Saturday, October 31, 2015

Berjuang Mengerjakan yang Tuhan Berikan - Yosua 17

Berkatalah bani Yusuf kepada Yosua, demikian: "Mengapa engkau memberikan kepadaku hanya satu bagian undian dan satu bidang tanah saja menjadi milik pusaka, padahal aku ini bangsa yang banyak jumlahnya, karena TUHAN sampai sekarang memberkati aku?" Jawab Yosua kepada mereka: "Kalau engkau bangsa yang banyak jumlahnya, pergilah ke hutan dan bukalah tanah bagimu di sana di negeri orang Feris dan orang Refaim, jika pegunungan Efraim terlalu sesak bagimu." Kemudian berkatalah bani Yusuf: "Pegunungan itu tidak cukup bagi kami, dan semua orang Kanaan yang diam di dataran itu mempunyai kereta besi, baik yang diam di Bet-Sean dengan segala anak kotanya maupun yang diam di lembah Yizreel." Lalu berkatalah Yosua kepada keturunan Yusuf, kepada suku Efraim dan suku Manasye: "Engkau ini bangsa yang banyak jumlahnya dan mempunyai kekuatan yang besar; tidak hanya satu bagian undian ditentukan bagimu, tetapi pegunungan itu akan ditentukan bagimu juga, dan karena tanah itu hutan, haruslah kamu membukanya; kamu akan memilikinya sampai kepada ujung-ujungnya, sebab kamu akan menghalau orang Kanaan itu, sekalipun mereka mempunyai kereta besi dan sekalipun mereka kuat."
(Yosua 17:14-18)

Yosua 14-19 berisi daftar pembagian tanah untuk suku-suku Israel. Bagian ini memang berisi daftar panjang tentang batas-batas wilayah dan nama kota-kota yang dibagi di antara mereka. Maka ketika membacanya, kita cenderung melewatinya, karena kita merasa tidak tahu apa yang dimaksudkan. Tetapi dengan demikian kita justru melewatkan salah satu bagian terpenting dari kitab Yosua.

Kitab Yosua, dari awal menceritakan bagaimana orang Israel bersiap-siap, menyeberangi sungai Yordan, mulai berperang, dan kemudian satu persatu kota dikalahkan oleh mereka. Bagian ini adalah happy ending-nya, yaitu ketika tanah itu dibagi, artinya mereka mulai mencicipi kemenangan mereka.

Tetapi ada satu hal yang penting, mereka masih harus berjuang! Ketika Yosua membagi tanah itu belum seluruhnya tanah itu sudah dikuasai oleh orang Israel. Tuhan sudah menentukan wilayah mana untuk siapa. Artinya Tuhan sendiri yang berjanji bahwa wilayah yang ditentukan itu akan menjadi milik mereka – itu pasti. Tetapi mereka harus berusaha dan taat kepada Tuhan. Sama seperti ketika mereka mulai memasuki tanah Kanaan, kalau mereka tidak mau berperang, Tuhan tidak akan berikan tanah itu kepada mereka. Kalaupun mereka berperang tapi berdosa kepada Tuhan, maka perang pun akan kalah. Mereka harus berjuang dan taat kepada Tuhan, maka janji itu akan menjadi milik mereka.

Di dalam bagian Alkitab di atas, bani Yusuf (suku Efraim dan Manasye) complain kepada Yosua: “Mengapa kami cuma diberikan satu bagian undian dan satu bidang tanah saja menjadi milik pusaka. Tidak cukup untuk kami!”

Tidak jelas apa maksud complain mereka karena jelas bahwa tanah itu sudah dibagi dan tiap suku sudah mendapat bagian. Mungkin maksudnya adalah sebagian tanah yang diberikan kepada mereka masih diduduki orang Kanaan. Yang mereka miliki baru separuh, sementara yang separuh lagi masih diduduki orang Kanaan, maka seolah-olah Yosua hanya memberikan mereka satu bagian. 

