Monday, October 27, 2014

Cara Berpikir - Part 3: Seeing Both the Forest and Trees

Ini bagian yang ketiga dalam tulisan seri “Cara Berpikir”. Saya pernah menulis di blog ini:
Cara Berpikir - Part 1: Apa sih Masalahnya? 
Cara Berpikir - Part 2: Benarkah Begitu?

Ada ungkapan dalam bahasa Inggris: “Miss the forest for the trees.” Ungkapan yang kalau diterjemahkan harfiah artinya: “Tidak melihat hutan karena melihat pohon-pohon.” Maksudnya kita begitu fokusnya pada hal-hal yang mendetil atau pada keruwetan dan seluk beluk suatu hal sampai akhirnya kehilangan big picture.

Ungkapan kebalikannya adalah: “Miss the trees for the forest” (ini ciptaan saya sih). Artinya mungkin sekali kita hanya melihat big picture tanpa pernah melihat detilnya. Kita hanya punya konsep besar tanpa memikirkan langkah-langkah mencapainya, tanpa melihat berbagai hambatan dan cara menghadapinya, tanpa mempersiapkan sumber daya yang dibutuhkan.

Jelas dua-duanya kurang baik! Maka saya ingin menciptakan ungkapan lain (yang kurang kreatif sebenernya): “Seeing both the forest and trees.” Maksudnya jelas, ketika memikirkan sesuatu, kita selalu harus melihat big picture dan juga detilnya.

Tetapi, kesulitannya adalah kita sulit untuk melihat keduanya sekaligus. Waktu melihat big picture, yang kecil-kecil menjadi kabur, waktu melihat yang kecil-kecil, big picture menjadi kabur. Bagi yang suka fotografi, ini seperti lensa, waktu di-zoom dia melihat yang detil tapi tidak bisa melihat wide, waktu dibuat wide ya semua kelihatan tapi tidak detil. Still following me? :-) Maka saya usul supaya kita belajar berpikir bukan melihat “forest” dan “trees” barengan, tapi bergantian – simultaneously. Proses ini juga bukan satu kali, tapi berulang-ulang. Pakai gambaran lensa tadi, ini seperti di-zoom, lalu dibuat wide, zoom lagi, wide lagi, zoom lagi, wide lagi, dan seterusnya.

Gambaran lain yang mungkin menolong: Bayangkan kalau kita adalah seorang prajurit yang diterjunkan ke medan perang di tengah hutan. Sebelum diterjunkan kita sudah melihat peta, kemana harus pergi, daerah mana yang harus dihindari, dst. Tapi pada waktu di tengah hutan, kita melihat pohon, binatang buas, sungai, kita terluka, lelah, dan kita mulai kehilangan arah kemana harus berjalan dan kehilangan semangat karena tidak tahu berapa lama lagi harus berjalan. Kita ketemu satu orang musuh lalu kita perang mati-matian padahal di dekat situ ada puluhan musuh yang harus diperangi. Alangkah indahnya kalau kita bisa terbang dulu ke angkasa lalu melihat ke bawah, kelihatan semuanya, dimana tempat tujuannya, dimana yang banyak musuh, dst. Tapi kalau kita kelamaan di angkasa, peperangan di bawah tidak akan selesai. Harus turun lagi! Tapi sekarang turun dengan insight hasil melihat dari angkasa tadi. Tidak lama berada di bawah, kocar-kacir karena perang, halusinasi karena kelelahan (sorry agak lebay), membuat kita perlu terbang lagi ke angkasa. Demikian seterusnya. Bolak-balik.. bolak-balik..

Waktu melayani, masih sebagai mahasiswa, saya menemukan benturan dua cara berpikir ini. Seorang teman selalu bicara big picture sementara saya selalu ngotot untuk mengajak melihat yang detil. Dia selalu menjawab: “Jangan bicara itu dulu, itu masalah teknis.” Tapi saya selalu berteriak: “Tapi kalau teknisnya nggak mungkin, buat apa bicara ini.” Saya orang yang cenderung terlalu detil dan ingin micro-managing segala sesuatu. Tetapi, lambat laun saya juga mulai belajar untuk melihat gambar besar. Tiap kali memikirkan sesuatu dengan terlalu detil, saya berusaha untuk menarik diri keluar hutan dan terbang seperti burung melihat semuanya dari atas, baru kemudian kembali lagi, demikian seterusnya bolak-balik. Saya menemukan cara berpikir seperti ini sangatlah berguna.

Tidak jarang ketika mendengar sebuah konsep pelayanan (big picture) yang dengan yakin dipresentasikan sebagai sebuah konsep yang baik, saya langsung melihat kebalikannya: Konsep itu buruk! Kadang konsep itu buruk karena tidak mungkin dijalankan. Kadang buruk karena karena dalam pelaksanaannya justru akan menimbulkan banyak masalah - yang kalau ditimbang lebih merugikan daripada berguna. Kadang buruk karena justru tidak akan mencapai tujuan yang diinginkan. Ironis, sebuah konsep pelayanan dibuat untuk mencapai sebuah tujuan, tapi seringkali kalau itu dijalankan justru tujuannya tidak akan tercapai. Konsep seperti itu hanya melihat “forest” dan bukan “trees.”

