Wednesday, August 28, 2013

Refleksi Dari Surat Pliny ‘the Younger’

Kuliah NT Exegesis beberapa hari lalu mengingatkan saya akan sebuah surat yang dulu pernah saya baca. Surat itu ditulis oleh Pliny ‘the Younger’ untuk kaisar Romawi, Trajan. Pliny ‘the Younger’ (disebut begitu karena dia dibesarkan oleh pamannya yang juga bernama Pliny – Pliny ‘the Elder’) adalah seorang gubernur Romawi di bawah pemerintahan kaisar Trajan (memerintah tahun 98-117M). Suratnya memberikan banyak petunjuk tentang keadaan orang Kristen di awal abad ke-2. Berikut adalah suratnya (warna biru) dan beberapa hal yang penting saya beri komentar di bawahnya (warna hitam):

1. It is my rule, Sir, to refer you in matters where I am uncertain. For who can better direct my hesitation or instruct my ignorance? I was never present at any trial of Christians; therefore I do not know what are the customary penalties or investigations, and what limits are observed.

2. I have hesitated a great deal on the question whether there should be any distinction of ages; whether the weak should have the same treatment as the more robust; whether those who recant should be pardoned, or whether a man who has ever been a Christian should gain nothing by ceasing to be such; whether the name itself, even if innocent of crime, should be punished, or only the crimes attaching to that name. Meanwhile, this is the course that I have adopted in the case of those brought before me as Christians.

Kebingungan Pliny menunjukkan bahwa belum ada hukum Romawi yang melegalisasi penganiayaan pada orang Kristen tetapi penganiayaan sudah dilakukan oleh pemerintah Romawi. Pertanyaan Pliny menarik: Apakah orang Kristen harus dihukum hanya karena nama itu sendiri sekalipun tidak melakukan kejahatan, atau karena melakukan kejahatan dalam kaitan dengan nama itu. Maksudnya nama “Kristen”? Atau nama “Yesus”? Betapa mengerikannya ketika orang Kristen bisa dihukum hanya karena “nama” itu tanpa melakukan kejahatan!

3. I ask them if they are Christians. If they admit it I repeat the question a second and a third time, threatening capital punishment; if they persist I sentence them to death. For I do not doubt that, whatever kind of crime it may be to which they have confessed, their pertinacity and inflexible obstinacy should certainly be punished.

Yang Pliny lakukan adalah bertanya apakah ia orang Kristen, kalau jawabanya “ya”, maka dia akan tanya lagi sampai tiga kali dengan ancaman hukuman mati. Kalau tetap bilang “ya” maka dihukum mati. Alasannya? Apapun kejahatannya, bagi Pliny, orang yang ngotot seperti itu di hadapan hukuman mati pastilah harus dihukum! Hmm…

4. There were others who displayed a like madness and whom I reserved to be sent to Rome, since they were Roman citizens. Thereupon the usual result followed; the very fact of my dealing with the question led to a wider spread of the charge, and a great variety of cases were brought before me.

5. An anonymous pamphlet was issued, containing many names. All who denied that they were or had been Christians I considered should be discharged, because they called upon the gods at my dictation and did reverence, with incense and wine, to your image which I had ordered to be brought forward for this purpose, together with the statues of the deities; and especially because they cursed Christ, a thing which, it is said, genuine Christians cannot be induced to do.

6. Others named by the informer first said that they were Christians and then denied it; declaring that they had been but were so no longer, some having recanted three years or more before and one or two as long ago as twenty years. They all worshipped your image and the statues of the gods and cursed Christ.

Tindakan Pliny menghukum orang Kristen ternyata berdampak luas. Ada banyak orang yang berpikir “oh kalau Kristen itu dihukum,… aku fitnah saja musuh-musuhku sebagai orang Kristen.”  Itu sebabnya banyak beredar “anonymous pamphlet” yang berisi banyak nama orang Kristen. Pliny kebingungan! Akhirnya dia panggil semua, kalau mereka mengatakan bukan orang Kristen, dia akan minta mereka menyebut nama dewa dan mempersembahkan kemenyan dan anggur kepada patung kaisar dan dewa. Lebih menarik lagi, dia akan minta mereka mengutuki Kristus. Karena apa? Bagi Pliny, orang Kristen masih mungkin pura-pura menyebut dewa dan memberikan persembahan kepada dewa tapi satu hal ini tidak mungkin orang Kristen mau lakukan: mengutuki Kristus. Ini sikap orang Kristen dari zaman awal sekali!

