Wednesday, May 16, 2012

Kebaktian Kenaikan Tuhan Yesus

Bukan rahasia lagi, kenaikan Tuhan Yesus ke sorga adalah hari raya dalam kalender gereja yang paling tidak dipedulikan oleh orang Kristen. Sangat beda dengan Natal, Jumat Agung, dan Paskah, kenaikan Tuhan Yesus diingat pun tidak, ditanya kapan tanggalnya pun tidak, setelah tahu lalu berniat untuk pergi pun tetap tidak.

Banyak orang mungkin merasa apalah salahnya tidak merayakan kenaikan Tuhan Yesus. Seperti juga banyak orang merasa apalah salahnya tidak merayakan Natal, Jumat Agung atau Paskah. Atau bahkan seperti sebagian orang merasa apalah salahnya tidak kebaktian di gereja. Yang penting bukan ke gereja, tapi tindakan nyata, aplikasi Firman Tuhan, kesaksian hidup.

Benarkah begitu?

Bagaimana kita menjelaskan ibadah dalam Perjanjian Lama, dimana Tuhan meminta semua orang Israel datang ke Bait Allah pada waktu perayaan-perayaan khusus? Mereka tinggal terpencar di banyak kota dan mereka diperbolehkan beribadah di tempat masing-masing, tidak perlu ke Yerusalem. Hari Sabat mereka khususkan untuk berkumpul beribadah bersama dan tidak bekerja. Tapi hari-hari khusus, semua harus datang ke Yerusalem. Dan orang Yahudi yang saleh, yang memperhatikan perintah Tuhan, taat datang ke Yerusalem. Mengapa? Bukankah Tuhan ada di kota mereka masing-masing? Bukankah biasanya mereka boleh menyembah Tuhan dengan komunitas masing-masing tanpa harus ke Yerusalem? Karena hidup kita dibangun atas dasar apa yang Tuhan kerjakan di masa lalu. Mereka harus menjadikan hari-hari tertentu spesial sebagai hari mengingat apa yang Tuhan kerjakan, dan menjadikan hari-hari itu khusus untuk beribadah bersama kepada Tuhan.

Dan bukankah itu adalah natur kita manusia, mengingat hari-hari yang penting? Kita hidup di dalam waktu, maka tidak bisa tidak, selalu ada tonggak, kairos, hari yang kita anggap istimewa dan kita peringati dengan istimewa. Bagaimana kita menjadi manusia tanpa ada hari-hari yang penting itu? Sebagian orang mengatakan, “tiap saat saya merayakan Yesus mati dan bangkit, maka tidak merayakan Jumat Agung dan Paskah juga tidak apa”. Tapi kita tidak bisa mengatakan, “tiap hari saya merayakan cinta kasih dengan suami/istri saya, maka anniversary tidak perlu dirayakan” bukan?

Bagi kita orang Kristen, kehidupan kita tidak bisa dipisahkan dari apa yang Yesus perbuat bagi kita. Tapi apakah kehidupan Yesus, apa yang Yesus perbuat, itu penting bagi kita? Apakah yang Dia lakukan berharga untuk kita ingat dan rayakan secara istimewa? Maka saya ingat seorang pendeta pernah berkata, “kita boleh lupakan hari-hari yang penting bagi kita, hari ulang tahun kita, hari ulang tahun pernikahan kita, dan hari-hari lain, tapi jangan lupakan hari-hari yang berkaitan dengan kehidupan Yesus”.

Indonesia mungkin adalah satu-satunya negara di dunia yang menjadikan hari kenaikan Yesus sebagai hari libur. Dan saya curiga mungkinkah karena itulah orang Kristen di Indonesia banyak merayakan kenaikan Tuhan Yesus? Seperti juga kita mengingat dan merayakan Natal, Jumat Agung dan Paskah. Bukan karena menganggap itu penting, bukan karena menandainya, tapi karena itu hari libur!?

Di Singapore, hari kenaikan Tuhan Yesus bukan hari libur. Dan saya kira hampir semua gereja di Singapore tidak merayakannya (sebagian merayakannya di hari Minggu – dengan alasan praktis). Dan terbukti, banyak orang Kristen Indonesia yang tinggal di Singapore, kemudian lupa, mengisinya dengan acara lain, tidak ingin kebaktian, bahkan berdoa sendiri pun pada hari itu mengingat kenaikan Tuhan Yesus, bersyukur, berharap, menujukan pandangan kepadaNya, semuanya tidak! It’s just another day- business as usual!

