Thursday, March 29, 2012

"New Testament for Everyone" Series - N.T. Wright

For many years many people have found help in reading William Barclay’s The Daily Study Bible, which covers the whole New Testament in seventeen volumes. This work is now being replaced by Tom Wright’s “…for Everyone” series. –Gordon D. Fee and Douglas Stuart, How to Read the Bible for All Its Worth, 3d ed. (Grand Rapids: Zondervan, 2003), 272.
Terjemahan bebas saya:
Selama bertahun-tahun banyak orang mendapatkan pertolongan dengan membaca Seri Pemahaman Alkitab Setiap Hari (terbitan BPK Gunung Mulia) karangan William Barclay, yang meliputi seluruh Perjanjian Baru dalam tujuh belas buku. Karya ini sekarang tergantikan oleh seri “…for Everyone” karangan Tom Wright.
Kebutuhan akan tafsiran sangat dirasakan oleh orang-orang Kristen awam yang ingin belajar Alkitab dengan lebih serius. William Barclay, seorang profesor Perjanjian Baru, menumpahkan keahliannya dengan membuat tafsiran yang relatif sederhana. Tapi kesederhanaan itu tidak membuat tafsirannya berkurang bobotnya karena – dengan sederhana - Barclay menguraikan latar belakang dan menjawab berbagai pertanyaan yang mungkin timbul.

Tom Wright (atau N.T. Wright) yang pernah menjadi Bishop gereja Anglikan di Durham, adalah salah satu nama terbesar saat ini dalam bidang Perjanjian Baru. Dia menulis tafsirannya dengan sederhana, menarik, tapi berbobot. Ketika pertama kali saya membaca salah satu buku dalam seri ini, saya merasa dia menulis ‘terlalu’ sederhana. Tapi ketika saya sudah membaca beberapa tafsiran lain yang lebih ‘berat’, lalu saya kembali lagi membaca tulisan dia, wow… ternyata semua point yang penting sudah dia tuliskan – dengan sederhana. Maka jangan tertipu dan menganggap kalimat-kalimatnya asal lalu, karena itu adalah intisari dari berbagai kerumitan dan polemik yang ada.

Setiap kali memulai pembahasan bagian Alkitab tertentu, dia mengawali dengan mencantumkan teks Alkitab bagian yang terkait, lalu baru masuk ke dalam penguraiannya. Sebagai catatan, teks bagian Alkitab itu adalah hasil terjemahannya sendiri. Maka untuk menuliskan seri ini, dia menterjemahkan ulang seluruh Perjanjian Baru. Dan terjemahannya bahkan bisa dibeli tersendiri dalam bentuk Alkitab Perjanjian Baru!

Seri tafsiran ini terdiri dari 18 buku meliputi seluruh Perjanjian Baru. Saya sendiri sangat bersyukur dengan terbitnya karya Tom Wright seri "New Testament for Everyone” ini (Matthew for Everyone, Mark for Everyone, dst).

William Barclay memiliki beberapa posisi teologis yang saya sangat tidak setuju, seperti dia tidak percaya akan mukjizat, dan dia percaya akan keselamatan universal (untuk semua manusia dari kepercayaan apapun). Tom Wright berbeda. Saya bersyukur mendengar karya ini sedang dalam proses penterjemahan ke bahasa Indonesia. Saya yakin ini akan menjadi berkat bagi orang Kristen di Indonesia. Bagi yang di Indonesia, siap-siap untuk beli!!!

Wednesday, March 28, 2012

Kalender Gereja: Minggu Palem

(Artikel ini dimuat dalam kolom “Suara Gembala” di Warta GKY Singapore 25 Maret 2012)

Hidup kita terbentuk oleh pergantian tahun. Ada tahun-tahun dimana kita masih kecil, kita remaja, pemuda, dewasa, setengah baya dan menjadi tua. Kalender dipakai untuk menandai peristiwa-peristiwa itu, dimulai pada 1 Januari dan diakhiri pada 31 Desember. Setiap tahun hidup kita berjalan dalam kalender itu.

