dari Ambrose di atas mengingatkan kita dua hal penting di dalam worship: Allah yang menyatakan Diri kepada manusia dan Manusia yang rindu mencari Allah.

Tidaklah mungkin untuk kita menemukan Allah kalau Allah tidak berkenan untuk ditemui. Tapi Alkitab berulang kali bicara tentang Allah yang berkenan ditemui, Dia mau ditemui, Dia berjanji untuk ditemui. Tapi di sisi yang lain, Allah menginginkan manusia mencari Dia, mencari dengan segenap kehausan seperti ‘rusa merindukan air’.

Di beberapa gereja, worship sangat menekankan Allah yang menyatakan diri. Liturgi, pembacaan Alkitab, lagu, pemberitaan Firman, semua menyatakan itu. Tapi tidak ada kerinduan mencari Dia.
Sebaliknya di beberapa gereja lain, worship sangat menekankan kehausan mencari Dia. Doa yang sungguh, sikap waktu menyanyi, harapan dalam hati, sangat luar biasa menyatakan kehausan mencari Dia. Tapi tanpa menekankan dengan kuat Allah yang menyatakan Diri, Allah yang mengajar, Allah yang ingin dikenal dengan benar lewat FirmanNya, maka kehausan mencari Dia bisa berubah menjadi mencari kepuasan diri.

Betapa inilah yang harus kita lakukan di dalam worship kita, bahkan seluruh hidup kita. Kita mencari Dia dengan kehausan, dengan kerinduan yang sangat. Kita merendahkan hati mencari wajahNya, mencari tanganNya, memohon anugrahNya... dan Allah yang berkenan ditemui itu akan menyatakan Diri-Nya.

Dan pada waktu kita bertemu denganNya, yang kita temui adalah kasih… kita menemukan Allah yang mengasihi kita dengan tangan yang terbuka siap merangkul kita. Maka tidak bisa tidak, kita makin mengasihi Dia.