Itu sebabnya Yosua kemudian menjawab mereka: “Kalau tempatmu tidak cukup, silakan pergi ke hutan dan buka tanah di negeri orang Feris dan orang Refaim”. Kalau masalahnya adalah tanah yang sekarang dimiliki tidak cukup, maka pergilah rebut tanah lain yang memang adalah bagianmu! That’s yours! Go and fight for it!

Jawaban mereka memberi tahu kita alasan sebenarnya: “semua orang Kanaan yang diam di dataran itu mempunyai kereta besi”. Mereka tidak mau lagi berperang, merasa sudah achieving something dan sekarang tinggal menikmati hasil – cape, malas, dan tidak puya keberanian untuk berperang lagi.

Maka Yosua menjawab mereka: “Engkau ini punya kekuatan yang besar. Tanah bagianmu masih luas dan Tuhan sudah berikan itu untukmu. Tetapi engkau harus berperang dan berjuang. Musuhmu harus dikalahkan – pasti bisa! Tanah harus dibuka – perlu kerja keras! Tanpa itu kamu tidak akan menerima bagian yang seharusnya yang diberikan Tuhan kepadamu.”

Sangat menyedihkan, itulah yang akhirnya terjadi. Sebagian tanah yang diberikan Tuhan kepada Israel akhirnya tidak pernah menjadi milik mereka. Mereka tidak taat kepada Tuhan, mereka diminta berjuang mengklaim tanah yang Tuhan berikan dan mengusir penduduk Kanaan tapi mereka tidak lakukan. Mereka malas, hanya puas dengan apa yang sudah mereka miliki dan hanya complain kepada Tuhan. Mereka ketakutan dan tidak percaya Tuhan akan memimpin mereka.

Saya jadi berpikir berapa banyak sebetulnya “bagian” yang Tuhan berikan kepada kita masing-masing yang tidak pernah kita perjuangkan dan usahakan? Talenta dan kesempatan? Berapa banyak sebetulnya pekerjaan Tuhan yang seharusnya bisa kita lakukan untuk kemuliaan Tuhan tapi kita lewatkan karena cape, malas, dan tidak punya keberanian? Berapa sering sebetulnya kita menyia-nyiakan hidup dengan berputar-putar melakukan dosa dan akhirnya tidak melakukan yang Tuhan mau.

Maka ada banyak yang Tuhan sudah berikan menjadi “bagian” kita tetapi mungkin tidak pernah kita klaim. Tidak pernah kita usahakan. Ada potensi yang tidak kita kembangkan. Ada pekerjaan baik yang tidak kita lakukan. Ada buah yang tidak kita hasilkan. Maka hidup kita akhirnya tidak mencapai tujuan yang seharusnya.

Paulus pernah berkata: "Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya" (Efesus 2:10). Ada pekerjaan baik yang Allah persiapkan untuk kita dan kita diciptakan untuk melakukannya. Are we doing them ALL faithfully?

Alangkah bahagianya mereka yang didapati Tuhan sebagai hamba yang baik dan setia melakukan tugasnya.

-Renungan Sabtu sore-

Monday, October 19, 2015

Bocoran: Di Sekolah Teologi Belajar Apa sih?

Hampir semua jemaat di gereja Injili tahu ada yang namanya seminari/sekolah teologi. Hampir semua juga tahu bahwa pendetanya itu lulusan seminari/sekolah teologi. Tapi ternyata hampir semua sangat banyak jemaat yang tidak pernah kebayang tahu apa sih yang dipelajari di sana?

Beberapa kali saya pernah bertemu jemaat yang berpikir bahwa di sekolah teologi kami hanya belajar Alkitab berurutan dari Kejadian sampai Wahyu. Maka saya pernah ditanya, “udah sampai kitab apa?” Ada juga yang berpikir bahwa di sekolah teologi kami belajar membuat yang mudah menjadi sulit. Maka pesannya, “jangan belajar ketinggian, nanti jemaat nggak ngerti.”

Saya sangat concern dengan ini.

Pendidikan teologi seharusnya adalah untuk semua orang Kristen; dilakukan di gereja untuk semua jemaat! Semua orang Kristen seharusnya belajar tentang imannya, tentang dunia tempat dia hidup, dan bagaimana melayani di dunia ini.

