Friday, February 21, 2014

Si “Sombong”

“Sombong” jelas adalah sesuatu yang tidak disukai baik oleh Tuhan maupun oleh manusia. Cari saja
kata “sombong” di dalam Alkitab, kita akan menemukan betapa dibencinya sifat ini. Tetapi manusia umumnya punya kesombongan ini di dalam hatinya.

Mungkin jarang dari kita yang sombong terang-terangan seperti di sinetron. Si sombong itu seringkali tersembunyi. Begitu baiknya dia bersembunyi di dalam hati kita sehingga kita merasa tidak sombong. Maka hati ini perlu dikorek, penutupnya dibuka, supaya si sombong itu bisa ditarik keluar dan diusir.

Caranya sederhana, coba lihat bagaimana perasaan kita ketika dipuji oleh orang lain. Sebelum melakukan sesuatu yang besar, kita berdoa, mohon Tuhan yang pimpin, kita berjanji “segala kemuliaan bagi Tuhan,” tetapi begitu selesai dan pujian berdatangan? Kalau ada sesuatu yang merayap dalam hati kita dan berkata: “Wow, hebat juga gua!” Gotcha! Kita menemukan si sombong itu ada di hati kita.

Cara kedua, coba lihat apakah kita sering bermain permainan “lihat aku”. Waktu kecil kita suka melakukan sesuatu yang dilihat oleh orang tua kita, “Pa..ma.. lihat nih..” Waktu dewasa kita memang tidak mengucapkan itu lagi, malu dong… Tapi mungkinkah sebetulnya kita masih memainkan permainan yang sama? Kita ingin orang tahu ketika kita berbuat baik. Kita ingin orang tahu ketika kita memberi dalam jumlah yang besar. Mungkin itulah sebabnya ada orang yang tidak mau memberi persembahan dalam jumlah yang kecil dan rutin, tetapi lebih suka memberi jumlah besar dalam proyek besar! Kita ingin orang tahu ketika kita berkorban. Demikian seterusnya. Gotcha! Kita menemukan lagi si sombong itu dalam hati kita.

Masih banyak cara lainnya. Tapi saya ingin memberi satu lagi saja. Ini jenis pengujian yang lain. Kalau dua yang di atas memeriksa adanya si sombong dengan melihat apakah saya sombong, maka yang satu ini memeriksa adanya si sombong dengan melihat reaksi saya ketika “disombongin”. “Disombongin” bukan dalam arti dibangga-banggain oleh orang lain tetapi ketika kita diperlakukan dengan sombong oleh orang lain. Orang itu membesarkan diri, congkak, angkuh, sombong di hadapan kita dan memperlakukan kita jauh di bawahnya. Dengan kata lain kita “disombongin”.
Ketika kita “disombongin” oleh orang lain, apa reaksi kita? apa perasaan kita? Apakah kita ingiiiinnn sekali berkata, “Astagaaa… ini orang nggak tahu diri banget! Baru gitu aja sombongnya minta ampun! Emangnya gua musti bilang wow gitu? Dia pikir dia hebat begitu? Huh.. amit-amit!” Dan sebenarnya ada satu kalimat yang mungkin tidak terucapkan, “Kalau aja dia tahu siapa gua…” atau “Dia pikir gua butuh dia? Dia pikir gua nggak bisa?” Gotcha! Kita menemukan lagi si sombong itu di dalam hati kita.

Maka jelas melatih diri untuk tidak sombong tidaklah mudah. Dia akan bersembunyi dan membuat kita merasa sudah bebas darinya padahal dia terus akan muncul lagi dan muncul lagi. Maka sama seperti terhadap semua dosa lainnya, ini bukan pembersihan satu kali tetapi terus menerus. Kita perlu terus mengingat siapa kita ini dan siapa Tuhan. Kita perlu terus mengingat segala anugrah Tuhan bagi kita. Kita perlu terus membuka hati untuk Roh Tuhan bekerja, membersihkan hati ini, membawanya sesuai dengan Firman, mengangkatnya untuk mengagumi Tuhan, dan menggerusnya dari kebiasaan dosa.

Sulit? Ya, pasti! Kita tidak akan bisa melakukannya sendirian. Kita perlu anugrah Tuhan untuk mengenali kesombongan di dalam hati kita dan mengusirnya keluar.

Monday, February 10, 2014

A Grief Observed - C.S. Lewis

Saya tidak punya harapan apapun ketika mulai membaca buku ini. Saya membacanya hanya karena
ini adalah tulisan C.S. Lewis. Titik. Tapi begitu membaca kata pengantar yang ditulis oleh anak tirinya, saya mulai terpikat. 
Buku ini ditulis Lewis setelah kematian istrinya, Helen, dan merupakan catatan pergumulannya untuk menerima dan mengatasi duka yang menghancurkan hidupnya. Seperti dikatakan anak tirinya, yang membuat buku ini lebih luar biasa adalah karena penulisnya adalah orang luar biasa, dan wanita yang diratapinya adalah wanita luar biasa.

