Saturday, January 26, 2013

Spiritualitas dan Etika

Philip Yancey di dalam tulisannya yang berjudul “Nietzsche Was Right” mengutip sebuah cerita tentang seorang Kristen yang “sungguh-sungguh” – a committed Christian. Orang itu sedang berencana untuk meninggalkan suaminya. Sementara di saat yang sama, orang itu berkata bahwa dia biasa bangun sangat pagi “untuk satu jam bersama dengan Bapa”. Ketika Yancey bertanya apakah di dalam satu jam itu Tuhan mengatakan sesuatu tentang keputusannya meninggalkan suaminya, orang itu berkata, “Bapa dan saya berada dalam sebuah relasi, bukan moralitas. Relasi berarti sepenuhnya supportive dan berdiri di sisi saya, bukan menghakimi saya”.

Kisah di atas makin familiar hari ini. Banyak orang yang menganggap dirinya dekat dengan Tuhan, relasinya dengan Tuhan tidak ada masalah, tapi sengaja dan terus hidup dalam dosa. Ketika semua menegur, dia merasa “hanya Tuhan satu-satunya yang mengenal dan mengerti diriku, yang lain tidak”.

Mengapa bisa terjadi hal seperti ini?

Pertama, khususnya gerakan Injili sangat menekankan sisi Allah yang adalah kasih. Allah adalah sahabat kita, Allah mengerti hati kita, Allah menolong di saat kita susah, dst. Beberapa orang (mis: Marva Dawn, Philip Yancey, N.T. Wright – walaupun dengan dasar yang mungkin berbeda) mengklaim bahwa penekanan Alkitab bukanlah God loves tapi God rules. Allah itu memerintah, berkuasa, harus disembah, dalam hidup kita. Saya setuju dengan itu.

Tapi yang membuat penekanan pada God loves menjadi salah adalah karena hari ini konsep tentang ‘love’ sangat berbeda dengan Alkitab. Dalam Alkitab, kasih akan menghajar yang dikasihi karena ingin yang dikasihi menjadi benar. Tapi konsep tentang kasih hari ini sangat kekanak-kanakkan: Kasih berarti memberi apa saja yang saya mau dan perlu, dan selalu memaklumi mengapa saya memerlukannya! Persis seperti anak kecil yang marah, nangis, teriak, ketika tidak dibiarkan makan permen terlalu banyak. Maka spiritualitas dan etika terpisah: “Saya mengasihi dan dikasihi Tuhan” dengan “Saya mentaati Tuhan yang memerintah saya”.

Kedua, banyak gerakan spiritualitas memberikan penekanan terlalu berlebihan pada sisi perasaan – peromantisan hubungan dengan Tuhan. Tulang pengajaran yang kuat diabaikan sementara perasaan akan kehadiran Tuhan ditekankan. Saya percaya Tuhan adalah Tuhan yang hidup yang harusnya kita alami. Ketika kita ‘tahu’ tentang Dia, pengetahuan itu harus berubah menjadi pengenalan akan Dia dan pengalaman dengan Dia. Masalahnya celaka sekali kalau kita tidak ‘tahu’ tentang Dia, siapa yang mau kita kenal? Tanpa sadar akhirnya konsep kita tentang Tuhan adalah berhala buatan kita sendiri. Marva Dawn berkata ketika gereja gagal mengembangkan tulang doktrin, sangat mungkin terjadi pemisahan antara spiritualitas dan etika (kelakuan, moralitas): “Saya dekat dengan Tuhan” dan “Saya harus mentaati Dia”.

Maka betul kata Paulus kepada Timotius: Akan datang waktunya, orang tidak dapat lagi menerima ajaran sehat, tetapi mereka akan mengumpulkan guru-guru menurut kehendaknya untuk memuaskan keinginan telinganya. Mereka akan memalingkan telinganya dari kebenaran dan membukanya bagi dongeng (2 Tim. 4:3-4). Mereka bukan tidak mau mendengar khotbah yang keras. Silakan khotbah yang keras, menegur dosa, atau apapun juga, tapi semua akan lewat di atas kepala. Tapi silakan khotbah yang ‘mengena’, tentang Allah yang peduli, mengasihi, maka telinga mereka dengan gatal menerima perkataan itu.

