Tuesday, November 26, 2013

Ekstasi-Kesuksesan Dalam Pelayanan

Bayangkan ketika suatu kali kita melayani dalam sebuah acara yang besar.

Acara itu membutuhkan banyak persiapan. Tenaga, waktu, keringat, doa berulang-ulang dan mungkin juga uang, semua sudah dicurahkan. Berkorban? Sudah pasti! Banyak sekali yang sudah dialami selama persiapan. Kadang senang kadang sebal. Kadang semangat kadang cape. Emosi banyak dihabiskan. Sementara itu pekerjaan dan tugas sehari-hari terus menumpuk. Maka waktu untuk istirahat dan jalan-jalan berkurang, bahkan waktu untuk tidur pun menciut. Tidak bisa dipungkiri, sukacita dan semangat tetap terasa. Tiap kali berkumpul dengan rekan-rekan lain, persiapan, rapat, latihan, ada "aura" semangat. Itulah yang membuat kita tetap bertahan!

Lalu tibalah waktunya semua segera akan berlalu. Hari-hari terakhir itu bahkan lebih melelahkan dari sebelumnya. Sampai malam sebelumnya kita masih gladi resik, lalu esok paginya sudah persiapan, sore sudah datang lagi. Akhirnya...saat itu pun tiba! Waktunya, jamnya sudah tiba! Maka kita all out, sekuat tenaga, berusaha sebisanya.

Hasilnya? Luar biasa! Tepuk tangan terus menerus terdengar. Pujian demi pujian kita terima. Seluruh tim sangat bersukacita. Doa penutup dilakukan dengan bergandengan tangan, dan hati kita terharu penuh syukur kepada Tuhan! Malam itu luar biasa! Semua jerih lelah terbayar! Tuhan memberkati pelayanan kita!

Sounds familiar?

Pengalaman serupa-walau-tak-sama dengan itu dialami oleh banyak orang yang melayani dalam berbagai bidang. Baik oleh mereka yang melayani dalam bidang musik, perlengkapan, drama, panitia, bahkan oleh pengkhotbah! 

Satu sisi, tidak ada yang salah dengan pengalaman itu. Betul tuhan memberkati dan betul kita yang sudah menabur dengan air mata boleh menuai dengan sorak sorai. Tidak ada yang salah! Tetapi di sisi lain, sama seperti semua hal yang baik, selalu ada celah untuk dipelintir menjadi hal yang buruk.

Saya menyebutnya efek ekstasi-kesuksesan dalam pelayanan. Perasaan melambung karena kesuksesan itu membuat kita melihat dan memandang diri lebih dari yang sebenarnya. Kita tidak lagi melihat diri kita sebagaimana adanya - lemah dan berdosa - tetapi yang terbayang hanya penggalan kalimat-kalimat pujian, wajah-wajah kagum, tepuk tangan dan perasaan super ala selebriti! Rasanya kita diurapi oleh Tuhan, dipakai dengan luar biasa, menjadi berkat besar! Wow!

Semakin lama kita mengecap memori dan imajinasi kesuksesan itu semakin berbahaya karena perlahan-lahan:

1. Kita merasa lebih dari orang lain
Kita mulai merasa bahwa kita istimewa, bertalenta, dan dipakai oleh Tuhan. Ketika pelayanan kita tidak begitu dianggap oleh orang lain maka pasti orang itu yang salah! Dia sirik, tidak mendukung, bodoh, dsb! Ketika apa yang kita lakukan dihalangi, kita marah karena menghalangi kita “yang diurapi” ini berarti menghalangi Tuhan! Kalau pelayanan kita di dalam tim, maka kita mulai merasa tim kita super. Kita bangga berada di dalam tim itu yang jauh lebih baik dari tim yang lain. Maka saya atau tim saya lebih dari orang atau tim lain. Barangsiapa mengganggu kami, menghalangi kami, tidak mendukung kami, dia sungguh-amat-sangat-super-keterlaluan!

