Thursday, July 19, 2012

Doctoral Study: Pro dan Kontra

Tulisan ini menyambung tulisan saya di post sebelumnya disini. Berikut ini adalah beberapa hal yang membuat saya berpikir bolak-balik, apakah saya harus mengambil studi D.Th?

Kontra: Senada seperti peringatan dari Piper, beberapa orang memperingatkan saya bahwa studi D.Th/Ph.D tidak ada gunanya untuk penggembalaan. Beberapa orang yang mendengar rencana saya untuk studi D.Th langsung bertanya apakah saya yakin ingin menjadi dosen di sekolah teologi? Pertimbangannya, kalau tidak maka untuk apa?

Pro: Sebagian orang mendorong saya untuk go ahead karena berbagai hal. Ada yang melihat ‘kesukaan’ saya belajar (padahal rasanya saya nggak suka2 amat dibanding orang lain). Ada yang melihat ‘kemampuan’ saya (ini apalagi, dari dulu saya bahkan yakin saya tidak mampu kuliah doktoral karena saya bukan scholar type). Ada juga yang melihat kebutuhan pelayanan di masa depan dan berpikir bahwa M.Th tidak akan cukup, maka kalau bisa, sekali lagi kalau bisa, teruskan sampai D.Th.

Ada dua kalimat dari dua orang dosen berbeda di TTC yang menambah ‘ramai’ pergumulan saya:

Ketika saya bertanya perlukah saya studi D.Th jika hanya melayani di gereja dan bukan seminari? Dia menjawab: “Kamu tidak akan pernah too qualified for the church of God. Kalau memang bisa, teruskan sampai di ujung (sampai D.Th).” Kalimat itu terngiang2 di telinga, GR banget berpikir kalau D.Th over qualified untuk ‘sekedar’ di gereja!

Dalam percakapan santai, seorang dosen lain berkata (tanpa ditanya): “Kalau kamu suka belajar walaupun sudah di ladang pelayanan. Kalau kamu suka untuk memikirkan hal2 yang akademis. Jangan tanya saya apakah studi lanjut adalah kehendak Tuhan, karena itu pasti kehendak Tuhan! Dari sekian banyak hamba Tuhan, tidak banyak yang suka untuk terus belajar dan memikirkan hal2 yang akademis, apalagi setelah sekian tahun melayani. Kalau kamu seperti itu, pergi studi”

Saya tetap optimis bahwa apa yang akan saya pelajari dalam studi D.Th berguna untuk pelayanan baik di sekolah teologi maupun gereja. Dan saya berpikir kalaupun andaikata jikalau… apa yang saya pelajari dalam studi D.Th itu tidak terlalu relevan dengan kehidupan penggembalaan, maka pola berpikir kritis, teologis, akademis, yang terbentuk karena studi itu pasti akan berguna.

Kontra: Tapi kemudian dosen yang sama bercerita tentang seorang Ph.D yang dia kenal. Menurut dia orang itu sama sekali tidak kelihatan ‘Ph.D’ nya. Cara berpikirnya, cara berkhotbahnya, semua tidak menunjukkan dia pernah kuliah Ph.D. Maka orang itu, menurut dia, hanya kuliah demi selembar kertas. Artinya adalah mungkin untuk kuliah Ph.D tanpa guna!

Dan kemudian saya mendengar cerita serupa dari seorang dosen sebuah seminari di Indonesia. Ada orang dengan Ph.D dari universitas terkemuka, tidak kelihatan sama sekali sisa2 ‘Ph.D’nya! Lalu apa gunanya dulu dia kuliah Ph.D? Confirmed, ternyata mungkin untuk kuliah Ph.D tanpa guna.

Pro: Saya berpikir, “tapi itu kan mereka”. Saya sudah merasakan manfaatnya kuliah M.Th, bukan soal pengetahuan tapi cara berpikir. Maka saya pikir saya tidak akan kuliah D.Th tanpa guna dan rasanya bisa.

Kontra: Mengapa tidak ambil D.Min saja? M.Th sudah memberi bekal pola akademis, maka sekarang cukup D.Min sebagai refleksi ulang seluruh pelayanan dan konsep teologi. M.Th + D.Min adalah kombinasi yang baik, bahkan berguna karena lebih ‘siap pakai’ untuk pelayanan. Waktu studi tidak terlalu panjang, beban tidak terlalu berat, dan saya bisa terus self-study dalam hal yang akademis.

