Tuesday, November 26, 2013

Ekstasi-Kesuksesan Dalam Pelayanan

Bayangkan ketika suatu kali kita melayani dalam sebuah acara yang besar.

Acara itu membutuhkan banyak persiapan. Tenaga, waktu, keringat, doa berulang-ulang dan mungkin juga uang, semua sudah dicurahkan. Berkorban? Sudah pasti! Banyak sekali yang sudah dialami selama persiapan. Kadang senang kadang sebal. Kadang semangat kadang cape. Emosi banyak dihabiskan. Sementara itu pekerjaan dan tugas sehari-hari terus menumpuk. Maka waktu untuk istirahat dan jalan-jalan berkurang, bahkan waktu untuk tidur pun menciut. Tidak bisa dipungkiri, sukacita dan semangat tetap terasa. Tiap kali berkumpul dengan rekan-rekan lain, persiapan, rapat, latihan, ada "aura" semangat. Itulah yang membuat kita tetap bertahan!

Lalu tibalah waktunya semua segera akan berlalu. Hari-hari terakhir itu bahkan lebih melelahkan dari sebelumnya. Sampai malam sebelumnya kita masih gladi resik, lalu esok paginya sudah persiapan, sore sudah datang lagi. Akhirnya...saat itu pun tiba! Waktunya, jamnya sudah tiba! Maka kita all out, sekuat tenaga, berusaha sebisanya.

Hasilnya? Luar biasa! Tepuk tangan terus menerus terdengar. Pujian demi pujian kita terima. Seluruh tim sangat bersukacita. Doa penutup dilakukan dengan bergandengan tangan, dan hati kita terharu penuh syukur kepada Tuhan! Malam itu luar biasa! Semua jerih lelah terbayar! Tuhan memberkati pelayanan kita!

Sounds familiar?

Pengalaman serupa-walau-tak-sama dengan itu dialami oleh banyak orang yang melayani dalam berbagai bidang. Baik oleh mereka yang melayani dalam bidang musik, perlengkapan, drama, panitia, bahkan oleh pengkhotbah! 

Satu sisi, tidak ada yang salah dengan pengalaman itu. Betul tuhan memberkati dan betul kita yang sudah menabur dengan air mata boleh menuai dengan sorak sorai. Tidak ada yang salah! Tetapi di sisi lain, sama seperti semua hal yang baik, selalu ada celah untuk dipelintir menjadi hal yang buruk.

Saya menyebutnya efek ekstasi-kesuksesan dalam pelayanan. Perasaan melambung karena kesuksesan itu membuat kita melihat dan memandang diri lebih dari yang sebenarnya. Kita tidak lagi melihat diri kita sebagaimana adanya - lemah dan berdosa - tetapi yang terbayang hanya penggalan kalimat-kalimat pujian, wajah-wajah kagum, tepuk tangan dan perasaan super ala selebriti! Rasanya kita diurapi oleh Tuhan, dipakai dengan luar biasa, menjadi berkat besar! Wow!

Semakin lama kita mengecap memori dan imajinasi kesuksesan itu semakin berbahaya karena perlahan-lahan:

1. Kita merasa lebih dari orang lain
Kita mulai merasa bahwa kita istimewa, bertalenta, dan dipakai oleh Tuhan. Ketika pelayanan kita tidak begitu dianggap oleh orang lain maka pasti orang itu yang salah! Dia sirik, tidak mendukung, bodoh, dsb! Ketika apa yang kita lakukan dihalangi, kita marah karena menghalangi kita “yang diurapi” ini berarti menghalangi Tuhan! Kalau pelayanan kita di dalam tim, maka kita mulai merasa tim kita super. Kita bangga berada di dalam tim itu yang jauh lebih baik dari tim yang lain. Maka saya atau tim saya lebih dari orang atau tim lain. Barangsiapa mengganggu kami, menghalangi kami, tidak mendukung kami, dia sungguh-amat-sangat-super-keterlaluan!

2. Kita tidak lagi memuliakan Tuhan
Sebelum pelayanan kita berdoa dengan sungguh memohon pertolongan Tuhan, tapi begitu selesai pelayanan dan menerima pujian, ekstasi itu mulai bekerja me-ninabobo-kan kita. Kita menikmati semua pujian itu dan Tuhan disingkirkan. Kita bahkan ingin mengulang lagi pelayanan yang seperti itu, bukan karena ingin melayani tapi karena kita kecanduan ekstasi-kesuksesan.

Masih layakkah kita menyebut diri kita “pelayan”? Artinya kita ini berada di tempat yang rendah, tidak apa ditolak, dicaci, apalagi sekedar tidak dianggap. Bukan dengan pikiran “biarin gua sekarang diginiin, nanti gua buktiin”, tapi dengan pikiran seperti Kristus yang memang datang untuk melayani dan bukan dilayani. Masih layakkah kita sebut apa yang kita kerjakan itu “pelayanan”? Artinya menjalankan yang Tuhan mau, karena Tuhan dan untuk Tuhan. Bukan dengan pikiran “ya kerja begini nggak dibayar kan namanya pelayanan”, tapi dengan pikiran penuh takut dan gentar dipakai oleh Tuhan.

Seringkali memang tidak jelas lagi kita hamba atau tuan!? Betapa pentingnya kita melawan efek "ekstasi-kesuksesan” itu setelah pelayanan yang sukses dengan memeriksa diri. Kita perlu bertanya lagi “siapa saya? apa yang saya rasakan? apa yang saya ingini?” Kemudian berdoa, memohon ampun, dan kembali merendahkan diri di hadapan Tuhan.

Thursday, November 21, 2013

Biblika: Majoring in “not-so-minor”

Ketika akan berangkat studi tahun 2009, tidak terlalu sulit untuk memutuskan bahwa saya ingin menekuni studi biblika – Perjanjian Baru. Alasannya waktu itu sederhana. Saya sedang tertarik dengan spiritualitas dan karena di TTC tidak ada jurusan spiritualitas maka saya harus memilih apakah mendalami Perjanjian Baru atau bidang Teologi. Saya memilih Perjanjian Baru. Salah satu alasannya adalah saya tidak merasa tertarik “mengutak-atik” teologi, pemikiran para teolog, filsafat di baliknya, dst. Sementara, saya selalu tertarik “mengutak-atik” Alkitab.

Di awal studi dalam program M.Th, saya makin menyadari perbedaan studi Biblika dan Teologi. Studi biblika memang berarti “mengutak-atik” Alkitab. Itu berarti saya berhadapan dengan data berupa tulisan kuno yang disebut Alkitab dan berbagai tulisan kuno lain di sekitarnya. Saya harus mempelajari retorikanya, budayanya, bahasanya, dst, untuk bisa merekonstruksi ulang situasi dan maksud dari tulisan itu. Pusing? Saya sangat pusing!

Waktu pusing itulah, saya mulai “iri” dengan teman-teman di bidang Teologi. Mereka mendalami tema-tema besar yang berkaitan langsung dengan berbagai pertanyaan orang Kristen. Mereka makin mampu berdialog dalam banyak isu. Buku-buku yang dibaca pun topiknya luas, menarik, dan intelektual (menurut saya). Sementara saya “hanya” mendalami hal-hal yang “kecil-kecil”.

Misalnya saja ketika bicara tentang hidup Kristen dan dosa, orang Teologi mungkin akan bicara tentang konsep evil, pemikiran para teolog tentang spiritual warfare, bagaimana dosa bekerja dalam hubungan dengan ordo salutis, dll. Sementara orang Biblika cenderung akan bicara tentang apa data yang diberikan Alkitab – khususnya kitab tertentu – mengenai hidup Kristen, apa yang dikatakan Petrus atau Paulus atau Yohanes tentang dosa, dan apa situasi di balik semua argumen mereka?

Studi Biblika adalah tentang data: apa yang ada di dalam Alkitab. Data itu dicari, dikeluarkan, direkonstruksi. Studi Teologi adalah merangkum data yang ditemukan oleh studi Biblika menjadi tema-tema besar. Orang Biblika akan bertanya apa yang dikatakan Paulus dalam surat Korintus tentang Allah? Apa yang dikatakan oleh Injil Yohanes tentang Allah? Orang Teologi akan bertanya siapa Allah? Bagaimana menjelaskan tentang Allah kepada orang zaman ini? Kira-kira, kasarnya, begitu lah. Mudah-mudahan contoh di atas cukup memberi gambaran.

Maka tidak salah juga kalau ada orang yang mengejek bahwa studi Biblika adalah majoring in minor. Studi kami adalah pada yang kecil-kecil. Dan harus diakui kadang sangaaattt kecil sampai seperti tidak ada artinya.

Tetapi sekian tahun sekarang saya mendalami studi Biblika, saya makin melihat keindahannya. Berkali-kali saya mengerutkan dahi mendengar kalimat-kalimat orang Teologi yang menurut saya salah mengerti data Alkitab. Berkali-kali saya harus tidak setuju, dan agak sebal, membaca buku-buku spiritualitas karena menurut saya salah menggunakan data Alkitab. Seringkali akibatnya sama sekali tidak sederhana!

Seharusnya studi teologi terintegrasi. Orang Biblika harusnya merangkum data penemuannya dan mulai membangunnya menjadi Teologi. Itu berarti perlu waktu untuk mengerti pertanyaan orang zaman ini dan refleksi (day dreaming, if you like) bagaimana menjawabnya. Orang Teologi harusnya memakai penemuan orang Biblika sebelum memulai refleksi teologis mereka. Tapi kenyataannya karena bidang masing-masing sudah sangaaaattt besar dan rumit, maka orang Biblika sering berhenti di data sementara orang Teologi agak “asal-asalan” memakai data Alkitab dan cepat-cepat lompat berpikir secara teologis. Saya kira ini harus menjadi “alarm” bagi kita semua yang belajar teologi.

Saya tidak mengklaim tahu segalanya tentang Alkitab! Siapa lah saya!?? Saya baru belajar sepotong kecil saja dari Alkitab. Tapi saya makin sensitif dengan cara orang merangkum data Alkitab, khususnya bagian yang pernah saya pelajari dengan mendetil. Makin lama… saya makin mengerti bahwa studi Biblika ternyata not-so-minor!

Sunday, November 17, 2013

Tuhan Akan Memelihara Gereja-Nya

Beberapa waktu lalu sekolah minggu GKY Jemaat Green Ville mengadakan lomba menceritakan kisah Alkitab yang diikuti oleh anak kelas 1-6. Ada seorang peserta yang sangat baik tapi harus di-diskualifikasi karena belum cukup umur - masih TK. Tapi panitia kemudian mengapresiasi dia sebagai peserta termuda dan berbakat.

Dalam kebaktian pertama di GKY Jemaat Green Ville minggu lalu, para pemenang lomba itu dipanggil maju ke depan dan diberikan apresiasi. Anak yang masih TK yang di-diskualifikasi itu diminta menyampaikan cerita "Daniel di gua singa" yang dia bawakan waktu lomba. Saya terkejut! Sepanjang dia bercerita, saya terkagum-kagum. Dia bercerita tanpa teks dan sangaaaatttt bagus! Bukan hanya kagum, tapi berkali-kali jemaat juga dibuat tertawa dengan kreativitasnya dalam bercerita. Tanpa disadari, saya menangis... saya terharu. Otak saya langsung berputar mempertanyakan diri sendiri, mengapa saya begitu terharu?

Saya teringat bahwa beberapa waktu ini saya merasa khawatir dengan kondisi gereja Injili di Indonesia. Saya melihat bahwa tidak banyak orang yang mau menjadi hamba Tuhan. Dari jumlah yang sedikit itu, lebih sedikit lagi yang punya kemampuan intelektual yang tinggi, berbakat, berdedikasi untuk belajar dan mengajar Firman Tuhan. Makin banyak orang pintar tapi makin sedikit yang mau menjadi hamba Tuhan. Bagaimana masa depan gereja? Situasi dalam gereja juga seringkali begitu tidak mendukung seorang hamba Tuhan untuk terus mengutamakan belajar dan mengajar Firman Tuhan. Kesibukan membunuh kerinduan untuk belajar. Segelintir hamba Tuhan yang punya kemampuan intelektual tinggi pergi untuk studi lanjut, sebagian menjadi 'ngaco', sebagian tidak mau kembali ke Indonesia, maka hanya super segelintir yang sisa. Saya sangat khawatir.