Tetapi, seriusnya pendidikan teologi membuat mereka mereka yang terpanggil menjadi pelayan Firman, sakramen dan doa di gereja (hamba Tuhan) harus belajar dengan sangat intens. Itulah sebabnya muncul “pelatnas” yaitu sekolah teologi.

Tidak ada yang salah dengan itu. Tetapi sayangnya, akhirnya pendidikan teologi dipisahkan dari kehidupan jemaat, dan orang Kristen yang seharusnya belajar teologi jadi tidak belajar dan bahkan tidak mengerti apa sih yang dipelajari di “pelatnas”.


Ok, cukup keluh kesahnya. Saya ingin kasih “bocoran” sedikit apa sih yang dipelajari di sekolah teologi di program dasar seperti Sarjana Theologi (S.Th) atau Magister Divinitas (M.Div). Setiap seminari/sekolah teologi tentu punya kurikulum yang berbeda, tapi kurikulum utamanya sebenarnya mirip. Program S.Th dan M.Div adalah first degree dalam sekolah teologi, maka sifatnya menyeluruh. Bahasa kerennya rounded – artinya mempelajari berbagai aspek dan hal yang perlu sebagai persiapan menjadi hamba Tuhan. Pada waktu studi postgraduate barulah studinya spesifik.

Pada umumnya mata kuliah yang dipelajari di seminari/sekolah teologi di Indonesia adalah:

Studi Perjanjian Lama dan Studi Perjanjian Baru (ya betul, kami belajar Alkitab). Mempelajari dunia Alkitab (dunia sosial, politik, ekonomi, di zaman itu) dan mengenal 66 kitab di dalam Alkitab (penulisannya, latar belakangnya, dan tema-tema di dalamnya). Totalnya bisa 6 kuliah atau lebih untuk Studi PL dan juga PB.

Saya beri contoh. Mata kuliah Studi PB tentang Injil akan membahas: Latar belakang PB, survey mengenai sejarah orang Yahudi dari masa pemberontakan Makabe (167 SM) sampai hancurnya negara Yahudi (135 M), membahas juga mengenai perkembangan agama Yahudi di zaman itu, bait Allah, pemimpin agama, kitab suci, lalu literatur kuno di zaman itu. Kemudian juga teologi dari Injil –unik untuk setiap Injil- akan dibahas. Kemudian studi kritis terhadap Injil, yaitu berbagai teori yang dikeluarkan para ahli tentang Injil, juga diperkenalkan. Terakhir, beberapa bagian dari Injil akan dipelajari secara mendalam.

Doktrin (atau biasa dikenal sebagai Teologi Sistematika). Mempelajari berbagai macam doktrin: Alkitab, Manusia dan Dosa, Keselamatan, Gereja, Akhir Zaman, Allah, Kristus, Roh Kudus. Totalnya bisa 4 kuliah atau lebih.

Bahasa Yunani dan Bahasa Ibrani – Totalnya masing-masing biasanya 2 kuliah (jadi 4 kuliah).

Hermeneutika – Belajar tentang prinsip penafsiran Alkitab. Mengerti kesulitannya dan berbagai teori di baliknya.

Eksegese Perjanjian Lama
dan Eksegese Perjanjian Baru – Belajar bagaimana menggali Alkitab, setiap genre (jenis sastra) membutuhkan cara yang berbeda. Belajar bagaimana menganalisa struktur kalimat, analisa grammar, analisa kata, dst. Lalu mengenal teks Alkitab (misalnya perbedaan manuskrip yang dipakai) dan bagaimana menggunakan tools yang ada (lexicon, dictionary, grammatical analysis, dll). Masing-masing biasanya 1 kuliah.

Teologi Perjanjian Lama dan Teologi Perjanjian Baru (Teologi Biblika) – Belajar tema-tema teologis yang bukan dilihat per kitab tapi dari keseluruhan Alkitab, misalnya apa yang diajarkan Alkitab tentang Mesias, Anak Allah, Penebusan, Keadilan Allah, dst. Masing-masing biasanya 1 kuliah.