7. But they declared that the sum of their guilt or error had amounted only to this, that on an appointed day they had been accustomed to meet before daybreak, and to recite a hymn antiphonally to Christ, as to a god, and to bind themselves by an oath, not for the commission of any crime but to abstain from theft, robbery, adultery and breach of faith, and not to deny a deposit when it was claimed. After the conclusion of this ceremony it was their custom to depart and meet again to take food; but it was ordinary and harmless food, and they had ceased this practice after my edict in which, in accordance with your orders, I had forbidden secret societies.

Paragraf ini memberi petunjuk penting tentang ibadah orang Kristen: Mereka biasa berkumpul di hari tertentu (Minggu?) sebelum fajar (Sunrise service!). Dan mereka menyanyi bersahut-sahutan untuk Kristus, “as to a god” (ini penting, karena mendukung early high Christology). Dan mereka mengikat diri dengan sumpah bukan untuk melakukan kejahatan, tetapi untuk tidak mencuri, merampok, berzinah, menyalahi iman, dan curang dalam bisnis. Lalu setelah pertemuan selesai, mereka berpisah dan –menarik sekali- bertemu kembali untuk makan! Pisah lalu balik lagi untuk makan! (Mau coba?). Dan makanannya adalah makanan biasa, tidak berbahaya (maksudnya orang Kristen bukan kanibal seperti yang dituduhkan oleh sebagian orang).

8. I thought it all the more necessary, therefore, to find out what truth there was in this by applying torture to two maidservants, who were called deaconesses. But I found nothing but a depraved and extravagant superstition, and I therefore postponed my examination and had recourse to you for consultation.

Pliny menangkap dua orang wanita dan menyiksa mereka untuk mengetahui lebih jauh tentang kekristenan. Menariknya, dua orang wanita itu disebut diaken!

9. The matter seemed to me to justify my consulting you, especially on account of the number of those imperilled; for many persons of all ages and classes and of both sexes are being put in peril by accusation, and this will go on. The contagion of this superstition has spread not only to the cities, but in the villages and rural districts as well; yet it seems capable of being checked and set right.

10. There is no shadow of doubt that the temples, which have been almost deserted, are beginning to be frequented once more, that the sacred rites which have been long neglected are being renewed, and that sacrificial victims are for sale everywhere, whereas, till recently, a buyer was rarely to be found. From this it is easy to imagine what a host of men could be set right, were they given a chance of recantation.

Kekristenan sudah begitu menyebar, orang segala usia, kelas sosial, pria dan wanita, di kota dan juga desa. Perhatikan: Dimana-mana banyak orang yang “binasa” karena tuduhan itu. Artinya karena tuduhan maka banyak orang Kristen ditangkap, dan ketika diinterogasi mereka ngotot mengaku orang Kristen sampai akhirnya dihukum mati.

Begitu besarnya pengaruh kekristenan sampai Pliny mengatakan kuil-kuil yang tadinya hampir ditinggalkan sekarang mulai didatangi kembali. Upacara penyembahan tadinya sudah lama diabaikan sekarang diperbarui lagi. Hewan korban tadinya tidak ada yang membeli sekarang mulai laku lagi. Mungkinkah artinya begitu banyak orang yang menjadi Kristen sehingga semua kuil, upacara, dan bisnis hewan korban, menjadi sepi? Dan sekarang karena penganiayaan banyak yang murtad dan kembali lagi menyembah dewa?

Saya terpesona dengan berbagai petunjuk tentang kehidupan dan situasi kekristenan di awal abad kedua ini. Ketakutan, penderitaan, ancaman, kematian, persaudaraan, iman, kesetiaan, pasti campur aduk disana!