Tidak jarang juga ketika melihat orang-orang yang sangat militan dalam pelayanan, berjuang untuk bidang pelayanannya, saya geregetan karena sebetulnya yang dikerjakan mereka salah. Pakai gambaran perang, yang bagian konsumsi mempersiapkan makanan pesta dan bukan makanan prajurit di medan perang, yang bagian pengadaan senjata menyiapkan 200 pistol padahal hanya butuh 25, di tempat yang butuh 1 prajurit dikirim 10 prajurit, sebaliknya di tempat yang butuh 10 prajurit dikirim 1 prajurit, dan seterusnya (nggak perlu diterusin kan?). Militan! Semangat! Setia! They are doing their best! Sayang.. salah alamat. Pakai gambaran lebih nyata, ada banyak bagian di gereja dan tiap bagian mungkin berusaha membuat bagiannya menjadi baik. Mereka yang melayani di pemuda berjuang, yang di remaja juga berjuang, sekolah minggu, wanita, pasutri, misi, literatur, persekutuan doa, semua juga berjuang. Tapi sangat mungkin (dan hampir selalu begitu) mereka melihat “trees” dan bukan “forest.”

Betapa pentingnya kita berusaha melihat keduanya!

Cara berpikir ini juga berlaku dalam kehidupan. Kita bekerja di kantor, mengurus keluarga, sibuk dengan berbagai kegiatan, aktif pelayanan, dan seterusnya. Itu semua “trees.” Pernahkah berhenti dan mencoba melihat “forest”? Dimana saya? Apa yang saya lakukan? Apa yang penting dan mendesak, dan bagaimana saya membedakannya? Kemana saya melangkah? Jalanilah hidup dengan bolak-balik melihat “forest” dan “trees”!

Entah terasa atau tidak, saya kesulitan untuk menjelaskan konsep ini dalam bentuk tulisan :-) Paling gampang adalah silakan langsung berlatih. Saya sendiri masih terus belajar untuk melakukannya. Tidak pernah mudah tapi kalau kita berusaha melakukannya mungkin ada banyak kesalahan yang akan berhasil dihindari. Selamat berpikir bolak-balik!

Saturday, October 25, 2014

Keeping the Sabbath Wholly - Marva J. Dawn

Buku ini adalah buku pertama dan terpenting yang membuka pikiran saya tentang Sabat - sebuah
disiplin rohani yang banyak diketahui orang Kristen tetapi jarang dijalankan.

Sejak membaca buku ini tujuh atau delapan tahun yang lalu, sudah beberapa kali dan  di beberapa tempat saya berkhotbah tentang Sabat. Sejak waktu itu juga saya sudah mulai (walau sering gagal) komitmen menjalankan Sabat. Tetapi, bahkan di tengah sering gagal, disiplin rohani menjalankan Sabat sangatlah memberikan kekuatan dan kelegaan. Maka betapa saya ingin ‘menularkan’ disiplin rohani yang satu ini.

Marva Dawn menjelaskan Sabat dengan empat konsep besar, yang juga menjadi empat bagian besar dalam bukunya ini:

1. Ceasing – Berhenti
Berhenti bekerja, berhenti untuk produktif, berhenti khawatir, berhenti mencoba menjadi Allah, berhenti untuk posesif, dst. Dia membuka pikiran kita akan pentingnya - dan juga betapa sulitnya - untuk BERHENTI.

2. Resting – Beristirahat
Istirahat secara rohani, fisik, emosi dan juga intelektual. Dia memberikan ide-ide apa yang bisa kita lakukan untuk beristirahat.

3. Embracing – (sulit diterjemahkan, harfiah: memeluk)
Menerima dan menikmati berbagai hal yang baik, yang benar, yang seharusnya, yang selama ini jarang kita terima dan nikmati.

4. Feasting – Berpesta
Berpesta dengan makanan (ini yang paling kita suka), pesta dengan keindahan, musik, dst.

Tidak semua yang dia sebutkan bisa kita terapkan dalam hidup setiap kita. It’s ok. Tiap orang bisa punya cara melakukan Sabat masing-masing. Tetapi, konsep yang dia berikan sangat menolong kita mengerti apa itu Sabat. Penjelasan dia juga membuat kita begitu ingin untuk menikmati anugrah Tuhan yang sangat indah dan menguatkan ini.

A highly recommended book!

Tuesday, October 21, 2014

Berpakaian Dengan Sopan

Tulisan di bawah dari artikel berjudul The Lost Virtue of Modesty (silakan click untuk membaca dalam bahasa Inggris). Saya terjemahkan bebas, sedikit ringkaskan, dan edit dimana yang perlu untuk memperjelas. Saya kira apa yang dia tulis pantas untuk menjadi bahan pertimbangan dan diskusi di antara kita. Selamat membaca!


Saya tidak tahu apakah berpakaian dengan sopan (modesty) itu menarik secara seksual, tetapi saya tahu bahwa berpakaian dengan sopan itu Alkitabiah.

Salah satu tanda kekacauan zaman ini adalah banyak remaja dan pemuda yang lebih malu berpakaian dengan sopan tertutup daripada hampir tidak berpakaian. Sekalipun kita boleh menyatakan keberatan - cantik (atau tampan) bukanlah dosa, memperbaiki penampilan tidak berarti duniawi, batas antara sopan dan tidak sopan tidak selalu hitam putih - faktanya adalah Allah menganggap berpakaian dengan sopan itu kebajikan dan sebaliknya adalah kejahatan.

