Saturday, March 14, 2015

"Choosing" - Memilih Untuk Menginginkan Allah

Pagi ini saya membaca sebuah renungan dari buku The Strength of a Man tulisan David Roper berjudul “Choosing”. Saya ingin mengecapnya lebih lama dengan meringkas, menerjemahkan dan menuliskan ulang renungan ini dengan kata-kata saya sendiri.


CHOOSING 
-David Roper-

Saya menerima sebuah surat dari seorang teman lama saya di Kenya. Ia adalah seorang pastor bagi para pastor. Surat yang pedih – sebuah permintaan tolong.

“Aku ingin mengenal Tuhan,” tulisnya. “Aku ingin mencintai-Nya. Aku ingin mengenal kehadiran Yesus Kristus melalui perantaraan Roh Kudus. Aku ingin... tetapi mengapa aku seperti tidak terlalu menginginkannya!? Aku seperti orang yang hanya berdiri di pinggiran sambil melihat tanpa menginginkan! Dunia dipenuhi terang kemuliaan Allah, dan hanya mereka yang melihat kemuliaan itu yang akan membuka sepatunya, seperti Musa dulu melihat semak terbakar lalu membuka kasutnya dan menyembah! Tetapi bahkan aku tidak tahu bagaimana membuka sepatuku! Aku tidak tahu bagaimana tergetar dan ingin menyembah! Tolonglah aku, paling tidak untuk membuka tali sepatuku ini saja!”

Reaksi saya awalnya adalah seperti reaksi Yohanes Pembaptis kepada Yesus. Siapa saya ini sehingga boleh mengikat, apalagi membuka, sepatu teman saya? Melihat pelayanannya bagaimana mungkin saya meragukan cintanya kepada Kristus? Tetapi saya tahu apa yang dia rasakan karena saya sendiri bergumul dengan sampah dalam pikiran saya dan kekerasan hati saya.

A.W. Tozer pernah menulis, “Allah adalah pribadi yang bisa dikenal, semakin lama semakin intim, jika kita mempersiapkan hati kita untuk mengagumi keintiman itu.” Itu realita. Allah adalah pribadi yang hidup yang bisa dikenal. Tetapi, ah... tidak semudah itu! Kita merindukan keintiman, tetapi kita sering tidak cukup menginginkannya. Allah berespon ketika kita mendekatkan diri kepada-Nya - sekecil apapun, tetapi kita hanya bisa mendekat kepada Dia sejauh yang kita inginkan.

Allah tidak bermain petak umpet. Dia tidak sulit untuk ditemukan, tetapi Dia tidak akan memaksakan kasih-Nya kepada kita. Seperti yang dijanjikan oleh Musa, “di sana engkau mencari TUHAN, Allahmu, dan menemukan-Nya, asal engkau menanyakan Dia dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu” (Ulangan 4:29). Maka seberapa dekatnya kita dengan Allah bergantung pada seberapa kita menetapkan hati untuk mengenal dan mencintai Dia. Ini masalah pilihan.

Maka, pertama-tama, kita harus sangat menginginkan Tuhan, seperti dikatakan pemazmur:

Satu hal telah kuminta kepada TUHAN,
itulah yang kuingini:
diam di rumah TUHAN seumur hidupku,
menyaksikan kemurahan TUHAN
dan menikmati bait-Nya (Mazmur 27:4)

Selama kita hanya merasa “samar-samar tidak puas” dengan jalan hidup kita sekarang dan juga tidak terlalu menginginkan hal-hal rohani; selama kita hanya seperti itu maka hidup kita hanya akan berhenti menjadi melankolis. Kita sering berkata, “Saya tidak bahagia; saya tidak terlalu sukacita atau penuh damai. Mungkin memang beginilah hidup.” Pikiran seperti itulah yang menghalangi kita untuk BERUSAHA mencari kehidupan dari Allah. Maka tugas pertama kita adalah menghalau perasaan “samar-samar tidak puas” itu dan jujur dengan diri sendiri. Apakah kita menginginkan Allah ATAU tidak?

Kalau kita menginginkan Allah, kita harus tekun mengejar Allah melalui renungan pribadi dan ibadah, teratur membaca Firman Tuhan dan menyiraminya dengan doa, pujian, penyembahan, dan meditasi siang dan malam.