Sekarang di depan saya ada sekelompok anak-anak sekolah minggu yang pandai dan bebakat menceritakan kisah Alkitab. Ditambah melihat anak TK bercerita seperti itu - dengan kemampuan, kreatifitas, dan daya hafal yang bahkan tidak saya miliki, saya terharu.

Saya tahu belum tentu anak-anak itu akan menjadi hamba Tuhan. Tetapi di momen itu, Tuhan seperti menunjukkan kepada saya bahwa Dia pegang kendali gereja-Nya. Dia memelihara dan akan terus memelihara gereja-Nya dengan cara-Nya sendiri. Saya bersyukur untuk anak-anak sekolah minggu itu.

Wednesday, November 13, 2013

My Dissertation Writing - 2

Minggu lalu adalah kebaktian penutupan semester di TTC. Saya jarang menghadiri chapel service di TTC karena selain beban studi saya punya cukup banyak komitmen lain. Tapi kali ini adalah kebaktian penutupan. Saya ingin menghadirinya sekedar penanda bahwa satu semester sudah berlalu.

Pagi itu sempat muncul keraguan untuk hadir karena siangnya saya akan kembali ke Indonesia sementara masih ada khotbah yang harus dipersiapkan! Akhirnya saya tetap hadir. Dan saya bersyukur. Kebaktian itu sungguh menjadi penanda bagi saya, satu semester Tuhan sudah memimpin, satu semester sudah saya hidup di tengah komunitas kecil bernama TTC.

Minggu sebelumnya saya menyerahkan proposal disertasi kepada supervisor saya. Sebetulnya bagi saya proposal itu belum baik karena masih banyak ketidakjelasan. Tapi saya sudah mentok. Apalagi bagian outline, saya tidak tahu harus menulis apa. Tapi waktu sudah sangat mepet... hanya satu minggu sebelum semester berakhir. Kalau saya tidak menyerahkannya maka pasti akan mundur ke Januari. Akhirnya saya selesaikan bagian outline dengan asal-asalan. Saya serahkan proposal itu disertai email 'permohonan'. Kira-kira isinya memohon maaf karena sangat terlambat, tapi kalau boleh saya minta waktu ketemu sebelum libur, tapi kalau tidak bisa saya mengerti bla..bla..bla... Keesokan harinya saya terkejut karena menerima email dari dia mengundang saya untuk bertemu 1 hari sebelum penutupan semester.

Hati saya separuh kebat-kebit separuh "que sera sera" ketika bertemu dengan dia. Ternyata proposal saya disetujui! Tapi sesuai dugaan, outline saya harus direvisi (ya iya lah...). Saya sudah bisa mulai menulis disertasi saya. Dia hanya minta saya mengirim email mengenai outline yang direvisi.

Semangat belajar saya sedang tinggi. Saya makin mencintai topik yang akan saya tulis ini. Bagi yang pernah tahu, waktu itu saya bercerita bahwa topik saya adalah "Flesh/Spirit Antithesis in Paul". Setelah bergumul lagi, saya memperbaikinya menjadi "Pauline Ethics of Spirit in the Letter to the Galatians". Rasanya masih perlu diperhalus, tapi biarlah nanti saja.. hanya masalah supaya lebih keren.

So here I am, celebrating what God has given and how He has led me thus far. Thanks be to God!

Monday, October 21, 2013

Hidup oleh Roh, Dipimpin oleh Roh, Menabur dalam Roh

Saya sering berpikir mengapa bertumbuh itu sangat sulit? Mengapa hidup kudus itu sangat sulit? Mengapa hidup sepenuhnya taat kepada Tuhan itu sangat sulit? Mengapa memikirkan yang benar, yang mulia, yang adil, yang suci, yang manis, yang sedap didengar, yang disebut kebajikan dan patut dipuji (Fil 4.8), dan tidak memikirkan yang sebaliknya, begitu sulit?

Saya sedang membaca surat Paulus kepada jemaat di Galatia dan saya terkagum-kagum dengan apa yang Paulus katakan:

- Tuhan Yesus Kristus telah menyerahkan diri-Nya karena dosa-dosa kita, untuk melepaskan kita dari dunia jahat yang sekarang ini (1.3-4)
- Kamu telah menerima Roh karena percaya kepada pemberitaan Injil (3.3)
- Kamu semua adalah anak-anak Allah karena iman di dalam Kristus Yesus (3.26)
- Kamu telah mengenakan Kristus (3.27)
- Kamu adalah milik Kristus dan berhak menerima janji Allah (3.29)
- Allah telah menyuruh Roh Anak-Nya ke dalam hati kita, yang berseru: “ya Abba, ya Bapa!” (4.6)
- Supaya kita sungguh-sungguh merdeka, Kristus telah memerdekakan kita (5.1)
- Barangsiapa menjadi milik Kristus Yesus, ia telah menyalibkan daging dengan segala hawa nafsu dan keinginannya (5.24)

Luar biasa anugrah yang Tuhan berikan!

Tetapi di surat yang sama itu, Paulus juga begitu lelah berhadapan dengan jemaat Galatia yang, seperti kita, sulit untuk bertumbuh, hidup kudus, dan sepenuhnya taat kepada Tuhan. Maka dengan penuh perasaan, Paulus berkata: “Hai anak-anakku, karena kamu aku menderita sakit bersalin lagi, sampai rupa Kristus menjadi nyata di dalam kamu” (4.12). Betapa inginnya Paulus melihat “anak-anaknya” lahir, muncul, nongol, dengan rupa Kristus!

Nasihat Paulus sederhana – tapi sulit – hanya dalam beberapa kalimat:

Hiduplah oleh Roh” (5.16) dan “Jikalau kita hidup oleh Roh, baiklah hidup kita juga dipimpin oleh Roh” (5.25). Maka terakhir “barangsiapa menabur dalam Roh, ia akan menuai hidup yang kekal dari Roh itu” (6.5).

Tuhan, apa artinya itu? begitu sulit kah rupa Kristus menjadi nyata di dalam kami? Berapa lama penantian itu? Bimbing kami ya Tuhan, ajar kami bagaimana hidup oleh Roh, dipimpin oleh Roh dan menabur dalam Roh! Tolonglah kami!

Saturday, October 19, 2013

12 Tahun dan Hanya 10 yang Lulus…?

Saya iseng-iseng melihat daftar disertasi yang ada di perpustakaan TTC. Dari sekian banyak disertasi, hanya ada sepuluh disertasi Doctor of Theology (D.Th) dari alumni TTC. Artinya baru sepuluh orang yang lulus program D.Th di TTC! Ada belasan disertasi lain yang juga dibimbing dan dibuat di TTC tapi bukan sebagai alumni TTC melainkan ATESEA Theological Union (dulu SEAGST). TTC memang bekerja sama dengan ATESEA dan merupakan salah satu tempat yang menyediakan bimbingan bagi mereka yang mengambil gelar Doctor of Theology (D.Theol) di ATESEA.

Program D.Th di TTC dimulai tahun 2001 – sudah dua belas tahun! Sampai sekarang ternyata baru meluluskan sepuluh orang. Setahu saya, ada banyak mahasiswa program D.Th yang mandeg di tengah jalan dan akhirnya tidak lulus. Selama disini sejak tahun 2009 saja, saya sudah melihat dua yang gagal dan dua yang mulai mandeg.

Beberapa fakta lagi:

- Dari sepuluh orang itu, yang pertama kali lulus ternyata adalah orang Indonesia (tahun 2006)!

- Dari sepuluh orang itu, empat di antaranya adalah orang Indonesia (artinya yang terbanyak), sisanya dari Singapore, Filipina, India, dan mungkin Korea (saya agak sulit menebak nama-namanya dari negara mana).

- Keempat orang Indonesia itu dinyatakan lulus disertasinya tahun 2006 (bidang Perjanjian Baru), 2010, 2012 dan 2013 (semuanya dalam bidang Teologi). Artinya belum ada yang dari bidang Perjanjian Lama?!

- Sekarang ini ada tiga orang Indonesia yang mengambil program D.Th di TTC, dan semuanya dalam bidang Perjanjian Baru!

- Sekarang ini, kalau saya tidak salah, ada tujuh mahasiswa program D.Th TTC yang masih belum lulus (selain itu ada empat mahasiswa program D.Theol ATESEA yang dibimbing di TTC). Tujuh orang itu berasal dari Indonesia, Korea, Malaysia, dan USA. Dari tujuh orang ini, ada dua yang sudah menunjukkan tanda mungkin akan ‘gugur’.

Terus terang… saya juga tidak yakin bisa sampai selesai. Only by God’s grace!

Sekian hasil ‘penelitian’ iseng-iseng sambil bengong :-)

Wednesday, October 09, 2013

Membaca Alkitab Bahasa Indonesia VS Bahasa Inggris

Ada banyak keuntungan membaca Alkitab dalam bahasa Inggris. Kita akan terbiasa dengan istilah grammar dalam bahasa Inggris yang jauh lebih kompleks dari bahasa Indonesia. Ketika terjemahan Alkitab bahasa Indonesia berbeda dengan bahasa Inggris, apalagi setelah dibandingkan dengan beberapa versi, kita bisa menebak bahwa ada masalah penterjemahan di situ (tidak tentu bahasa Indonesia yang salah!) dan itu memperluas wawasan kita.
dan struktur kalimat dalam bahasa Inggris yang nantinya juga mempermudah kita membaca buku teologi dalam bahasa Inggris. Kita juga seringkali akan tertolong untuk lebih tepat mengerti Firman Tuhan karena

Tetapi membaca Alkitab dalam bahasa Indonesia juga banyak keuntungannya. Alkitab bahasa Indonesia (di luar yang Bahasa Indonesia Sehari-hari) hanya ada satu versi. Dan inilah keuntungan kita (ok, saya tahu ada kerugiannya juga)! Kita semua membaca dan menghafal Alkitab yang sama persis kata-katanya. Dengan cepat kita bisa 'nyambung' begitu ada sepotong saja kalimat atau ayat dalam Alkitab disebutkan. Dan setiap kali ada kalimat atau ayat dibacakan ingatan kita akan kalimat atau ayat itu makin diperkuat.

Bandingkan misalnya dalam dunia bahasa Inggris yang memiliki banyak versi terjemahan Alkitab. Sebagai contoh, di bawah ini saya cantumkan Yohanes 3:16 dari dua terjemahan bahasa Inggris yang populer:

For God so loved the world, that he gave his only Son, that whoever believes in him should not perish but have eternal life. (ESV)
For this is the way God loved the world: He gave his one and only Son, so that everyone who believes in him will not perish but have eternal life.  (NET)

Bayangkan sulitnya menghafal! Dalam bahasa Indonesia, begitu ada yang mengatakan: "Karena begitu besar kasih Allah..." Kita sudah tahu itu pasti Yoh 3:16.

Dulu ketika membaca Alkitab secara berurutan dari Kejadian sampai Wahyu, saya selalu menggunakan Alkitab bahasa Indonesia (kecuali ketika Bible Study). Tapi sejak beberapa tahun lalu saya membacanya berganti-ganti, kadang bahasa Indonesia, kadang bahasa Inggris dan itupun dengan berbagai versi (NRSV, RSV, NIV, ESV, LEB, dll). Saya mulai sadar ada banyak ayat yang saya mulai lupa. Saya tahu ada ayat seperti itu, tapi kalimat persisnya bagaimana saya tidak tahu lagi. Bahkan saya menemukan bahwa saya juga mulai lupa posisi ayat A atau B ada dimana di Alkitab.

Mungkin ini karena saya membaca Alkitab bahasa Inggris dalam berbagai versi sehingga sulit untuk menghafal. Tapi saya pikir kalaupun saya setia membaca satu versi saja, rasanya tetap efeknya terhadap daya hafal saya tidak akan sebaik kalau saya membaca Alkitab dalam bahasa Indonesia. Bagaimanapun bahasa Indonesia saya jaauhhhh… lebih baik dari bahasa Inggris saya. Tentu beda bagi mereka yang mimpi pun sudah pakai bahasa Inggris :-)

Sekarang saya sedang membaca Alkitab berurutan lagi dari Kejadian dan sudah hampir menyelesaikan Yeremia. Saya membacanya dengan menggunakan versi LEB (Lexham English Bible) dan ESV. Tapi setelah Yeremia selesai, saya pikir sebaiknya saya menggunakan bahasa Indonesia saja untuk membaca Ratapan sampai Wahyu. Nanti ketika mulai mengulang lagi membaca Alkitab, baru saya akan coba menggunakan bahasa Inggris lagi, tapi satu versi saja.