Di bawah ini ada lima alasan Alkitab mengapa orang Kristen seharusnya menerima berpakaian dengan sopan sebagai kebaikan yang dirancang dan diinginkan oleh Allah.

1. Berpakaian dengan sopan melindungi bagian tubuh yang pribadi. Ada paham feminisme yang berkata wanita harus bangga dengan daya tarik seksual mereka. Semua desakan untuk menutupi apa yang mereka tidak suka tutupi adalah karena paham patriarkhal (bahwa pria berhak menentukan apa yang wanita lakukan dengan tubuh mereka). Tetapi perintah dari Allah untuk menutupi tubuh bukanlah dimaksudkan untuk menghukum, tetapi untuk melindungi. Seperti yang dituliskan Wendy Shalit, “Tekanan pada para wanita untuk berfoto selfie seksi muncul dari kebudayaan yang terus menerus menganggap kesopanan itu memalukan (shame), dan tidak melihat kesopanan sebagaimana seharusnya yaitu: sebuah dorongan untuk melindungi apa yang berharga dan pribadi.” Syair yang berulang-ulang dari sang mempelai wanita – “jangan kamu membangkitkan dan menggerakkan cinta sebelum diingininya” (Kid 2:7) – adalah panggilan dari seorang wanita kepada sekelompok wanita single untuk menyimpan rangsangan seksual dan kegiatan seksual untuk waktu yang pantas, dengan orang yang pantas, di tempat yang pantas.

2. Berpakaian dengan sopan menerima bahwa tubuh kita ada di dalam komunitas. Apa artinya? Itu berarti, pikiran: “Ini adalah tubuhku. Jika aku ingin membiarkannya terbuka, itu urusanku,” walaupun kedengarannya bagus, ini melupakan bahwa tubuh kita berada di dalam jaringan relasi yang luas. Sama seperti perkataan kita, dan tindakan kita, kehendak kita, dan keinginan kita, selalu ada kaitannya dengan orang lain. Bagaimana kita berpakaian memang tidak perlu diatur oleh keinginan orang lain. Tetapi, bukanlah sikap Kristen untuk bertindak seakan kondisi kerohanian orang di sekitar kita tidak penting.

Sebelum lebih jauh lagi, saya ingin mengatakan ini sejelas mungkin: Pria bertanggung jawab untuk perzinahan mereka, untuk dosa percabulan mereka, untuk melihat pornografi, untuk nafsu, dan untuk (kiranya Tuhan mencegah) penyerangan seksual, tanpa peduli bagaimana wanita berpakaian. Alkitab tidak memerintahkan wanita untuk berpakaian dengan sopan karena pria tidak mampu menjaga celananya tetap terpasang dan menjaga pikirannya. Para pria, dengar: Jika istri Potifar terus maju dan menari dengan perut terbuka di meja dapurmu dan membuka bajumu sampai telanjang, engkau tetap tidak dibenarkan melakukan perzinahan dengan dia. Adanya pihak yang berpakaian tidak sopan tidak berarti pihak yang lain boleh tidak menahan diri.

Walaupun begitu, bukankah hukum kasih meminta supaya kita berusaha menghindari mencobai orang lain? Kalimat “memandang perempuan serta menginginkan (secara seksual)” di Mat 5:28 diterjemahkan oleh beberapa ahli (D.A. Carson salah satunya): “membuat perempuan itu menginginkan (secara seksual).” Maka, artinya, bukan tentang nafsu dalam hati pria tetapi tentang pria yang mau supaya wanita menginginkannya. Terlepas apakah kita menerima tafsiran ini atau tidak, aplikasi yang wajar adalah menganggap kalimat Yesus melarang kita memiliki sikap hati yang menginginkan (secara seksual) dan sikap hati yang mau diinginkan (secara seksual). Beberapa orang ingin melihat pornografi dan beberapa orang lain ingin menampilkan pornografi dirinya. Mungkin tidak dalam arti harfiah, tetapi ada pria dan wanita yang haus akan kuasa, perhatian, dan status yang datang karena diperhatikan dan dikejar-kejar. Sikap ini menggoda orang lain untuk berdosa dan pada dasarnya adalah dosa.

3. Berpakaian dengan sopan sesuai dengan penilaian negatif Alkitab tentang ketelanjangan di muka umum setelah kejatuhan manusia dalam dosa. Mulai dari Adam dan Hawa yang berusaha mencari daun ara untuk menutupi diri (Kej 3:10), sampai kepada ketelanjangan Nuh yang memalukan (Kej 9:21), sampai kepada orang-orang Daud yang dipermalukan dengan ditelanjangi pantatnya (2 Sam 10:4), Alkitab tahu bahwa kita mewarisi dunia yang sudah jatuh dalam dosa dimana bagian-bagian tertentu tubuh kita haruslah ditutupi. Bahkan, inilah yang dimaksud Paulus ketika dia berkata “our unpresentable parts” yang harus “treated with greater modesty” (1 Kor 12:23). (Terjemahan bahasa Indonesia sedikit berbeda).