Sejarah Gereja – Dari mulai gereja mula-mula, penyebarannya, faktor-faktor di sekitarnya (politik, ekonomi, dll), sampai ke zaman gereja modern. Total biasanya 2 kuliah.

Homiletika – Belajar bagaimana berkhotbah.

Etika – Sederhananya adalah belajar prinsip membedakan right and wrong dan bagaimana mengambil keputusan, ditinjau dari sisi filsafat dan juga dari Alkitab. Bisa 1 atau 2 kuliah.

Lalu tiap seminari/sekolah teologi juga akan memasukkan mata kuliah lain seperti: Sejarah Teologi (bagaimana perkembangan pemikiran teologi di sepanjang zaman), Formasi pertumbuhan rohani (konsep pertumbuhan dan bagaimana seseorang bertumbuh), Kepemimpinan dan Manajemen gereja, Konseling pastoral, Misiologi (teori tentang misi), Perbandingan agama, Pendidikan Kristen, Musik gerejawi, Apologetika, Filsafat, dll. Masih banyak macam! Lagi-lagi, setiap seminari/sekolah teologi akan memasukkan mata kuliah yang berbeda.

Kira-kira seperti itu.

Maka bisa dibayangkan pendidikan teologi undergraduate, “pelatnas”nya hamba Tuhan, memang berusaha untuk rounded. Dari mulai yang fondasi seperti Alkitab dan doktrin, lalu ilmu lain yang berkaitan seperti sejarah, etika, dan filsafat, kemudian ketrampilan pelayanan seperti berkhotbah, pastoral konseling, kepemimpinan, dll.

Tidak semua mata kuliah bisa dijejelin karena ada batasan kredit (SKS). Tapi dengan apa yang dipelajari, dia tahu cukup banyak dari berbagai sisi, diperlengkapi dengan ketrampilan yang perlu, dan diharapkan punya modal untuk masuk ke dalam pelayanan dan mengembangkan pemikiran teologinya dalam pelayanan.

Mudah2an sedikit memperjelas :-)

Tuesday, October 06, 2015

TTC Cultural Night - 2015

Setiap tahun TTC mengadakan Cultural Night. Mahasiswa didorong memakai pakaian khas negaranya. Lalu mahasiswa dari setiap negara diminta menampilkan satu acara yang berkaitan dengan kebudayaannya dan diminta menyediakan makanan khas negaranya - and this is the best part.

Saya terlalu sibuk makan dan sedang agak malas foto sehingga tidak banyak foto yang diambil. Kali ini Indonesia menampilkan tari kecak dan menyediakan nasi tumpeng :-) 

















Saturday, October 03, 2015

A Shepherd Looks at Psalm 23 – W. Phillip Keller

Belasan tahun yang lalu (lama banget!) saya membaca buku ini, sangat diberkati olehnya, bahkan beberapa kali menggunakannya untuk bahan khotbah.

Buku ini sangat unik karena latar belakang penulisnya yang unik. W. Phillip Keller pernah tinggal lama di Afrika Timur, di lingkungan para gembala yang kebudayaannya sangat mirip dengan mereka yang di Timur Tengah. Dia sendiri bahkan pernah menjadi gembala selama 8 tahun. Dia tahu seperti apa kesulitan, pergumulan, perasaan, berhubungan dengan domba sebagai gembala. Kemudian, dia juga menjadi “gembala” dari sebuah gereja dan dia mengalami arti menjadi “gembala” bagi umat Tuhan.

Buku ini ditulis dengan bahasa yang sederhana tetapi sangat menarik. Keller tidak mencoba merohanikan relasi gembala dan domba. Di satu sisi, dia mencoba menafsirkan Mazmur 23 dari sudut pandang gembala/domba sungguhan. Tapi, di sisi lain, dia tidak kebablasan dan membuat Mazmur 23 kehilangan maksud aslinya.

Susunan buku ini sederhana, dibagi dalam 12 bab, yang masing-masing menjelaskan arti 1 kalimat dari Mazmur 23. Ini bukan buku tafsiran – jauh dari itu. Ini juga bukan buku eksposisi. Ini buku devotional – mengajak kita merenung, menguatkan iman kita, dan membawa kita berlutut. Untuk tujuan itu, Keller sangat berhasil. Dia membawa kita melihat betapa terlibatnya Allah dalam hidup kita sebagai gembala dan betapa tidak berdayanya kita sebagai domba.