Kalau kita menginginkan Allah, kita juga harus rela untuk menghadapi dosa kita. Dosa yang sekarang, yang terus membandel, menghalangi penglihatan kita akan Allah. Seperti yang dikatakan Yesus, “Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka [dan hanya mereka] akan melihat Allah” (Matius 5:8). Dosa hanya menggantikan kehausan yang satu dengan kehausan yang lain. Dosa membatasi keintiman kita dengan Allah.

Dan kalau kita menginginkan Allah, kita harus menunggu. Allah akan menyatakan diri kepada kita. Penundaan adalah bagian yang tidak bisa dihindarkan dari proses ini. Paulus mendorong kita untuk tidak jemu-jemu berbuat baik, “karena apabila sudah datang waktunya, kita akan menuai, jika kita tidak menjadi lemah.” Tuaian tidak datang di penghujung hari ini. Ia akan datang nanti.

Allah tidak akan membiarkan kita menunggu hanya untuk terus memeriksa diri, menganalisa hati dan pikiran, lalu menjadi lelah dengan semuanya. Tidak! Janji Tuhan itu baik, "Mendekatlah kepada Allah, dan Ia akan mendekat kepadamu." (Yakobus 4:8).

Ini masalah pilihan!

Wednesday, March 11, 2015

"Boros" dan "Pelit"

Beberapa hari lalu, saya membaca bagian ini dari kitab Ulangan versi parafrase dari The Message:

When you happen on someone who’s in trouble or needs help among your people with whom you live in this land that God, your God, is giving you, don’t look the other way pretending you don’t see him. Don’t keep a tight grip on your purse. No. Look at him, open your purse, lend whatever and as much as he needs. Don’t count the cost. Don’t listen to that selfish voice saying, “It’s almost the seventh year, the year of All-Debts-Are Canceled,” and turn aside and leave your needy neighbor in the lurch, refusing to help him. He’ll call God’s attention to you and your blatant sin. Give freely and spontaneously. Don’t have a stingy heart. The way you handle matters like this triggers God, your God’s, blessing in everything you do, all your work and ventures. There are always going to be poor and needy people among you. So I command you: Always be generous, open purse and hands, give to your neighbors in trouble, your poor and hurting neighbors. (Deuteronomy 15:7-11)

The Message memberi beberapa nuansa yang menarik (walaupun tidak mengubah arti) jika dibandingkan dengan terjemahan bahasa Indonesia:

Jika sekiranya ada di antaramu seorang miskin, salah seorang saudaramu di dalam salah satu tempatmu, di negeri yang diberikan kepadamu oleh TUHAN, Allahmu, maka janganlah engkau menegarkan hati ataupun menggenggam tangan terhadap saudaramu yang miskin itu, tetapi engkau harus membuka tangan lebar-lebar baginya dan memberi pinjaman kepadanya dengan limpahnya, cukup untuk keperluannya, seberapa ia perlukan. Hati-hatilah, supaya jangan timbul di dalam hatimu pikiran dursila, demikian: Sudah dekat tahun ketujuh, tahun penghapusan hutang, dan engkau menjadi kesal terhadap saudaramu yang miskin itu dan engkau tidak memberikan apa-apa kepadanya, maka ia berseru kepada TUHAN tentang engkau, dan hal itu menjadi dosa bagimu. Engkau harus memberi kepadanya dengan limpahnya dan janganlah hatimu berdukacita, apabila engkau memberi kepadanya, sebab oleh karena hal itulah TUHAN, Allahmu, akan memberkati engkau dalam segala pekerjaanmu dan dalam segala usahamu. Sebab orang-orang miskin tidak hentinya akan ada di dalam negeri itu; itulah sebabnya aku memberi perintah kepadamu, demikian: Haruslah engkau membuka tangan lebar-lebar bagi saudaramu, yang tertindas dan yang miskin di negerimu." (Ulangan 15:7-11)

Banyak orang “boros” untuk dirinya sendiri. Boros untuk makan di tempat mahal, boros untuk membeli gadget, boros untuk membeli barang mewah, semua untuk dirinya sendiri. Tetapi sebaliknya “pelit” untuk orang lain.

