Friday, April 24, 2015

Adoniram Judson - oleh John Piper

Di dalam pesawat di tengah perjalanan panjang setelah pelayanan, saya membaca biografi singkat

tentang Adoniram Judson yang ditulis oleh John Piper. Berikut beberapa hal berkesan yang saya baca.

Adoniram Judson memasuki Burma (sekarang Myanmar) pada bulan Juli 1813, negara yang waktu itu sangat mengerikan. Beberapa bulan sebelum tiba di sana, Adoniram bertemu dengan William Carey di India yang memperingatkan dia untuk tidak pergi ke Burma. Negara itu penuh dengan kekerasan, dalam keadaan perang, resiko penyerbuan, pemberontakan terus menerus, dan tidak ada toleransi agama sama sekali. Semua misionaris yang ke sana sudah pergi meninggalkan Burma atau mati di sana. Tetapi Adoniram yang berusia 24 tahun tetap pergi ke sana dengan istrinya yang berusia 23 tahun dan baru menikah denganya selama 17 bulan. Adoniram akhirnya melayani di Burma selama 38 tahun sampai dia meninggal di usia 61 tahun, dan hanya satu kali pulang ke rumahnya di Amerika.

Harga yang dia bayar sangatlah besar. Piper menggambarkan dia seperti “benih yang jatuh ke tanah dan mati”. Tetapi, buah yang Tuhan berikan sangatlah besar. Adoniram Judson adalah seorang Calvinis dari gereja Baptis. Hari ini diperkirakan ada 3.700 gereja Baptis di sana dengan 617.781 anggota dan 1.900.000 pengunjung – buah dari benih yang mati ini.

Adoniram Judson adalah seorang anak yang sangat cerdas. Ibunya mengajarinya membaca hanya dalam satu minggu pada waktu dia berusia tiga tahun. Pada usia 16 tahun dia masuk Brown University dan tiga tahun kemudian lulus sebagai lulusan terbaik. Selama di universitas dia berteman dengan Jacob Eames yang adalah seorang Deist (kepercayaan bahwa sekalipun ada Tuhan pencipta, Dia sudah meninggalkan dunia berjalan sendiri). Adoniram Judson sangat terpengaruh dengan temannya ini dan akhirnya dia pun meninggalkan iman Kristen. Dia pergi ke New York untuk menjadi penulis teater. Tetapi di sana kehidupannya berantakan. Suatu hari dia pergi mengunjungi pamannya, dan di sana dia bertemu dengan seorang pemuda Kristen yang sangat teguh imannya. Itu membuat dia tertegun. Keesokan harinya dia menginap di sebuah penginapan kecil di sebuah desa. Pemilik penginapan meminta maaf karena orang di sebelah kamarnya sedang sakit parah dan mungkin akan mengganggu tidurnya. Betul, sepanjang malam itu dia mendengar orang di sebelah kamarya merintih dan terengah-engah. Dia sangat terganggu dan dia berpikir bahwa orang itu pasti tidak siap untuk mati. Tetapi kemudian dia berpikir tentang dirinya sendiri dan dia juga takut memikirkan kematiannya. Dia merasa bodoh karena seorang Deist tidak seharusnya takut dengan kematian (sebagian Deist percaya pada kehidupan setelah kematian, sebagian lagi tidak). Keesokan paginya dia bertanya kepada pemilik penginapan tentang orang di sebelah kamarnya. Pemilik penginapan berkata, “Dia sudah mati”. Adoniram tersentak lalu bertanya, “Tahukah siapa dia?” Pemilik penginapan itu berkata nama orang itu adalah Jacob Eames! Shocking! Berjam-jam lamanya Adoniram merenung tentang kematian temannya. Perlahan-lahan Adoniram bertobat dan dia masuk ke sebuah seminari.

Pada tanggal 28 Juni 1810, Adoniram menyerahkan diri menjadi misionaris. Hari yang sama dia bertemu dengan Ann dan jatuh cinta. Mereka menikah dan berangkat ke India 12 hari setelah menikah. Dari India mereka menuju Rangoon dan tiba di sana tanggal 13 Juli 1813. Penderitaan dimulai sebelum tiba di sana, anak mereka yang pertama meninggal dalam perjalanan menuju Burma. Di sana kemudian mereka berjuang melawan kolera, malaria, disentri, dan berbagai penderitaan dan penyakit lainnya. 

Setelah enam tahun di ladang pelayanan, mereka membaptis orang Burma pertama yang bertobat melalui pelayanan mereka. Pada tahun ke delapan, Ann sakit parah dan harus kembali ke Amerika. Dia baru kembali setelah dua tahun empat bulan! Sebelum dia tiba, berita terakhir tentang Ann yang diterima oleh Adoniram adalah sepuluh bulan yang lalu! Anak mereka yang kedua hidup selama 17 bulan dan kemudian juga meninggal.