Pro: Mungkinkah terbalik? Saya seharusnya studi yang akademis, lalu self-study mengenai bagaimana penerapannya.

Sudah selesai pikir bolak-baliknya? Belum!

Kontra: Beberapa kali dalam waktu dekat ini saya bertemu atau mendengar tentang orang2 yang meninggal pada usia yang cukup muda. Pengalaman itu membuat saya bertanya2, kalau saya tahu waktu saya tinggal sebentar lagi apakah saya masih mau studi? Saya yakin tidak. Dalam hati, saya lebih ingin meninggal di tengah pelayanan dan bukan di tengah studi. Banyak cerita tentang orang yang selesai studi Ph.D tidak lama kemudian meninggal. Maka ada yang berkata Ph.D = Permanent Head Damage. Dan Th.D = Thoroughly Dumb :-)

Pro: Tapi saya pikir balik lagi, saya bukan Tuhan. Saya tidak tahu umur saya. Maka dalam ketidaktahuan ini, yang harus saya lakukan adalah memilih yang terbaik yang saya tahu. Kalau saya tahu umur tidak panjang lagi, maka yang terbaik adalah tidak perlu studi. Untuk apa studi? Tapi karena saya tidak tahu, MUNGKIN yang terbaik adalah studi untuk mempersiapkan diri bagi pelayanan masa depan.

Masih banyak pikiran lain: Saya mulai lelah dengan proses studi, mampukah saya untuk meneruskannya? Saya ingin cepat bisa kembali ke Indonesia. Saya juga memikirkan keluarga. Tapi saya juga melihat bahwa betul kebutuhan pelayanan akan makin besar, dan mungkin saya perlu studi D.Th. Lagipula kesempatan studi ini now or never untuk saya. Tapi bagaimana kalau saya tidak mampu? Atau mungkin saya mampu tapi sudah lelah? Atau jangan2 lelah karena sekarang ini studi sambil pelayanan dan akan beda kalau hanya studi saja. Dan seterusnya… dan seterusnya…

Pergumulan belum selesai dan kisah saya juga belum selesai :-) Saya kira setiap kita akan bergumul pro dan kontra untuk setiap keputusan besar yang akan kita jalani. Dan rekan-rekan yang memutuskan untuk mengambil atau tidak mengambil D.Th/Ph.D mungkin bergumul yang sama seperti saya. Ada masukan lagi untuk menambah ramai pergumulan saya? Adakah yang belum saya pikirkan?

Sunday, July 15, 2012

Berbagai Gelar Teologi

(4th Revision - With minor addition)

Dunia pendidikan teologi bagi jemaat kebanyakan sangat rumit, bukan hanya soal apa yang dipelajari disana (ada yang berpikir sekolah teologi mengajar urutan Kejadian-Wahyu, maka pertanyaannya “udah sampai kitab apa?”), tapi juga soal gelarnya. Banyak jemaat hanya tahu pokoknya depannya ‘S’, ‘M’ atau ‘D’.  Banyak hamba Tuhan pun tidak terlalu jelas soal ini. Lebih rumit lagi karena negara yang berbeda, bahkan sekolah yang berbeda, bisa memberikan arti yang berbeda untuk gelar yang diberikan.

Berikut ini saya coba menyederhanakan penjelasan untuk gelar-gelar teologi yang umum dikenal di Indonesia:

Undergraduate Degree
Bagi mereka yang belum punya gelar S1 umum, maka pilihannya hanyalah mengambil program: Sarjana Theologi (S.Th) atau jika di luar negeri disebut Bachelor of Theology (B.Th), atau Bachelor of Arts in Theology atau Divinity, atau Bachelor of Divinity (B.D.).
Note: Di beberapa tempat, B.D memiliki pengertian yang berbeda. Misalnya di Moore (Australia), B.D hanya boleh diambil oleh mereka yang sudah memiliki gelar S1 - mungkin setara dengan Master of Divinity (M.Div), sementara di Cambridge University (UK), B.D bahkan setara dengan Ph.D.