Saya sangat menyesali sikap orang Kristen kepada pertemuan ibadah: kalau dirasa membangun, kalau dirasa cocok, kalau dirasa bermanfaat (untuk?), kalau waktunya cocok, kalau pas tidak ada acara, kalau tidak ada kerjaan kantor, kalau tidak ada keluarga ajak jalan-jalan, baru pergi. Intinya: Pertemuan ibadah – kalau saya suka dan ada waktu luang. Beginikah cara kita mencintai Tuhan kita dan menyembah Dia?

Hidup kita polanya adalah: Ibadah – lalu diutus pergi. Duduk diam di kaki Tuhan – lalu melayani. Atau pola Amanat Agung: Tunggu dulu dipenuhi Roh Kudus – lalu pergi menjadikan segala bangsa murid Tuhan. Itu bukan peristiwa 1X ibadah, 1X duduk diam, 1X tunggu dulu dipenuhi Roh Kudus, lalu selama-lamanya terus melayani. Polanya adalah seperti gelombang gempa, ibadah adalah pusat gempa dan gelombangnya memancar ke luar. Ibadah harus terus ada supaya pancaran terus ada dan benar. Ibadah harian, ibadah pribadi adalah usaha to focusing our life daily to God, memperkuat pancaran itu. Tapi Ibadah bersama adalah mengalami lagi pusat gempa itu. Ibadah hari Minggu adalah peristiwa spesial, bahkan sepanjang hari itu pun spesial, dikhususkan untuk kita dan Tuhan. Bagaimana mungkin di hari spesial itu, seolah belum cukup, kita masih bekerja, kita lakukan banyak aktifitas lain, dan ibadah berada di pinggir.

Hari-hari raya khusus dalam kekristenan lebih khusus lagi. Karena hari-hari itulah kita ada sebagaimana adanya hari ini. Dan hari-hari itu membentuk kehidupan kita. Bagaimana mungkin hari-hari seperti itu kita lupakan, acuhkan dan pinggirkan?

Besok adalah hari yang dirayakan oleh seluruh gereja di seluruh dunia selama hampir 2000 tahun sebagai hari kenaikan Tuhan Yesus. Ada gereja yang merayakannya di hari Minggu karena alasan tidak libur. Ok, tapi rayakanlah itu! GKY Singapore merayakannya tepat hari kamis. Berusahalah untuk datang, rayakan, dan sembah Dia. Kalau betul-betul tidak bisa, bolehkah saya berikan saran? Mintalah ampun kepada Tuhan karena anda lupa, karena anda anggap tidak penting, atau karena anda betul-betul dengan menyesal tidak bisa datang ke pertemuan ibadah. Dan pakailah waktu khusus besok untuk mengingat dan bersyukur kepada Tuhan untuk karyaNya dan harapkanlah kedatanganNya kembali.

Tuesday, May 15, 2012

Brother Juniper

Banyak dari kita yang tidak pernah mendengar nama Brother Juniper. Dia adalah salah satu pengikut
awal dari Francis Assisi. Dia diterima di dalam ordo Fransiskan (Minor Friars) pada tahun 1210 dan meninggal tahun 1258.

Dengan cepat Francis Assisi mengagumi dia sebagai orang yang ‘keterlaluan’ dalam kemurahan hati, khususnya kepada orang miskin. Brother Juniper terkenal sangat mudah memberikan barang miliknya dan kemudian dengan kepolosannya dia menawan hati orang untuk memaafkannya.

Ada banyak kisah tentang dia yang menggambarkan betapa uniknya dia.

Satu kali, dia diperintahkan oleh seniornya untuk tidak lagi memberikan jubah luarnya kepada pengemis. Tapi tidak lama kemudian dia bertemu dengan seseorang yang meminta pakaian kepadanya. Dia berkata: “Seniorku memberi tahu aku untuk tidak memberikan pakaianku lagi kepada siapapun. Tapi jika engkau menariknya dari belakang, aku pasti tidak akan melarangmu.” Lama kelamaan para biarawan lain tidak berani meninggalkan apa-apa di sekitar Juniper karena takut akan diberikan oleh Juniper kepada orang miskin.