Saya tahu sulit untuk berdiri di tengah-tengah, jangan terlalu ke kiri atau ke kanan. Kita bisa jatuh ke ekstrim kiri atau kanan. Tapi bukankah itu tugas kita untuk selalu memeriksa kekurangan dan kesalahan ajaran kita, lengkap dengan segala bahaya di dalamnya?

Friday, January 18, 2013

Thesis Acknowledgements

Ketika semua selesai dan thesis akan diserahkan untuk dijilid, saya menambahkan kata-kata ‘Acknowledgements’ di dalamnya. Di bawah ini adalah apa yang saya tuliskan di situ:

The writing of this thesis has taken longer time than I have earlier expected, but the process has been rewarding. This topic grew out of my curiosity after observing the confusion among today’s church members about mission obligation. On the one hand, some people assert that only some are called to be the evangelists while the rest need only to support them, thus the drive for mission in the church is weakened. On the other hand, some people assert that each individual believer has the responsibility to do the active evangelization, i.e. go and preach, thus induces unnecessary “guilty feeling” in those who think that they are not called nor gifted to do so. It was this curiosity that has provided energy for me to finish this thesis.

I would like to express my gratitude to my supervisor, Prof. Tan Kim Huat. I remember that when, for some reasons, I withdrew from the college in my second semester, he invited me to keep attending his lectures although they should be held at the Coffee Bean because of me! His kindness and his commitment to teach have deeply touched me. Moreover, this thesis will not be as it is without his critical comments and helpful suggestions. If the final result of this thesis is deemed unsatisfactory, the responsibility for that rests solely on my shoulder.

My gratitude also goes to the leaders and members of my church back in Jakarta, Gereja Kristus Yesus - Jemaat Green Ville. They allowed me to pursue further study and supported me all the way. Thanks, too, are due to the leaders and members of Gereja Kristus Yesus – Singapore, whom I ministered during my study. They have been very understanding and supportive though many times they found that their pastor was not able to do more due to his long hours of research in the library. Their prayer and loving support will always be remembered.

I must also thank my family. My parents in Indonesia have been very supportive, though never did they fully understand why their son should go to study theology in Singapore. My brother and sister have always been supportive too. My brother in law has set aside his time to read the draft of this thesis and gave many helpful suggestions to make it more readable.

Last, but not least, the lion’s share of my gratitude must go to my wife, Yudith. This thesis often took time which could have been spent with her. She was always there to be my “prayer-warrior” and constant source of encouragement during that hectic period of full-time study and full-time pastoring. And so I dedicate this thesis to her with the prayer that the Lord may grant us many more opportunities ahead to work hand in hand in His mission field.

To God be the glory!

Friday, January 04, 2013

Ibadah dan Misi

Sebagian orang Kristen melebih-lebihkan hubungan gereja dengan misi. Mereka mengatakan “Gereja ada untuk misi” atau “Gereja kalau tidak bermisi bukan gereja”, dst. Kalimat-kalimat seperti itu salah! Gereja ada bukan untuk misi! Gereja ada untuk menyembah Allah!

Maka kalimat Piper di dalam bukunya sangat tepat: Mission begins and ends in worship. Orang-orang yang menyembah Allah akan bermisi di dalam dunia seperti Allah. Dan tujuan dari semua misi adalah supaya ada lebih banyak lagi penyembahan kepada Allah. Maka benar: Mission begins and ends in worship!

Ketika gereja tidak bermisi, mungkinkah kesalahannya adalah pada ibadah kita? Ibadah seperti apa yang selama ini kita lakukan, yang tidak menyebabkan jemaat rindu melakukan sesuatu di dunia untuk Tuhan? Ibadah seperti apa yang selama ini kita lakukan, yang hanya membuat orang Kristen nyaman?