Undergraduate or Postgraduate Degree?
Bagi mereka yang sudah punya S1 umum, maka pilihannya lebih luas:
1. Master of Theological Studies (MTS)/Master of Christian Studies (MCS). Biasanya ini program untuk mereka yang hanya mau belajar teologi tapi tidak bertujuan menjadi hamba Tuhan full time. Programnya umumnya 2 tahun.
2. Master of Art (MA) - dalam berbagai bidang. Sejajar dengan program MTS/MCS. Programnya umumnya juga 2 tahun. Perbedaannya adalah bidang studi dalam Master of Arts biasanya lebih spesifik.
3. Master of Divinity (M.Div). Biasanya M.Div dianggap lebih tinggi dari MTS/MCS/MA karena jumlah SKS yang lebih banyak. Programnya umumnya 3 tahun. Mata kuliah dalam program M.Div mencakup banyak bidang sehingga menjadi program studi teologi yang bersifat komprehensif. Di Amerika (dan mungkin banyak negara lain), gelar M.Div adalah untuk mereka yang mau melayani full time di gereja atau ditahbis menjadi pendeta. Bahkan di banyak gereja, seseorang tidak akan ditahbis menjadi pendeta tanpa gelar M.Div.
4. Master of Ministry (M.Min). Program ini di beberapa tempat hanya untuk mereka yang sudah punya gelar teologi sebelumnya (S.Th/BD/B.Th, MTS/MCS, MA, M.Div). Maka in that sense, ini program post-graduate. Tapi ini bukan program riset akademis, hanya berupa refleksi lebih jauh akan pelayanan. Saya anggap ini sebagai program ‘refreshing’ untuk para hamba Tuhan. Tapi di beberapa tempat program ini juga bisa diambil oleh mereka yang tidak punya gelar teologi (asal punya S1 umum). Maka in that sense, program ini juga seperti program MTS/MCS/MA. Tetapi dalam kasus yang terakhir ini, M.Min akan dipandang lebih rendah daripada MTS/MCS/MA karena jumlah kreditnya lebih sedikit. Programnya sekitar 1-2 tahun.

Berbagai Master di atas sebetulnya ambigu. Disebut Master karena sudah punya S1. Tapi di dalam bidang teologi, mereka adalah undergraduate (kecuali M.Min di beberapa tempat) karena sebetulnya semua itu adalah gelar tahap pertama dalam bidang teologi. Sebagai contoh: Di TTC, mahasiswa Bachelor of Divinity dan Master of Divinity kuliah bersama dan seluruh mata kuliah dan tuntutan sama. Tapi ketika lulus, yang sudah punya S1 umum diberikan M.Div dan yang belum punya S1 diberikan BD. Sesederhana itu! Tetapi berbagai program Master di atas juga memang Master betulan karena dari situ, asalkan mampu (tentu dengan tuntutan yang besar), mereka bisa langsung meneruskan ke jenjang Ph.D (kecuali M.Min). Sementara mereka yang hanya memiliki gelar Sarjana Theologi (S.Th)/Bachelor of Theology (B.Th)/Bachelor of Divinity (B.D) tidak bisa langsung ke Ph.D. (Kecuali Bachelor of Divinity di beberapa tempat, lihat keterangan di atas).

Postgraduate Degree (Master)
Master of Theology (M.Th). Di dalam bidang teologi, M.Th adalah Master ‘yang sebenarnya’ karena program ini hanya boleh diambil oleh mereka yang punya gelar teologi sebelumnya. Dan berbeda dengan semua program Master yang undergraduate di atas, program ini bersifat riset akademis. Kadang orang bingung kenapa sudah punya Master (M.Div) kok ambil Master (M.Th) lagi? Jelas beda sekali!

Sekarang ini di Indonesia karena peraturan pemerintah, muncul kebingungan mengenai gelar Master of Divinity (M.Div) dan Master of Theology (M.Th). Pemerintah hanya mengenal jenjang S1, S2 dan S3. Dalam skema itu, kemana M.Div harus dikategorikan? Banyak sekolah teologi mengambil kebijakan mengubah program M.Div nya menjadi M.Th. Tetapi yang saya sesalkan adalah tidak adanya kesepakatan antara sekolah-sekolah teologi di Indonesia mengenai cara pengubahannya. Ada yang menambahkan tuntutan, misalnya menambahkan mata kuliah atau menambahkan tuntutan menulis thesis. Ada yang mengubahnya menjadi M.Th Praktika yang tanpa penulisan thesis (dibedakan dengan M.Th Teologi yang harus menulis thesis). Maka sekarang pengertian apa itu M.Th menjadi sangat berbeda di antara sekolah-sekolah teologi.

Tambahan: Saya dengar sekarang di Indonesia, pemerintah mengkategorikan M.Div dan D.Min sebagai gelar profesi dan bukan gelar akademis (mungkin saya salah). Artinya tidak dianggap sebagai gelar S2 dan S3 di dalam konteks akademis. Sementara itu, gelar seperti MA justru dianggap S2 (saya tidak tahu bagaimana mengenai gelar MTS/MCS). Ini memang membingungkan karena di luar negeri mereka yang memiliki gelar M.Div sebenarnya bisa langsung mengambil D.Th/Ph.D.

