Friday, August 22, 2014

Cara Berpikir - Part 2: Benarkah Begitu?

Ini bagian yang kedua dalam tulisan seri “Cara Berpikir”. Saya pernah menulis Cara Berpikir – Part 1: Apa sih Masalahnya? di sini.

Percayalah ada banyak masalah yang kita pikir sudah tahu jawabannya dengan sangat jelas dan kinclong ternyata belum terjawab. Ada banyak masalah yang kita pikir sudah yakin dan pasti jawabannya ternyata salah jawabannya. Saya menemukan seringkali kita terlalu cepat menarik kesimpulan “PASTI INI PENYEBABNYA! PASTI INI JAWABANNYA!” – padahal BUKAN! Maka pertanyaan yang sangat penting untuk ditanyakan adalah: “Really? – Benarkah begitu?”

Saya berikan beberapa contoh dari seputar pelayanan:

Ketika saya ingin mengubah sesuatu di dalam pelayanan, kadang jawabannya adalah “Jangan! Banyak yang nggak suka, banyak yang marah, banyak yang akan ribut.” Maka case closed. Tapi alarm saya berbunyi, “Really? - Benarkah begitu?” Tahu darimana banyak yang nggak suka? Berapa yang nggak suka? Apa alasannya nggak suka, apakah karena tidak mau berubah atau hanya karena belum mengerti? Seringkali saya menemukan yang disebut banyak ternyata tidak banyak.

Kadang orang berkata “masalah ini nggak ada jalan keluarnya, semua cara sudah dicoba”. “Really? - Benarkah begitu?” Betulkah S-E-M-U-A sudah dicoba? Mungkinkah kita berpikir terlalu sempit? Mungkinkah kita mencari jalan keluar tapi terus hanya di dalam kotak yang sama dan tidak pernah berpikir di luar kotak itu (thinking outside the box)? Ilustrasi yang sering dipakai untuk melukiskan ini adalah ketika kita diminta untuk menghubungkan sembilan titik (3X3) dengan 4 garis.


Sepertinya tidak mungkin berhasil, padahal bisa kalau saja kita mau berpikir dengan cara lain!

Misalnya saja, banyak gereja punya persekutuan pemuda di hari Sabtu. Semua usaha dicurahkan kesitu. Semua program dibuat disitu. Semua pemuda di gereja diajak kesitu. Ketika semua gagal, kita rasa semua jalan sudah dicoba. Padahal mungkinkah jalan keluarnya adalah bubarkan persekutuan pemuda di hari Sabtu itu dan lakukan bentuk program yang lain? Disclaimer: Saya tidak mengatakan solusi ini pasti baik, tapi ini adalah salah satu kemungkinan solusi.

Kadang orang juga yakin sekali bahwa untuk mencapai sesuatu maka perlu ini dan itu. Misalnya: Supaya jemaat bertumbuh, supaya kebaktian teratur, supaya jemaat belajar secara sistematis, maka perlu ada tema di dalam kebaktian. “Really? - Benarkah begitu?” Salah satu caranya adalah kita bisa melakukan cek secara terbalik. Logikanya: "Supaya jemaat bertumbuh, supaya kebaktian teratur, supaya jemaat belajar secara sistematis, maka perlu ada susunan tema tahunan, bulanan dan mingguan di dalam kebaktan." Ok, coba kita cek betulkah kalau ada tema di dalam kebaktian dampaknya seperti itu? Sebaliknya, bagaimana jika tidak ada tema yang tersusun seperti itu, apakah kacau dan tidak baik? Jangan cepat-cepat memberikan jawaban!

Seringkali saya juga mendengar orang Kristen berkata bahwa mereka tidak suka khotbah yang “berat” maksudnya yang isinya berupa doktrin, teologi, penafsiran Alkitab yang susah, sebaliknya mereka mau yang praktis dan aplikatif. Perhatikan logikanya:

Masalahnya: Jemaat bosan waktu khotbah.
Peyebabnya: Khotbahnya “berat”, teori, doktrinal membosankan.
Jalan keluarnya: Khotbah harus yang gampang, ringan, praktis, just-do-it style!

"Really? - Benarkah begitu?" Kalau kita telusuri ke belakang, benarkah khotbah berupa doktrin, teologi, penafsiran Alkitab itu membosankan? Masalahnya di khotbah atau di pengkhotbah yang tidak bisa menyampaikannya dengan baik? Lebih jauh lagi, betulkah jemaat menginginkan khotbah yang gampang, ringan, praktis? Atau jangan-jangan mereka berpikir begitu karena lelah dengan pengkhotbah yang tidak berkhotbah dengan baik? Jikalau pengkhotbah menyampaikan kebenaran yang mendalam dengan baik, apakah jemaat masih akan berpikir begitu? (Saya berencana menulis lebih jauh tentang ini).

Beberapa orang menginginkan masa pelayanan gembala di sebuah gereja harus dibatasi secara waktu. Alasannya klasik: Supaya jangan jadi raja di situ! Supaya jangan jadi comfort zone bagi dia! Maka solusinya sederhana: Mutasi! "Really? Benarkah begitu?" Bagaimana jika ada sistem yang membuat tempat itu tidak menjadi comfort zone bagi dia dan dia juga tidak menjadi raja di situ? Pernahkah menghitung kerugian memutasi gembala sebuah gereja hanya berdasarkan periode waktu? Bagaimana jika di akhir periode pelayanannya, dia masih sangat baik melayani dan gereja sedang bertumbuh dan bersemangat untuk maju? Bukankah kalau dia dipindahkan, gereja malah akan hancur? Belum lagi kerugian psikologis. Seorang gembala perlu bertahun-tahun membangun kepercayaan dengan jemaatnya, sampai jemaat mau bercerita, sampai jemaat percaya kepada keputusannya, maka berapa capenya jemaat harus kembali membangun kepercayaan dengan gembala yang baru? Jujur, solusi ini terpikirkan karena adanya pengalaman buruk di masa lalu, tapi coba berhenti dulu dan berpikir benarkah itu solusinya? (Saya juga berencana menulis lebih jauh tentang ini).

Pola pikir ini bisa diterapkan di banyak bidang kehidupan, maka bisa banyak sekali contoh yang saya berikan. Tetapi, mungkin beberapa contoh di atas sudah cukup menjelaskan pola berpikir ini: “Really? - Benarkah begitu?” Kita akan dipaksa untuk berpikir lagi, lebih mendalam, lebih luas dari berbagai sisi. Itu sangaaaatttt… berguna!