Kalender gereja tidaklah sama dengan kalender biasa. Kalender gereja menandai waktu dengan peristiwa-peristiwa penting bagi iman kita. Kalender gereja berpusat pada misteri hubungan Allah dan manusia. Kalender gereja membawa kita terus menyesuaikan hidup kita dengan kehidupan Yesus. Maka kalender gereja tidak dimulai pada 1 Januari, tapi pada minggu pertama Advent, mempersiapkan kita menyambut Natal. Disambung dengan masa persiapan Jumat Agung dan Paskah, Kenaikan Yesus, Pentakosta, terus sampai kembali masa Advent.

Tahun demi tahun, kalender gereja membawa kita tenggelam lagi dan tenggelam lagi dalam makna kehidupan Kristen. Kita bukan hanya mengingat: Yesus lahir untuk kita, Yesus mati karena kita, Yesus bangkit bagi kita, Yesus naik ke surga dan akan datang kembali, Roh Kudus dicurahkan memenuhi kita. Tapi kita dibawa untuk mencocokkan diri kembali dengan apa yang Allah kerjakan bagi kita. Tahun ini kita merenungkan Natal, minta ampun dosa waktu Jumat Agung dan Paskah, tahun depan kita kembali melakukan yang sama. Tapi tiap tahun, kita diajak untuk melihat apakah kita makin mengikuti Yesus? Apakah kita makin mengerti isi hati Allah? Apakah kita bertumbuh? Kalender gereja mengajar kita arti mengikut Yesus.

Tidak sampai dua minggu lagi, kita akan merayakan Jumat Agung dan kemudian Paskah. Maka minggu depan, tepat 1 minggu sebelum Paskah, adalah Minggu Palem - Minggu memperingati Yesus masuk ke Yerusalem dan kemudian mati disalibkan. Minggu itu penuh dengan makna, seluruh komponen dalam kehidupan Yesus ada disana: orang banyak, imam-imam kepala dan kekerasan hati mereka, tentara-tentara Roma dengan politiknya, murid-murid yang ketakutan dan belum bisa mengerti Yesus, pengkhianatan, dan akhinya penangkapan dan penyaliban Yesus. Semua dalam 1 minggu! Minggu itu adalah minggu yang gelap. Maka Minggu Palem juga disebut sebagai Minggu Sengsara.

Di minggu itu, seluruh kuasa kegelapan bersatu melawan Allah. Yesus dijepit dengan tekanan popularitas,agenda politik dan agenda pemimpin agama. Dia pasti mati! Tapi bahkan lebih dari kematian biasa, Yesus memilih untuk sengsara bagi kita. Minggu Palem memaksa kita untuk melihat betapa jauhnya “kesuksesan” dengan “mengikut Allah”, Yesus tidak pilih “sukses” tapi Dia pilih “mengikut Allah”. Minggu Palem mengajak kita menyadari betapa bedanya menyembah Yesus “di mulut” dan “di hati”, seperti orang banyak yang bersorak “Hosana” dan “salibkan Dia”.

Mari siapkan diri kita untuk Minggu Palem, memasuki Minggu Sengsara. Jumat Agung dan Paskah sudah dekat.

Friday, March 23, 2012

My Thesis Writing - 4

Sudah hampir 4 bulan berlalu sejak terakhir saya menceritakan tentang penulisan thesis saya.

Masih ingat? Judul thesis saya adalah: Paul’s Missionary Expectations for His Churches: An Ecclesiological Approach to Resolving a Recent Debate. Chapter 1 sudah selesai dan disetujui oleh dosen pembimbing. Chapter 1 saya adalah tentang keadaan perdebatan yang terjadi sekarang. Saya membahas pandangan banyak scholars, dan memberikan analisa kritis saya. Mungkin saya hanya perlu sedikit adjust nanti waktu seluruh thesis selesai.

Chapter 2 menjadi bagian yang sulit karena saya ‘menuduh’ para scholars melihat perdebatan kurang luas dan tidak memperhitungkan sisi yang satu ini. Maka saya harus mengemukakan argumen untuk membenarkan pandangan saya. Bolak-balik, putar-putar, tetap sulit. Saya kehilangan arah pada awalnya - lalu menemukan arah, bingung bagaimana jalannya - lalu menemukan jalannya, bingung bagaimana mengerjakannya – dan akhirnya… masih mengerjakannya… kadang2 bingung lagi.