How about you? Ada pengalaman lain?





Tuesday, October 08, 2013

Michael Bird: Books to Read Before You Start Seminary/Divinity College

Saya menemukan tulisan di bawah ini dalam blog Michael Bird dan Joel Willits di sini. Artikel ini ditulis oleh Michael Bird tgl. 4 September 2012 dan sampai sekarang menjadi one of the most popular posts di blog itu.

Saya bisa menebak maksud Bird ketika menuliskan daftar buku di bawah ini: No.1 – mempersiapkan mahasiswa untuk memulai studi teologi yang menantang, mengasyikkan, sekaligus bisa melemahkan. No. 2 – bagaimana menafsirkan Alkitab. No. 3 – misi dari sudut pandang biblical theology. No. 4 – Injil dan Yesus sejarah. No. 5 – pengenalan dasar semua kitab dalam Alkitab. No. 6 – sejarah kekristenan. No. 7 – sejarah perkembangan doktrin kekristenan. No. 8 – ringkasan doktrin dasar. No. 9 -  mengenai pelayanan, kepemimpinan, dst. Lengkap!!

Andai saja dulu saya tahu ini… :-) Bagi yang ingin mempersiapkan diri masuk ke sekolah teologi, silakan mulai membaca. Atau bagi yang ingin sekedar belajar dari dasar, buku-buku ini akan sangat berguna. Di bawah ini adalah tulisannya:

I wish students were a bit more literate before they started theological education. So my top books – mostly short books designed for lay folks – to read before starting seminary or divinity college are:

Andrew Cameron and Brian S. Rosner (eds.), The Trials of Theology: Becoming a “Proven Worker” in a Dangerous Business (Fearn, Ross Shire: Christian Focus, 2010).

Gordon D. Fee and Douglas K. Stuart, How To Read the Bible For All Its Worth (Grand Rapids, MI: Zondervan, 2003).

Christopher Wright, The Mission of God: Unlocking the Bible’s Grand Narrative (Downers Grove, IL: IVP, 2006).

N.T. Wright, The Challenge of Jesus (London: SPCK, 2000).

Philip S. Johnston (ed.), The IVP Introduction to the Bible (Downers Grove, IL: IVP, 2006).

Mark A. Noll, Turning Points: Decisive Moments in the History of Christianity (Grand Rapids, MI: Baker, 1997).

Tony Lone, The Lion Concise Book of Christian Thought (Oxford: Lion, 1996).

J.I. Packer, Concise Theology: A Guide to Historic Christian Beliefs (Wheaton, IL: Tyndale House, 1993).

John Stott, Basic Christian Leadership: Biblical Models of Church, Gospel, and Ministry (Downers Grove, IL: IVP, 2002).

That is nine books, what should number ten be?

Friday, October 04, 2013

Studi – Baru Dua Minggu!

Saya tidak salah hitung.

Benar bahwa sudah tiga bulan studi saya berjalan. Tapi sesungguhnya, bukan tiga bulan tapi baru dua minggu! Bukan berarti selama dua setengah bulan lalu saya bermalas-malasan dan baru mulai rajin dua minggu terakhir! Tapi menurut saya, dua setengah bulan pertama saya habiskan untuk apa yang seharusnya saya kerjakan sebelum saya memulai studi.

Selama dua setengah bulan itu, saya membaca banyak disertasi, buku, artikel, hanya untuk mencari topik dan mempersempit topik. Seharusnya itu semua saya lakukan sebelum saya memulai studi. TTC memang longgar dalam hal ini. Ketika diterima, saya hanya perlu menyerahkan deskripsi topik disertasi yang ingin saya lakukan, hanya 500 kata saja. Selama enam bulan di Jakarta pun saya tidak sempat melakukan riset.

Dua minggu lalu saya bertemu lagi dengan pembimbing saya, topik sudah jelas, arah mulai jelas, dan sekarang saya dalam proses penulisan proposal. Maka dua minggu ini saya mulai riset dengan lebih terarah.

Kalau menoleh ke belakang saya jadi merasa agak lelah. Sudah tiga bulan, tapi sebetulnya baru dua minggu! Bahkan jangan-jangan yang sekarang saya lakukan pun harusnya sudah saya lakukan dulu sebelumnya. Kalau begitu… mungkin dua minggu pun belum… mungkin… masih minus dua minggu :-)

Thursday, October 03, 2013

Specialist or Generalist?

Dulu orang belajar teologi sebagai kesatuan, belajar Alkitab dengan bahasa asli, belajar teologi, filsafat, dan penerapannya dalam kehidupan dan pelayanan. Komplit! Tentu bukan berarti setiap orang sama ahlinya dalam setiap hal. Masing-masing pasti punya keahlian sendiri. Tetapi kaitan antara bidang-bidang dalam teologi itu masih sangat besar.

Sekarang ini, bidang-bidang di dalam teologi sudah berkembang begitu rupa sehingga akhirnya setiap orang benar-benar harus memilih konsentrasinya (itupun sebetulnya masih dibagi lagi menjadi konsentrasi yang lebih kecil-kecil). Dia bisa menghabiskan puluhan tahun hanya untuk belajar bidangnya sendiri, dan itu pun tidak selesai. Bidang-bidang dalam teologi menjadi sangat terpisah sehingga seorang yang ahli dalam bidang yang satu bisa tidak mengerti (atau hanya mengerti sedikit sekali) bidang yang lain. Masing-masing specialist dalam bidangnya.

Salah satu privilege sebagai doctoral student di TTC adalah diundang untuk mengikuti Faculty Colloquium. Para dosen TTC secara bergiliran (atau kadang profesor tamu yang sedang diundang) akan mempresentasikan sebuah paper. Semua yang hadir diharapkan sudah membaca paper tersebut, maka presenter hanya akan menjelaskan ringkasan paper-nya, lalu salah satu dosen lain akan memberikan tanggapan yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Baru kemudian sesi tanya jawab bebas.

Saya sudah dua kali mengikuti Faculty Colloquium tersebut dan selalu tertarik dengan paper yang disampaikan. Tapi yang juga menarik bagi saya adalah ketika memperhatikan sesi tanya jawab.

Para dosen TTC adalah para teolog dari berbagai bidang yang berbeda – teologi sistematika, liturgika, etika, dan biblika (PL dan PB). Bisa ditebak apa yang terjadi? Kadang pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh mereka membuat saya terkejut, karena apa yang diasumsikan biasa dalam sebuah bidang bisa menjadi sesuatu yang “aneh” bagi bidang lain. Mereka ahli dalam bidangnya tapi bisa sedikit sekali mengerti bidang lain.

Studi dalam program D.Th in New Testament berarti saya sedang studi menjadi specialist dalam Perjanjian Baru – bahkan lebih tepatnya hanya dalam tulisan Paulus – lebih tepatnya lagi surat Galatia. Bayangkan betapa kecilnya yang saya pelajari! Persis seperti dalam kedokteran, pertama menjadi dokter umum – artinya belajar semuanya secara umum. Lalu menjadi specialist, misalnya bagian penyakit dalam. Kalau mau diteruskan, dia akan menjadi sub-specialist, misalnya hanya ginjal saja (maaf kalau saya salah).

Saya berharap melalui studi ini saya bisa mendalami satu bidang ini semampu saya. Tapi saya tidak ingin berhenti disitu dan menjadi specialist.

Saya tidak ingin menjadi scholar, yang artinya harus sangat specialist dan terus-terusan berkutat di bidang itu dan menjadi ahli di situ. Saya adalah pastor, dan menjadi pastor haruslah generalist. Seorang pastor harus tahu banyak hal. Dia harus mengerti soal ibadah, konseling, manajemen gereja, pastoral, pemuridan, teologi, homiletik, dll.. dll.. dan terutama dia harus belajar Alkitab – Perjanjian Lama, Perjanjian Baru. Maka setelah studi ini selesai, saya ingin kembali menjadi generalist, walaupun mudah-mudahan, dengan pola pikir specialist.

Tuesday, September 10, 2013

Saat Teduh dan Batu

Saya suka bersaat teduh di tempat yang teduh dalam suasana yang teduh apalagi dengan udara yang teduh, eh.. sejuk. Maka tiap kali pindah rumah, saya mencoba menemukan tempat seperti itu.

Saya ingat waktu tinggal di Jakarta, tempat favorit saya adalah di teras lantai dua di pagi hari. Sangat tenang dan di daerah itu masih ada suara burung berkicau dan udara pun masih sejuk. Waktu pindah ke rumah pertama di Singapore, tempat favorit saya adalah di pinggir kolam renang di pagi hari. Di dua rumah berikutnya, saya suka bersaat teduh di taman tetapi kurang ideal karena sering berisik, banyak serangga atau tempat duduknya basah karena embun. Sekarang ini di TTC, saya menemukan tempat favorit lagi yaitu di prayer garden.


Tidak banyak yang memanfaatkan tempat ini di pagi hari - tenang sekali. Satu- satunya gangguan adalah kalau tiba-tiba ada bunyi mesin entah dari mana - mungkin karena pembangunan MRT di depan TTC. Maka tempat itulah - di kursi itu - saya menikmati saat teduh saya.

Biasanya selesai bersaat teduh, saya berjalan memutari taman itu sekali (jangan bayangkan tamannya besar, kecil sekali kok!) sebelum kemudian pulang. Suatu kali ketika saya berjalan setapak demi setapak di atas batu-batu itu, tiba-tiba ada sesuatu yang muncul di dalam pikiran saya. Saya terdiam...


Batu- batu yang membentuk jalan setapak  itu tidak beraturan posisinya. Ada kalanya saya hanya perlu sebuah langkah kecil untuk berpindah dari batu yang satu ke batu yang lain. Tapi ada kalanya saya perlu langkah yang lebih besar. Ada kalanya saya melangkah dengan lancar. Tapi ada kalanya saya kurang hati-hati dan tersandung batu-batu besar di antara batu- batu jalan setapak itu.
Tiba-tiba muncul di dalam pikiran saya, bukankah kehidupan juga seperti itu? Wow... Analogi itu tiba-tiba begitu kuat berbicara.

Saya pun meneruskan langkah dan kali ini sambil berjalan saya makin memperhatikan batu demi batu yang saya injak. Batu- batu itu tidak sama bentuknya, besarnya, maupun warnanya - bahkan juga tingkat kebersihannya (salah satunya ada yang kena cairan entah apa hiii..). Dan ternyata kadang saya bisa memilih batu mana yang ingin saya injak yang lebih kecil atau besar, warna apa, lebih kotor atau lebih bersih - dan kadang kelihatan kadang tidak kelihatan berapa kotornya!

Saya tidak bisa diam di atas satu batu, bagaimanapun saya harus membuat keputusan lalu melangkah, sekalipun ketika melangkah ada resiko tersandung. Selangkah demi selangkah... akhirnya saya tiba di ujung dan tibalah waktunya untuk pulang. No turning back. Apa yang di belakang sudah lewat, keputusan- keputusan, tersandung, kotor, rasa lelah, sukacita, kicauan burung yang menemani, semua selesai dan saya harus pulang.

Seperti itulah hidup bukan?

Betapa mengerikannya jika semua itu tanpa makna dan ketika selesai tidak ada apa-apa. Betapa sia-sia! Sebaliknya betapa menghiburkannya ketika kita menjalani langkah-langkah itu di dalam Tuhan - ada gagal, ada kotoran, ada tersandung, tapi anugrah Tuhan memampukan kita terus berjalan. Dan betapa indahnya ketika kita selesai kita menemukan Tuhan sudah menunggu di sana.

Thanks Lord for speaking to me through those stones!

Sunday, September 01, 2013

Shepherding vs Ranching

Beberapa tahun lalu ketika mendengar khotbah dari Dr. Simon Chan, ada satu gambaran yang sangat menarik dan saya ingat terus sampai sekarang. Dia mengatakan banyak hamba Tuhan yang salah mengerti tugasnya, “INSTEAD OF SHEPHERDING, THEY ARE RANCHING!”