Satu refleksi menarik dari dosen saya: Ketika gereja hari ini masuk ke suatu daerah yang mayoritas bukan Kristen, siap-siap untuk memikirkan implikasi ekonomi dari penginjilan. Di situ pasti banyak orang yang bisnisnya terkait dengan agama (menjual alat sembahyang atau hewan korban atau yang lainnya). Kalau banyak penduduk di situ yang bertobat, mereka akan kehilangan mata pencaharian. Atau kalau mereka sendiri yang bertobat, mereka sekarang harus jualan apa? Sekian puluh tahun mereka bisnis itu, lalu bagaimana mereka bisa hidup sekarang?

Pelayanan gereja selalu harus holistik dan tidak pernah habis-habis…

Wednesday, August 21, 2013

The Marks of a Spiritual Leader

Saya baru selesai membaca tulisan John Piper: The Marks of a Spiritual Leader. Mungkin tulisan ini lebih cocok disebut booklet daripada buku karena isinya hanya 43 halaman. Saya kira Piper memang tidak bermaksud menulis buku yang berbobot dibarengi dengan riset yang memadai. Dia hanya menuliskan perenungannya, tentunya berdasarkan pengalaman dan pengamatan pribadinya, tentang kepemimpinan rohani. 

Apa yang dia tuliskan adalah sesuatu yang umum - seperti hal yang "semua-orang-sudah-tahu". Tetapi gaya tulisan Piper dan kaliber pelayanannya memberi bobot tersendiri pada nasehat-nasehatnya. 

Di bawah ini adalah sebagian dari nasehat Piper yang saya beri garis bawah: 

A spiritual leader must be a person who has strong confidence in the sovereign goodness of God to work everything together for his good. Otherwise, he will inevitably fall into the trap of manipulating circumstances and exploiting people in order to secure for himself a happy future which he is not certain God will provide. 

The spiritual leader must be a person who meditates on the Scriptures and prays for spiritual illumination. Otherwise, his faith will grow weak and his love will languish, and no one will be moved to glorify God because of him. 

There will be no successful spiritual leadership without extended seasons of prayer and meditation on the Scriptures. Spiritual leaders ought to rise early in order to meet God before they meet anybody else. 

It is unthinkable that we should be content with things the way they are in a fallen world and an imperfect church. Therefore, God has been pleased to put a holy restlessness into some of his people, and those people will very likely be the leaders. 

Criticism is one of Satan’s favorite weapons to try to get effective Christian leaders to throw in the towel. 

Lazy people cannot be leaders...He loves to be productive. And he copes with the pressure and prevents it from becoming worrisome with promises like Matthew 11:27–28 and Philippians 4:7–8 and Isaiah 64:4. 

If we are to lead people to see and reflect God’s glory, we must think theologically about everything. 

O how we need people who will devote just five minutes a week to dream of what might possibly be. 

My dad once told me that the reason he thought many pastors fail to see revival in their churches is that they leave just before it is about to happen. The long haul is hard, but it pays. The big tree is felled by many, many little chops.

Monday, August 12, 2013

Masalah Sosial: Kelaparan

Banyak dari kita yang hidup berkecukupan secara materi dan bahan makanan. Jujur seringkali kita
mengambil dan menyimpan makanan secara berlebihan. Ujungnya adalah kita banyak membuang makanan yang tidak termakan. Lihat saja di restoran, berapa banyak makanan yang terbuang setiap harinya. Coba hitung berapa banyak sisa makanan yang kita buang setiap harinya baik dari piring kita maupun lemari kita. Sementara, sangat ironis, banyak orang yang kekurangan makanan dan kelaparan.

Situasi ini membuat “membuang makanan” seringkali dikaitkan dengan “masalah kelaparan”. Logikanya bukan saja kita harus bersyukur bahwa kita bisa makan padahal banyak orang yang kekurangan makanan, tapi juga karena kita membuang makanan MAKA ada orang lain yang jadi kekurangan makanan.