Ketika ia mengunjungi seorang yang sakit, Juniper bertanya apa yang bisa dia lakukan. Orang itu meminta kepada Juniper disediakan makanan kaki babi. Dengan gembira Juniper berlari untuk mencari kaki babi. Dia menangkap seekor babi di halaman tetangga, dia potong kakinya dan dia masak untuk saudara yang sakit itu. Ketika pemilik babi itu tahu, dia datang dengan marah kepada St. Francis dan pengikut-pengikutnya, menyebut mereka pencuri dan menolak ganti rugi.

St. Francis memarahi Juniper dan memerintahkan dia untuk meminta maaf kepada pemilik babi itu. Juniper tidak mengerti mengapa pemilik babi itu marah karena tindakan charity seperti itu. Dia pergi ke pemilik babi itu dan dengan riang menceritakan bagaimana orang sakit itu meminta masakan kaki babi dan dia menyediakannya. Dia menceritakannya seakan-akan dia menolong pemilik kaki babi itu berbuat baik. Waktu orang itu marah, Juniper berpikir dia tidak mengerti, maka dia ulangi lagi ceritanya dengan semangat, memeluk orang itu, dan memohon orang itu untuk memberikan sisa daging babi itu untuk charity. Melihat itu, hati pemilik babi itu berubah dan dia memberikan seluruh sisa daging babi itu untuk disembelih seperti yang diminta Juniper.

Satu kali Brother Juniper sedang bermeditasi di depan altar sebuah gereja yang sangat bagus dan penuh hiasan. Penjaga gereja itu meminta dia menjaganya sementara dia makan. Kemudian datanglah seorang wanita miskin meminta derma demi kasih kepada Allah. Juniper menjawab: “Tunggu sebentar, dan aku akan melihat apakah ada sesuatu yang bisa kutemukan di altar yang mewah ini”. Di sana ada kain emas yang sangat mahal dan ada bel perak yang mahal bergantungan. Juniper berkata: “Bel-bel ini berlebihan:, maka dia mengambil pisau dan memotong bel itu dan memberikannya kepada wanita itu karena belas kasihan. Waktu penjaga gereja itu tahu, dia sangat marah. Tapi Juniper berkata: “Jangan marah karena bel-bel itu, aku memberikannya kepada wanita miskin yang sangat memerlukannya dan disini bel-bel itu tidak ada gunanya selain untuk memamerkan kemewahan yang fana”. Penjaga itu melaporkan kepada pimpinannya di kota itu. Pimpinan itu menyalahkan si penjaga: “Engkau yang bodoh, engkau harusnya tahu seperti apa Juniper, aku malah kaget dia tidak memberikan sekalian semua kain emas itu”.

Pimpinan itu kemudian memanggil Juniper dan menegurnya dengan keras. Juniper tidak memperhatikan teguran itu, dia suka dimarahi, dipermalukan karena Kristus! Yang dia perhatikan adalah suara pimpinan itu serak. Maka ketika pulang, dia membuat puding untuknya. Dan tengah malam Juniper pergi ke rumah sang pimpinan membawa puding itu. Awalnya sang pimpinan marah karena tengah malam dibangunkan dan dipaksa makan puding. Tapi akhirnya dia melihat ketulusan Juniper, mereka makan bersama. 

Kisah-kisah di atas memberi gambaran kepada kita seperti apa Brother Juniper ini. Tidak heran dia dikenal sebagai ‘fool for Christ’ (orang bodoh bagi Kristus).

Betul, dia mungkin bodoh. Tapi dia hidup bagi Kristus. Sementara kita? Kepintaran kita mungkin membuat kita makin hitung-hitungan dalam memberi dan membuat kita bahkan kehilangan kepolosan dan ketulusan.

Francis Assisi pernah berkata bahwa betapa dia berharap ada satu hutan penuh orang-orang seperti Juniper! Dimana orang-orang seperti itu sekarang? Tidak perlu ikut ‘bodoh’nya, tapi mari ikut sedikit saja kepolosannya dan kemurahan hatinya! Ah… saya juga perlu belajar banyak.