4. Berpakaian dengan sopan sesuai dengan peringatan Alkitab untuk menghindari sensualitas. Sensualitas (Yunani: aselgeia) adalah karakteristik dari daging dan salah satu tanda dunia penyembahan berhala (Gal 5:19; Rom 13:13; 2 Kor 12:21; 2 Pet 2:2, 18). Apakah kata itu menjelaskan kapan good taste terperosok menjadi sensualitas – berapa panjang harusnya rok wanita, pakaian renang seperti apa yang boleh dipakai, atau apakah pria berotot boleh lari tanpa baju waktu udara dingin? Tidak. Tetapi pasti kita setuju bahwa tidak jarang pria dan wanita berpakaian dengan cara yang menambah corak dan perasaan sensualitas yang tersebar dalam kebudayaan kita. Jika kata aselgeia berarti kecanduan seksual, sebaiknya kita mempertimbangkan apakah di balik sikap kita, kita ingin membuat monster sensual ini kelaparan (dengan tidak memberinya makanan) atau justru ingin memuaskan dia.

5. Berpakaian dengan sopan menunjukkan kepada orang lain bahwa kita memiliki hal-hal yang lebih penting untuk ditawarkan daripada penampilan yang baik dan daya tarik seksual. Maksud dari 1 Tim 2:9 dan 1 Pet 3:3-4 bukanlah larangan untuk tampil menarik. Larangannya adalah supaya jangan berusaha keras untuk terlihat menarik dengan cara-cara yang relatif tidak penting. Pertanyaan yang ditanyakan kepada para wanita dalam ayat-ayat itu – dan ini juga berlaku bagi para pria – adalah ini: Apakah engkau akan menarik perhatian orang dengan riasan rambut, perhiasan dan pakaian seksi atau kehadiranmu di dalam ruangan akan dikenali karena karaktermu yang serupa Kristus? Pakaian yang tidak sopan memberitahu kepada dunia, “Aku tidak yakin aku punya sesuatu untuk ditawarkan yang lebih dari ini. Apa yang engkau lihat itulah yang engkau dapatkan.”

Saya ingin berkata dengan jelas: Alkitab tidak ada gambar. Tidak ada manual tentang bagaimana berpakaian pada pagi hari. Ada hal-hal berkaitan dengan kebudayaan, hati nurani, dan konteks yang pasti juga ikut menentukan. Saya tidak punya checklist untuk diperiksa sebelum engkau keluar rumah.

Tetapi jika kita percaya pada Alkitab, seluruh urusan berpakaian dengan sopan ini ada relevansinya dengan pemuridan Kristen. Tubuh kita sudah dibeli dengan harganya. Maka muliakanlah Allah dengan tubuhmu (1Kor 6.20). Artinya kita tidak memperlihatkan kepada semua orang segala sesuatu yang kita pikir mungkin bagus untuk diperlihatkan. Dan itu juga berarti kita tidak akan malu untuk menjaga hal-hal yang paling berharga tetap sebagai yang paling pribadi.

Thursday, October 16, 2014

Few Love the Cross of Jesus

Jesus has always many who love His heavenly kingdom, but few who bear His cross. He has many who desire consolation, but few who care for trial. He finds many to share His table, but few to take part in His fasting. 

All desire to be happy with Him; few wish to suffer anything for Him. Many follow Him to the breaking of bread, but few to the drinking of the chalice of His passion. Many revere His miracles, few approach the shame of the Cross.

Many love Him as long as they encounter no hardship; many praise and bless Him as long as they receive some comfort from Him. But if Jesus hides Himself and leaves them for a while, they fall either into complaints or into deep dejection.

Those, on the contrary, who love Him for His own sake and not for any comfort of their own, bless Him in all trial and anguish of heart as well as in the bliss of consolation. Even if He should never give them consolation, yet they would continue to praise Him and wish always to give Him thanks. What power there is in pure love for Jesus – love that is free from all self-interest and self-love!

(Thomas a Kempis)

Jangan buru-buru membaca tulisan di atas. Bacalah lagi!

Orang Kristen seperti apakah kita?

Apakah kita HANYA mencintai Kerajaan-Nya, menginginkan penghiburan, berbagian di meja Tuhan, ATAU JUGA mau memikul salib-Nya, menerima ujian, berbagian dalam puasa-Nya?

Apakah kita HANYA menginginkan kebahagiaan bersama-Nya, ikut sampai Dia memecahkan roti, dan mengagumi mukjizat-Nya, ATAU JUGA mau menderita apapun untuk Dia, ikut sampai minum cawan penderitaan-Nya, dan mau datang pada kehinaan salib?

Apakah kita mengasihi Dia hanya selama tidak ada kesulitan? Apakah kita memuji Dia hanya selama masih menerima kenyamanan dari-Nya?

Mereka yang mengasihi Dia hanya karena Dia, dan bukan karena kenyamanan apapun untuk diri sendiri, akan memuji Dia baik dalam ujian dan kesedihan hati maupun dalam kebahagiaan penghiburan. Bahkan jika Dia tidak memberikan penghiburan, mereka akan terus memuji Dia dan bersyukur kepada-Nya.

Betapa besar kuasa di dalam kasih yang murni bagi Yesus – kasih yang bebas dari semua kepentingan diri dan mengasihi diri!