Saya setuju kita harus belajar tidak membuang-buang makanan. Saya setuju kita harus bersyukur bahwa kita bisa makan – dengan limpah. Tapi saya selalu merasa ada yang salah dengan cara kita berpikir dalam hal ini. Apakah dengan saya menghabiskan makanan di piring dan lemari saya maka itu akan menolong orang lain yang kelaparan? Atau dengan saya mengambil makanan tidak berlebihan maka itu akan membuat orang yang kelaparan mendapatkan makanan?

Point saya adalah betapa orang Kristen, termasuk saya, sangat dangkal memikirkan masalah ini.

Baru-baru ini saya mendengar sebuah khotbah di TTC tentang masalah kelaparan. Si pengkhotbah membandingkan betapa berlimpahnya kami yang di Singapore dibanding mereka yang kelaparan di negara lain. Karena seringkali mahasiswa yang single (yang berkeluarga masak sendiri) mengeluh dengan kualitas makanan di asrama, maka pengkhotbah itu menegur dengan berkata “kalian harus mengerti kami tidak bisa menyediakan makanan buffet dengan menu internasional, bukankah kita harus belajar bersyukur?”. Di akhir dari khotbahnya dia menampilkan sebuah video tentang orang-orang yang membeli makanan berlebih dan tidak menghabiskannya, lalu datanglah seorang bapa miskin yang mengambil sisa makanan itu lalu membawa pulang untuk keluarganya yang menyambutnya dengan gembira. Anak-anak yang kurang makan itu tertawa, gembira, bersyukur, untuk sisa bakmi, sisa ayam, dsb. Dan pertanyaan di video itu kira-kira begini: “Bagaimana mungkin tertawa mereka membuatku sedih?”

Saya sangat tersentuh dengan video itu. Tawa anak-anak itu membuat saya sedih. Tapi yang membuat saya tidak setuju adalah dia mengajak mahasiswa bersyukur bisa makan menu apapun yang disediakan sekolah. Padahal adalah tanggung jawab sekolah untuk memperbaiki itu. Tidak ada yang minta makanan buffet dengan menu internasional! Cukuplah dengan sedikit variasi menu. Tapi ok lah. Yang membuat saya lebih tidak setuju lagi karena dia menggunakan video itu untuk menyadarkan kita akan masalah kelaparan dannn…. mengajak kita tidak membuang makanan? Padahal logikanya –tanpa bermaksud kasar- anak-anak itu jadi bisa makan dan tertawa karena orang-orang membuang makanan bukan? Video itu sangat baik, tapi penggunaannya yang tidak tepat.
Seolah kita beranggapan kalau kita bersyukur untuk makanan kita, mencukupkan diri apa adanya, dan menghemat makanan maka entah dengan cara mukjizat apa, kita bisa menolong mereka yang kekurangan. Atau dengan kata lain, kalau kita tidak mengambil makanan secara berlebih, maka yang tidak kita ambil itu bisa sampai ke orang yang membutuhkan. Betulkah? Kita hanya berhenti di perasaan bersalah!

Udo Middelmann di dalam bukunya Christianity Versus Fatalistic Religions in the War Against Poverty mengajak kita berpikir lebih dalam. Pernahkah kita memikirkan masalah distribusi makanan? Kita tahu ada orang yang kelaparan di sana dan kita berlebihan secara materi dan bahan makanan di sini, seharusnya kita tidak berhenti dengan sekedar merasa bersalah karena makan kebanyakan, terlalu enak dan membuang sisa makanan. Kita harus memikirkan lebih jauh bagaimana mendistribusikan makanan kepada mereka yang memerlukannya. Distribusi!

Selangkah lebih jauh lagi adalah bagaimana orang yang kelaparan itu bukan hanya menerima pertolongan darurat – bahan makanan –, tetapi juga bisa hidup dengan tidak lagi dibantu. Distribusi makanan adalah pertolongan darurat, tapi perlu selangkah lebih jauh lagi. Ini bukan sekedar masalah “jangan kasih ikan tapi kasih pancingnya” tapi ini masalah membangkitkan keinginan untuk pergi memancing. Dan bagi Udo Middelmann, satu-satunya yang mengajarkan manusia pola pikir untuk berjuang dalam dunia ciptaan Tuhan yang sudah jatuh ke dalam dosa ini adalah Alkitab.