Monday, May 14, 2012

Generasi Slogan

Saya menemukan bahwa generasi ini adalah generasi slogan. Kita suka dengan berbagai macam kalimat, kutipan, ungkapan – slogan - yang terkesan bijak (terlepas dari sebenarnya bijak atau tidak). Pokoknya semua slogan yang sepertinya punya ‘hidden meaning’, yang sepertinya membuat kita sedikit berpikir, sepertinya bagus, langsung kita suka.

Kondisi ini menurut Dallas Willard disebabkan oleh ‘the mantle of intellectual meaninglessness’ yang menyelimuti setiap aspek kehidupan kita. Dan karena dunia kita sangat upside-down, slogan-slogan itu menjadi terlihat ‘dalam’ padahal tidak masuk akal. Dia memberi contoh: ‘Stand up for your rights’ Kelihatannya bagus? Tapi apa betul? Atau contoh lain: ‘All I ever needed to know I learned in my kindergarten’. Betulkah? Willard mengatakan bahwa slogan-slogan itu mengandung kebenaran yang sangaaatttt kecil dan kalau coba kita aplikasikan, kita akan mengalami masalah besar.

Pertanyaan lebih dalam adalah mengapa kita menyukai slogan? Mungkin masalahnya adalah kita tidak suka berpikir. Satu sisi, kita tidak bisa menjadi orang bodoh yang suka dengan hal-hal yang tidak intelek, tapi di sisi lain kita suka yang instan, praktis. Maka apa solusinya? Slogan! Singkat, praktis, mudah dihafal, mudah dicerna, tapi mengandung ‘kebenaran’ dan terkesan ‘dalam’. Itu tebakan saya.

Dan  sikap ini juga membuat kita hanya berhenti pada kesukaan akan slogan itu dan tidak pernah mencoba memikirkannya lebih dalam dan mengaplikasikannya. Itu sebabnya slogan-slogan yang bodoh pun kita suka. Kita tidak berpikir! Kita sudah menjadi orang-orang yang dangkal, kita hanya suka sesuatu yang terlihat pintar. Jadi masalahnya bukan sekedar di slogan-nya, tapi di sikap kita.

Itu sebabnya ada juga slogan-slogan yang betul-betul baik, bijak, atau bahkan cuplikan dari Alkitab, yang kita suka. Dan SUKA berarti ditempel sebagai sticker, atau dicetak di kaos yang kita pakai, atau yang paling sering di zaman ini: langsung di-share di facebook. Begitu ketemu sesuatu yang kita suka, slogan, kisah singkat, video, atau apapun itu, dengan cepat kita share. Lagi-lagi, karena kita suka slogan! Tapi berapa banyak dari kita yang betul-betul memikirkannya, merenungkannya, dan mencoba mengaplikasikannya – kalau itu betul-betul baik?

Maka menyampaikan kebenaran di zaman ini menjadi makin sulit. Jikalau disampaikan dengan cara yang menuntut orang untuk berpikir, maka kebenaran itu dianggap tidak praktis, teoritis, dan dengan cepat dilewatkan. Tapi jikalau kebenaran itu disampaikan dengan sederhana, kalimat-kalimat yang menggugah (baca: seperti slogan), maka dengan cepat orang akan menangkapnya, menyukainya, tapi tidak memikirkan dan melakukannya. Lalu harus bagaimana caranya?

Saya tidak anti slogan. Saya tidak anti dengan penyampaian kebenaran secara sederhana, praktis, dan kalimat-kalimat yang mudah. Tapi saya meratapi makin dangkalnya generasi ini (mungkin juga termasuk saya). Kalimat Pemazmur menjadi sangat relevan: Berbahagialah orang yang kesukaannya ialah Taurat Tuhan dan yang merenungkan Taurat itu siang dan malam (Mazmur 1:1-2).

Thursday, May 10, 2012

Perlu Atau Mau?

Ungkapan ini sering kita dengar: Perlu atau mau? Kita perlu membedakan antara keperluan dan kemauan. Kalau saja kita mendaftarkan apa saja yang kita ‘perlu’ kita akan melihat bahwa sebetulnya tidak banyak yang kita perlukan dan jauh lebih banyak apa yang kita mau. Kita sering dengar itu bukan?