2. Kita tidak lagi memuliakan Tuhan
Sebelum pelayanan kita berdoa dengan sungguh memohon pertolongan Tuhan, tapi begitu selesai pelayanan dan menerima pujian, ekstasi itu mulai bekerja me-ninabobo-kan kita. Kita menikmati semua pujian itu dan Tuhan disingkirkan. Kita bahkan ingin mengulang lagi pelayanan yang seperti itu, bukan karena ingin melayani tapi karena kita kecanduan ekstasi-kesuksesan.

Masih layakkah kita menyebut diri kita “pelayan”? Artinya kita ini berada di tempat yang rendah, tidak apa ditolak, dicaci, apalagi sekedar tidak dianggap. Bukan dengan pikiran “biarin gua sekarang diginiin, nanti gua buktiin”, tapi dengan pikiran seperti Kristus yang memang datang untuk melayani dan bukan dilayani. Masih layakkah kita sebut apa yang kita kerjakan itu “pelayanan”? Artinya menjalankan yang Tuhan mau, karena Tuhan dan untuk Tuhan. Bukan dengan pikiran “ya kerja begini nggak dibayar kan namanya pelayanan”, tapi dengan pikiran penuh takut dan gentar dipakai oleh Tuhan.

Seringkali memang tidak jelas lagi kita hamba atau tuan!? Betapa pentingnya kita melawan efek "ekstasi-kesuksesan” itu setelah pelayanan yang sukses dengan memeriksa diri. Kita perlu bertanya lagi “siapa saya? apa yang saya rasakan? apa yang saya ingini?” Kemudian berdoa, memohon ampun, dan kembali merendahkan diri di hadapan Tuhan.

Thursday, November 21, 2013

Biblika: Majoring in “not-so-minor”

Ketika akan berangkat studi tahun 2009, tidak terlalu sulit untuk memutuskan bahwa saya ingin menekuni studi biblika – Perjanjian Baru. Alasannya waktu itu sederhana. Saya sedang tertarik dengan spiritualitas dan karena di TTC tidak ada jurusan spiritualitas maka saya harus memilih apakah mendalami Perjanjian Baru atau bidang Teologi. Saya memilih Perjanjian Baru. Salah satu alasannya adalah saya tidak merasa tertarik “mengutak-atik” teologi, pemikiran para teolog, filsafat di baliknya, dst. Sementara, saya selalu tertarik “mengutak-atik” Alkitab.

Di awal studi dalam program M.Th, saya makin menyadari perbedaan studi Biblika dan Teologi. Studi biblika memang berarti “mengutak-atik” Alkitab. Itu berarti saya berhadapan dengan data berupa tulisan kuno yang disebut Alkitab dan berbagai tulisan kuno lain di sekitarnya. Saya harus mempelajari retorikanya, budayanya, bahasanya, dst, untuk bisa merekonstruksi ulang situasi dan maksud dari tulisan itu. Pusing? Saya sangat pusing!

Waktu pusing itulah, saya mulai “iri” dengan teman-teman di bidang Teologi. Mereka mendalami tema-tema besar yang berkaitan langsung dengan berbagai pertanyaan orang Kristen. Mereka makin mampu berdialog dalam banyak isu. Buku-buku yang dibaca pun topiknya luas, menarik, dan intelektual (menurut saya). Sementara saya “hanya” mendalami hal-hal yang “kecil-kecil”.

Misalnya saja ketika bicara tentang hidup Kristen dan dosa, orang Teologi mungkin akan bicara tentang konsep evil, pemikiran para teolog tentang spiritual warfare, bagaimana dosa bekerja dalam hubungan dengan ordo salutis, dll. Sementara orang Biblika cenderung akan bicara tentang apa data yang diberikan Alkitab – khususnya kitab tertentu – mengenai hidup Kristen, apa yang dikatakan Petrus atau Paulus atau Yohanes tentang dosa, dan apa situasi di balik semua argumen mereka?