Alkitab mengajarkan kita untuk bekerja. Dunia memang “menghasilkan semak duri” sejak kejatuhan dalam dosa, tapi kita harus dan bisa berjuang. Alam tetap harus diusahakan. Dan Tuhan memberkati pekerjaan kita. Itu wawasan Kristen.

Saya berharap banyak orang Kristen, termasuk saya, bisa lebih sungguh lagi memikirkan masalah ini dan tidak hanya berhenti di perasaan bersalah.

Friday, August 02, 2013

My Dissertation Writing - 1

Sudah hampir satu bulan studi saya berjalan. Jujur saya kurang siap memulai studi D.Th. Biasanya dalam sistem UK (seperti di TTC), mahasiswa memulai program Ph.D/D.Th dengan proposal yang semi siap (tidak harus sepenuhnya siap). Ketika mendaftar di TTC memang saya harus menjelaskan topik disertasi saya – tetapi hanya secara ringkas dan berupa wilayah yang masih sangat luas. Tadinya saya pikir selama enam bulan di Jakarta, saya bisa melakukan penelitian lebih dalam tapi ternyata tidak bisa. Maka saya memulai program D.Th ini hanya dengan modal bayangan yang kabur, dan itu sebabnya selama satu bulan ini saya harus keleyengan nggak jelas.

Saya tertarik dengan masalah kehidupan Kristen, pertumbuhan rohani, pergumulan dengan dosa, dsb. Karena thesis M.Th saya berkaitan dengan Paulus dan saya yakin Paulus banyak berhadapan dengan jemaat yang bermasalah, maka saya ingin menulis tentang konsep Paulus tentang kehidupan Kristen. Tapi itu wilayah yang amat sangat astaga luasnya.

Saya tahu harus dipersempit, tapi masalahnya dipersempit kemana? Ada dua hal yang menjadi kunci pertimbangan: Pertama, disertasi artinya saya harus menulis sesuatu yang belum pernah ditulis orang (padahal tidak ada yang baru di bawah matahari). Paling tidak saya harus menulis sesuatu dengan cara yang belum pernah ditulis orang atau harus bisa menghasilkan kesimpulan yang berbeda. Kedua, saya harus suka sekali topik itu karena selama tiga tahun saya akan putar-putar, bolak-balik, memikirkan topik itu. Bisa dibayangkan blenek-nya kalau saya tidak menyukainya.

Akhirnya saya menemukannya! Mudah-mudahan tidak berubah banyak lagi. Saya akan menulis tentang Flesh-Spirit antithesis in Paul. Monograf/Disertasi terakhir yang saya temukan tentang ini ditulis tahun 1991 di Westminster Theological Seminary dan diterbitkan tahun 1997. Ada beberapa kesimpulan dia yang menurut saya tidak tepat (betapa senangnya menemukan kesalahan dia! hehe.. ). Mungkin ada disertasi lain yang ditulis setelah itu dan saya tidak tahu, tapi ternyata ini topik yang jarang disentuh dengan serius. Tahun 2007, sebuah disertasi lain di London School of Theology yang diterbitkan tahun 2010, masih menyebutkan bahwa ini adalah isu yang belum terjawab. Maka kelihatannya ini bisa saya kerjakan.

Masih belum jelas akan mengarah kemana, apakah saya akan fokus di surat Galatia atau surat lainnya, apakah saya akan fokus meneliti cara Paulus menggunakan antithesis ini atau memperluasnya dengan melihat implikasinya pada kehidupan Kristen, dsb.

Paling tidak, saya bersyukur dulu untuk ‘kemajuan’ kecil ini. Saya diberi waktu satu bulan lagi untuk merumuskan lebih detil topik ini dan berbagai isu di sekitarnya.

God help me.