Alkitab banyak memberi gambaran tentang SHEPHERDING. Seringkali Allah disebut sebagai SHEPHERD bagi kita, “Like a SHEPHERD Ia menggembalakan kawanan ternak-Nya dan menghimpunkannya dengan tangan-Nya; anak-anak domba dipangku-Nya, induk-induk domba dituntun-Nya dengan hati-hati (Yes 40:11). Ketika umat Allah kacau, dikatakan penyebabnya adalah “they had no SHEPHERD” (Yeh 34:5). Ketika Yesus sudah bangkit, Dia minta kepada Petrus: “SHEPHERD my sheep” (Yoh 21:16). Terlalu banyak kalimat seperti ini muncul di dalam Alkitab. Gambarannya adalah sebuah hubungan yang sangat dekat: Gembala dan domba. Ada relasi, perawatan, pelatihan, dan semua serba personal.

Kalau SHEPHERDING seperti peternakan kecil dimana semua dikenal dengan nama, sifat, dan keadaannya, maka RANCHING seperti peternakan besar! Semua ada sistemnya, ada hitungannya, semua dikenal bukan dengan nama tapi dengan kategori, grafik, jumlah. Segala sesuatu diatur serba praktis dan efisien. Maka yang terjadi bukan lagi SHEPHERDING yang personal, tetapi RANCHING yang impersonal. 

Saya merenungi gambaran ini. Bagaimana setiap kita kembali menjalankan panggilan dan tugas kita: SHEPHERDING!?

Wednesday, August 28, 2013

Refleksi Dari Surat Pliny ‘the Younger’

Kuliah NT Exegesis beberapa hari lalu mengingatkan saya akan sebuah surat yang dulu pernah saya baca. Surat itu ditulis oleh Pliny ‘the Younger’ untuk kaisar Romawi, Trajan. Pliny ‘the Younger’ (disebut begitu karena dia dibesarkan oleh pamannya yang juga bernama Pliny – Pliny ‘the Elder’) adalah seorang gubernur Romawi di bawah pemerintahan kaisar Trajan (memerintah tahun 98-117M). Suratnya memberikan banyak petunjuk tentang keadaan orang Kristen di awal abad ke-2. Berikut adalah suratnya (warna biru) dan beberapa hal yang penting saya beri komentar di bawahnya (warna hitam):

1. It is my rule, Sir, to refer you in matters where I am uncertain. For who can better direct my hesitation or instruct my ignorance? I was never present at any trial of Christians; therefore I do not know what are the customary penalties or investigations, and what limits are observed.

2. I have hesitated a great deal on the question whether there should be any distinction of ages; whether the weak should have the same treatment as the more robust; whether those who recant should be pardoned, or whether a man who has ever been a Christian should gain nothing by ceasing to be such; whether the name itself, even if innocent of crime, should be punished, or only the crimes attaching to that name. Meanwhile, this is the course that I have adopted in the case of those brought before me as Christians.

Kebingungan Pliny menunjukkan bahwa belum ada hukum Romawi yang melegalisasi penganiayaan pada orang Kristen tetapi penganiayaan sudah dilakukan oleh pemerintah Romawi. Pertanyaan Pliny menarik: Apakah orang Kristen harus dihukum hanya karena nama itu sendiri sekalipun tidak melakukan kejahatan, atau karena melakukan kejahatan dalam kaitan dengan nama itu. Maksudnya nama “Kristen”? Atau nama “Yesus”? Betapa mengerikannya ketika orang Kristen bisa dihukum hanya karena “nama” itu tanpa melakukan kejahatan!

3. I ask them if they are Christians. If they admit it I repeat the question a second and a third time, threatening capital punishment; if they persist I sentence them to death. For I do not doubt that, whatever kind of crime it may be to which they have confessed, their pertinacity and inflexible obstinacy should certainly be punished.

Yang Pliny lakukan adalah bertanya apakah ia orang Kristen, kalau jawabanya “ya”, maka dia akan tanya lagi sampai tiga kali dengan ancaman hukuman mati. Kalau tetap bilang “ya” maka dihukum mati. Alasannya? Apapun kejahatannya, bagi Pliny, orang yang ngotot seperti itu di hadapan hukuman mati pastilah harus dihukum! Hmm…

4. There were others who displayed a like madness and whom I reserved to be sent to Rome, since they were Roman citizens. Thereupon the usual result followed; the very fact of my dealing with the question led to a wider spread of the charge, and a great variety of cases were brought before me.

5. An anonymous pamphlet was issued, containing many names. All who denied that they were or had been Christians I considered should be discharged, because they called upon the gods at my dictation and did reverence, with incense and wine, to your image which I had ordered to be brought forward for this purpose, together with the statues of the deities; and especially because they cursed Christ, a thing which, it is said, genuine Christians cannot be induced to do.

6. Others named by the informer first said that they were Christians and then denied it; declaring that they had been but were so no longer, some having recanted three years or more before and one or two as long ago as twenty years. They all worshipped your image and the statues of the gods and cursed Christ.

Tindakan Pliny menghukum orang Kristen ternyata berdampak luas. Ada banyak orang yang berpikir “oh kalau Kristen itu dihukum,… aku fitnah saja musuh-musuhku sebagai orang Kristen.”  Itu sebabnya banyak beredar “anonymous pamphlet” yang berisi banyak nama orang Kristen. Pliny kebingungan! Akhirnya dia panggil semua, kalau mereka mengatakan bukan orang Kristen, dia akan minta mereka menyebut nama dewa dan mempersembahkan kemenyan dan anggur kepada patung kaisar dan dewa. Lebih menarik lagi, dia akan minta mereka mengutuki Kristus. Karena apa? Bagi Pliny, orang Kristen masih mungkin pura-pura menyebut dewa dan memberikan persembahan kepada dewa tapi satu hal ini tidak mungkin orang Kristen mau lakukan: mengutuki Kristus. Ini sikap orang Kristen dari zaman awal sekali!

7. But they declared that the sum of their guilt or error had amounted only to this, that on an appointed day they had been accustomed to meet before daybreak, and to recite a hymn antiphonally to Christ, as to a god, and to bind themselves by an oath, not for the commission of any crime but to abstain from theft, robbery, adultery and breach of faith, and not to deny a deposit when it was claimed. After the conclusion of this ceremony it was their custom to depart and meet again to take food; but it was ordinary and harmless food, and they had ceased this practice after my edict in which, in accordance with your orders, I had forbidden secret societies.

Paragraf ini memberi petunjuk penting tentang ibadah orang Kristen: Mereka biasa berkumpul di hari tertentu (Minggu?) sebelum fajar (Sunrise service!). Dan mereka menyanyi bersahut-sahutan untuk Kristus, “as to a god” (ini penting, karena mendukung early high Christology). Dan mereka mengikat diri dengan sumpah bukan untuk melakukan kejahatan, tetapi untuk tidak mencuri, merampok, berzinah, menyalahi iman, dan curang dalam bisnis. Lalu setelah pertemuan selesai, mereka berpisah dan –menarik sekali- bertemu kembali untuk makan! Pisah lalu balik lagi untuk makan! (Mau coba?). Dan makanannya adalah makanan biasa, tidak berbahaya (maksudnya orang Kristen bukan kanibal seperti yang dituduhkan oleh sebagian orang).

8. I thought it all the more necessary, therefore, to find out what truth there was in this by applying torture to two maidservants, who were called deaconesses. But I found nothing but a depraved and extravagant superstition, and I therefore postponed my examination and had recourse to you for consultation.

Pliny menangkap dua orang wanita dan menyiksa mereka untuk mengetahui lebih jauh tentang kekristenan. Menariknya, dua orang wanita itu disebut diaken!

9. The matter seemed to me to justify my consulting you, especially on account of the number of those imperilled; for many persons of all ages and classes and of both sexes are being put in peril by accusation, and this will go on. The contagion of this superstition has spread not only to the cities, but in the villages and rural districts as well; yet it seems capable of being checked and set right.

10. There is no shadow of doubt that the temples, which have been almost deserted, are beginning to be frequented once more, that the sacred rites which have been long neglected are being renewed, and that sacrificial victims are for sale everywhere, whereas, till recently, a buyer was rarely to be found. From this it is easy to imagine what a host of men could be set right, were they given a chance of recantation.

Kekristenan sudah begitu menyebar, orang segala usia, kelas sosial, pria dan wanita, di kota dan juga desa. Perhatikan: Dimana-mana banyak orang yang “binasa” karena tuduhan itu. Artinya karena tuduhan maka banyak orang Kristen ditangkap, dan ketika diinterogasi mereka ngotot mengaku orang Kristen sampai akhirnya dihukum mati.

Begitu besarnya pengaruh kekristenan sampai Pliny mengatakan kuil-kuil yang tadinya hampir ditinggalkan sekarang mulai didatangi kembali. Upacara penyembahan tadinya sudah lama diabaikan sekarang diperbarui lagi. Hewan korban tadinya tidak ada yang membeli sekarang mulai laku lagi. Mungkinkah artinya begitu banyak orang yang menjadi Kristen sehingga semua kuil, upacara, dan bisnis hewan korban, menjadi sepi? Dan sekarang karena penganiayaan banyak yang murtad dan kembali lagi menyembah dewa?

Saya terpesona dengan berbagai petunjuk tentang kehidupan dan situasi kekristenan di awal abad kedua ini. Ketakutan, penderitaan, ancaman, kematian, persaudaraan, iman, kesetiaan, pasti campur aduk disana!

Satu refleksi menarik dari dosen saya: Ketika gereja hari ini masuk ke suatu daerah yang mayoritas bukan Kristen, siap-siap untuk memikirkan implikasi ekonomi dari penginjilan. Di situ pasti banyak orang yang bisnisnya terkait dengan agama (menjual alat sembahyang atau hewan korban atau yang lainnya). Kalau banyak penduduk di situ yang bertobat, mereka akan kehilangan mata pencaharian. Atau kalau mereka sendiri yang bertobat, mereka sekarang harus jualan apa? Sekian puluh tahun mereka bisnis itu, lalu bagaimana mereka bisa hidup sekarang?

Pelayanan gereja selalu harus holistik dan tidak pernah habis-habis…

Wednesday, August 21, 2013

The Marks of a Spiritual Leader

Saya baru selesai membaca tulisan John Piper: The Marks of a Spiritual Leader. Mungkin tulisan ini lebih cocok disebut booklet daripada buku karena isinya hanya 43 halaman. Saya kira Piper memang tidak bermaksud menulis buku yang berbobot dibarengi dengan riset yang memadai. Dia hanya menuliskan perenungannya, tentunya berdasarkan pengalaman dan pengamatan pribadinya, tentang kepemimpinan rohani. 

Apa yang dia tuliskan adalah sesuatu yang umum - seperti hal yang "semua-orang-sudah-tahu". Tetapi gaya tulisan Piper dan kaliber pelayanannya memberi bobot tersendiri pada nasehat-nasehatnya. 

Di bawah ini adalah sebagian dari nasehat Piper yang saya beri garis bawah: 

A spiritual leader must be a person who has strong confidence in the sovereign goodness of God to work everything together for his good. Otherwise, he will inevitably fall into the trap of manipulating circumstances and exploiting people in order to secure for himself a happy future which he is not certain God will provide. 

The spiritual leader must be a person who meditates on the Scriptures and prays for spiritual illumination. Otherwise, his faith will grow weak and his love will languish, and no one will be moved to glorify God because of him. 

There will be no successful spiritual leadership without extended seasons of prayer and meditation on the Scriptures. Spiritual leaders ought to rise early in order to meet God before they meet anybody else. 

It is unthinkable that we should be content with things the way they are in a fallen world and an imperfect church. Therefore, God has been pleased to put a holy restlessness into some of his people, and those people will very likely be the leaders. 

Criticism is one of Satan’s favorite weapons to try to get effective Christian leaders to throw in the towel. 

Lazy people cannot be leaders...He loves to be productive. And he copes with the pressure and prevents it from becoming worrisome with promises like Matthew 11:27–28 and Philippians 4:7–8 and Isaiah 64:4. 

If we are to lead people to see and reflect God’s glory, we must think theologically about everything. 

O how we need people who will devote just five minutes a week to dream of what might possibly be. 

My dad once told me that the reason he thought many pastors fail to see revival in their churches is that they leave just before it is about to happen. The long haul is hard, but it pays. The big tree is felled by many, many little chops.

