Wednesday, August 27, 2014

Silence - Shusaku Endo

“Silence” - Pertama kali saya berkenalan dengan novel ini adalah ketika GKY Green Ville
mementaskannya dalam sebuah drama pada tahun 2006. Beberapa waktu lalu saya menemukan novel ini di perpustakaan TTC dan begitu mulai membacanya, saya tidak bisa tidak membacanya sampai habis.

Shusaku Endo menulis novel ini dengan latar belakang periode sejarah di Jepang yang disebut sebagai ‘abad kekristenan’. Kekristenan dibawa masuk ke Jepang oleh Basque Francis Xavier pada tahun 1549. Pekerjaan misi itu berkembang sehingga pada tahun 1579 diperkirakan sudah ada 150.000 orang Kristen di sana. Tetapi pada tahun 1597, Hideyoshi, salah seorang tokoh pemersatu Jepang, memerintahkan eksekusi mati 26 orang misionaris Kristen. Walaupun begitu, pekerjaan misi masih bisa dilanjutkan. Tetapi, kemudian di bawah pemerintahan Ieyasu, penerus Hideyoshi, penganiayaan menjadi perintah resmi. Itulah pukulan mematikan bagi kekristenan di Jepang di saat sudah ada 300.000 orang Kristen dari 20 juta populasi orang Jepang. Akhirnya di bawah pemerintahan para penerus Ieyasu, perburuan atas orang Kristen dan khususnya para imam menjadi sangat sistematik dan kejam untuk menghapus habis kekristenan dari Jepang.

Pada mulanya, cara eksekusi yang paling lazim adalah dengan membakar orang Kristen hidup-hidup. Lama kelamaan, cara eksekusi dirancang sedemikian rupa supaya orang Kristen tidak tahan dan murtad. Salah satunya adalah dengan menggantung orang Kristen di dalam sumur. Seluruh tubuh orang itu akan diikat erat dengan tali sampai batas dada (satu tangan dibiarkan bebas untuk memberi tanda ingin murtad) dan dia digantung terbalik ke dalam sumur yang penuh berisi kotoran. Untuk memberikan jalan keluar bagi darah maka dahinya diberi sayatan tipis dengan pisau dan darah akan menetes perlahan dari luka itu. Mereka yang kuat bisa bertahan lebih dari seminggu sebelum mati, tetapi banyak yang tidak bisa bertahan lebih dari satu atau dua hari. Cara ini sangat efektif membuat orang Kristen menyangkal Yesus.

Sampai tahun 1632, bagaimanapun beratnya penganiayaan, belum ada satupun misionaris yang menyangkali Yesus. Tetapi, berita buruk pun kemudian tiba: Christovao Ferreira menyangkal Yesus di sumur penyiksaan itu. Sangat mengejutkan karena Ferreira adalah salah seorang pimpinan misionaris! Lebih mengejutkan lagi diberitakan bahwa kemudian Ferreira bekerja untuk pemerintah Jepang! Sekelompok misionaris kemudian datang untuk menebus kesalahan Ferreira tetapi mereka segera tertangkap dan satu persatu juga menyangkal Yesus karena tidak tahan dengan penyiksaan.

Kekristenan memang tidak menghilang dari Jepang, tetapi masa penyiksaan itu menjadi masa yang sangat kelam bagi banyak orang Kristen. Dengan latar belakang inilah, Shusaku Endo berulang kali di dalam novelnya melontarkan pertanyaan yang sangat tajam: Mengapa Allah terus berdiam diri? Why is God continually silent?

Tokoh utama dalam novel ini adalah seorang imam bernama Rodrigues. Diceritakan bahwa dia datang ke Jepang untuk menebus kesalahan Ferreira dan dia tidak percaya bahwa Ferreira sudah murtad. Rodrigues sudah bertekad kuat bahkan untuk mati martir di Jepang. Tetapi, satu hal yang terus menggoncangkan dia di sana adalah dia melihat kehadiran dirinya ternyata bukan menolong orang Jepang tetapi menyusahkan mereka. Dia ingin melayani mereka tetapi justru karena dialah maka banyak orang Kristen yang mati dibunuh. Sebagian mati dibunuh karena menyembunyikan dia dan sebagian lagi mati dibunuh karena ia, Rodrigues, tidak mau menyangkal Yesus.