Intinya saya mengusulkan untuk tidak hanya berdebat membuktikan ayat tertentu adalah bukti positif atau negatif dari harapan Paulus atas gerejanya. Seluruh perdebatan berkisar di surat Paulus. Saya mengusulkan untuk melihat gambaran lebih luas dulu dari Perjanjian Lama, Injil dan Kisah Para Rasul. Baru kemudian masuk kembali ke surat Paulus. Maka sekarang saya sedang bolak-balik merenungkan Amanat Agung Yesus.

Chapter 2 mengambil waktu jauh lebih lama dari yang saya perkirakan. Awalnya taget saya adalah menyelesaikannya bulan lalu, akhirnya berganti ke akhir bulan ini, dan sekarang saya tidak tahu kapan bisa selesai. Sekolah memberi saya waktu sampai akhir Agustus jika ingin melanjutkan studi ke program berikut di bulan Januari 2013. Saya masih berharap bisa. C how la! (Singlish: lihat bagaimana nanti).

Wednesday, March 14, 2012

Biarkan Pendeta Belajar Firman Tuhan

Saya tertarik membaca cuplikan khotbah dari Dr. Robert Solomon (Bishop dari Methodist Church 36th Session of Emmanuel Tamil Annual Conference:
Singapore) pada acara penutupan dan pentahbisan pendeta dalam
What we need today are pastors well versed in Scripture. A pastor has to spend time digging deep into God's Word so that when he stands on the pulpit, people will know that this is a man who knows God's Word.
Yang kita perlukan hari ini adalah pendeta-pendeta yang sangat mengerti Alkitab. Seorang pendeta harus memakai waktu untuk menggali Firman Tuhan dengan dalam sehingga pada waktu dia berdiri di atas mimbar, orang akan tahu bahwa inilah orang yang mengenal Firman Tuhan.
Dan dengan berani dia berkata:
The Lord is saying, "Let my pastors study the Word", "let my pastors grow", "let my pastors go, don't imprison them with unnecesary programmes and activities".
Tuhan berkata, "Biarkan pendeta-pendeta Ku belajar Firman", "Biarkan pendeta-pendeta Ku bertumbuh", "Biarkan pendeta-pendeta Ku pergi, jangan penjarakan mereka dengan program-program dan kegiatan-kegiatan yang tidak perlu".
Dari kalimat-kalimatnya saya bisa merasakan pergumulan dia sendiri dalam hal ini, dalam menemukan waktu untuk belajar Firman, dalam mendidik jemaat untuk mengerti tugas utama seorang hamba Tuhan.

Saya langsung berpikir berapa banyak pengkhotbah yang ketika berdiri di atas mimbar, dari isi khotbahnya, kita bisa dengan hormat berkata: dia sungguh belajar Firman Tuhan dan mengenal Firman Tuhan???

Walaupun kondisi ini sebagian disebabkan kesalahan dia sendiri, tapi tidak bisa dipungkiri bahwa sebagian lagi adalah karena kesalahan jemaat. Saya menemukan bahwa jemaat sulit sekali mengerti seperti apa seharusnya beratnya dan sulitnya persiapan khotbah. Mereka sering berpikir bahwa pendeta sudah sekolah teologi, dia pasti tahu lah tentang Alkitab... dan khotbah gampang lah tinggal kasih renungan dikit...

Saya ingin sebutkan tiga saja culture di dalam gereja yang kelihatan jelas tidak mendorong hamba Tuhan untuk belajar, atau lebih tepatnya mendorong hamba Tuhan untuk tidak belajar!