Studi Biblika adalah tentang data: apa yang ada di dalam Alkitab. Data itu dicari, dikeluarkan, direkonstruksi. Studi Teologi adalah merangkum data yang ditemukan oleh studi Biblika menjadi tema-tema besar. Orang Biblika akan bertanya apa yang dikatakan Paulus dalam surat Korintus tentang Allah? Apa yang dikatakan oleh Injil Yohanes tentang Allah? Orang Teologi akan bertanya siapa Allah? Bagaimana menjelaskan tentang Allah kepada orang zaman ini? Kira-kira, kasarnya, begitu lah. Mudah-mudahan contoh di atas cukup memberi gambaran.

Maka tidak salah juga kalau ada orang yang mengejek bahwa studi Biblika adalah majoring in minor. Studi kami adalah pada yang kecil-kecil. Dan harus diakui kadang sangaaattt kecil sampai seperti tidak ada artinya.

Tetapi sekian tahun sekarang saya mendalami studi Biblika, saya makin melihat keindahannya. Berkali-kali saya mengerutkan dahi mendengar kalimat-kalimat orang Teologi yang menurut saya salah mengerti data Alkitab. Berkali-kali saya harus tidak setuju, dan agak sebal, membaca buku-buku spiritualitas karena menurut saya salah menggunakan data Alkitab. Seringkali akibatnya sama sekali tidak sederhana!

Seharusnya studi teologi terintegrasi. Orang Biblika harusnya merangkum data penemuannya dan mulai membangunnya menjadi Teologi. Itu berarti perlu waktu untuk mengerti pertanyaan orang zaman ini dan refleksi (day dreaming, if you like) bagaimana menjawabnya. Orang Teologi harusnya memakai penemuan orang Biblika sebelum memulai refleksi teologis mereka. Tapi kenyataannya karena bidang masing-masing sudah sangaaaattt besar dan rumit, maka orang Biblika sering berhenti di data sementara orang Teologi agak “asal-asalan” memakai data Alkitab dan cepat-cepat lompat berpikir secara teologis. Saya kira ini harus menjadi “alarm” bagi kita semua yang belajar teologi.

Saya tidak mengklaim tahu segalanya tentang Alkitab! Siapa lah saya!?? Saya baru belajar sepotong kecil saja dari Alkitab. Tapi saya makin sensitif dengan cara orang merangkum data Alkitab, khususnya bagian yang pernah saya pelajari dengan mendetil. Makin lama… saya makin mengerti bahwa studi Biblika ternyata not-so-minor!

Sunday, November 17, 2013

Tuhan Akan Memelihara Gereja-Nya

Beberapa waktu lalu sekolah minggu GKY Jemaat Green Ville mengadakan lomba menceritakan kisah Alkitab yang diikuti oleh anak kelas 1-6. Ada seorang peserta yang sangat baik tapi harus di-diskualifikasi karena belum cukup umur - masih TK. Tapi panitia kemudian mengapresiasi dia sebagai peserta termuda dan berbakat.

Dalam kebaktian pertama di GKY Jemaat Green Ville minggu lalu, para pemenang lomba itu dipanggil maju ke depan dan diberikan apresiasi. Anak yang masih TK yang di-diskualifikasi itu diminta menyampaikan cerita "Daniel di gua singa" yang dia bawakan waktu lomba. Saya terkejut! Sepanjang dia bercerita, saya terkagum-kagum. Dia bercerita tanpa teks dan sangaaaatttt bagus! Bukan hanya kagum, tapi berkali-kali jemaat juga dibuat tertawa dengan kreativitasnya dalam bercerita. Tanpa disadari, saya menangis... saya terharu. Otak saya langsung berputar mempertanyakan diri sendiri, mengapa saya begitu terharu?