Momen paling menentukan adalah ketika dia dibawa ke penjara yang sangat gelap dan di sana dia mendengar suara “dengkuran” yang kuat. Ferreira yang bekerja untuk Jepang mendatangi dia dan mengajak dia menyangkal Yesus. Dengan tekad yang masih kuat, dia terus menolak. Sampai akhirnya Ferreira memberitahu dia bahwa itu bukan suara “dengkuran” melainkan suara orang Kristen yang kesakitan di dalam sumur penyiksaan karena Rodrigues tidak mau menyangkal Yesus. Ferreira bercerita bahwa dulu dia berada di posisi yang sama seperti Rodrigues, lalu dia berkata (saya terjemahkan):

“Mendengar erangan itu sepanjang malam aku tidak mampu lagi memuji Tuhan. Aku tidak murtad karena aku digantung di dalam sumur. Selama tiga hari, aku yang berdiri di hadapanmu ini digantung di dalam sumur penuh kotoran, tetapi aku tidak mengucapkan satu kata pun yang mengkhianati Allahku. Alasan aku murtad… apakah engkau siap? Dengar! Aku ditempatkan di sini dan mendengarkan suara orang-orang yang untuknya Allah tidak berbuat apa-apa. Allah tidak melakukan apapun. Aku berdoa dengan seluruh kekuatanku; tetapi Allah tidak melakukan apa-apa.”

Malam itu juga, akhirnya Rodrigues mengikuti ajakan untuk murtad dengan menginjak lukisan wajah Yesus di depan para penyiksanya. Dan Shusaku Endo berkata, waktu itu “Fajar menyingsing. Dan jauh di sana ayam pun berkokok.”

Novel ini sangat menggugah hati dan pikiran saya. Dua hal yang terus terpikir oleh saya:

1. Penderitaan mereka. Apakah saya punya hati untuk melayani Tuhan seperti para misionaris itu? Atau apakah saya punya hati untuk setia kepada Tuhan seperti orang-orang Kristen di Jepang itu? Masalah keberanian, daya tahan untuk disiksa, dan sebagainya, jelas saya tidak punya! (Hanya berharap Tuhan akan memberikan kekuatan pada waktunya). Tetapi, apakah saya punya hati untuk setia seperti itu? Ah… hidup saya melayani Tuhan hari ini terlalu nyaman dibanding mereka. Dengan cara apa saya memikul salib hari ini?

2. Mungkinkah Tuhan berdiam diri seperti yang digambarkan Shusaku Endo dalam novelnya? Pertanyaan itu berulang kali dia tanyakan, “Why God remains silent?” Saya bertanya-tanya bagaimana jika saya berada dalam situasi seperti itu dan Tuhan diam…??? Pertanyaan ini menggelitik saya selama beberapa waktu. Tetapi, pertanyaan yang lebih penting kemudian muncul: Mungkinkah Tuhan diam? Sangat diam? Sampai saya dibiarkan dalam kesunyian yang sangat panjang? Saya kira tidak! Ketika membaca Perjanjian Baru, saya menemukan situasi yang berbeda. Tak pernah Tuhan begitu diamnya sampai tidak ada lagi kesadaran kita akan kehadiran Tuhan.

Mungkinkah itu juga yang dipikirkan oleh Shusaku Endo? Di satu sisi, dia mengajak kita berpikir dan merasakan pergumulan orang Kristen ketika Tuhan ‘diam’. Di sisi lain, dia mengajak kita melihat bahwa Tuhan tidak diam. Karena di akhir dari novelnya, dia menaruh sebuah ucapan di mulut Rodrigues - yang pernah melakukan tindakan murtad tetapi masih terus setia kepada Tuhan dalam hatinya:

“But our Lord was not silent. Even if he had been silent, my life until this day would have spoken of him.” (Tetapi Tuhan kita tidaklah diam. Bahkan sekalipun Dia diam selama ini, hidupku sampai hari ini sudah berbicara tentang Dia).