Coba perhatikan di dalam gereja, seorang hamba Tuhan akan ditegur kalau dia tidak pergi membesuk, menghadiri rapat atau kalau dia tidak belajar? Kita tahu jawabannya. Penekanan pada tugas hamba Tuhan di dalam gereja bukanlah pada belajar. Dan percakapan antar para hamba Tuhan juga jarang atau hampir tidak pernah tentang teologi, tapi selalu tentang pelayanan dan masalahnya. Bisa ditebak dengan culture seperti itu, betapa sulitnya untuk hamba Tuhan belajar.  Berbagai kegiatan terus ditumpuk kepada para hamba Tuhan, akhirnya belajar Firman Tuhan makin dikesampingkan.

Gereja menuntut supaya para hamba Tuhan ada 'jam kantor'. Alasannya? "Jemaat aja pergi kerja ngantor, masak hamba Tuhan lebih malas?" Dan ruangan hamba Tuhan di-desain seperti kantor. Meja berdekatan satu sama lain, telpon disediakan di tiap meja, dan seterusnya. Pertanyaan saya: "Adakah orang yang bisa belajar dengan suasana seperti itu?" Ruang hamba Tuhan disebut sebagai "kantor" dan bukan "ruang belajar" saja sudah menunjukkan culture yang ada. Hamba Tuhan akhirnya menghabiskan banyak waktu untuk telpon, main internet, ngobrol, apa saja yang tidak membutuhkan konsentrasi tingkat tinggi selama jam kantor. Bagaimana mungkin ada yang bisa konsentrasi penuh membaca buku yang dalam, menggali Alkitab dengan membaca buku tafsiran, melihat bahasa asli, ditambah lagi merenungkan maknanya bagi kehidupan, dalam suasana "kantor"? Saya setuju ada 'jam kantor' untuk waktu interaksi dengan sesama hamba Tuhan, dengan karyawan gereja, dan untuk mengerjakan beberapa paper work. Tapi 'jam kantor' harus sangat dibatasi. Sisanya terserah hamba Tuhan itu untuk mencari tempat belajar. Alternatif lain, sediakan "ruang belajar" dan bukan "kantor". Itupun tidak menjamin total karena bagi saya mempersiapkan khotbah adalah seni, dan inspirasi untuk seni sulit dibatasi harus di tempat tertentu.

Ketika gereja memilih hamba Tuhan sebagai gembala, seringkali kriteria utama bukanlah 'khotbah'nya, tapi 'penggembalaan'nya. Dan yang dimaksud dengan 'penggembalaan' adalah kemampuannya memperhatikan jemaat, kesigapannya untuk membesuk, karena jemaat yang sakit, orang tua jemaat, saudara jemaat, teman jemaat memerlukan sesuatu, sampai karena hewan peliharaan jemaat hilang! Khotbah, walaupun dianggap penting, dikesampingkan karena kita menganggap dengan mudah bisa mengundang pengkhotbah tamu. Maka banyak gereja (khususnya di Indonesia) yang sangat bergantung pada pengkhotbah tamu. Dan sudah dianggap wajar, "pengkhotbah harus ganti-ganti supaya variatif". Maka 'pengkhotbah dalam' yang sudah tertekan dengan kegiatan gereja, mengesampingkan tugas belajar, sekarang merasa aman karena tokh ada 'pengkhotbah tamu'. Padahal bukankah tugas gembala adalah memberi makan jemaat dengan Firman Tuhan?

Maka kapankah kita memiliki lagi pendeta-pendeta yang sangat mengerti Alkitab dan berkhotbah dengan baik? Jalannya masih panjaaang...  Apa yang saya tuliskan di atas hanya bersifat deskriptif, menggambarkan apa yang terjadi. Solusinya? Panjaaaang...

Thursday, March 08, 2012

Christian Internet Code of Ethics

Source: http://www.naznet.com/index.php?pageid=ethics

Introduction:
The impact of the Internet is nothing less than earthshaking. Communications are instantaneous and information is abundant. Christians are coming to the internet by the thousands each week.

In some ways, the Internet is a world of its own. Things are not always what they appear. Because of this there are some dangers that are not readily apparent, especially to the novice user.

The Christian Internet Code of Ethics is an effort by some Christians to declare boundaries they set for themselves on the Internet. It is not a set of rules, but a statement of values. In it we find believers saying, "We have found some dangers that may be hidden at first look and we want to point them out to those who join us on the Internet."

