Thursday, February 14, 2013

Lent

Hidup kita terbentuk oleh pergantian tahun. Ada tahun-tahun dimana kita masih kecil, remaja, pemuda, dewasa, setengah baya dan menjadi tua. Kalender dipakai untuk menandai peristiwa-peristiwa itu, dimulai pada 1 Januari dan diakhiri pada 31 Desember. Setiap tahun hidup kita berjalan dalam kalender itu.

Kalender liturgi gereja (liturgical year) tidaklah sama dengan kalender biasa. Kalender liturgi gereja berpusat pada misteri hubungan Allah dan manusia. Waktu ditandai bukan dengan tanggal tapi dengan peristiwa-peristiwa penting bagi iman kita. Maka kalender liturgi gereja tidak dimulai pada 1 Januari, tapi pada minggu pertama Advent, mempersiapkan kita menyambut Natal. Tonggak berikutnya adalah masa Lent, mempersiapkan kita memasuki Jumat Agung dan Paskah. Berikutnya adalah Kenaikan Yesus, Pentakosta, dan akhirnya kembali ke masa Advent.

Tahun demi tahun, kalender liturgi gereja membawa kita tenggelam lagi dan tenggelam lagi dalam makna kehidupan Kristen. Kita bukan hanya mengingat: Yesus lahir, mati dan bangkit untuk kita, tapi kita dibawa untuk mencocokkan diri kembali dengan apa yang Allah kerjakan bagi kita. Tahun ini kita merenungkan Natal, lalu minta ampun dosa waktu Jumat Agung dan Paskah, tahun depan kita kembali melakukan yang sama. Tapi tiap tahun, kita diajak untuk melihat apakah kita makin mengikuti Yesus? Apakah kita bertumbuh makin mencintai Yesus? Kalender liturgi gereja mengajar kita arti mengikut Yesus.

Dua bulan lagi kita akan merayakan Jumat Agung dan Paskah. Sebelum itu, ada masa Lent. Masa ini adalah masa merendahkan diri di hadapan Tuhan. Masa ini mengajak kita sadar bahwa kita adalah manusia yang berdosa dan hina. Tanpa kasih Tuhan, kita semua pasti binasa! Maka selama masa ini, kita banyak berdoa, berpuasa, dan memohon ampun dosa. Secara khusus kita mendekatkan diri kepada Tuhan dan menjauhkan diri dari berbagai hal yang mengalihkan perhatian kita dari Tuhan. Seperti masa Advent mempersiapkan kita menyambut Natal, demikianlah masa Lent mempersiapkan kita menyambut Jumat Agung dan Paskah.

Masa Lent diawali pada hari Rabu yang sering disebut sebagai Rabu Abu (Ash Wednesday). Di banyak gereja, biasanya waktu itu jemaat akan diberikan tanda salib di dahinya dengan abu. Di dalam Alkitab, abu di kepala adalah tanda berkabung. Tapi abu juga adalah simbol dari kefanaan kita, bahwa kita dicipta dari debu dan akan kembali menjadi debu.

Makna dari seluruh upacara tersebut adalah merendahkan diri, berduka atas dosa, dan mengingat bahwa kita adalah manusia yang fana. Kita hanya manusia, diciptakan dari debu dan akan kembali menjadi debu! Dan setelah itu bertanggung jawab kepada Tuhan.

Banyak orang Kristen di Indonesia yang berpikir bahwa Rabu Abu - dan juga Lent - adalah ‘milik’ gereja Katolik. Tetapi ini bukan tradisi milik gereja Katolik. Gereja mula-mula mulai memasukkan Lent di dalam kalender gereja mungkin sejak abad ke-2 atau ke-3, sekitar 1800 tahun yang lalu (sebelum ada pembedaan Katolik dan Protestan). Dan sekarang ini berbagai gereja di dunia dari Katolik, Lutheran, Presbiterian, Reformed, Methodis, Anglikan, dan Baptis, melakukannya.

Tahun ini, GKY Green Ville akan ikut menjalankan tradisi ini. Sesuai kalender gereja seluruh dunia, masa Lent akan dimulai pada hari Rabu tanggal 13 Februari. Maka di dalam Persekutuan Doa hari Rabu itu, kita akan bersama memulai masa Lent dengan Rabu Abu. Kita akan merenungkan kehidupan kita yang fana dan membutuhkan Tuhan. Setelah itu minggu demi minggu menjadi masa kita mempersiapkan diri memasuki Jumat Agung dan Paskah.