Saya teringat bahwa beberapa waktu ini saya merasa khawatir dengan kondisi gereja Injili di Indonesia. Saya melihat bahwa tidak banyak orang yang mau menjadi hamba Tuhan. Dari jumlah yang sedikit itu, lebih sedikit lagi yang punya kemampuan intelektual yang tinggi, berbakat, berdedikasi untuk belajar dan mengajar Firman Tuhan. Makin banyak orang pintar tapi makin sedikit yang mau menjadi hamba Tuhan. Bagaimana masa depan gereja? Situasi dalam gereja juga seringkali begitu tidak mendukung seorang hamba Tuhan untuk terus mengutamakan belajar dan mengajar Firman Tuhan. Kesibukan membunuh kerinduan untuk belajar. Segelintir hamba Tuhan yang punya kemampuan intelektual tinggi pergi untuk studi lanjut, sebagian menjadi 'ngaco', sebagian tidak mau kembali ke Indonesia, maka hanya super segelintir yang sisa. Saya sangat khawatir.

Sekarang di depan saya ada sekelompok anak-anak sekolah minggu yang pandai dan bebakat menceritakan kisah Alkitab. Ditambah melihat anak TK bercerita seperti itu - dengan kemampuan, kreatifitas, dan daya hafal yang bahkan tidak saya miliki, saya terharu.

Saya tahu belum tentu anak-anak itu akan menjadi hamba Tuhan. Tetapi di momen itu, Tuhan seperti menunjukkan kepada saya bahwa Dia pegang kendali gereja-Nya. Dia memelihara dan akan terus memelihara gereja-Nya dengan cara-Nya sendiri. Saya bersyukur untuk anak-anak sekolah minggu itu.

Wednesday, November 13, 2013

My Dissertation Writing - 2

Minggu lalu adalah kebaktian penutupan semester di TTC. Saya jarang menghadiri chapel service di TTC karena selain beban studi saya punya cukup banyak komitmen lain. Tapi kali ini adalah kebaktian penutupan. Saya ingin menghadirinya sekedar penanda bahwa satu semester sudah berlalu.

Pagi itu sempat muncul keraguan untuk hadir karena siangnya saya akan kembali ke Indonesia sementara masih ada khotbah yang harus dipersiapkan! Akhirnya saya tetap hadir. Dan saya bersyukur. Kebaktian itu sungguh menjadi penanda bagi saya, satu semester Tuhan sudah memimpin, satu semester sudah saya hidup di tengah komunitas kecil bernama TTC.

Minggu sebelumnya saya menyerahkan proposal disertasi kepada supervisor saya. Sebetulnya bagi saya proposal itu belum baik karena masih banyak ketidakjelasan. Tapi saya sudah mentok. Apalagi bagian outline, saya tidak tahu harus menulis apa. Tapi waktu sudah sangat mepet... hanya satu minggu sebelum semester berakhir. Kalau saya tidak menyerahkannya maka pasti akan mundur ke Januari. Akhirnya saya selesaikan bagian outline dengan asal-asalan. Saya serahkan proposal itu disertai email 'permohonan'. Kira-kira isinya memohon maaf karena sangat terlambat, tapi kalau boleh saya minta waktu ketemu sebelum libur, tapi kalau tidak bisa saya mengerti bla..bla..bla... Keesokan harinya saya terkejut karena menerima email dari dia mengundang saya untuk bertemu 1 hari sebelum penutupan semester.

Hati saya separuh kebat-kebit separuh "que sera sera" ketika bertemu dengan dia. Ternyata proposal saya disetujui! Tapi sesuai dugaan, outline saya harus direvisi (ya iya lah...). Saya sudah bisa mulai menulis disertasi saya. Dia hanya minta saya mengirim email mengenai outline yang direvisi.

Semangat belajar saya sedang tinggi. Saya makin mencintai topik yang akan saya tulis ini. Bagi yang pernah tahu, waktu itu saya bercerita bahwa topik saya adalah "Flesh/Spirit Antithesis in Paul". Setelah bergumul lagi, saya memperbaikinya menjadi "Pauline Ethics of Spirit in the Letter to the Galatians". Rasanya masih perlu diperhalus, tapi biarlah nanti saja.. hanya masalah supaya lebih keren.

So here I am, celebrating what God has given and how He has led me thus far. Thanks be to God!