Jangan cepat mengambil kesimpulan dulu. Tidak berarti gereja yang bermisi pasti dimulai dari ibadah yang baik. Banyak gereja dan orang Kristen menjalankan misi tanpa mengerti ibadah yang sesungguhnya dan tanpa penyembahan yang mendalam kepada Allah. Maka mereka melakukan misi mulai dari starting point yang salah dan juga untuk tujuan yang salah.

Banyak orang melakukan misi tanpa kedekatan dengan Allah, tidak dimulai dari ibadah tapi hanya dari kesukaan akan aktifitas misi atau dari kewajiban. Dan misi seperti inilah yang nantinya menghasilkan kedangkalan iman Kristen di ladang misi.

Mari bangun ibadah yang benar, yang akan mendorong orang bermisi sesuai kehendak Tuhan, dengan tujuan lebih banyak lagi orang beribadah kepada Allah yang hidup.

Wednesday, January 02, 2013

Pelayanan Apa?

We ought not to worry if after many years of service we still are asking how best we can serve God and fulfill our call; it is worrisome if we have stopped asking – Marva Dawn, The Sense of the Call, p.30.

Ini kalimat yang sangat bijak! Paling tidak ada tiga dasar yang membenarkan kalimat itu:

Pertama, dunia kita dinamis. Kondisi, tantangan, kebutuhan, terus berubah. Kalau kita sungguh ingin melayani Tuhan di dunia ini, maka tidak mungkin kita puas dengan apa yang kita lakukan di masa lalu. Apa yang dulu dibutuhkan dunia, atau apa yang dulu tepat menjawab tantangan dunia, belum tentu sama dengan hari ini atau hari depan.

Kedua, diri kita juga terus berubah: fisik berubah makin lemah, pengalaman bertambah, pemikiran dan kerohanian –harusnya- bertumbuh. Apa yang dulu bisa kita lakukan belum tentu bisa kita lakukan hari ini. Sebaliknya apa yang dulu tidak bisa kita lakukan mungkin bisa kita lakukan hari ini.

Ketiga, Tuhan kita adalah Tuhan yang hidup! Pelayanan adalah mengikuti panggilan dari Tuhan yang hidup. Dia berjalan di depan, kita mengikut di belakang. Pelayanan adalah berjalan mengikut dengan ketaatan. Tapi dengan sangat mudah pelayanan berubah menjadi ‘rumah’. Kita nyaman di situ, kita membangun istana di situ, dan kita berhenti mengikut Dia

Maka kita memang harus terus bertanya dan terus bertanya… bagaimana hari ini saya memenuhi panggilan saya dan bagaimana hari ini saya memberikan yang terbaik untuk melayani Tuhan? Semua orang Kristen, apalagi para hamba Tuhan, harus terus mempertanyakan itu secara periodik.

Mungkin kita perlu bertanya lagi soal lokasi kita melayani? Atau bidang kita melayani, haruskah masih di situ? Atau kelompok orang yang kita layani? Atau mungkin caranya, adakah yang perlu diubah? Atau konsepnya, adakah yang lebih tepat? Atau kesempatan apa yang sekarang terbuka? Atau pelayanan apa yang membuat karunia rohani kita dipakai dengan lebih baik? Atau mungkinkah Tuhan sedang memberi arah yang baru? Atau…?

Ketika kita tidak lagi mempertanyakan semua itu, mungkin itu berarti kita tidak peduli lagi dengan kehendak Tuhan. Atau mungkin itu berarti kita tidak peka lagi dengan keadaan dunia. Atau mungkin itu berarti kita tidak bertumbuh sama sekali. Pelayanan kita mungkin sudah tanpa arah, tanpa maksud, dan tanpa makna, kita hanya melakukan Christian job. Maka betul kata Dawn: It is worrisome if we have stopped asking.

Silakan bergumul dan selamat tahun baru!