Monday, August 12, 2013

Masalah Sosial: Kelaparan

Banyak dari kita yang hidup berkecukupan secara materi dan bahan makanan. Jujur seringkali kita
mengambil dan menyimpan makanan secara berlebihan. Ujungnya adalah kita banyak membuang makanan yang tidak termakan. Lihat saja di restoran, berapa banyak makanan yang terbuang setiap harinya. Coba hitung berapa banyak sisa makanan yang kita buang setiap harinya baik dari piring kita maupun lemari kita. Sementara, sangat ironis, banyak orang yang kekurangan makanan dan kelaparan.

Situasi ini membuat “membuang makanan” seringkali dikaitkan dengan “masalah kelaparan”. Logikanya bukan saja kita harus bersyukur bahwa kita bisa makan padahal banyak orang yang kekurangan makanan, tapi juga karena kita membuang makanan MAKA ada orang lain yang jadi kekurangan makanan.

Saya setuju kita harus belajar tidak membuang-buang makanan. Saya setuju kita harus bersyukur bahwa kita bisa makan – dengan limpah. Tapi saya selalu merasa ada yang salah dengan cara kita berpikir dalam hal ini. Apakah dengan saya menghabiskan makanan di piring dan lemari saya maka itu akan menolong orang lain yang kelaparan? Atau dengan saya mengambil makanan tidak berlebihan maka itu akan membuat orang yang kelaparan mendapatkan makanan?

Point saya adalah betapa orang Kristen, termasuk saya, sangat dangkal memikirkan masalah ini.

Baru-baru ini saya mendengar sebuah khotbah di TTC tentang masalah kelaparan. Si pengkhotbah membandingkan betapa berlimpahnya kami yang di Singapore dibanding mereka yang kelaparan di negara lain. Karena seringkali mahasiswa yang single (yang berkeluarga masak sendiri) mengeluh dengan kualitas makanan di asrama, maka pengkhotbah itu menegur dengan berkata “kalian harus mengerti kami tidak bisa menyediakan makanan buffet dengan menu internasional, bukankah kita harus belajar bersyukur?”. Di akhir dari khotbahnya dia menampilkan sebuah video tentang orang-orang yang membeli makanan berlebih dan tidak menghabiskannya, lalu datanglah seorang bapa miskin yang mengambil sisa makanan itu lalu membawa pulang untuk keluarganya yang menyambutnya dengan gembira. Anak-anak yang kurang makan itu tertawa, gembira, bersyukur, untuk sisa bakmi, sisa ayam, dsb. Dan pertanyaan di video itu kira-kira begini: “Bagaimana mungkin tertawa mereka membuatku sedih?”

Saya sangat tersentuh dengan video itu. Tawa anak-anak itu membuat saya sedih. Tapi yang membuat saya tidak setuju adalah dia mengajak mahasiswa bersyukur bisa makan menu apapun yang disediakan sekolah. Padahal adalah tanggung jawab sekolah untuk memperbaiki itu. Tidak ada yang minta makanan buffet dengan menu internasional! Cukuplah dengan sedikit variasi menu. Tapi ok lah. Yang membuat saya lebih tidak setuju lagi karena dia menggunakan video itu untuk menyadarkan kita akan masalah kelaparan dannn…. mengajak kita tidak membuang makanan? Padahal logikanya –tanpa bermaksud kasar- anak-anak itu jadi bisa makan dan tertawa karena orang-orang membuang makanan bukan? Video itu sangat baik, tapi penggunaannya yang tidak tepat.
Seolah kita beranggapan kalau kita bersyukur untuk makanan kita, mencukupkan diri apa adanya, dan menghemat makanan maka entah dengan cara mukjizat apa, kita bisa menolong mereka yang kekurangan. Atau dengan kata lain, kalau kita tidak mengambil makanan secara berlebih, maka yang tidak kita ambil itu bisa sampai ke orang yang membutuhkan. Betulkah? Kita hanya berhenti di perasaan bersalah!

Udo Middelmann di dalam bukunya Christianity Versus Fatalistic Religions in the War Against Poverty mengajak kita berpikir lebih dalam. Pernahkah kita memikirkan masalah distribusi makanan? Kita tahu ada orang yang kelaparan di sana dan kita berlebihan secara materi dan bahan makanan di sini, seharusnya kita tidak berhenti dengan sekedar merasa bersalah karena makan kebanyakan, terlalu enak dan membuang sisa makanan. Kita harus memikirkan lebih jauh bagaimana mendistribusikan makanan kepada mereka yang memerlukannya. Distribusi!

Selangkah lebih jauh lagi adalah bagaimana orang yang kelaparan itu bukan hanya menerima pertolongan darurat – bahan makanan –, tetapi juga bisa hidup dengan tidak lagi dibantu. Distribusi makanan adalah pertolongan darurat, tapi perlu selangkah lebih jauh lagi. Ini bukan sekedar masalah “jangan kasih ikan tapi kasih pancingnya” tapi ini masalah membangkitkan keinginan untuk pergi memancing. Dan bagi Udo Middelmann, satu-satunya yang mengajarkan manusia pola pikir untuk berjuang dalam dunia ciptaan Tuhan yang sudah jatuh ke dalam dosa ini adalah Alkitab.

Alkitab mengajarkan kita untuk bekerja. Dunia memang “menghasilkan semak duri” sejak kejatuhan dalam dosa, tapi kita harus dan bisa berjuang. Alam tetap harus diusahakan. Dan Tuhan memberkati pekerjaan kita. Itu wawasan Kristen.

Saya berharap banyak orang Kristen, termasuk saya, bisa lebih sungguh lagi memikirkan masalah ini dan tidak hanya berhenti di perasaan bersalah.