Monday, August 12, 2013

Masalah Sosial: Kelaparan

Banyak dari kita yang hidup berkecukupan secara materi dan bahan makanan. Jujur seringkali kita
mengambil dan menyimpan makanan secara berlebihan. Ujungnya adalah kita banyak membuang makanan yang tidak termakan. Lihat saja di restoran, berapa banyak makanan yang terbuang setiap harinya. Coba hitung berapa banyak sisa makanan yang kita buang setiap harinya baik dari piring kita maupun lemari kita. Sementara, sangat ironis, banyak orang yang kekurangan makanan dan kelaparan.

Situasi ini membuat “membuang makanan” seringkali dikaitkan dengan “masalah kelaparan”. Logikanya bukan saja kita harus bersyukur bahwa kita bisa makan padahal banyak orang yang kekurangan makanan, tapi juga karena kita membuang makanan MAKA ada orang lain yang jadi kekurangan makanan.

Saya setuju kita harus belajar tidak membuang-buang makanan. Saya setuju kita harus bersyukur bahwa kita bisa makan – dengan limpah. Tapi saya selalu merasa ada yang salah dengan cara kita berpikir dalam hal ini. Apakah dengan saya menghabiskan makanan di piring dan lemari saya maka itu akan menolong orang lain yang kelaparan? Atau dengan saya mengambil makanan tidak berlebihan maka itu akan membuat orang yang kelaparan mendapatkan makanan?

Point saya adalah betapa orang Kristen, termasuk saya, sangat dangkal memikirkan masalah ini.

Baru-baru ini saya mendengar sebuah khotbah di TTC tentang masalah kelaparan. Si pengkhotbah membandingkan betapa berlimpahnya kami yang di Singapore dibanding mereka yang kelaparan di negara lain. Karena seringkali mahasiswa yang single (yang berkeluarga masak sendiri) mengeluh dengan kualitas makanan di asrama, maka pengkhotbah itu menegur dengan berkata “kalian harus mengerti kami tidak bisa menyediakan makanan buffet dengan menu internasional, bukankah kita harus belajar bersyukur?”. Di akhir dari khotbahnya dia menampilkan sebuah video tentang orang-orang yang membeli makanan berlebih dan tidak menghabiskannya, lalu datanglah seorang bapa miskin yang mengambil sisa makanan itu lalu membawa pulang untuk keluarganya yang menyambutnya dengan gembira. Anak-anak yang kurang makan itu tertawa, gembira, bersyukur, untuk sisa bakmi, sisa ayam, dsb. Dan pertanyaan di video itu kira-kira begini: “Bagaimana mungkin tertawa mereka membuatku sedih?”

Saya sangat tersentuh dengan video itu. Tawa anak-anak itu membuat saya sedih. Tapi yang membuat saya tidak setuju adalah dia mengajak mahasiswa bersyukur bisa makan menu apapun yang disediakan sekolah. Padahal adalah tanggung jawab sekolah untuk memperbaiki itu. Tidak ada yang minta makanan buffet dengan menu internasional! Cukuplah dengan sedikit variasi menu. Tapi ok lah. Yang membuat saya lebih tidak setuju lagi karena dia menggunakan video itu untuk menyadarkan kita akan masalah kelaparan dannn…. mengajak kita tidak membuang makanan? Padahal logikanya –tanpa bermaksud kasar- anak-anak itu jadi bisa makan dan tertawa karena orang-orang membuang makanan bukan? Video itu sangat baik, tapi penggunaannya yang tidak tepat.
Seolah kita beranggapan kalau kita bersyukur untuk makanan kita, mencukupkan diri apa adanya, dan menghemat makanan maka entah dengan cara mukjizat apa, kita bisa menolong mereka yang kekurangan. Atau dengan kata lain, kalau kita tidak mengambil makanan secara berlebih, maka yang tidak kita ambil itu bisa sampai ke orang yang membutuhkan. Betulkah? Kita hanya berhenti di perasaan bersalah!

Udo Middelmann di dalam bukunya Christianity Versus Fatalistic Religions in the War Against Poverty mengajak kita berpikir lebih dalam. Pernahkah kita memikirkan masalah distribusi makanan? Kita tahu ada orang yang kelaparan di sana dan kita berlebihan secara materi dan bahan makanan di sini, seharusnya kita tidak berhenti dengan sekedar merasa bersalah karena makan kebanyakan, terlalu enak dan membuang sisa makanan. Kita harus memikirkan lebih jauh bagaimana mendistribusikan makanan kepada mereka yang memerlukannya. Distribusi!

Selangkah lebih jauh lagi adalah bagaimana orang yang kelaparan itu bukan hanya menerima pertolongan darurat – bahan makanan –, tetapi juga bisa hidup dengan tidak lagi dibantu. Distribusi makanan adalah pertolongan darurat, tapi perlu selangkah lebih jauh lagi. Ini bukan sekedar masalah “jangan kasih ikan tapi kasih pancingnya” tapi ini masalah membangkitkan keinginan untuk pergi memancing. Dan bagi Udo Middelmann, satu-satunya yang mengajarkan manusia pola pikir untuk berjuang dalam dunia ciptaan Tuhan yang sudah jatuh ke dalam dosa ini adalah Alkitab.

Alkitab mengajarkan kita untuk bekerja. Dunia memang “menghasilkan semak duri” sejak kejatuhan dalam dosa, tapi kita harus dan bisa berjuang. Alam tetap harus diusahakan. Dan Tuhan memberkati pekerjaan kita. Itu wawasan Kristen.

Saya berharap banyak orang Kristen, termasuk saya, bisa lebih sungguh lagi memikirkan masalah ini dan tidak hanya berhenti di perasaan bersalah.

Friday, August 02, 2013

My Dissertation Writing - 1

Sudah hampir satu bulan studi saya berjalan. Jujur saya kurang siap memulai studi D.Th. Biasanya dalam sistem UK (seperti di TTC), mahasiswa memulai program Ph.D/D.Th dengan proposal yang semi siap (tidak harus sepenuhnya siap). Ketika mendaftar di TTC memang saya harus menjelaskan topik disertasi saya – tetapi hanya secara ringkas dan berupa wilayah yang masih sangat luas. Tadinya saya pikir selama enam bulan di Jakarta, saya bisa melakukan penelitian lebih dalam tapi ternyata tidak bisa. Maka saya memulai program D.Th ini hanya dengan modal bayangan yang kabur, dan itu sebabnya selama satu bulan ini saya harus keleyengan nggak jelas.

Saya tertarik dengan masalah kehidupan Kristen, pertumbuhan rohani, pergumulan dengan dosa, dsb. Karena thesis M.Th saya berkaitan dengan Paulus dan saya yakin Paulus banyak berhadapan dengan jemaat yang bermasalah, maka saya ingin menulis tentang konsep Paulus tentang kehidupan Kristen. Tapi itu wilayah yang amat sangat astaga luasnya.

Saya tahu harus dipersempit, tapi masalahnya dipersempit kemana? Ada dua hal yang menjadi kunci pertimbangan: Pertama, disertasi artinya saya harus menulis sesuatu yang belum pernah ditulis orang (padahal tidak ada yang baru di bawah matahari). Paling tidak saya harus menulis sesuatu dengan cara yang belum pernah ditulis orang atau harus bisa menghasilkan kesimpulan yang berbeda. Kedua, saya harus suka sekali topik itu karena selama tiga tahun saya akan putar-putar, bolak-balik, memikirkan topik itu. Bisa dibayangkan blenek-nya kalau saya tidak menyukainya.

Akhirnya saya menemukannya! Mudah-mudahan tidak berubah banyak lagi. Saya akan menulis tentang Flesh-Spirit antithesis in Paul. Monograf/Disertasi terakhir yang saya temukan tentang ini ditulis tahun 1991 di Westminster Theological Seminary dan diterbitkan tahun 1997. Ada beberapa kesimpulan dia yang menurut saya tidak tepat (betapa senangnya menemukan kesalahan dia! hehe.. ). Mungkin ada disertasi lain yang ditulis setelah itu dan saya tidak tahu, tapi ternyata ini topik yang jarang disentuh dengan serius. Tahun 2007, sebuah disertasi lain di London School of Theology yang diterbitkan tahun 2010, masih menyebutkan bahwa ini adalah isu yang belum terjawab. Maka kelihatannya ini bisa saya kerjakan.

Masih belum jelas akan mengarah kemana, apakah saya akan fokus di surat Galatia atau surat lainnya, apakah saya akan fokus meneliti cara Paulus menggunakan antithesis ini atau memperluasnya dengan melihat implikasinya pada kehidupan Kristen, dsb.

Paling tidak, saya bersyukur dulu untuk ‘kemajuan’ kecil ini. Saya diberi waktu satu bulan lagi untuk merumuskan lebih detil topik ini dan berbagai isu di sekitarnya.

God help me.

Tuesday, June 11, 2013

Sickness and Spirituality

Blaise Pascal berdoa supaya Tuhan menggunakan dengan baik penyakitnya di tahun-tahun terakhir dan tergelap dalam hidupnya:

Lord, whose spirit is so good and so sweet in all things, and who are so merciful that not only the blessings but also the misfortunes that come upon your elect are the fruit of your mercy, grant me the grace not to question as a heathen might the state to which your justice has reduced me. You gave me health so that I might serve you, and I made a wholly profane use of it. Now you send me sickness in order to correct me; do not allow me to use this as an excuse to irritate you by my impatience. I have used my health badly, and you have justly disciplined me for it; do not allow that I use badly now your instructions. And since the corruption of my nature is so profound that it spoils even your favors, see to it, oh my God, that your all-powerful grace makes your chastisements salutary to me; and that, having lived undisturbed, in the bitterness of my sins, I taste the heavenly sweetness of your grace during the beneficial illnesses with which you have afflicted me.

Tuhan, yang Roh-Nya begitu baik dan manis dalam segala sesuatu, dan begitu murah hati sehingga bukan hanya berkat-berkat tetapi juga kemalangan-kemalangan yang dialami orang pilihan-Mu adalah buah dari kemurahan-Mu, karuniakanlah anugrah kepadaku untuk tidak mempertanyakan keadaanku yang disebabkan keadilan-Mu ini, seperti yang mungkin dilakukan orang kafir. Engkau memberi aku kesehatan supaya aku bisa melayani-Mu, dan aku menggunakannya dengan penuh kecemaran. Sekarang engkau mengirim penyakit kepadaku untuk meluruskanku; jangan biarkan aku menggunakan ini sebagai alasan untuk membuat-Mu jengkel dengan ketidaksabaranku. Dan karena kerusakan naturku begitu dalam sehingga bahkan merusak kebaikan-Mu, jagalah, oh Tuhanku, sehingga anugrah-Mu yang mahakuasa menjadikan penyucian-Mu ini bermanfaat bagiku; dan supaya, setelah sekian lama aku hidup dalam kepahitan dosa-dosaku tanpa gangguan, sekarang aku merasakan manisnya anugrah-Mu selama sakit yang bermanfaat ini yang kau timpakan kepadaku.

Saya sama sekali tidak yakin apakah saya bisa mengucapkan doa yang sama seperti Pascal. Kita cenderung menjauh dari penyakit dan melihatnya sebagai musuh. Ketika mengalaminya, dalam bentuk ekstrim kita marah kepada Tuhan dan bertanya kenapa, dalam bentuk lebih normal kita berdoa supaya cepat sembuh. Pendek kata, penyakit itu hanyalah sebuah gangguan dan kejahatan yang harus segera dilenyapkan.

Benar bahwa Allah menciptakan dunia bebas penyakit. Tapi sejak kejatuhan dalam dosa, penyakit tidak terhindarkan. Dan Tuhan kemudian memakainya juga untuk maksud-maksud-Nya.

Maka Pascal tidak melihat penyakit hanya sebagai gangguan atau musuh, tetapi sebagai alat anugrah Tuhan. Penyakit bisa dipakai Tuhan untuk meluruskan dia. Penyakit bisa menjadi alat menyucikan dia. Penyakit bisa dipakai Tuhan untuk membuat dia mengalami manisnya anugrah Tuhan.

Satu hal penting untuk diingat: Tuhan tidak bekerja dengan sistem ‘pembalasan’ - dosamu apa maka hukumannya apa. Kadang kita memang harus menanggung konsekuensi dari perbuatan kita yang dulu. Mis: dulu kita makan sembarangan lalu kena kolestrol tinggi. Tetapi Tuhan tidak memberi kolestrol dengan tujuan menghukum kita! Itu adalah konsekuensi. Kalau kita percaya bahwa segala hukuman dosa kita sudah ditanggung oleh Kristus, maka kita harus percaya bahwa Tuhan tidak bekerja dengan sistem ‘pembalasan’ seperti itu.