Saya mencoba mencari paragraf yang bisa saya cuplik dan cantumkan disini untuk memberi gambaran tentang bagaimana gaya tulisan Keller. Tidak berhasil - kecuali cuplikannya panjang. Dia menulis dengan sangat mengalir dan mencuplik sepotong tulisannya justru bisa membuat kita salah mengerti tentang dia. Di bawah adalah cuplikan penjelasannya tentang kalimat "I shall not want..." Mudah-mudahan cukup menggambarkan.

When all is said and done, the welfare of any flock is entirely dependent upon the management afforded them by their owner.

The tenant sheepman on the farm next to my first ranch was the most indifferent manager I had ever met. He was not concerned about the condition of his sheep. His land was neglected. He gave little or no time to his flock, letting them pretty well forage for themselves as best they could, both summer and winter. They fell prey to dogs, cougars, and rustlers.

Every year these poor creatures were forced to gnaw away at bare brown fields and impoverished pastures. Every winter there was a shortage of nourishing hay and wholesome grain to feed the hungry ewes. Shelter to safeguard and protect the suffering sheep from storms and blizzards was scanty and inadequate.

They had only polluted, muddy water to drink. There had been a lack of salt and other trace minerals needed to offset their sickly pastures. In their thin, weak, and diseased condition these poor sheep were a pathetic sight.

In my mind’s eye I can still see them standing at the fence, huddled sadly in little knots, staring wistfully through the wires at the rich pastures on the other side.

To all their distress, the heartless, selfish owner seemed utterly callous and indifferent. He simply did not care. What if his sheep did want green grass, fresh water, shade, safety, or shelter from the storms? What if they did want relief from wounds, bruises, disease, and parasites?

He ignored their needs — he couldn’t care less. Why should he — they were just sheep — fit only for the slaughterhouse.

I never looked at those poor sheep without an acute awareness that this was a precise picture of those wretched old taskmasters, Sin and Satan, on their derelict ranch — scoffing at the plight of those within their power.

As I have moved among men and women from all strata of society as both a lay pastor and as a scientist, I have become increasinglyaware of one thing. It is the boss — the manager — the
Master in people’s lives who makes the difference in their destiny.

I have known some of the wealthiest men on this continent intimately — also some of the leading scientists and professional people.

Despite their dazzling outward show of success, despite their affluence and their prestige, they remained poor in spirit, shriveled in soul, and unhappy in life. They were joyless people held in the iron grip and heartless ownership of the wrong master.

By way of contrast, I have numerous friends among relatively poor people — people who have known hardship, disaster, and the struggle to stay afloat financially. But because they belong to Christ and have recognized Him as Lord and Master of their lives, their owner and manager, they are permeated by a deep, quiet, settled peace that is beautiful to behold.

It is indeed a delight to visit some of these humble homes where men and women are rich in spirit, generous in heart, and large of soul. They radiate a serene confidence and quiet joy that surmounts all the tragedies of their time.

They are under God’s care and they know it. They have entrusted themselves to Christ’s control and found contentment. Contentment should be the hallmark of the man or woman who has put his or her affairs in the hands of God. This especially applies in our affluent age. But the outstanding paradox is the intense fever of discontent among people who are ever speaking of security.

Despite an unparalleled wealth in material assets, we are outstandingly insecure and unsure of ourselves and well nigh bankrupt in spiritual values.

Always men are searching for safety beyond themselves. They are restless, unsettled, covetous, greedy for more — wanting this and that, yet never really satisfied in spirit.

By contrast the simple Christian, the humble person, the Shepherd’s sheep, can stand up proudly and boast. “The Lord is my shepherd — I shall not be in want.”

Gambar sampul di atas berasal dari cetakan tahun 2007 dan waktu itu buku ini sudah terjual lebih dari 2 juta eksemplar. Seingat saya buku ini juga sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Highly recommended!