Suggestions for use:
There are at least four possible applications of the Christian Internet Code of Ethics:

* Simply read it, prayerfully consider it, and then decide in your heart that you will hold yourself to this standard -- it might be wise to print it off and post it near your computer

* Point it out to other Christians, especially those who are just coming onto the Internet, encourage them to make it their personal standard

* Parents might want to discuss with their children the importance of having an ethical code such as this operating in one's life, specifically, in this case, on the internet

* If you have a web page, incorporate the code on it (a handy copy and paste code fragment is included at the bottom of this page)


Christian Internet Code of Ethics

As a Christian who is active on the internet, I hold myself to certain standards of conduct. They are:

I guard my online relationships

I recognize that attachments develop as easily on the internet as anywhere else, and sometimes more easily because of the anonymity involved in initial exchanges. I particularly guard against relationships that encroach upon the level of trust and faithfulness that is to exist only within a husband/wife relationship.

I am careful to visit websites that do not compromise my life in Christ

I am aware that there are sites on the internet that Christians must avoid, including those that contain pornography. I do not visit such sites, even out of curiosity. When, by accident (and it happens to everyone), I find such a page loading, I leave it immediately.

I take care that my written communications reflect Christ in my life

Even on issues about which I feel passionate, I avoid saying things that I feel might be displeasing to the Lord. I represent myself, and my intentions in a truthful and upright manner in all my exchanges.

I guard my time to assure that my time online is kept in proper balance with the rest of my life

I realize that the internet can consume time that should be invested elsewhere: family, church, work responsibilities, and other activities that make for a well rounded life. I especially guard against spending time on the internet that should be spent with the Lord.

Sunday, March 04, 2012

Sekilas Mengintip Hati Allah

Banyak orang akan dengan mudah setuju bahwa doa adalah komunikasi dengan Allah. Tapi
pernahkah berpikir apa artinya itu?

Ketika kita berkomunikasi dengan orang lain, salah satu yang kita lakukan adalah memberikan informasi. Tapi kita tidak perlu memberikan informasi kepada Allah karena Allah tahu semuanya. Lalu apa yang kita lakukan?

Mungkin lebih tepatnya kita bercerita. Orang tua bisa tahu semua yang dilakukan anaknya yang masih kecil di halaman karena dia mengamati terus waktu anaknya bermain. Tapi dia senang ketika anaknya datang dan bercerita apa yang terjadi. Anak itu bukan memberikan informasi, orang tuanya tidak perlu itu, tapi dia bercerita. Dan itu menyenangkan. Orang tua juga bisa tahu kalau anaknya dihina dan disakiti oleh teman-temannya. Tapi walaupun dia tahu, dia mau anaknya datang dan bercerita apa yang terjadi. Orang tuanya ingin merasakan kepedihan anaknya, dan ingin ikut menghibur anaknya.

Itulah doa! Kita bercerita kepada Allah! Sampai disini sudah luar biasa. Tapi mari kita maju selangkah lagi.

Lalu apa yang Allah sampaikan kepada kita?

Ketika kita berkomunikasi dengan orang lain, sambil kita mendengar perkataan orang itu. sambil kita melihat gerak-geriknya, mimiknya, matanya. Semua itu adalah jendela untuk lebih mengenal dia, jendela untuk mengintip siapa sebenarnya dia, apa yang dia sedang pikirkan dan rasakan. Maka selesai komunikasi, kita makin mengenal orang itu. Atau bagi orang tua, reaksinya waktu mendengar cerita anaknya, senyumannya, kalimat penghiburannya, pelukannya, membuat anaknya makin mengenal dia. Itulah komunikasi, melalui jendela yang terbuka – perkataan, mimik, gerak-gerik, mata – kita mengintip ke dalam hati orang itu.

Pada waktu kita berkomunikasi dengan Allah, mengejutkan bahwa itulah yang terjadi! Ternyata kita bukan hanya bercerita kepadanya, membuat Dia senang atau sedih mendengar cerita kita. Tetapi Allah berespon! Walaupun tidak dengan suara yang terdengar, tidak dengan pelukan yang bisa dirasakan, tapi dengan caraNya sendiri Dia membuka jendela untuk kita melihat hatiNya, mengintip sekilas akan apa yang Dia inginkan!