Lebih jauh lagi, kalau kita terus menerus menyesali kesalahan kita di masa lampau, kita hanya akan berputar-putar di penyesalan. Maka Pascal, sebaliknya, mengajak kita fokus pada bagaimana Tuhan bekerja melalui apa yang kita alami – apapun itu (dalam hal ini penyakit yang dialami).

Sikap seperti ini akan membuat siapapun yang mengalami penyakit atau kelamahan atau cacat, atau keadaan lain yang tidak menyenangkan, ketika pulih, disegarkan oleh anugrah Tuhan. Dan ketika tidak pulih pun, dikuatkan untuk menerima batasan yang baru dan bekerja lagi.

Sekali lagi saya tidak yakin bisa seperti itu! Ah.. kiranya Tuhan beranugrah.

Friday, June 07, 2013

Menyelidiki Kesejarahan Yesus (Investigating Jesus) - John Dickson

Pertama kali mengetahui tentang John Dickson adalah melalui membaca disertasinya ketika saya
sedang menulis thesis. Dia seorang sejarahwan Kristen, ahli Perjanjian Baru, dan menulis disertasi yang sangat bagus (walaupun saya tidak seluruhnya setuju dengan kesimpulan dia).

Belakangan saya baru tahu bahwa ternyata dia terkenal di antara komunitas Kristen di Australia. Dia bukan hanya scholar tapi juga ‘selebriti’ presenter televisi dan menulis buku yang juga populer. Buku ini adalah salah satunya.

Judul asli buku ini adalah Investigating Jesus. Di Indonesia diberi judul Menyelidiki Kesejarahan Yesus. Buku ini secara format bisa dikategorikan buku populer karena banyaknya foto dan lukisan di dalamnya.  Tetapi isi buku ini sebetulnya tidak terlalu sederhana. Dickson mencoba menjelaskan bagaimana menilai kesejarahan kehidupan Yesus. Apakah Yesus betul-betul pernah ada sebagai manusia? Bagaimana menilai bukti-bukti yang ada? Apakah dokumen Perjanjian Baru bisa dipercaya?

Dickson membahas sejarah pencarian terhadap Yesus dari masa awal sampai sekarang ini. Bagaimana Yesus dan kesejarahannya dipandang dari perspektif berbagai zaman? Lalu dia membahas mengenai berbagai sumber untuk mengetahui tentang Yesus dari Injil Gnostik, dokumen-dokumen non Kristen lainnya dan dari Perjanjian Baru. Apa yang dia bahas seperti meringkaskan banyak hal yang berkaitan dengan studi Perjanjian Baru.

Maka buku ini tidak terlalu 'enteng' walaupun juga tidak terlalu 'berat'. Tapi saya kira buku ini tidak akan terlalu menarik (kecuali gambar dan fotonya) bagi mereka yang tidak menyukai topik ini. Tapi bagi mereka yang menyukai masalah akademis, buku ini memberikan ringkasan yang menarik tentang kesejarahan Yesus dan juga sebagian studi Perjanjian Baru.

Sepanjang buku ini, Dickson mencoba memberikan argumennya bukan dari sisi iman
tapi dari sisi sejarah. Dia mengajak kita berpikir secara logis dengan didukung bukti dan pendapat para ahli. Dan dia berkesimpulan bahwa inilah elemen-elemen inti kehidupan Yesus yang telah diketahui:

seorang guru (dan menurut laporan) penyembuh dari Galilea yang bernama Yesus pernah memproklamasikan kedatangan Kerajaan Allah, minum anggur dan makan bersama “para pendosa”, memilih dua belas rasul, bersitegang dengan pemuka-pemuka agama, mencela bait Allah di Yerusalem, dan menderita sampai mati di kayu salib Romawi; yang sesaat setelah-Nya para pengikut-Nya menyatakan bahwa mereka telah melihat-Nya bangkit kembali, mengumumkan bahwa ialah Sang Mesias yang lama ditunggu itu, dan berusaha semampu mereka untuk memelihata dan menyebarkan (awalnya secara lisan, kemudian dalam tulisan) kisah kehidupan tuan mereka yang layak dikenang.

Thursday, May 30, 2013

Mengulang Khotbah

Beberapa jemaat memperhatikan ketika pengkhotbah menyampaikan khotbah yang pernah mereka dengar sebelumnya. Dan berbagai komentar pun bermunculan:
 “Perasaan udah pernah dengar khotbah yang ini!”
“Lho, kok khotbahnya sama seperti yang dulu di gereja itu?”
“Diulang ya khotbahnya?”

Beberapa jemaat berpendapat bahwa pengkhotbah seharusnya tidak mengulang khotbahnya. Seakan-akan itu haram. Kurang persiapan. Tidak orisinil. Hanya comot naskah khotbah. Kesannya gampang. Beberapa pengkhotbah juga merasa gengsi mengulang khotbahnya. Sangat bangga rasanya bisa berkata “saya tidak pernah mengulang khotbah saya!” (*dengan muka bangga*). Rasanya pandai.

Saya tidak setuju! Saya tidak melihat alasan mengapa mengulang khotbah itu tidak baik.

Pertama, sebuah khotbah adalah usaha menjelaskan sebagian Firman Tuhan. Pikiran kita sebagai manusia sangat terbatas. Kretifitas kita terbatas, apalagi ketika usia semakin tua. Menggali Firman Tuhan, merenungkannya, dan kemudian menyusunnya menjadi suatu khotbah adalah sebuah seni. Sangat sulit menuntut si pengkhotbah untuk mengkhotbahkan bagian Alkitab yang sama dengan cara yang terus berbeda-beda. Maka alternatif lainnya adalah bagian Alkitab yang pernah dikhotbahkan tidak boleh dikhotbahkan lagi oleh dia. Tapi mengapa si pengkhotbah tidak boleh menjelaskan bagian Firman Tuhan itu dengan cara yang sama kepada pendengar lain? Mengapa khotbah itu hanya boleh eksklusif didengar oleh jemaat di gereja itu tanggal itu?

Kedua, sebuah khotbah yang baik memerlukan waktu persiapan yang panjang. Perlu usaha yang sangat besar untuk membaca, menggali, dan merenungkan bagian Firman Tuhan yang akan dikhotbahkan. Setelah si pengkhotbah melakukannya, mengapa dia tidak boleh mengkhotbahkannya lebih dari 1X?

Ketiga, berita yang baik yang pernah didengar oleh jemaat di gereja A, sayang sekali jika tidak boleh didengar di gereja B hanya karena “tidak mau mengulang khotbah”.

Saya sendiri sering mengulang khotbah. Tapi saya tidak pernah mengulangnya sama persis. Sederhananya, persiapan khotbah itu ada bagian penggaliannya, ada bagian merenungkan signifikansinya bagi jemaat, dan ada bagian menyusunnya menjadi presentasi khotbah. Saya mungkin tidak mengulang mempersiapkan bagian penggaliannya, tapi saya selalu memikirkan lagi apakah signifikansi/berita yang dulu pernah saya pikir untuk gereja A juga cocok dengan gereja B ini. Dan kadang saya mengubah susunannya atau pengkalimatannya. Maka walaupun diulang, khotbah itu selalu fresh. Karena khotbah bukan mengajar – menyampaikan materi, tapi khotbah itu memberitakan – dengan hati dan kesungguhan. Dan itu tidak mungkin dilakukan dengan hanya mencomot naskah khotbah lama. Khotbah lama itu perlu “dipanaskan” lagi sebelum disajikan.

Menghibur bagi saya ketika menemukan bahkan Jonathan Edwards, pengkhotbah dan teolog besar abad ke-18 itu, juga sering mengulang khotbahnya. Kadang dia mengulang persis. Kadang dia menggabungkan beberapa naskah khotbah menjadi naskah khotbah yang baru.

Sebetulnya masalahnya adalah banyak jemaat yang pindah-pindah gereja atau “mengejar” pengkhotbah. Kadang mungkin ada pengkhotbah yang lupa bahwa dia pernah mengkhotbahkan naskah itu di gereja yang sama. Untuk menghindari hal itu, saya sendiri punya catatan lengkap tentang kapan, dimana, dan naskah khotbah mana yang saya khotbahkan. Tapi bagi jemaat yang pindah-pindah gereja, tidak terhindari dia mungkin akan mendengar khotbah yang sama.

Tetapi kalaupun itu terjadi, kita perlu ingat bahwa mendengar khotbah bukanlah mendengar seminar atau bahan kuliah. Mendengar khotbah adalah momen dimana kita berhadapan dengan kebenaran. Pada waktu mendengar khotbah, kita bukan sekedar berhadapan dengan naskah khotbah dan si pengkhotbah, tetapi dengan Tuhan yang Firman-Nya sedang diuraikan dan diberitakan. Maka khotbah yang sama persis pun bisa dipakai Tuhan bicara lagi kepada kita. Apalagi kita itu pelupa. Ketika mendengar khotbah yang sama dengan yang pernah kita dengar lima tahun lalu, mungkin sedikit pun kita tidak ingat. Lalu mengapa kita tidak boleh diingatkan lagi akan berita itu?

Tuesday, May 21, 2013

M.Th – de jure dan D.Th – hesito

Walaupun berita kelulusan sudah saya terima sejak awal Desember 2012 – dan saya sudah M.Th de facto sejak itu, tapi saya baru diwisuda tiga hari yang lalu – dan baru menjadi M.Th de jure. Upacara wisuda sebetulnya sangat biasa. Dibilang senang, ya senang juga. Tapi itu hanya upacara. Tidak hadir pun, kenyataannya saya tetap sudah lulus.

Yang membuat wisuda menjadi berkesan justru adalah situasi ketidakpastian mengenai rencana studi D.Th ke depan. Saya pernah menulis mengenai kebingungan apakah harus mengambil D.Th atau tidak di sini. Saya tidak menulis tentang hasil akhir pergumulan itu, tapi akhirnya saya memutuskan untuk mendaftar dan melihat bagaimana hasilnya. Ternyata hasilnya adalah saya diterima sebagai mahasiswa program D.Th di TTC. Semuanya sepertinya lancar. Tiba-tiba saya mendapat berita bahwa student pass saya ditolak. Banyak kemungkinan alasan di balik penolakan itu. Apapun itu, kenyataannya adalah saya tidak diberikan izin untuk studi di Singapore.

Dulu saya tidak punya ambisi untuk studi D.Th/Ph.D. Saya tahu saya bukan scholar-type. Itu sebabnya saya bergumul apakah harus mengambil D.Th atau D.Min saja. Studi adalah persiapan untuk melayani di depan. Dan Tuhan yang tahu pelayanan apa yang akan Dia percayakan, tentunya tahu studi apa yang cocok untuk mempersiapkan saya. Tapi karena waktu itu kesempatan terbuka untuk mengambil D.Th di TTC dan sekian bulan saya mengarahkan hati ke program itu, tanpa sadar muncul ambisi dalam diri. Dan kemungkinan untuk tidak bisa mengambil D.Th membuat saya terkejut – padahal harusnya tidak!

Satu hari sebelum wisuda, saya mampir ke TTC, masuk ke perpustakaan, melihat lorong-lorong penuh buku dan meja-meja perpustakaan, tempat saya berputar-putar dan duduk memeras otak selama bertahun-tahun. Saya bernostalgia dan bertanya apakah Tuhan mengizinkan saya untuk melakukannya lagi? Ataukah tidak ada lagi kesempatan? Pada waktu wisuda, melihat dosen pembimbing saya, saya bertanya bisakah saya belajar lagi di bawah dia dan nanti diwisuda sebagai D.Th? Pada waktu berkeliling Singapore dan bertemu dengan jemaat GKY Singapore, saya bertanya apakah Tuhan akan memberikan saya waktu untuk mengalami semuanya lagi? Maka yes… a bit emotional. Tapi di balik semua itu, saya sadar semua keberatan untuk tidak studi D.Th hanyalah bersifat ambisius.