Kalau ada yang tahu lagu "Pikul Salib" (PPK 216), saya kira mungkin syairnya diinspirasikan oleh tulisan Thomas a Kempis di atas:

Banyak yang mau masuk surga tak mau salibNya.
Banyak yang rindu pahala serta dunia.
Tak hiraukan tak hiraukan, hanya mau berkat.
Tak hiraukan tak hiraukan, hanya mau berkat.

Banyak yang mau kemuliaan tak mau yang hina.
Bila Tuhan berkati dia puji NamaNya.
Bila Tuhan minta dia, ia menolaknya.
Bila Tuhan minta dia, ia menolaknya.

Bagi yang mengasihi Dia tiada 'kan tanya.
Bahkan jiwa yang berharga korban pun rela.
B'rilah daku tekad hati, pikul salibNya.
B'rikan daku tekad hati, setia padaNya.

Monday, October 06, 2014

Menyusun (Tema) Khotbah Dalam Kebaktian

(Tulisan yang cukup panjang ini terutama adalah untuk rekan-rekan yang bertanggung jawab menyusun tema khotbah “apa yang akan dikhotbahkan” dalam kebaktian di gereja. Berharap ini bisa menjadi bahan diskusi yang membangun.)

Salah satu elemen di dalam kebaktian yang dianggap sangat penting oleh gereja-gereja Protestan adalah khotbah atau penyampaian Firman Tuhan. Maka bagaimana menentukan “apa yang akan dikhotbahkan” menjadi sangat penting.

Ada beberapa cara yang biasa dipergunakan oleh gereja-gereja dalam menentukan “apa yang akan dikhotbahkan”. Tetapi, cara yang paling populer dilakukan oleh gereja-gereja Protestan di Indonesia adalah “menyusun tema khotbah”. Saya ingin mengevaluasi cara ini lalu memberikan beberapa cara alternatif dalam menyusun “apa yang akan dikhotbahkan”.

Menyusun tema khotbah” - biasanya tema akan disusun sekaligus untuk 1 tahun. Cara penyusunannya bermacam-macam. Ada beberapa gereja yang memiliki “tema tahunan” lalu dibagi menjadi “tema bulanan” dan lalu “tema mingguan. Ada juga yang tidak sedetil itu pembagiannya.

Penyusunan tema dimaksudkan supaya seluruh kebaktian fokus pada tema itu. Baik lagu pujian, pembacaan Alkitab, kalimat liturgis, sampai khotbah semua harus sesuai dengan tema yang ditentukan. Tujuan kedua adalah untuk mencegah terjadinya pengulangan topik khotbah – minggu ini khotbah tentang A lalu minggu depan sama tentang A lagi. Diharapkan juga tema yang berbeda akan mendorong pengkhotbah untuk berkhotbah dari ayat Alkitab yang berbeda. Tujuan ketiga adalah supaya ada arah yang jelas apa yang akan dipelajari oleh jemaat dalam 1 tahun. Tema-tema itu seperti kurikulum pelajaran melalui khotbah.

Sayangnya banyak yang tidak pernah memikirkan kelemahan cara ini. Kelemahan dari cara ini adalah sebenarnya sangat sangat sangat (superlatif) sulit menyusun tema dengan baik.

Selama lebih dari 15 tahun saya memperhatikan, ketika diundang berkhotbah, banyak tema yang sangat buruk. Kadang saya tidak mengerti maksudnya, bukan karena tidak dijelaskan tetapi karena tidak masuk akal bagi saya. Kadang saya diberikan tema minggu itu disertai informasi tema-tema minggu sebelum dan sesudahnya, dan saya menemukan temanya sangat “kecil-kecil”, “beda-beda tipis” sampai tidak mungkin saya khotbahkan. Kadang bahkan temanya betul-betul tidak bisa dikhotbahkan! (Saya pernah mendapat tema “Eksposisi Eric Liddell”!)

Seringkali “Menyusun tema khotbah” justru membuat jemaat mendapat makanan yang sangat sempit! Setiap kita terbatas, buku yang kita baca terbatas, pemikiran kita terbatas. Waktu menyusun tema, kita akan menyusun apa yang kita tahu dan kita pikir baik. Padahal ada begitu banyak tema yang baik yang kita tidak tahu… yang tidak akan pernah dikhotbahkan kepada jemaat karena tidak pernah terpikir oleh kita! Sangat sayang! Penyusunan tema yang ketat (misalnya sesuai tema tahunan) juga menyebabkan selama setahun itu jemaat hanya akan mendengar khotbah seputar itu saja.

Keterbatasan kita juga menyebabkan tema yang kita pilih sebetulnya hanya itu-itu saja. Sekarang ini ketika diberikan tema untuk berkhotbah, hampir selalu saya sudah pernah mengkhotbahkan yang mirip! Tema-tema khotbah di gereja-gereja hanya itu-itu saja dan ada banyak tema yang tidak pernah disentuh. Izinkan saya bertanya, siapa yang pernah pernah mendengar khotbah tentang “singleness” (hidup tidak menikah), tentang perceraian dan menikah kembali, tentang menghadapi kematian, tentang panggilan dalam pekerjaan? Kapan pernah mendengarnya?