Banyak juga orang yang “boros” untuk orang lain, tetapi untuk orang yang bisa memberi keuntungan kembali bagi dirinya – baik ekonomi atau penghormatan. Banyak juga orang yang “boros” untuk orang lain karena hobi. Aneh? Nggak! Misalnya dia hobi membeli baju, maka dia membeli banyak baju yang mahal hanya untuk dipakai satu atau beberapa kali lalu “disalurkan kepada yang membutuhkan”. Itu bahkan menjadi excuse untuk dia bisa terus beli baju karena tokh disalurkan dan “menjadi berkat”. Atau misalnya dia hobi belanja, maka dia akan belanja apa saja yang dia mau tanpa berpikir banyak tentang kegunaannya. Setelah sekian lama tidak dipakai… baru berpikir mau diberikan kepada siapa.

Ulangan 15:7-11 mengingatkan kita supaya “boros” untuk orang lain. Tetapi bukan karena semua motivasi yang salah tetapi karena “orang itu membutuhkan” dan “Tuhan memerintahkan”. That simple!

Lihat orang yang membutuhkan. Lihat sesamamu yang miskin dan terluka. Jangan pura-pura tidak melihat. Jangan tahan dompetmu. Jangan pelit. Beri apa yang dia butuhkan. Beri pinjaman sekalipun dia tidak mampu membayar. Bagi orang Israel waktu itu, setiap tahun ketujuh, semua hutang kepada sesama orang Israel harus dibebaskan. Perintah Tuhan adalah, sekalipun besok adalah tahun ketujuh dan hutang orang itu besok dihapus, TETAP berikan! That simple!

Orang yang miskin dan membutuhkan akan selalu ada di sekitar kita. Tidak akan pernah habis. Ulangan 15:7-11 tidak mengajarkan supaya kita tidak memakai harta yang Tuhan berikan untuk kepentingan diri sendiri. Tidak. Kita boleh memakainya. Tetapi, alangkah indahnya jika kita terbiasa untuk tidak “boros” bahkan cenderung “pelit” jika itu untuk diri sendiri, sebaliknya “boros” untuk orang yang miskin dan membutuhkan.

Mungkin istilah saya kurang baik. Bukan “boros” tapi “murah hati”. Bukan “pelit” tapi “sederhana”.

Maka saya parafrase lagi:
“Alangkah indahnya jika kita terbiasa hidup lebih “sederhana” supaya kita bisa lebih “murah hati” memberi kepada orang yang miskin dan membutuhkan.”

Di dalam konteks lain, Tuhan Yesus berkata: “Dan Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku. (Mat 25:40)

Monday, March 09, 2015

Redefining "Romantic" - Mr.Brown - Sweet Eighteen

Just bumped into this post from Mr.Brown http://www.mrbrown.com/blog/2015/03/18-years.html (for those who have never heard about him: Mr.Brown is known for his commentary of Singapore's socio-political scene and has been given the affectionate title of Singapore's "blogfather", and he is a Christian with a family with three kids). This post is about how he celebrated his 18th anniversary day with his wife.

I think he writes it so well and, in a way, compels us to redefine the meaning of "romantic". Enjoy the reading!

Mr. Brown: Sweet Eighteen



It was our 18th wedding anniversary. Or as we like to call it in our family, Sunday.

We had a most romantic day celebrating our 18 years of marital bliss.

Breakfast was a romantic affair of me grabbing a quick beehoon alone downstairs at the coffee shop while Joy was tasked with buying prata for my wife, as the wife got Faith and the rest of the kids ready for Sunday service.

Then lunch was another romantic meal at the Block 105 Market & Food Centre, the highlight of which was I managed to get my wife her favourite nasi lemak without too much queuing, while she fed Faith with chicken rice that Isaac queued up for (children after 10 years of age are excellent for food buying duties).

Then the wife had the romantic duty of doing the laundry plus keeping an eye on Faith, while I took Isaac with me to the office because I had work to complete. Joy had maths tuition so we had one less kid in the house, for an hour or so, which was a very welcome and romantic feeling.

At the office, I spent my Sunday working while Isaac did the English assessment book that the wife assigned him to do. Then he read a little from his book "The One and Only Ivan", that his younger sister had already completed reading some days ago. He also got to play with some of the toys in my office. This father and son briefly discussed the merits of the Suzuki Swift Bumblebee from the Takara Tomy Transformers: Alternity series of toys.