Tepat satu minggu sebelum Paskah nanti adalah Minggu Palem - Minggu memperingati Yesus masuk ke Yerusalem dan kemudian mati disalibkan di sana. Minggu Palem mengajak kita menyadari betapa bedanya menyembah Yesus “di mulut” dan “di hati”, seperti orang banyak yang bersorak “Hosana” dan “salibkan Dia”.

Minggu itu juga disebut sebagai Minggu Sengsara karena di situ Yesus bergumul dengan berat menjelang naik ke kayu salib. Di minggu itu, seluruh kuasa kegelapan bersatu melawan Allah. Dia pasti mati! Tapi bukan kematian biasa karena Yesus sendiri yang memilih untuk sengsara dan mati bagi kita. Selama minggu sengsara itu kita akan berpuasa dan berdoa lebih lagi, sampai akhirnya tiba Jumat Agung dan Paskah.

Mari siapkan diri kita untuk memasuki masa Lent ini. Jumat Agung dan Paskah sudah dekat!

Monday, February 04, 2013

David Brainerd - John Thornbury

Buku yang aslinya berjudul “Five Pioneer Missionaries” ini diterbitkan di Indonesia oleh Penerbit
Momentum di dalam lima jilid. Salah satunya diberi judul “David Brainerd: Misionaris Bagi Suku Indian Amerika”.

David Brainerd lahir pada tanggal 21 April 1718. Orang tuanya mempunyai 5 orang putra, 4 di antaranya menyerahkan hidup untuk memberitakan Injil dan 3 orang dari mereka meninggal pada usia muda. Yang satu meninggal pada usia 27 tahun. Satu lagi meninggal 6 tahun kemudian ketika masih mahasiswa. Dan David Brainerd sendiri meninggal pada usia 29 tahun. Ada 3 kisahnya yang sangat berkesan bagi saya:

Pertama, kisah pertobatannya. Sekalipun sudah lama menjadi orang Kristen, tapi ia merasa belum sungguh2 diselamatkan. Ia sering berjalan sambil berdoa dengan perasaan tertekan karena merasa terancam hukuman kekal. Ia berpikir bahwa kalau ia bisa merasa hancur luluh karena dosa, rendah hati, penuh kasih dalam berdoa, tunduk pada apa pun yang dilakukan Tuhan pada dirinya, dan menerima sepenuhnya ajaran Alkitab, barulah ia yakin telah diselamatkan. Sampai ia menyadari bahwa keselamatan berada di luar kemampuannya sendiri dan semua kegiatannya seperti berdoa, berpuasa, dan lain-lain adalah sia2 karena untuk kepentingan diri sendiri. Akhirnya pada usia 21 tahun, ketika sedang berjalan dan berdoa, tiba2 terang surgawi memancar dalam jiwanya. Ia tidak melihat cahaya, tapi suatu pandangan yang baru tentang Allah muncul dalam hatinya: kemuliaan Ilahi. Dia diam, tertegun, kagum! Dia merasa ditelan seluruhnya ke dalam Tuhan sampai hampir tidak menyadari ada makhluk seperti dirinya! Dan karena peristiwa itu, Brainerd memiliki kerinduan kuat untuk mempermuliakan Tuhan.

Membaca kisah pertobatannya membuat saya berpikir betapa “gampangan”nya dan sembarangannya banyak orang Kristen hari ini! Kita menawarkan keselamatan yang gampangan (cukup sebut “saya mau percaya Yesus”) dan orang2 menerima keselamatan yang gampangan! Hasilnya tidak ada keseriusan mengikut Tuhan, tidak ada kerinduan untuk mempermuliakan Tuhan. Saya tidak bilang “mari kita mempersulit Injil” tapi kita sering membuat Injil terlalu murahan.

Kedua, kisah pendidikannya. Ia belajar sangat keras selama menjadi mahasiswa di Yale dan menjadi mahasiswa terbaik di kelasnya. Tetapi ketika hampir lulus, sesuatu terjadi (kisahnya panjang) dan Brainerd dikeluarkan dari Yale. Di salah satu gedung asrama mahasiswa di Yale hari ini, terpampang inskripsi “David Brainerd, angkatan 1743”. Gedung ini dibangun oleh Yale untuk menghormati Brainerd yang pernah dipermalukan dan dikeluarkan dari universitas itu.

