Wednesday, June 17, 2015

"Orang Dalam" - For My Wife



Salah satu sindrom yang sangat manusiawi di dalam relasi keluarga adalah sindrom “orang dalam”.

Kita bisa sungkan untuk marah kepada teman tetapi tidak sungkan marah kepada orang tua kita. Kita bisa sungkan untuk minta tolong kepada teman tetapi dengan seenaknya menyuruh suami atau istri kita. Kenapa bisa begitu? Karena mereka “orang dalam”! Kita bisa seenaknya, sebebas-bebasnya, boleh marah, boleh tidak senang, boleh nyuruh, tanpa merasa tidak enak, karena mereka “orang dalam”.

Di satu sisi, kita butuh perasaan adanya “orang dalam”. Itu menenangkan buat kita, nyaman, dan membuat kita diterima apa adanya. Di sisi lain, perasaan “orang dalam” ini kadang kebablasan dan itu membuat kita tidak lagi menghargai mereka sebagaimana seharusnya bahkan tidak lagi bersyukur untuk keberadaan mereka. Kebablasan seperti ini bukan saja merusak relasi tetapi juga kerohanian kita. Seriously!
 
Saya sudah menikah dengan Yudith lebih dari 14 tahun. Sejujurnya, saya pun mengalami sindrom “orang dalam” itu terhadap dia. Betapapun saya sering mengucapkan “terima kasih” kepadanya karena memasak, mencuci piring, menyeterika, menemani saya pergi, merawat saya ketika sakit, dan berbagai hal lainnya, tetap saja banyak hal sebetulnya saya “take it for granted” karena dia adalah “orang dalam” bagi saya. Padahal kalau saya menghitung apa yang dia lakukan untuk saya dan bagaimana Tuhan memakai dia untuk saya, sungguh terlalu banyak.

Saya menikah dengan Yudith tepat ketika akan memasuki masa praktek pelayanan. Artinya sepanjang usia pernikahan kami, dia sudah mendampingi saya menjadi hamba Tuhan penuh waktu.

Dia mendampingi saya melayani sebagai mahasiswa praktek di sebuah gereja di Jakarta. Waktu itu kami masih sama-sama polos dan bingung, hanya belajar setia saja melayani. Kemudian dia ikut dengan saya melayani di Beijing. Selama di sana kami bersama-sama menanggung banyak kesulitan, ketakutan, dan kesepian. Setelah itu dia ikut bersama saya kembali lagi melayani di Jakarta, kali ini menjadi pembimbing pemuda dan remaja. Kami bertumbuh dan mensyukuri begitu banyak berkat Tuhan di sana. Walaupun sebagai hamba Tuhan, kelihatannya saya yang “tampil”, tapi banyak pelayanan yang sebetulnya tidak mampu saya kerjakan tanpa dia. Lalu dia ikut saya lagi pergi ke Singapore mengerjakan an impossible task – studi M.Th sambil menjadi gembala. Maka kali itu dia harus mengerjakan begitu banyak tugas pelayanan (bahkan lebih banyak dari saya) sementara suaminya sibuk studi. Dan sekarang, di tengah begitu banyak tekanan yang saya hadapi, dia terus mendampingi saya.

Saya bahkan makin sadar bahwa saya dikenal sebagaimana adanya saya sekarang oleh orang-orang adalah karena dia. Kami bergaul dengan jemaat bersama. Kami mengundang orang makan di rumah bersama. Kami punya anak rohani bersama. Tanpa dia, orang akan mengenal saya sebagai orang yang berbeda dari hari ini. Maka Jeffrey yang sekarang adalah “Jeffrey-karena-Yudith” dan “Jeffrey-dan-Yudith”.

Saya juga mencoba mengingat ke belakang bagaimana Tuhan membentuk saya. Tuhan lah yang membentuk hidup saya, bukan siapapun, ya dan amin. Tapi Tuhan banyak mengerjakan itu melalui pernikahan kami. Gesekan demi gesekan mengasah kami. Di dalam melalui berbagai pergumulan dan kesulitan, kami saling menguatkan. Di dalam kelemahan, kami saling mengingatkan akan Tuhan. Kami juga saling berbagi apa yang Tuhan ajarkan kepada kami masing-masing. Waktu-waktu makan bersama sering menjadi waktu kami bersyukur kepada Tuhan dan berbagi beban dan berkat Tuhan. Kami berdoa dan menangis bersama juga tertawa dan sukacita bersama. Saya kehabisan kata-kata untuk menceritakan semuanya.

Maka apa yang bisa saya katakan sekarang?

Beberapa waktu lalu di internet beredar sebuah video, tentang pasangan muda (Travis dan Kristie) yang didandani oleh make-up artists dengan membayangkan seperti apa penampilan mereka ketika berusia 50an, 70an dan 90an. Pada waktu mereka saling memandang dengan wajah “usia 90an,” mereka menjadi emosional… wajah dan penampilan mereka sudah sangat tua. Lalu mereka ditanya, apa kira-kira kata terakhir yang akan kalian ucapkan kepada satu sama lain? Kristie menjawab: “I would want to make sure he knew how much I loved him and how important he has been to me.” Dan Travis kemudian berkata kepada Kristie, “You made me a better person. There are so many things I couldn’t be without you and will never be without you.” 
 
Video itu mendorong saya untuk memikirkan juga mengenai pernikahan saya dengan Yudith. Waktu video itu dibuat, Travis dan Kristie belum menikah dan mereka mengucapkan kalimat itu sambil membayangkan ketika mereka sudah berusia 90an dan sedang mengucapkan kata-kata terakhir mereka. Saya dan Yudith berbeda dengan mereka. Sekarang, kami sudah saling mengenal selama 23 tahun dan lebih dari 14 tahun di antaranya sebagai suami istri.

Maka setelah semua yang saya lalui bersama Yudith, setelah semua yang Tuhan kerjakan di dalam dan melalui pernikahan kami, saya tidak perlu tunggu “kata terakhir yang akan saya ucapkan,” saya in a far better position untuk bisa berkata kepada Yudith dengan tulus, “You made me a better person. There are so many things I couldn’t be without you and will never be without you.” I know that. Thank you!

Happy birthday my wife! :-)