Yang parah, penyusunan tema seringkali seperti usaha yang sia-sia. Ketika ada tema tahunan yang diuraikan menjadi tema mingguan (apalagi ada tema bulanan juga), jujur, sebetulnya sangat dipaksakan. Hampir semua tema, apapun, bisa dipas-pasin ke dalam tema tahunan apapun! Silakan coba kalau tidak percaya. Ditambah lagi, tidak jarang saya mengamati pengkhotbah berkhotbah tidak sesuai dengan tema dan penyusunan tema menjadi percuma. Saya sendiri pernah menyusun tema khotbah untuk kebaktian, dan saya memperhatikan pengkhotbah yang berkhotbah sesuai dengan tema dan tujuan yang diinginkan tidak sampai 25%!

Selain itu, sebuah kebaktian yang berfokus kepada satu tema bisa menjadi baik tetapi juga bisa menjadi buruk. Kondisi setiap jemaat yang datang ke kebaktian berbeda-beda, pergumulan dan kebutuhan mereka berbeda. Misalnya saja hari itu ada jemaat yang sedang bergumul dengan penyakit kanker dan dia baru tahu jika usianya tidak akan lama lagi. Jika hari itu temanya adalah tentang bermisi, lalu seluruh lagu, ayat Alkitab, kalimat liturgis, dan khotbah semua mendorong untuk bermisi, bahkan pengakuan dosa pun tentang mengaku dosa karena kurang bermisi, apa yang dia rasakan? Saya tahu Tuhan bisa berbicara lewat apa saja. Tetapi alangkah berbedanya jika dalam kebaktian, elemen-elemen kebaktian menyampaikan hal yang berbeda-beda (tentu bukan kacau), misalnya ada lagu yang mengajak memuliakan Tuhan, ada yang bicara tentang penghiburan, kalimat liturgis mendorong untuk percaya kepada Tuhan, lalu khotbah tentang misi. Kebaktian akan seperti jaring yang “menangkap” dan “mengena” kepada banyak orang yang datang.

Kelemahan terakhir adalah masalah konsep. Cara “menyusun tema khotbah” ini menjadikan kebaktian seperti “class room” dengan kurikulum yang kita pikir terarah. Tetapi kebaktian bukanlah “classroom” – it’s a time to worship! Khotbah bukanlah untuk menggerakkan jemaat ke arah tertentu, tetapi menguraikan Firman Tuhan yang sangat kaya dan limpah yang berbicara di dalam kompleksnya kehidupan kita. It’s a time to worship!

Beberapa usulan saya jika ingin menggunakan cara ini:

1. Susun tema hanya untuk “pengkhotbah dalam”. Para pengkhotbah di dalam gereja itu bisa berkumpul dan mendiskusikan tema-tema yang ingin mereka masing-masing khotbahkan. Kadang saya diberikan tema yang saya sama sekali tidak mampu atau yang saya sama sekali tidak punya hati/beban untuk mengkhotbahkannya. Kesulitan-kesulitan ini muncul karena sebagai pengkhotbah tamu, saya tidak tahu dan tidak berbagian dalam pergumulan dan beban di balik penyusunan tema itu (sekalipun sudah dijelaskan!). Tetapi, akan berbeda jika yang menyusun tema adalah juga yang berkhotbah. Untuk pengkhotbah luar, bebaskan saja. Mungkin ada hal-hal yang mereka pikirkan yang kita tidak pernah pikirkan. Mungkin dia sedang sangat terbeban kepada sesuatu, dan kalau dia dibebaskan, dia akan menyampaikan tema itu dengan sangat baik. Saya sendiri merasa ketika mendapat kebebasan menentukan tema khotbah sendiri, hampir selalu saya berkhotbah lebih baik daripada ketika tema sudah ditentukan. Atau paling tidak, beri tahu dia tema tahunan kita, lalu apa saja yang sudah dikhotbahkan, dan minta dia mengusulkan tema yang dia rasa cocok.

2. Jangan terlalu kaku dengan “tema tahunan” apalagi “tema bulanan”. Boleh saja jika ingin ada tema tahunan tapi percayalah hampir semua tema bisa masuk di bawah payung tema tahunan itu – kadang hanya perlu sedikit twist saja! Pikirkan seluas-luasnya apa yang jemaat perlukan. Jangan juga berpikir hanya tematik karena khotbah bukanlah seminar tetapi penguraian Firman Tuhan. Selingi khotbah tematik dengan memikirkan bagian Alkitab mana yang akan dikhotbahkan dan dari bagian Alkitab itu baru munculkan temanya.

3. Mungkin bisa dicoba untuk tidak menyusun tema terlalu jauh ke depan. Craig Groeschel (penulis buku Christian Atheist) bercerita bahwa dia hanya bisa menyusun khotbah (kalau tidak salah) 2 bulan ke depan. Alasannya adalah kondisi jemaat akan berubah, dia tidak tahu apa yang akan terjadi 6 bulan lagi! Lagipula kondisi dia pun akan berubah, ada pergumulan yang baru, ada buku atau artikel yang baru dia baca, maka topik yang “hot” bagi dia akan berubah sesuai waktu. Kalau tema khotbah sudah disusun 1 tahun ke depan, maka kebebasan itu menjadi hilang.