Lewis adalah cendekiawan yang sangat luar biasa, kemampuannya berpikir, menghafal, dan berdebat, membuat dia terisolasi dari kebanyakan orang. Helen mungkin adalah satu-satunya wanita yang pernah dia temukan yang kemampuan intelektualnya menyaingi dia. Helen pernah menikah dengan seorang novelis dan memiliki dua orang putra sebelum bercerai. Ketika menulis sebuah buku, Helen berkenalan dengan Lewis dan mereka menjadi akrab. Awalnya Lewis tidak ingin memperdalam hubungan mereka. Tetapi kenyataan bahwa dia akan segera kehilangan Helen karena penyakit kanker memaksa Lewis mengakui perasaannya. Mereka pun menikah. Anak tirinya berkomentar, "hampir terlihat seperti kejam bahwa kematian [Helen] tertunda cukup lama untuk [Lewis] bertumbuh mencintai dia sepenuhnya sehingga dia memenuhi dunia [Lewis] sebagai karunia terbesar yang Tuhan berikan kepadanya, dan kemudian dia mati dan meninggalkan [Lewis] sendirian di tempat yang diciptakan oleh kehadirannya dalam hidup [Lewis."

Tidak heran, Lewis mengalami kehilangan dan duka yang sangat besar dan bahkan keraguan akan Tuhan. Menarik bagaimana dia melukiskan itu (saya terjemahkan):

Sementara itu, dimana Allah? Ini adalah salah satu kenyataan yang menggoncangkan. Ketika engkau bahagia, begitu bahagia sehingga engkau tidak merasa membutuhkan Dia, begitu bahagia sehingga engkau tergoda untuk merasa klaim-klaim-Nya atasmu sebagai interupsi, jika engkau ingat dirimu dan berbalik kepada-Nya dengan syukur dan pujian, engkau akan -atau rasanya seperti- disambut dengan tangan terbuka. Tetapi pergilah kepada-Nya ketika kebutuhanmu sangat mendesak, ketika semua pertolongan sia- sia, dan apa yang kau temukan? Pintu yang dibanting di hadapanmu, dan suara pintu dipalang dua kali dari dalam. Setelah itu, sunyi. Engkau boleh berbalik pergi. Makin lama engkau menunggu, makin tegas kesunyian itu. Tidak ada cahaya pada jendela-jendela. Mungkin itu rumah kosong. Pernahkah rumah itu dihuni? Kelihatannya pernah. Dan kelihatannya itu sama kuatnya seperti kenyataannya. Apa artinya? Mengapa Dia begitu hadir sebagai pemegang kendali pada saat kemakmuran dan begitu tidak hadir sebagai pertolongan pada saat kesesakan?

Buku ini membuka wawasan saya akan kedukaan, kesepian, cinta, dan keraguan. Ada banyak hal menarik yang diungkapkan oleh dia. Lewis tidak pernah punya jawaban untuk semua pertanyaannya, tetapi akhirnya dia mendapatkan kekuatan untuk mengatasi dukanya dan percaya kepada Tuhan.

Buku ini sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh penerbit Pionir Jaya dengan judul: Mengupas Duka. Saya belum pernah melihat versi terjemahannya walaupun ada beberapa teman yang berkomentar bahwa terjemahannya tidak enak dibaca. Saran saya baca dulu beberapa halaman sebelum membeli, atau jika bisa, bacalah yang versi bahasa Inggris.

Wednesday, February 05, 2014

Never the Same

Salah satu buku yang sangat berkesan bagi saya adalah: Peace Child (Sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia: Anak Perdamaian). Buku itu bercerita tentang misionaris, Don Richardson bersama keluarganya, yang pada tahun 1962 pergi melayani di tengah suku-suku Sawi di Papua. Waktu itu suku Sawi masih hidup sebagai kanibal, perang antar suku terus menerus terjadi, dan mereka sangat menjunjung tinggi pengkhianatan (maka Yudas adalah pahlawan bagi mereka!). Don dan keluarganya dipakai Tuhan untuk membawa suku-suku Sawi kepada Tuhan. Perubahan mereka begitu drastis ketika hati mereka diterangi oleh Injil. Buku ini sangat menggerakkan hati saya. 

Tadi pagi saya menemukan sebuah film pendek (Never the Same) yang mendokumentasikan ketika Don dan tiga anaknya kembali mengunjungi daerah itu pada tahun 2012, tepat 50 tahun setelah kedatangan mereka yang pertama kalinya. Saya terharu sekali melihat film ini. Saya jadi bertanya lagi apa yang saya inginkan dalam hidup ini? Apa yang berharga untuk dilakukan dalam hidup ini? Sungguh, “betapa indahnya kedatangan mereka yang membawa kabar baik!” (Rom 10:15). 

Di bawah ini adalah link dari videonya: