Monday, May 25, 2015

Here I Am, Lord; Is it I, Lord? - Sebuah Refleksi

Sudah lebih dari 20 tahun berlalu sejak pertama kali saya mendengar Tuhan memanggil untuk
menjadi hamba Tuhan penuh waktu. Setelah sekitar 2 tahun bergumul, akhirnya saya mengatakan “ya” kepada panggilan itu. Saya ingat ada 2 gambaran sangat kuat yang dipakai Tuhan untuk memanggil saya:

Pertama, gambaran “lilin yang terbakar”. Saya membayangkan hidup saya seperti lilin yang terbakar untuk Tuhan. Seperti lilin yang dibakar, cair, habis, memberikan dirinya untuk menerangi sekitarnya. Maka selama masih ada umur, masih ada waktu, masih ada tenaga, saya ingin hidup dipakai sepenuhnya bagi Tuhan. Saya berjanji waktu itu untuk memberikan hidup saya dibakar seperti lilin itu bagi pekerjaan Tuhan, bagi jemaat Tuhan, bagi kemuliaan Tuhan.

Kedua, gambaran “jemaat yang ditaruh di dalam hati saya”. Sekian lama lagu “Here I Am” menjadi favorit saya. Syairnya sangat menyentuh hati saya:

I, the Lord of sea and sky. 
I have heard my people cry. All who dwell in dark and sin, My hand will save. 

I who made the stars of night, 
I will make their darkness bright. Who will bear my light to them? Whom shall I send?

Here I am Lord, Is it I, Lord?
I have heard You calling in the night.
I will go Lord, if You lead me.
I will hold Your people in my heart.


Berulang-ulang saya nyanyikan lagu itu, tidak jarang sambil menangis. Berulang-ulang lagu itu menguatkan dan meyakinkan saya untuk melangkah menjadi hamba Tuhan penuh waktu. Janji di dalam syair lagu itu “I will hold Your people in my heart” menjadi janji saya. And so the journey began.

Ketika ditahbis menjadi pendeta lebih dari 3 tahun lalu, saya mengingat lagi janji itu. Maka sekali lagi janji itu saya ulangi di depan umum di dalam khotbah sulung sebagai pendeta. Mewakili para pendeta yang ditahbis waktu itu, saya berkata: “kami berjanji untuk menaruh jemaat Tuhan di dalam hati kami”.

Dua gambaran ini dipakai Tuhan untuk memanggil saya. Dua gambaran ini menjadi janji saya kepada Tuhan. Maka, walaupun saya juga sering lupa akan apa yang saya janjikan, tetapi saya merasa tahu dan mengerti apa artinya menjadi “lilin yang dibakar” dan “menaruh jemaat Tuhan di dalam hati”. Sampai beberapa waktu yang lalu, tiba-tiba saya tertegun.

Saya tertegun ketika menyadari: Mungkinkah sebetulnya selama ini saya tidak terlalu sadar apa yang saya janjikan? Mungkinkah sebetulnya saya tidak terlalu mengerti apa yang saya janjikan? Saya tidak berbohong kepada Tuhan, tetapi naif.

Beberapa waktu ini saya mengalami kelelahan luar biasa, secara fisik maupun emosi. Saya memeras otak, saya kurang tidur, saya tertekan dengan begitu banyak hal, lebih dari yang pernah saya alami selama ini. Saya melihat bagaimana dosa mencengkeram kehidupan manusia. Saya juga terluka melihat jemaat yang terluka. Selama beberapa tahun ini, Tuhan seperti membuka mata saya sedikit demi sedikit tentang dukacita-Nya, dan sampai di titik ini saya sudah hampir tidak tahan. Saya terlalu berduka. Saya mempertanyakan ulang seluruh pelayanan yang dilakukan saya dan gereja. Saya menangis, berteriak, kadang sambil putus asa tangan saya menggapai-gapai ke atas memohon pertolongan Tuhan (Mazmur 77:3).

Saya tidak mengalami seperti Paulus. Saya tidak mengalami apa yang dialami para misionaris di zaman dulu. Masih terlalu jauh. Saya juga tidak sampai seperti Yeremia yang mempertanyakan panggilannya: “Engkau telah membujuk aku, ya Tuhan, dan aku telah membiarkan diriku dibujuk”. Tetapi saya teringat lagi akan dua gambaran yang dipakai Tuhan memanggil saya dan menjadi janji saya. “Tuhan, inikah artinya menjadi lilin yang terbakar? Tuhan, inikah artinya menaruh jemaat Tuhan di dalam hati saya?”

Saya tidak menyangka akan seberat ini. Saya baru sadar bahwa “lilin yang terbakar” dan “menaruh jemaat Tuhan di dalam hati” ternyata terlalu berat untuk ditanggung oleh siapapun. Padahal semua yang sudah saya alami barulah sepersekian! Maka saya bertanya lagi, “Tuhan, inikah yang dulu Engkau maksudkan ketika memanggil saya? Inikah yang dulu saya janjikan dengan naif di hadapan-Mu?”

Saya makin mengerti bahwa menjadi hamba Tuhan adalah mengalami dukacita-Nya Tuhan dan sukacita-Nya Tuhan - di dalam batas tertentu. Lihat saja kehidupan Hosea yang menikah dengan seorang perempuan sundal dan mengalami dukacita Tuhan karena umat yang dikasihi-Nya bersundal. Atau lihat Yehezkiel yang menyampaikan pesan Tuhan bukan hanya dengan perkataan tapi juga tubuhnya, ia mengerang, ia makan dengan menggigil dan cemas, ia membakar rotinya di atas kotoran manusia, ia tidak boleh menangis ketika istrinya meninggal – karena Tuhan berbagi kemarahan dan dukacita-Nya kepada dia. Sebagai manusia saya memang tidak akan sanggup sepenuhnya mengalami apa yang Tuhan “rasakan”, tetapi Tuhan membagikan sukacita dan dukacita-Nya kepada saya sampai batas tertentu. Saya jadi bertanya sampai berapa jauh Tuhan akan berbagi ini dengan saya? Saya jadi ngeri. Maka saya juga berpikir kalau dulu saya mengerti ini, masih beranikah saya berkata “ya” kepada panggilan Tuhan?

Sejujurnya, saya tidak berani. Tetapi saya mau. Here I am, Lord. Walaupun keraguan dan ketakutan tetap menghantui saya. Is it I, Lord? Saya makin sadar this is not a game.

Maka saya akan tetap berkata “ya” kepada panggilan Tuhan untuk menjadi “lilin yang terbakar” dan “menaruh jemaat Tuhan di dalam hati” – dengan amat sangat gentar. Saya akan berkata “ya” dengan lebih sungguh, lebih mengerti, dan lebih beriman.

Sekarang saya tidak tahu apa lagi yang Tuhan sediakan di depan, yang harus saya jalani, tapi dua hal saya mohon kepada Tuhan: pakai saya dan jangan tinggalkan saya.