Sekarang saya sedang dalam proses banding memohon ke pihak imigrasi Singapore dan saya tidak tahu bagaimana nanti hasilnya. Mungkin diterima tapi mungkin juga tidak. Tapi bagi saya peristiwa ini adalah kesempatan untuk saya memurnikan hati lagi. Bahwa saya studi harus bukan untuk ambisi pribadi tapi untuk melayani Tuhan. Dan saya membuka hati lagi bahwa Tuhan yang empunya pelayanan, tahu apa yang terbaik untuk mempersiapkan saya. Maka bisa studi D.Th - berarti memberi yang terbaik untuk Tuhan melaluinya, tidak bisa studi D.Th - berarti memberi terbaik melalui program studi lain atau pelayanan lain.

Saat ini saya hanya mau bersyukur untuk studi M.Th yang sudah lalu dan mempercayakan apa yang ada di depan hanya kepada Tuhan. To God be the glory!


 @TTC's Library




With my supervisor: Dr. Tan Kim Huat... what a privilege!


 With some friends from GKY Sg


Wednesday, April 24, 2013

Pelayanan Bukan Karir

Tulisan ini terutama adalah untuk rekan-rekan hamba Tuhan.

Marva Dawn mengutip surat dari Friedrich von Bodelschwingh untuk seorang anaknya yang baru mulai melayani di gereja (Dortmund) - gereja yang pertama untuknya (John W. Doberstein, ed., Minister’s Prayer Book: An Order of Prayers and Readings (Philadelphia: Fortress, n.d.), 210, dikutip oleh Marva Dawn dalam The Sense of the Call):

Aku meminta kepadamu, jangan melihat Dortmund sebagai batu loncatan, tetapi sebaliknya berkatalah: Di sini aku akan tinggal selama yang Tuhan mau; jika itu kehendak-Nya, sampai aku mati. Lihatlah pada setiap anak, setiap orang yang di sidi, setiap anggota jemaat seperti engkau harus memberi pertanggung jawaban untuk setiap jiwa pada hari Tuhan Yesus. Setiap hari serahkanlah semua jiwa manusia-manusia ini dari tangan terburuk dan terlemah, yaitu tanganmu, kepada tangan terbaik dan terkuat. Maka engkau akan mampu menjalankan pelayananmu bukan hanya dengan hati-hati tapi juga dengan sukacita yang melimpah dan pengharapan penuh sukacita.

Dawn kemudian berkomentar bahwa, instruksi seperti ini (dari akhir abad ke-19) sangat diperlukan hari ini di tengah pendapat bahwa pemimpin gereja harus pindah ke gereja yang lebih besar (dan seringkali dianggap lebih baik). Pemimpin gereja dianggap harus “naik” karirnya. Bisakah kita belajar betapa bernilainya concentrated commitment pada orang-orang yang sekarang ini sedang kita layani?

Saya sangat tertarik dengan tulisan Bodelschwingh di atas. Tidak berarti seorang hamba Tuhan tidak boleh pindah tempat pelayanan. Saya percaya boleh dan kadang harus! Tidak berarti juga seorang hamba Tuhan tidak boleh pindah ke tempat yang lebih besar atau mengambil tanggung jawab yang lebih besar. Tapi masalahnya adalah ketika kita memandang pelayanan sebagai jenjang karir. Mengapa tidak bertanya kemana yang Tuhan mau, yang sesuai dengan karunia yang Tuhan berikan, dan setia melayani di situ – selama yang Tuhan mau?

Saya tersentuh dengan kalimat dari John Watson (1850-1907) ketika dia menceritakan tentang seorang pendeta dari masa kecilnya. Dia menggambarkan pendeta itu sebagai seorang yang selalu memikirkan jemaatnya, menjaga mereka, mengunjungi mereka, sampai figurnya di jalan seperti menghubungkan masa lalu dan masa kini, sorga dan bumi, dan membuka harta memori yang suci. Pendeta itu adalah orang yang kepadanya secara instink orang datang dalam sukacita maupun kesedihan, dalam krisis kehidupan. Mereka menyerahkan anggota keluarga yang sekarat kepadanya. Dia menjadi keluarga bagi mereka yang tidak memiliki keluarga dan menjadi sahabat bagi semua jiwa yang lemah. Sepuluh mil dari tempatnya melayani, orang tidak mengenal namanya, tapi bagi jemaatnya tidak ada yang lebih dihormati daripada dia, dan Tuhan sangat tahu itu.

Saya tahu itu konteksnya adalah 150 tahun lalu. Sekali lagi, tidak berarti seorang hamba Tuhan tidak boleh terkenal atau tidak boleh melayani lebih luas, tetapi masalahnya adalah ketika kita mengejar itu.

Kita bisa pindah kemana saja, kapan saja, ke tempat seperti apa saja. Tapi ketika berada di sebuah tempat, kita perlu belajar fully present (kontras dengan “orangnya di situ tapi hatinya dimana”) dan memusatkan komitmen kita untuk jemaat di situ.

Merenungkan kisah di atas menolong kita melawan kecenderungan kita untuk suka pada popularitas, karir, dan “kesuksesan”.

Tuesday, April 09, 2013

Jonathan Edwards: A Guided Tour of His Life and Thought – Stephen J. Nichols

Saya tertarik membaca buku ini sebagai buku biografi. Ternyata biografi Edwards hanya dibahas di
bagian awal dan mengambil tempat tidak sampai 20% saja dari buku ini. Sisanya adalah pembahasan dari beberapa tulisannya dan khotbahnya.

Setelah selesai membaca bagian biografi itu, hampir saja saya tidak meneruskannya karena merasa pembahasan tulisan dan khotbah Edwards akan membosankan. Tapi setelah saya teruskan sedikit, ternyata Stephen J. Nichols berhasil mengerjakan tugasnya dengan baik. Pilihannya atas beberapa tulisan dan khotbah Edwards sangat baik dan cara dia menguraikannya pun menarik.

Edwards adalah seorang tokoh besar. Martin Lloyd Jones mengatakan: “Saya tergoda, mungkin dengan bodoh, untuk membandingkan orang Puritan dengan pegunungan Alpen, Luther dan Calvin dengan pegunungan Himalaya, dan Jonathan Edwards dengan Gunung Everest! Bagiku dia selalu tampak seperti orang yang paling mirip dengan rasul Paulus.”

Tulisan-tulisan Edwards tidak mudah untuk dibaca karena sangat rumit dan ditulis dengan gaya dan konteks abad ke-18. Maka Nichols menulis buku ini sebagai introduksi untuk mengenal Edwards dan khususnya pemikirannya yang berpengaruh besar dalam kekristenan. Sejak tahun 1950 saja, ada kira-kira 3000 buku, disertasi, artikel yang ditulis mengenai Edwards. Nichols memberikan beberapa alasan mengapa Edwards sangat menarik:

Pertama, hidup pribadinya menarik. Dia adalah kakek dari wakil presiden ke-3 Amerika Serikat. Dia diangkat menjadi gembala di gereja paling bergengsi di Amerika pada usia 26, dan ironisnya dipecat 22 tahun kemudian. Dia melayani sebagai misionaris kepada orang Indian dan kemudian menjadi presiden dari Princeton University. Dia juga seorang suami dan ayah yang sangat baik dari 11 orang anak, penuh kasih dan perhatian kepada mereka. Dia juga membimbing separuh dari Amerika karena banyaknya calon gembala yang magang pelayanan di bawah bimbingannya.

Kedua, dia juga adalah “prince of pastors”, khotbahnya dan jiwa penggembalaannya luar biasa.
Ketiga, dia menunjukkan hidup yang sangat berpikir. Dia menyimpan banyak sekali buku catatan dari masa dia kuliah sampai akhir hidupnya. Di sana dia menulis berbagai pemikiran dan ide, kadang hanya beberapa baris kadang beberapa halaman. Dia bisa kembali ke sebuah catatan beberapa puluh tahun kemudian dan menambahkan refleksi baru. Dia mengembangkan sistem tulisan cepat dan referensi silang yang begitu detil dan tersamar sehingga sangat sulit untuk dipecahkan. Dia tidak pernah berhenti berpikir. Sambil menunggang kuda, ketika mendapat ide dia akan duduk dan menulis. Ketika musim dingin dan tidak bisa berhenti, dia menempelkan potongan kain dengan warna tertentu di bajunya untuk mengingatkan dia akan ide tertentu yang sempat muncul. Ketika sampai di tempat tujuan, bajunya bisa sudah penuh dengan potongan kain berwarna warni.

Keempat, Edwards memikirkan dan menulis berbagai topik yang sangat luas. Dia menyelidiki alam dan kegiatan laba-laba terbang, dia menyelidiki Alkitab, mempelajari etika, dan bergumul dengan pertanyaan teologi. Maka hari ini berbagai ahli dari bidang literatur, sejarah, filsafat, teologi, para gembala dan jemaat, semua mempelajari dan membaca Jonathan Edwards.

Kelima, Edwards menarik karena ketaatannya yang sepenuhnya kepada Tuhan. Di dalam diri Edwards kita melihat keseluruhan – hati, jiwa, pikiran, dan kekuatan – yang diberikan untuk Tuhan.

Banyak orang Kristen tahu sedikit tentang Jonathan Edwards – paling tidak namanya. Tapi kesulitan dan tidak tahu harus mulai dari mana untuk membaca Edwards. Buku ini bukan saja memperkenalkan kehidupan dan karya Edwards, tetapi juga memberikan referensi buku-buku mana yang membahas tentang Edwards.
Good book!

Monday, April 08, 2013

Phebe Bartlet – Kisah Pertobatan

Di dalam buku A Faithful Narrative of the Surprising Work of God in the Conversion of Many Hundred Souls in Northampton, and the Neighboring Towns and Villages of Hampshire in New England yang terbit tahun 1737, Jonathan Edwards mengisahkan tentang pertobatan seorang gadis kecil bernama Phebe Bartlet. Saya terjemahkan bebas:

Phebe lahir pada bulan Maret, tahun 1731. Pada akhir bulan April, atau awal Mei, 1735, dia sangat tergerak karena pembicaraan kakaknya (yang mungkin telah bertobat tidak lama sebelumnya, pada usia sekitar sebelas tahun) dan yang kemudian berbicara kepadanya dengan serius mengenai hal-hal yang agung dari Kekristenan. Waktu itu orang tuanya tidak tahu dan biasanya ketika memberikan nasihat kepada anak-anaknya, mereka tidak khusus bicara kepada Phebe, dengan alasan dia masih sangat muda dan mereka pikir tidak mampu untuk mengerti: tetapi setelah kakaknya bicara kepadanya, mereka mengamati bahwa Phebe mendengar dengan sungguh-sungguh ketika mereka menasihati anak-anak yang lain; dan mereka perhatikan Phebe terus menerus, beberapa kali dalam sehari, mencari tempat tenang untuk berdoa diam-diam…

Pada hari kamis, hari terakhir bulan Juli, sekitar tengah hari, ketika Phebe berada dalam ruang tempat dia biasa berdoa, ibunya mendengar dia bicara dengan keras, sesuatu yang tidak biasa dan tidak pernah didengar ibunya. Dan suaranya seperti orang yang sangat mendesak; tetapi ibunya hanya bisa mendengar beberapa kata ini (dengan gaya seorang anak kecil, tetapi diucapkan dengan kesungguhan, dan dari jiwa yang tertekan): “Berdoa, Tuhan yang terpuji, beri aku keselamatan! Aku berdoa, memohon, ampuni semua dosaku!” Ketika ia selesai berdoa, ia keluar dari ruangan, dan duduk dengan ibunya, dan menangis keras… dia terus menangis dengan sungguh-sungguh selama beberapa waktu, sampai akhirnya tiba-tiba dia berhenti menangis dan mulai tersenyum, dan berkata dengan tersenyum, “Ibu, kerajaan sorga datang kepadaku!”

Ibunya terkejut dengan perubahan yang tiba-tiba dan dengan ucapan itu; dan tidak tahu harus berbuat apa, maka dia tidak berkata apa-apa. Dan Phebe berkata lagi, “Ada lagi yang datang padaku, dan ada lagi, ada tiga”. Dan ketika ditanya apa maksudnya, dia menjawab, “Satu adalah Jadilah kehendakMu; dan ada lagi yang lain Menikmati Dia selamanya”. Tampaknya yang dia maksud adalah tiga bagian dari buku katekisasi yang muncul di pikirannya.