Betapa sayangnya banyak orang Kristen tidak mengalami itu di dalam doa. Kita datang dengan agenda sendiri. Kita datang dengan setumpuk keluhan. Kita datang dengan terburu-buru. Kita datang dengan asal-asalan. Kita tidak pernah berkomunikasi dengan Allah!

Berceritalah kepada Allah, Dia mau mendengar. Dan lihatlah bagaimana Dia membuka jendela untuk kita sekilas mengintip hatinya. Kita mungkin kaget, kita mungkin sedih, kita mungkin tertusuk ketika melihat isi hati Allah…. Tapi bagaimanapun reaksi kita, apapun yang kita lihat, kita akan selalu menemukan KASIH di situ.

Selamat berdoa!

Thursday, March 01, 2012

Reaching Out Without Dumbing Down - Marva Dawn

Marva Dawn adalah seorang teolog yang juga praktisi musik di gereja Lutheran. Ia memimpin paduan suara dan menyusun liturgi untuk ibadah di gerejanya. Maka menulis tentang worship adalah menulis sesuatu yang sangat dekat dengan hatinya.

Di dalam pembukaan bukunya dia menulis bahwa buku ini ditulis terutama untuk gereja2 liturgical di Amerika karena worship wars paling berkecamuk adalah di dalam gereja2 itu.

Ada banyak tekanan dari berbagai pihak untuk membuang sama sekali liturgi, lagu himne, dan segala hal yang berbau ‘tradisional’ dari dalam ibadah. Dengan sangat baik, Dawn menjelaskan bagaimana culture di sekitar kita sudah mempengaruhi kita untuk menjadi konsumen di dalam gereja. Dan gereja berlomba untuk memenuhi kebutuhan konsumen tanpa pernah bertanya apa dampaknya.

Dawn menjelaskan pentingnya mengembalikan worship ke posisi yang semula yaitu sebagai ibadah kepada Tuhan. Worship bukan untuk manusia, bukan untuk kesenangan kita, bukan untuk ‘menarik orang baru’, tapi untuk menyembah Tuhan.

Walaupun pendekatan dia boleh disebut dari sisi ‘tradisionalis’ tapi berulang kali Dawn mengulang bahwa dia tidak menentang segala usaha menjadikan worship kontemporer. Yang dia tentang adalah mengambil mentah2 semua ajakan untuk membuat worship menjadi kontemporer dan relevan dengan membuang semua elemen tradisi dan litugi di dalam gereja tanpa memikirkan konsepnya, dampaknya, dan maksudnya.

Buku ini membuat saya makin yakin kita perlu memperbarui ibadah di dalam gereja kita masing2. Tapi kita harus berpikir dengan keras, menganalisa culture di sekitar kita, memikirkan makna tiap elemen liturgi, menggali kekayaan tradisi gereja dan memikirkan bagaimana itu mendidik jemaat, dan mengevaluasi apakah kita setia pada Tuhan sambil melakukan semuanya. Banyak gereja berpegang pada ‘asal lagu himne, asal liturgi tradisional’. Banyak gereja sebaliknya ‘asal kontemporer, asal anak muda suka’. Dua2nya sering tidak berpikir dengan baik apakah worship mereka setia kepada Tuhan dan relevan dengan culture. Bagi Dawn, kita harus 'Reaching Out' dengan memikirkan bagaimana worship kita relevan tapi jangan 'Dumbing Down' dengan mengikuti pola dunia yang membodohkan.

Satu2nya kekurangan buku ini, menurut saya dia banyak mengulang2 point yang seharusnya sudah jelas. Tapi terlepas dari itu, ini buku yang sangat baik. Bukan hanya untuk mereka yang terlibat dalam pelayanan worship tapi bagi semua orang Kristen untuk membuat kita berpikir tentang ibadah kita dan juga kritis terhadap berbagai hal di dalam culture kita. Highly recommended!