Tapi permisi tanya, berapa banyak dari kita yang menerapkan ini? Berapa banyak dari kita yang sering bertanya sebelum membeli sesuatu, apakah saya perlu atau mau?

Saya menemukan bahwa kalau saja kita sungguh lakukan itu, dalam banyak hal kita bisa menggunakan uang dengan jauh..jauh..lebih bijaksana. Dan pertanyaan itu akan menyelamatkan kita dari menumpuk banyak barang yang bukan saja tidak perlu, tapi menghabiskan waktu kita. Banyak barang yang kita beli, akan mengambil waktu kita bukan? Gadget baru, kita belajar cara memakainya. Apps baru, kita membiasakan diri menggunakannya. Jam tangan baru, baju baru, sepatu baru, akan mengambil space di rumah kita dan nantinya membuang waktu kita untuk memikirkan untuk diberikan ke siapa! Ok, saya agak berlebihan. Tapi benar, lebih banyak barang lebih menyusahkan. Dan yang lebih penting, pertanyaan itu sedikit banyak akan berperan menyelamatkan kita dari kerakusan dan sikap tidak pernah puas, serta sikap restless, tidak bisa tenang, selalu merasa ada sesuatu yang kurang, selalu ingin lagi dan ingin lagi.

Tidak berarti bahwa kita tidak boleh membeli sesuatu yang kita mau dan bukan perlu. Saya percaya kita boleh pergi makan di tempat yang baik (walaupun yang kita perlu hanya sepiring nasi dan tempe). Saya percaya kita boleh pergi jalan-jalan ke luar negeri (walaupun yang kita perlu hanya jalan-jalan ke mall dekat rumah untuk hiburan). Saya percaya kita boleh membeli jam tangan yang bagus (walaupun yang kita perlu hanya jam tangan merk apapun). Saya percaya Tuhan mau kita menikmati apa yang Dia berikan dengan sukacita dan tanpa rasa bersalah. Tapi seperti semua hal lain, segala sesuatu yang berlebihan pasti tidak baik.

Alangkah bijaknya kalau kita membatasi kemauan kita, mengekang nafsu kita, dan mempertanyakan keperluan kita sebelum membeli sesuatu. Maka “Perlu” dan “Mau” bukan dua kutub yang bertolak belakang, bukan hitam putih, tapi dua hal yang saling melengkapi dan melatih kita untuk berbijaksana. Bagaimanapun juga uang dan waktu kita adalah milik Tuhan. Dan bagaimanapun juga, adalah baik untuk hidup dalam kesederhanaan.

Sebagai usulan, selain bertanya perlu atau mau, mungkin boleh tambahkan pertanyaan-pertanyaan lain seperti: Mau berapa banyak? Berapa sering? Berapa mahal? Bagaimana orang lain melihat? Apakah ini berlebihan? dan pertanyaan-pertanyaan lain seperti itu yang mempertanyakan batasan kemauan kita. Setuju?

Thursday, May 03, 2012

Ketulusan: Pelayanan dan Relasi

Saya pernah menulis tentang “Ketulusan” di blog ini dimana saya mengaitkan strategi pemasaran kuno MLM, asuransi, dan penginjilan di gereja (click untuk melihat). Saya baru membaca lagi tulisan itu dan melihat bahwa itu masih sangat relevan sekarang.

Ketulusan tidak berarti semua orang mengatakan segala hal yang ada di pikirannya kepada setiap orang. Itu bukan ketulusan tapi kebodohan! Di dalam hubungan kita sesama manusia berdosa, tidak bisa tidak, kita pasti menutupi sesuatu. Tiap orang punya cara berpikir yang berbeda, punya kepribadian, kelemahan, luka, dan dosa yang berbeda. Maka kapan mengatakan sesuatu, dengan cara bagaimana, kepada siapa, menjadi penting. Dan itu bukan ketidaktulusan tapi kebijaksanaan.