After two hours at the office with my son, I locked up the office and took him to Funan Mall, where I needed to buy some DDR3 1066 RAM for the used 2009 27-inch iMac I bought for the wife to replace her aging 2006 20-inch iMac.

That 2006 iMac was still working, but I thought she deserved something that could handle HD YouTube videos, that had a bigger screen, and a speaker that didn't go pffffft when there was just a whiff of bass.

Memory is really expensive these days, $75 for one piece of 4GB. I bought a pair (wincing at the $150 bill) so I could bump the memory in the "new" iMac from 4GB to 12GB. The wife would never know the difference but I would.

I picked up the RAM and the basic wired keyboard the wife asked for and as a treat, I let Isaac browse the toy stores at the fifth level of Funan Mall. "See only," I said to my son, "Not buy ah."

He complained a little about it but was content to look at the toys on display.

Then my Mom called and said she needed a ride home from her mahjong session, and I called my wife to let her know I would be picking Mom home then we could all have dinner together when I drove back. My wife romantically managed an "OK", the kind of distracted "OK" that came from having to deal with laundry, still-wet school shoes, and a bottle of ketchup broken by Faith. My autistic firstborn likes ketchup too much, and knows where we keep it in the kitchen.

We then took the kids and my Mom out for a romantic dinner at the kopitiam. We usually have dinner at my wife's parents' place on a Sunday but my in-laws were at some RC dinner so no 夜市人生 to watch and tweet about this time.

Halfway through the romantic family dinner, Faith spilled grape soda on herself, and we had to clean her up. The wife gave a loud "Tsk!"

And then Isaac complained a little about the lack of fries in his Fish and Chips (but ate all of it anyway). As usual, Joy could not finish her meal (it was spaghetti with Irish meatballs), and got a mild chiding from my mom about it.

"Look at you," Mom said, "So skinny and short! You are still wearing your school uniform from Primary One! In Primary Four! How are you going to grow taller without eating enough?"

"Hey, I am not a midget, ok?" Joy replied.

"Hahahahaha!" my Mom laughed heartily.

Mom went for her Sunday Qigong session and we went home after dinner. The wife started preparing the kids' school uniforms because the next day was Monday. Then I watched an older episode of local animated series, Heartland Hubby, with the kids because they are my biggest fans (I voice one of the characters, the arch enemy of the hero).

We tucked the kids into bed, then the wife said she can't seem to find her ezlink card, so I offered to change out of my pajamas, and go downstairs to look for it in the car.

While at the car, I decided to make a late night grocery run to Sheng Siong. I picked up the cereal that Joy likes, plus some toilet rolls, and a 2-litre bottle of Meiji fresh milk (because the one currently in the fridge was already past the due date. How did I know? My stomach told me a few days ago).

I know, very romantic things to buy, right? I also picked up a little something extra for the wife.

When I got home, the wife was already done with the remaining housework and was watching Luke kiss Lorelai at the gazebo in Gilmore Girls.

"I couldn't find your ezlink card in the car, dear. But I did buy some groceries. And your favourite ice-cream."

"Oooh, Magnum!" she said, and got one for herself and one for me, and we continued watch Gilmore Girls together.

Then, just as we finished our TV show and ice-creams, Faith came out of her bedroom.

"She wet herself and her bed, aiyoh," the wife said, with a tired sigh.

"You clean her up and change her pajamas, I will clean her bed and change the bedsheets, and soak the stained sheets in the kitchen toilet," I said.

It was almost midnight, a few minutes before the end of our wedding anniversary.

"That wasn't the most romantic wedding anniversary day hor?" she laughed.

"Who said?" I reply, and gave her a quick peck.

We lay in bed, staring at the ceiling lit by our bedside lamp, the room aglow with faint yellow light.

The wife turned to me and said, "There is a young lizard on the ceiling."

"It won't kachao you lah."

"But what if trips and falls on me? Like wahoohoohoooooo!"

"Don't be silly. Hanging upside down is what lizards do all day."

Then we both laughed.

Married for eighteen years, together for twenty six. This is what it comes down to. Juggling three kids, changing the adult diaper of our fourteen-year-old, and talking about a lizard on the ceiling at night.

Wouldn't trade it for anything in the world.