Setelah anak itu berkata demikian, ia kembali ke ruangan untuk berdoa. Dan ibunya pergi ke rumah kakaknya di sebelah rumah, dan ketika ia kembali, anak itu keluar dari ruangan dan berkata kepada ibunya, “Aku bisa menemukan Tuhan sekarang!” karena sebelumnya dia pernah mengeluh bahwa dia tidak bisa menemukan Tuhan. Lalu anak itu berkata lagi, “Aku mencintai Tuhan!” Ibunya bertanya berapa besar dia mengasihi Tuhan, apakah lebih dari mengasihi ayah ibunya, ia berkata “Ya”. Lalu ibunya bertanya apakah ia mengasihi Tuhan lebih dari adik kecilnya Rachel. Dia menjawab, “Ya, lebih dari apapun!”

Kemudian, karena Phebe berkata dia bisa menemukan Tuhan, kakaknya bertanya dimana dia bisa menemukan Tuhan. Dia menjawab, “Di sorga”. Kakaknya bertanya, “Mengapa? Apa kamu pernah ke sorga?” “Tidak” jawabnya. Dengan jawaban itu tampaknya ketika berkata dia bisa menemukan Tuhan sekarang, Phebe tidak sedang berimajinasi membayangkan sesuatu yang kelihatan sebagai Tuhan. Ibunya bertanya apakah ia takut ke neraka, dan itu membuat dia menangis. Dia menjawab, “Ya dulu aku takut, tapi sekarang aku tidak boleh takut”. Ibunya bertanya apakah Phebe berpikir bahwa Tuhan sudah memberikan dia keselamatan. Dia menjawab, “Ya”. Ibunya bertanya, kapan. Dia menjawab, “Hari ini”.

Malam itu ketika berbaring di ranjang, Phebe memanggil salah seorang sepupunya yang masih kecil dan berkata kepadanya bahwa sorga lebih baik dari bumi. Keesokan harinya, hari Jumat, ibunya menanyakan dia berdasarkan buku katekisasi, untuk apa Tuhan menciptakan dia. Dia menjawab “Untuk melayani Dia”, dan menambahkan “setiap orang harus melayani Tuhan, dan mendapat keuntungan dalam Kristus”.

Edwards kemudian menceritakan satu cerita lagi yang menunjukkan kepekaan Phebe akan dosa dan dampaknya dalam hidupnya:

Suatu kali di bulan Agustus, tahun lalu, Phebe pergi dengan beberapa anak yang lebih besar untuk memetik buah prem (plum) di halaman tetangga, tanpa sadar apa yang dia lakukan itu salah.Tetapi ketika sampai di rumah dengan membawa buah prem itu, ibunya dengan lembut menegur dia dan memberitahu bahwa dia tidak boleh mengambil buah prem itu tanpa izin karena itu berdosa: Allah sudah memerintahkan untuk tidak mencuri. Phebe terkejut sekali, dan menangis dan berseru, “Aku tidak mau buah prem ini!” dan berbalik ke kakaknya Eunice, dengan sungguh-sungguh berkata kepadanya, “Mengapa kamu mengajak aku pergi ke pohon prem itu? Aku harusnya tidak pergi kalau kamu tidak mengajak”.

Anak-anak lain sepertinya tidak terlalu peduli; tetapi tidak ada yang bisa menenangkan Phebe. Ibunya berkata bahwa dia bisa pergi dan minta izin sekarang, dan itu bukan lagi dosa untuk memakannya. Lalu ibunya mengirim salah seorang anak untuk pergi ke rumah pemilik pohon itu dan ketika dia kembali, ibunya memberitahu Phebe bahwa pemiliknya sudah memberi izin, dan sekarang Phebe boleh memakannya dan itu bukan mencuri. Itu membuat Phebe diam sebentar, tetapi kemudian dia menangis lagi dengan keras. Ibunya bertanya apa yang membuat dia menangis lagi, kenapa dia menangis padahal mereka sudah minta izin. Apa yang mengganggu pikirannya sekarang? Berkali-kali ibunya bertanya, sebelum akhirnya dia menjawab – karena itu dosa!

Phebe masih menangis cukup lama, dan dia berkata dia tidak akan pergi lagi kesana walaupun Eunice memintanya seratus kali pun. Dan dia lama tidak mau makan buah prem, karena masih ingat dosanya yang lalu itu.

Kisah Phebe membuat saya termenung. Phebe kecil ini menunjukkan ciri orang yang berpindah dari mati kepada hidup, dari gelap kepada terang. Itulah pertobatan! Itulah keselamatan! Saya yakin dalam kelemahannya, Phebe masih akan berbuat dosa ketika dia besar. Tapi hidup suci bukan berarti tidak berbuat dosa lagi, tapi peka dengan dosa (Phebe menangis terus karena dosanya - yang bagi banyak orang hanya sepele), menganggap serius dosa (Phebe bahkan sampai lama tidak mau makan buah prem lagi karena dosa itu begitu jelas bagi dia), bertekad tidak berdosa lagi (Phebe berkata walaupun seratus kali diajak, dia tidak akan mau lagi). Bagaimana dengan kita?

Wednesday, April 03, 2013

The Pastor as Scholar & The Scholar as Pastor - John Piper & D.A.Carson

Saya membaca buku ini dalam sekali duduk - di tengah penerbangan jarak jauh dari Sydney ke
Singapore. Bukan buku yang sulit untuk dibaca.

Sebenarnya isi buku ini agak berbeda dengan harapan saya ketika pertama kali melihat dan membelinya. Saya berharap Piper dan Carson berbicara tentang kesulitan menjaga keseimbangan pelayanan Pastor & Scholar dan pergumulan dalam memilih dan menjalani kehidupan sebagai Pastor atau Scholar. Saya berharap mereka membahas dengan lebih dalam dari berbagai sisi, biblika, teologis, etis, tentang panggilan ini dan bagaimana menjalaninya.

Walaupun buku ini menyinggung apa yang saya sebutkan di atas, tetapi isinya lebih berupa sharing. Piper menceritakan bagaimana kehidupannya dan pelayanannya sebagai seorang Pastor yang tidak pernah lepas dari dunia Scholar. Dia mengawali pelayanannya sebagai Scholar dan kemudian memilih menjadi Pastor. Sebaliknya Carson mengawali pelayanannya sebagai Pastor dan kemudian memilih menjadi Scholar - dan pernah bergumul untuk kembali menjadi Pastor. Maka dia berpesan bagaimana seorang Scholar juga menjadi Pastor.

Tidak ada yang terlalu istimewa dengan buku ini. Tetapi harus diakui buku ini insightful. Paling tidak judulnya membangkitkan pemikiran tentang panggilan pelayanan seorang hamba Tuhan. Dunia Barat - dan juga Indonesia - sangat memisahkan antara dunia Pastor dan dunia Scholar. Pastor hanya perlu memikirkan yang praktis, manajemen gereja, khotbah ringan, pembesukan, dan kalaupun belajar cukup yang praktis saja. Scholar sebaliknya bagiannya adalah yang "berat", yang di awang-awang, yang ilmunya sering tidak relevan dengan jemaat. Di tengah suasana seperti ini, buku ini insightful - khususnya judulnya yang sekarang sudah menjadi terkenal.

Thursday, February 14, 2013

Lent

Hidup kita terbentuk oleh pergantian tahun. Ada tahun-tahun dimana kita masih kecil, remaja, pemuda, dewasa, setengah baya dan menjadi tua. Kalender dipakai untuk menandai peristiwa-peristiwa itu, dimulai pada 1 Januari dan diakhiri pada 31 Desember. Setiap tahun hidup kita berjalan dalam kalender itu.

Kalender liturgi gereja (liturgical year) tidaklah sama dengan kalender biasa. Kalender liturgi gereja berpusat pada misteri hubungan Allah dan manusia. Waktu ditandai bukan dengan tanggal tapi dengan peristiwa-peristiwa penting bagi iman kita. Maka kalender liturgi gereja tidak dimulai pada 1 Januari, tapi pada minggu pertama Advent, mempersiapkan kita menyambut Natal. Tonggak berikutnya adalah masa Lent, mempersiapkan kita memasuki Jumat Agung dan Paskah. Berikutnya adalah Kenaikan Yesus, Pentakosta, dan akhirnya kembali ke masa Advent.

Tahun demi tahun, kalender liturgi gereja membawa kita tenggelam lagi dan tenggelam lagi dalam makna kehidupan Kristen. Kita bukan hanya mengingat: Yesus lahir, mati dan bangkit untuk kita, tapi kita dibawa untuk mencocokkan diri kembali dengan apa yang Allah kerjakan bagi kita. Tahun ini kita merenungkan Natal, lalu minta ampun dosa waktu Jumat Agung dan Paskah, tahun depan kita kembali melakukan yang sama. Tapi tiap tahun, kita diajak untuk melihat apakah kita makin mengikuti Yesus? Apakah kita bertumbuh makin mencintai Yesus? Kalender liturgi gereja mengajar kita arti mengikut Yesus.

Dua bulan lagi kita akan merayakan Jumat Agung dan Paskah. Sebelum itu, ada masa Lent. Masa ini adalah masa merendahkan diri di hadapan Tuhan. Masa ini mengajak kita sadar bahwa kita adalah manusia yang berdosa dan hina. Tanpa kasih Tuhan, kita semua pasti binasa! Maka selama masa ini, kita banyak berdoa, berpuasa, dan memohon ampun dosa. Secara khusus kita mendekatkan diri kepada Tuhan dan menjauhkan diri dari berbagai hal yang mengalihkan perhatian kita dari Tuhan. Seperti masa Advent mempersiapkan kita menyambut Natal, demikianlah masa Lent mempersiapkan kita menyambut Jumat Agung dan Paskah.

Masa Lent diawali pada hari Rabu yang sering disebut sebagai Rabu Abu (Ash Wednesday). Di banyak gereja, biasanya waktu itu jemaat akan diberikan tanda salib di dahinya dengan abu. Di dalam Alkitab, abu di kepala adalah tanda berkabung. Tapi abu juga adalah simbol dari kefanaan kita, bahwa kita dicipta dari debu dan akan kembali menjadi debu.

Makna dari seluruh upacara tersebut adalah merendahkan diri, berduka atas dosa, dan mengingat bahwa kita adalah manusia yang fana. Kita hanya manusia, diciptakan dari debu dan akan kembali menjadi debu! Dan setelah itu bertanggung jawab kepada Tuhan.

Banyak orang Kristen di Indonesia yang berpikir bahwa Rabu Abu - dan juga Lent - adalah ‘milik’ gereja Katolik. Tetapi ini bukan tradisi milik gereja Katolik. Gereja mula-mula mulai memasukkan Lent di dalam kalender gereja mungkin sejak abad ke-2 atau ke-3, sekitar 1800 tahun yang lalu (sebelum ada pembedaan Katolik dan Protestan). Dan sekarang ini berbagai gereja di dunia dari Katolik, Lutheran, Presbiterian, Reformed, Methodis, Anglikan, dan Baptis, melakukannya.

Tahun ini, GKY Green Ville akan ikut menjalankan tradisi ini. Sesuai kalender gereja seluruh dunia, masa Lent akan dimulai pada hari Rabu tanggal 13 Februari. Maka di dalam Persekutuan Doa hari Rabu itu, kita akan bersama memulai masa Lent dengan Rabu Abu. Kita akan merenungkan kehidupan kita yang fana dan membutuhkan Tuhan. Setelah itu minggu demi minggu menjadi masa kita mempersiapkan diri memasuki Jumat Agung dan Paskah.

Tepat satu minggu sebelum Paskah nanti adalah Minggu Palem - Minggu memperingati Yesus masuk ke Yerusalem dan kemudian mati disalibkan di sana. Minggu Palem mengajak kita menyadari betapa bedanya menyembah Yesus “di mulut” dan “di hati”, seperti orang banyak yang bersorak “Hosana” dan “salibkan Dia”.

Minggu itu juga disebut sebagai Minggu Sengsara karena di situ Yesus bergumul dengan berat menjelang naik ke kayu salib. Di minggu itu, seluruh kuasa kegelapan bersatu melawan Allah. Dia pasti mati! Tapi bukan kematian biasa karena Yesus sendiri yang memilih untuk sengsara dan mati bagi kita. Selama minggu sengsara itu kita akan berpuasa dan berdoa lebih lagi, sampai akhirnya tiba Jumat Agung dan Paskah.

Mari siapkan diri kita untuk memasuki masa Lent ini. Jumat Agung dan Paskah sudah dekat!