Saya kira ketulusan perlu dikaitkan dengan dua hal:

Pertama adalah motivasi. Ketulusan adalah ketika kita memikirkan kemauan Tuhan lebih daripada kemauan diri atau kelompok. Ketulusan adalah ketika kita memikirkan yang terbaik untuk semua dan bukan untuk diri atau kelompok. Dan terakhir, ketulusan adalah ketika kita memikirkan yang terbaik untuk lawan bicara kita. Kita tidak ingin memanfaatkan dia untuk kepentingan apapun. Kita tidak boleh membujuk orang untuk lakukan sesuatu tanpa memikirkan perasaan orang itu, kemauan orang itu dan kebaikan orang itu. Lalu kita beralasan, “kan bukan buat saya, tapi buat pekerjaan Tuhan”. Itu tidak tulus!

Kedua adalah perkataan. Kita memang tidak mungkin mengatakan segalanya kepada setiap orang. Tapi sampai batas tertentu kita bisa mengatakan hal-hal yang paling tidak membuat orang itu punya informasi yang cukup sehingga tidak membuat dia salah langkah. Informasi tidak harus ‘seluruhnya’ tapi harus ‘tidak menyesatkan’ dan ‘tidak misleading’. Kita boleh mengatakan “jangan lakukan itu, berbahaya!” tanpa menyebutkan siapa orang-orang yang menyebabkan bahaya. Tapi kita tidak boleh mengatakan “jangan lakukan itu, berbahaya!” padahal kita tidak terlalu yakin bahayanya dan kita hanya katakan itu karena kita mau dia lakukan yang lain.

Ketulusan adalah ketika kita mengatakan sesuatu, memutuskan sesuatu, dengan tanpa agenda pribadi. Ketulusan adalah, walaupun tidak membuka seluruhnya, tapi memikirkan perasaan lawan bicara kita, menempatkan diri di posisi mereka. Ketulusan adalah ketika kita menginginkan yang terbaik untuk lawan bicara kita. Dan semuanya adalah karena kita memikirkan Tuhan, takut akan Tuhan, dan kemuliaan Tuhan.

Sangat menyedihkan melihat banyak energi di dalam pelayanan habis karena mengurusi ketidaktulusan. Banyak orang dengan agendanya masing-masing, bermain ‘kungfu’, bersilat lidah, bermuka dua, atau apa pun istilahnya, untuk kepentingan dirinya, kelompoknya, atau yang dia pikir untuk Tuhan.

Saya sebut “dia pikir untuk Tuhan” karena mungkin ada orang-orang yang berpikir “ini baik untuk Tuhan”. Lalu dia fight untuk itu, dia lakukan macam-macam cara yang tidak tulus, semua atas nama ‘untuk Tuhan’. Orang seperti ini tidak pernah menguji apa betul untuk Tuhan, apa betul Tuhan mau begini, apakah saya memperjuangkan sesuatu yang benar, apakah saya tidak melukai banyak orang yang benar dengan cara begini, dan seterusnya. Jangan pikir dulu bagaimana kalau begini dan begitu, jangan berargumen dulu, diam dulu di hadapan Tuhan, coba tanya - dan saya percaya Tuhan akan bicara - apakah yang saya lakukan menyenangkan Tuhan?

Mari kita kembali kepada sesuatu yang sangat sederhana tapi indah: Ketulusan.

Demikian pula dalam relasi dengan orang lain. Ketika kita berbuat baik kepada orang lain karena kita menyukai dia (contoh klasik: ketika seorang pemuda sedang ‘naksir’), itu bukan ketidaktulusan. Demikian pula ketika kita tidak suka dengan seseorang, lalu berusaha untuk berbuat baik kepada dia, itu juga bukan ketidaktulusan. Tapi ketidaktulusan adalah ketika kita baik kepada seseorang karena ingin memanfaatkan dia, karena ada hal-hal yang bisa menguntungkan kita. Ketidaktulusan adalah ketika kita pura-pura baik supaya dilihat orang, supaya tidak dikatai orang, dsb. Tapi ketika kita berbuat sesuatu, mengatakan sesuatu, karena kasih yang benar, atau karena berusaha mengasihi seperti yang Tuhan perintahkan, itu adalah bagian dari ketulusan.

Siapa sih di antara kita yang sempurna tulus? Kita semua perlu terus mengoreksi diri, mengasah diri, menguji diri, dan minta kepada Tuhan karakter yang sangat indah ini: Ketulusan.