Dua tahun kemudian mereka pindah dari Rangoon ke Ava, ibukota Burma. Pada tahun itu tentara Inggris mulai menyerang Burma dan semua orang kulit putih dianggap mata-mata oleh pemerintah Burma. Adoniram masuk penjara. Kakinya dibelenggu dan pada malam hari, kaki yang terbelenggu itu digantung pada sebilah bambu panjang sehingga hanya kepala dan bahunya yang menyentuh lantai. Ann sedang mengandung anak mereka yang ketiga waktu itu, tetapi tiap hari dia berjalan 3km ke istana memohon supaya Adoniram dilepaskan. Hampir setahun kemudian, Adoniram dipindahkan ke penjara lain yang lebih jauh. Tubuhnya kurus kering, matanya kosong, pakaiannya compang-camping, timpang karena penyiksaan, dan di sana gigitan nyamuk dari sawah hampir membuat para tahanan menjadi gila. Anaknya sudah lahir waktu itu dan Ann hampir sama sakitnya dan kurusnya seperti Adoniram, tetapi dia masih berusaha merawat bayinya dan juga Adoniram semampunya. Air susunya menjadi kering dan dia harus memohon kepada wanita lain di desa untuk menyusui bayinya.

Pada tanggal 4 November 1825, Adoniram dibebaskan karena pemerintah membutuhkan penerjemah untuk bernegosiasi dengan Inggris. 17 bulan dalam penjara berakhir! Tetapi kesehatan Ann memburuk dan 11 bulan kemudian dia meninggal. Lalu 6 bulan kemudian anak ketiga mereka juga meninggal.

Selama kurang lebih 3 tahun, Adoniram hidup dalam keadaan depresi. Dia membuang gelar kehormatan Doctor of Divinity dari Brown University yang pernah diterimanya. Dia memberikan semua hartanya di Amerika kepada gereja. Dia meminta gajinya dikurangi menjadi seperempat. Dia pergi membangun pondok di hutan dan hidup sendirian. Dia menggali kubur di sebelah pondok dan merenungi tahapan tubuh membusuk ketika menjadi mayat. Dia merasa sangat hancur dan berkata: “Allah bagiku adalah the Great Unknown. Aku percaya kepada-Nya, tetapi aku tidak menemukan-Nya”.

Titik balik bagi Adoniram adalah ketika adiknya meninggal pada tanggal 8 May 1829. Karena adiknya yang dia tinggalkan 17 tahun sebelumnya, dulu tidak percaya Kristus, tetapi meninggal sebagai orang percaya. Adoniram keluar dari kegelapan.

Pada tahun 1831, Adoniram melaporkan kebangunan mulai terjadi. Dia melihat dimana-mana orang ingin tahu tentang kekristenan. Dia dan teman-temannya membagikan hampir 10.000 traktat kepada orang yang meminta. Sebagian orang bahkan berjalan dua atau tiga bulan hanya untuk bertemu dengan dia dan bertanya tentang Injil. Penuaian besar-besaran dimulai.

Tetapi, penderitaannya untuk Injil belum selesai. Adoniram menikah lagi dengan Sarah pada tahun 1834, delapan tahun setelah Ann meninggal. Mereka memperoleh delapan anak dan hanya lima yang hidup sampai dewasa. Sebelas tahun kemudian, Sarah sakit parah dan mereka kembali ke Amerika. Tetapi, di tengah perjalanan Sarah meninggal. Sampai di Amerika, Adoniram meninggalkan tiga orang anaknya yang besar di sana, lalu kembali ke Burma.

Adoniram kemudian menikah lagi pada usia 57 tahun dengan Emily yang berusia 29 tahun. Mereka punya satu orang anak. Dan Tuhan memberi mereka empat tahun yang sangat bahagia dalam hidup mereka. Ketika Adoniram sakit, sementara Emily mengandung anak yang kedua, seorang temannya menemani Adoniram pergi berobat ke Perancis. Tetapi di tengah perjalanan, Adoniram meninggal pada usia 61 tahun.

Sepuluh hari kemudian, Emily melahirkan anak mereka yang kedua yang langsung meninggal saat itu juga. Baru empat bulan kemudian Emily menerima berita bahwa Adoniram sudah meninggal. Dia pun kembali ke Amerika dan meninggal tiga tahun kemudian karena tuberculosis pada usia 37 tahun.

Kisah pelayanan mereka di Burma berakhir. Tetapi pada waktu Adoniram dan Emily meninggal, terjemahan Alkitab sudah selesai, kamus Inggris-Burma sudah selesai dan sudah ada ratusan orang Burma yang menjadi pemimpin gereja. Hari ini, ada sekitar 3700 gereja Baptis di Myanmar yang kalau ditelusuri jejaknya berasal dari pekerjaan kasih satu orang ini.

Saya tersentuh sekali membaca kisah Adoniram Judson, “benih yang jatuh ke tanah dan mati” ini. Beberapa waktu ini, dalam kelelahan, dalam kesulitan, saya mengingat lagi kisahnya dan saya tidak berani mengeluh. Bagaimana saya, di posisi saya, juga bisa menjadi “benih yang jatuh ke tanah dan mati” seperti dia?

Piper menutup buku pendek ini dengan berkata: “Pertanyaannya bagi kita bukanlah apakah kita akan mati, tetapi apakah kita akan mati dengan cara yang menghasilkan banyak buah”.

Buku singkat ini bisa di-download gratis di: http://www.desiringgod.org/books/adoniram-judson