Orang pandai ini bisa menikmati penghormatan dengan prestasi akademiknya, tapi dengan cara yang ajaib Tuhan mengarahkan dia pada jalan hidup yang lain. Dan nama Brainerd hari ini dikenal karena pekerjaan misinya dan bukan prestasi akademisnya.

Ketiga, kisah komitmennya. Ia melayani orang2 Indian di ladang yang sangat sulit. Penderitaan fisik bertubi2 ia alami sampai akhirnya ia meninggal di usia muda. Penderitaan batin ia terima - kesepian luar biasa, penolakan, kesedihan. Dan saya tidak bisa tidak terharu membaca tulisannya di titik balik terakhir hidupnya. Ia sudah sakit2an, ia tahu akan mati kalau terus hidup seperti itu, dan ia juga ingin menikah (ia menjalin hubungan dekat dengan anak dari Jonathan Edwards). Dia membayangkan hidup yang bahagia kalau ia menetap dan membangun keluarga, tapi akhirnya dia menulis:

Namun kini pemikiran2 ini hancur berkeping2, bukan dengan paksa, melainkan dengan pilihan sukarela; sebab saya merasa bahwa Allah telah bekerja dalam hidup saya untuk mempersiapkan saya untuk hidup dalam kesendirian dan penderitaan, dan bahwa saya tidak akan kehilangan apa2 dalam hal yang terkait dengan dunia, jadi saya tidak rugi apa pun bila saya melepaskan semua keinginan itu.

Bagi saya adalah baik bila saya miskin, tanpa rumah dan keluarga, tanpa kenyamanan hidup yang dinikmati umat Allah yang lain, untuk mana saya bersukacita bagi mereka. Namun bersamaan dengan ini saya melihat begitu banyak kemuliaan kerajaan Kristus dan begitu kuat kerinduan untuk memperluasnya di dunia, sehingga hal ini menelan semua pemikiran saya yang lain, dan membuat saya rela, ya bahkan bersukacita, untuk menjadi musafir yang sendirian di padang belantara sampai akhir hayat saya, asalkan saya boleh mengambil bagian dalam pekerjaan yang indah dari Penebus saya yang agung.

Sekarang saya berikrar untuk mempersembahkan jiwa saya kepada Allah untuk melayani Dia sepenuhnya. Segenap pikiran dan kerinduan saya menyerukan, “Ini saya, Tuhan, utuslah saya, utuslah saya sampai ke ujung bumi, utuslah saya kepada bangsa kafir yang liar dan ganas di padang belantara, utuslah saya menjauhi segala sesuatu yang dinamakan kenyamanan di bumi, atau kenyamanan duniawi, utuslah saya bahkan kepada maut sekalipun, bila itu dalam pelayanan bagi-Mu dan untuk memperluas kerajaan-Mu…

Perkampungan yang tenang, tempat tinggal yang tetap, persahabatan yang lembut, yang saya harap akan saya nikmati bila saya memilih keadaan itu, kelihatan sangat berharga bagi saya bila dipertimbangkan secara tersendiri, namun bila dipandang dalam perbandingan, ini seolah-olah tak ada artinya… Kendati itu berarti saya akan kehilangan semua yang lain, saya tak dapat berbuat yang lain, sebab saya tidak dapat dan tidak mau memilih yang lain.

Atas pilihan saya sendiri, saya terpaksa mengatakan, “Selamat berpisah, teman2 dan kenyamanan duniawi, juga yang paling saya kasihi, bila Tuhan memintanya: selamat tinggal, selamat tinggal; saya rela menghabiskan hidup saya sampai saat terakhir, dalam gua2 dan celah2 gunung di bumi, bila dengan demikian kerajaan Kristus dapat di perluas”.

Kalau anda tidak tergerak dengan tulisan di atas, maka mungkin ada yang salah!

Brainerd bukan saja mempertobatkan banyak orang Indian, tetapi pelayanannya dan tulisannya mempengaruhi sangat banyak misionari2 Kristen, Dan dengan tulisan di atas, Brainerd memutuskan menghabiskan sisa hidupnya di ladang misi. Ia berikan dirinya sepenuhnya sampai habis untuk Tuhan.

Buku ini cukup kecil dan cukup tipis, hanya 121 halaman. Secara penulisan, saya kira cukup baik. Saya hanya kurang menikmatinya karena ini versi terjemahan. Tapi kisah Brainerd sendiri membuat saya speechless.