Postgraduate Degree (Doctor) - Profesi
Doctor of Ministry (D.Min) adalah program untuk mereka yang punya gelar teologi (biasanya M.Div) dan sudah sekian tahun melayani sebagai hamba Tuhan. Program ini mengajak untuk menata kembali kaitan antara teologi dengan pelayanan mereka. Programnya berupa refleksi teologis kadang dicampur dengan riset lapangan. Penekanannya adalah bagaimana menerapkan teologi dan kemampuan berpikir kritis dalam pelayanan. Seringkali ini disebut sebagai Doctor dalam profesi, beda banget dengan Doctor dalam riset akademis. Programnya biasanya dirancang 3-5 tahun part time, untuk para hamba Tuhan yang tidak bisa meninggalkan pelayanan untuk studi. Sebagai pembanding, jika D.Min bisa diselesaikan dalam 3-5 tahun secara part time, D.Th/Ph.D memerlukan 3-7 tahun full time.

Postgraduate Degree (Doctor) - Riset
Dalam bidang teologi, Doctor yang bersifat riset akademis hanyalah Doctor of Theology (D.Th/D.Theol)/Theological Doctor (Th.D) dan Philosophical Doctor (Ph.D)/Doctor of Philosophy (D.Phil). 

Sebagian orang berpikir Ph.D lebih tinggi dari D.Th. Sebetulnya tidak begitu (kalau tidak percaya silakan research di google atau bandingkan di berbagai sekolah). Boston University dan Duke University misalnya memberikan kedua gelar itu, dan jelas di dalam katalog mereka bahwa keduanya sejajar, tuntutannya sama, lama kuliahnya sama, semua sama. Perbedaannya adalah Ph.D biasanya diberikan oleh University dan bersifat inter-disciplinary (dikaitkan dengan berbagai ilmu yang lebih luas), sementara D.Th biasanya diberikan oleh Seminari/Divinity School dari University. Maka Ph.D bisa mengajar di Universitas atau Seminari sementara biasanya D.Th hanya mengajar di Seminari. Ditambah lagi, Ph.D adalah gelar yang lebih umum dan 'terkenal' dibanding D.Th. Mungkin itu yang menyebabkan orang berpikir Ph.D lebih tinggi dari D.Th. Andy Rowell, di dalam blognya (http://www.andyrowell.net/andy_rowell/2009/03/advice-about-duke-thd-and-phd-programs-in-theology.html) memberikan perbandingan program Th.D dan Ph.D di Duke University.

Program D.Th/Ph.D di UK, Singapore, Australia (dan saya tidak tahu negara mana lagi) dirancang untuk minimal 3 tahun full time. Dari hari pertama masuk sampai lulus hanya mengerjakan disertasi, tanpa ada kuliah wajib. Program D.Th/Ph.D di USA dirancang untuk minimal 4 (atau 5 tahun) full time. Selama 2 tahun (atau 3 tahun) pertama mengikuti kuliah, 1 tahun persiapan dan ujian komprehensif, lalu 1 tahun mengerjakan disertasi. Larry Hurtado, di dalam blognya (http://larryhurtado.wordpress.com/2014/09/18/phd-studies-in-the-uk-and-edinburgh-in-particular/) memberikan sedikit gambaran perbandingan program Ph.D di UK dan US.

Apa yang saya sebutkan di atas hanya sebagian dari berbagai gelar dalam bidang teologi. Dengan berbagai variasi yang ada, sebetulnya tidak mudah mengenali nilai gelar seseorang. Maka jangan hanya melihat huruf depannya: “S”, “B”, “M” atau “D”. Jangan hanya melihat gelarnya apa atau lulusan dari negara mana, tapi kita perlu tahu dulu dari universitas/seminari mana. Setelah itu baru bisa mencari tahu seperti apa universitas/seminari itu dan seperti apa program itu di situ. Sejujurnya banyak gelar teologi "abal-abal". Sekalipun gelar sungguhan dan berasal dari sekolah sungguhan tapi mutunya bisa sangat dipertanyakan.