4. Selalu ingat bahwa kebaktian kita bukanlah “classroom” dan bukan alat untuk menggerakkan orang. Kebaktian adalah kebaktian – a worship time where the people of God meet their God!

Alternatif cara lain untuk menentukan “apa yang akan dikhotbahkan”:

1. Menggunakan “Revised Common Lectionary” (RCL). Tidak terlalu banyak gereja di Indonesia yang menggunakannya tetapi ini dipergunakan oleh berbagai gereja di dunia termasuk Lutheran, Anglikan, Methodist, dan Presbyterian. RCL memberikan 4 bagian Alkitab setiap minggunya, masing-masing dari Mazmur, Perjanjian Lama lainnya, Injil dan Perjanjian Baru lainnya. Keempat bagian itu bisa dikhotbahkan sekaligus – karena berkaitan satu sama lain, tetapi juga bisa dipilih hanya 1 bagian saja. Bagian-bagian Alkitab itu disusun dengan memperhatikan 2 periode besar dalam kalender gereja yaitu Natal (dengan Advent sebagai persiapannya) dan Jumat Agung/Paskah (dengan Lent sebagai persiapannya dan Pentakosta sebagai penutupnya). Minggu-minggu di luar kedua periode itu, disebut sebagai “ordinary weeks”. Siklus RCL adalah 3 tahun, artinya setelah 3 tahun akan mengulang lagi. Tetapi, walaupun mengulang lagi belum tentu khotbahnya dari bagian yang sama karena jangan lupa setiap minggu ada 4 bagian Alkitab yang bisa dikhotbahkan. Selama 3 tahun itu juga, bagian-bagian Alkitab yang dimasukkan sudah mencakup hampir seluruh Alkitab. Akan terlalu panjang jika diuraikan detil cara penggunaannya di sini, tetapi kira-kira seperti itu.

Kelebihan dari penggunaan RCL adalah: 

Pertama, kalender gereja sangat diperhatikan. Kehidupan kita sebagai orang Kristen berpusat pada kehidupan Kristus: Natal, Jumat Agung, Paskah, Kenaikan, dan Pentakosta – Yesus mengutus Roh Kudus. Tahun demi tahun, kalender liturgi gereja membawa kita tenggelam lagi dan tenggelam lagi dalam makna kehidupan Kristen. Kalender gereja mengajar kita arti mengikut Yesus. Gereja Protestan di Indonesia cenderung hanya merayakan Natal, Jumat Agung, Paskah, lalu Kenaikan dan Pentakosta. Sebelum dan sesudah hari-hari raya itu tidak ada apa-apa, business as usual. Tidak banyak yang mempersiapkan Natal dengan Advent apalagi mempersiapkan Jumat Agung/Paskah dengan Lent. Berbagai peristiwa dalam kalender gereja seperti Rabu Abu dan Minggu Palem dicap sebagai “Katolik”. Bagi yang berpikir seperti itu, saya mohon, pelajari dulu!

Kedua, Alkitab dikhotbahkan dengan merata. Seorang pengkhotbah pernah berkata, “Alkitab orang Kristen lebih tipis dari Alkitab” karena seumur hidup mungkin hanya sedikit bagian Alkitab yang pernah kita dengar dikhotbahkan. Sisanya tidak pernah disentuh oleh pengkhotbah. Tetapi mengikuti RCL memaksa untuk pengkhotbah mengkhotbahkan hampir seluruh bagian Alkitab.

2. Cara lain adalah mengkhotbahkan satu atau beberapa bagian dari setiap kitab dalam Alkitab. Cara ini membuat jemaat mendengar, membaca dan menangkap pesan, paling tidak sebagian dari setiap kitab dalam Alkitab. Tujuannya juga supaya orang Kristen melihat benang merah sejarah keselamatan di dalam Alkitab. (Saya mendapat usulan cara ini dari D.A. Carson).

3. Eksposisi per kitab. Cara ini menolong jemaat mendengar pesan keseluruhan kitab itu dan melihat keseluruhan ayat di dalam konteksnya – bukan sekedar comot ayat. Variasinya adalah dengan membahas seri tema-tema Alkitab (Biblical themes). Keduanya bisa dilakukan bergantian. Pembahasan per kitab menolong jemaat mengerti satu kitab sebagai satu kitab yang utuh, pembahasan tema Alkitab menolong jemaat melihat benang merah antar kitab.

Cara no.1-3 di atas memperhatikan supaya Alkitab dikhotbahkan dengan lebih utuh. Begitu banyak liku-liku hati manusia yang sangat kompleks yang hanya bisa ditelusuri dan ditembusi dengan membiarkan Alkitab yang kompleks dikhotbahkan dengan utuh. Sebaliknya khotbah tematik secara terus menerus akan mendiskon banyak sekali berita Alkitab.

4. Membebaskan setiap pengkhotbah untuk memilih tema khotbahnya sendiri. Salah satu alasan menggunakan cara ini adalah karena khotbah di dalam ibadah bersifat inspiratif – berupa pergumulan, kerinduan dan pesan yang Tuhan tanamkan dalam diri pengkhotbah. Syaratnya hanya satu: Undanglah pengkhotbah yang terus belajar dan mempersiapkan khotbah dengan baik.

Saya sendiri pernah mengalami selama bertahun-tahun berada di gereja yang tidak menyusun tema sama sekali, kecuali untuk hari-hari raya dalam kalender gereja dan hari-hari khusus seperti HUT, Mother’s Day, Father’s Day. Saya berani meyakinkan bahwa hampir tidak pernah ada pengkhotbah yang “bentrok” – minggu ini khotbahnya sama dengan minggu lalu (seingat saya hanya pernah 1X terjadi selama lebih dari 8 tahun dan itupun hanya bagian Alkitabnya yang sama tapi khotbahnya beda). Juga tidak pernah terasa ketidakcocokan antara lagu dan khotbah. Bahkan seringkali kaget menemukan bagaimana pembacaan Alkitab, kata-kata liturgis, lagu pujian, dan khotbah bisa saling melengkapi dengan unik!

5. Mencampur cara-cara di atas :-)

Tidak semua orang akan setuju dengan apa yang saya tuliskan di atas. It’s ok! :-) Mungkin ada hal-hal yang saya salah atau kurang tepat. Saya hanya ingin menunjukkan bahwa menentukan “apa yang akan dikhotbahkan” tidak sesederhana “menyusun tema khotbah”. Saya juga tidak bermaksud meremehkan gereja-gereja yang “menyusun tema khotbah” – mungkin anda berhasil menyusunnya dengan baik. Saya hanya berharap tulisan ini menolong kita untuk berdiskusi dan berpikir dengan lebih kritis. May the Lord help us all!

Wednesday, October 01, 2014

Welcoming October: New Bible Reading Plan!

1 Oktober! 9 bulan sudah berlalu di tahun 2014. Tinggal 3 bulan lagi sebelum kita memasuki 2015. Time flies really fast!!! What have I done in the past 9 months?

Kemarin saya baru selesai membaca ulang Alkitab dari Kejadian-Wahyu. Rencana awalnya saya ingin menyelesaikannya dalam 2 tahun, tetapi akhirnya molor 3 bulan lebih :-)

Selama bertahun-tahun saya sudah berkali-kali mengganti metode saat teduh saya. Saya pernah menggunakan buku saat teduh: Renungan Harian, Santapan Harian, Encounter With God - yang terakhir ini sangat bagus!!! Saya pernah menggunakan Alkitab bahasa Indonesia saja tanpa buku renungan. Saya pernah menggunakan Alkitab bahasa Inggris saja (beberapa versi). Saya pernah menggunakan buku tafsiran, 1 buku untuk 1 kitab dalam PB, walaupun tidak selesai tapi lumayan hampir habis. Beberapa tahun belakangan ini saya hanya menggunakan Alkitab bahasa Inggris saja tanpa buku renungan ataupun tafsiran.

Tempat saya ber-saat teduh pun terus berganti-ganti. Saya pernah menikmati saat teduh dengan duduk di teras rumah (tentunya di Jakarta) dengan segelas kopi di tangan :-) Saya pernah menikmati saat teduh di pinggir kolam renang, di taman, di perpustakaan, di macam-macam tempat.

Tidak jarang saya mendengar orang Kristen mengatakan bosan dengan saat teduhnya. Pertanyaan saya selalu adalah, "Lalu kenapa tidak mengganti metodenya?" Metode yang paling umum dilakukan orang Kristen adalah menggunakan buku renungan dan caranya pun sangat buruk: (1) Doa super singkat, (2) Baca ayat Alkitab yang tertulis di situ cepat-cepat (kadang memang hanya satu atau beberapa ayat), (3) Baca renungan yang berupa cerita sederhana, (4) Doa super singkat lagi. Seringkali semuanya dilakukan di kendaraan umum atau di kantor dalam suasana yang sangat tidak teduh! Sounds familiar? Tidak heran kalau bosan! "Saat teduh" adalah saat untuk teduh - dengan Tuhan. Ada waktu mendengar suara-Nya lewat Alkitab, ada waktu untuk merenungkan hidup di hadapan-Nya, dan ada waktu untuk bicara dengan-Nya dalam doa. Bukan sambil lalu, bukan asal-asalan, tapi dengan nikmat dalam keteduhan. Metode apa saja boleh digunakan untuk menolong kita ber-saat teduh.

Hari ini, tepat 1 Oktober 2014, saya memulai kembali membaca ulang Alkitab. Kali ini saya menggunakan Parallel Bible: New American Standard Bible - The Message. New American Standard Bible adalah terjemahan modern yang cenderung literal tapi tidak kaku. Saya pernah menggunakannya dulu dan saya menyukainya. The Message, yang dikerjakan oleh Eugene Peterson selama 10 tahun, adalah terjemahan Alkitab dalam bentuk parafrase. The Message memang tidak bermaksud menjadi terjemahan Alkitab yang sangat akurat, tetapi berusaha mengkalimatkan ulang Alkitab untuk menekankan pesannya. Seperti berkhotbah langsung melalui pembacaan Alkitab!



Kali ini saya tidak ingin membaca terlalu banyak setiap harinya. Saya ingin lebih menikmati Alkitab sedikit demi sedikit. Maka saya tidak memasang target kapan harus selesai, walaupun perkiraan saya adalah 3 tahun atau kurang sedikit.

May God bless me, guide me, and strengthen me through His Holy Word!