Sebenarnya sama seperti waktu kita mendengar orang punya Sarjana Teknik dari universitas A di kota A atau dari universitas B di kota B, maka kita langsung bisa membayangkan bedanya. Demikian pula gelar teologi. Saat ini, di Indonesia, dengan berbagai pengertian yang berbeda akan program M.Div dan M.Th, juga menuntut kita untuk tahu persis apa gelarnya, darimana gelar itu, dan seperti apa programnya, baru bisa menentukan "nilai" gelar itu.

Bagi pembaca yang bukan hamba Tuhan, saya harap tulisan ini menolong memperjelas dan bukan memperbingung. Bagi pembaca yang hamba Tuhan, jika tahu ada informasi di atas yang salah, silakan berikan comment dan kita bisa diskusikan.

Friday, July 06, 2012

Doctoral Study: Pandangan John Piper

Tulisan di bawah ini adalah wawancara dengan John Piper yang dimuat disini. Ini adalah salah satu artikel yang membuat saya bergumul apakah saya akan mengambil program D.Th/Ph.D. Di bawah ini adalah terjemahan bebas dari saya:

Sebagai orang yang sudah melewati studi Ph.D, apakah anda akan merekomendasikan hamba Tuhan lain untuk mengambil pendidikan di jalur itu juga?
 
Maksud anda, hamba Tuhan yang sudah menggembalakan di gereja atau yang masih berencana untuk menggembalakan? Saya akan menjawab untuk keduanya.

Jika anda sudah menjadi gembala, saya tidak menyarankan untuk mengambil Ph.D. Anda harus bekerja sangat keras untuk itu dan hasilnya sangat kecil. Sangat kecil.

Ketika saya mengatakan sangat kecil, saya tidak berarti mempelajari Alkitab akan kecil hasilnya. Tetapi karena anda harus membaca begitu banyak sampah untuk mendapatkan Ph.D. Anda harus menjadi ahli dalam apa yang dikatakan oleh orang lain, yang kebanyakan adalah salah.

Kebanyakan yang ditulis di dunia ini tidak benar. Dan seorang Ph.D harus menjadi seorang ahli. Maka anda harus membaca banyak sekali materi yang sama sekali tidak menolong.

Saya pikir harus ada orang yang melakukan itu. Saya senang ada seorang Don Carson yang seperti sudah membaca segala sesuatu di bawah matahari, maka punya kapasitas untuk berespon dengan baik.

Saya sangat setuju ada kebutuhan lapisan akademis yang sadar apa yang terjadi di luar sana dan bisa mengajar dan menulis. Maka, ya dan amin.

Tetapi penggembalan bukanlah itu. Penggembalaan terutama bukanlah tempat dimana anda harus tahu semua hal salah yang pernah dikatakan orang tentang sepotong kecil biblical theology. Penggembalaan adalah menggembalakan orang dari Firman.

Sekarang kembali ke hal yang positif: Jika program Ph.D disusun -dan ada beberapa yang seperti itu!- untuk membuat anda mempelajari Alkitab selama tiga atau empat tahun dan mengerti implikasinya yang lebih besar untuk kehidupan dan realitas, maka, dalam perjalanan anda menuju ke penggembalaan, itu bisa sangat bernilai.

Tapi program Ph.D saya tidak disusun seperti itu. Dan ketika saya selesai dengan tiga tahun itu, saya hanya mendapat selembar kertas, bahasa Jerman, dan apresiasi kepada teologi yang akademis; tetapi saya tidak bertumbuh banyak, kecuali yang saya bisa peroleh sendiri.

Maka adalah mungkin untuk mengambil Ph.D yang bodoh untuk selembar kertas. Saya jauh lebih suka anda mengambil Ph.D yang bijaksana – yaitu, pergi ke tempat dimana mereka mengizinkan anda terutama mempelajari Alkitab. Ya, anda akan harus membaca materi lain. Tetapi anda ingin keluar setelah tiga tahun dengan pengertian yang besar, dalam, kuat, mantap, akan Allah dan jalan-jalanNya di dalam dunia, bukan hanya sepotong kecil apa yang ribuan orang ngaco katakan tentang sepotong kecil ayat di dalam Alkitab. Itu adalah cara menggunakan tiga tahun yang sangat menyedihkan.

Dan jika anda sudah menggembalakan, tetapkan diri untuk mempelajari Alkitab dan mengambil kelas-kelas. Tapi jangan kuatir dengan gelar.

Saya bahkan tidak pernah membuka tabung tempat ijazah saya sejak 1974! Saya belum membukanya! Ada di laci. Tidak ada orang yang tanya tentang itu. Itu tidak ada artinya lagi. (Mungkin itu berlebihan).