Monday, November 23, 2015

Sampai Masa Tuaku


Setiap kita akan semakin tua, mau atau tidak mau dan sadar atau tidak sadar.

Rambut semakin memutih atau menipis, kulit mengendur dan keriput semakin jelas, otot melemah, dan organ-organ tubuh semakin rentan. Kesulitan hidup yang kita alami mempertegas dan mempercepat proses itu.

Ketika kita bercermin dan melihat fisik kita yang semakin tua, apa yang kita pikirkan? Berpikir bagaimana membuatnya tampak lebih muda? :-) Berharap bahwa kita belum setua itu? Atau melihat a story, bahwa fisik ini, ya, rambut, kulit yang keriput, semuanya, sudah melalui banyak hal di masa lalu. We have been through many things, ups and downs and in between.

Tetapi, selain itu, bisakah kita juga melihat another story: His story. Betul ada banyak kisah penderitaan, kesulitan, tangisan yang sudah kita lalui di masa lalu, tapi juga jelas ada kisah bagaimana tangan Tuhan menjangkau kita dan bagaimana tangan Tuhan menopang kita. Rajutan “kisah hidup kita” dan “kisah Tuhan dalam hidup kita” itu berpadu menjadi the real story. Itulah kisah sesungguhnya yang ada di balik fisik yang menua.

Selama masih ada nafas hidup, kisah itu belum berakhir, dan rajutan itu akan terus semakin kuat.


Mari mengamini apa yang Tuhan janjikan: “Sampai masa tuamu Aku tetap Dia dan sampai masa putih rambutmu Aku menggendong kamu. Aku telah melakukannya dan mau menanggung kamu terus; Aku mau memikul kamu dan menyelamatkan kamu”  (Yesaya 46:4). Dia sudah melakukannya dan Dia mau terus melakukannya.

Wednesday, November 18, 2015

What Kind of Life Do I Want to Live?

Saya baru saja kembali dari rumah doa di Lembang. Saya pergi kesana to iron out the wrinkles in my heart. Setibanya di sana saya langsung masuk ke kamar doa. Setelah sekitar satu setengah jam, saya memutuskan untuk berjalan-jalan di taman.

Seorang tukang kebun yang sudah lama bekerja di situ mengenali dan menyapa saya dengan ramah. Tiba-tiba dia bertanya, “Bapak tahu kalau Ibu sudah meninggal?”

Pikiran saya langsung teringat pada seorang ibu pengelola rumah doa ini. Saya mengenalnya karena dulu sering telpon untuk book tempat lalu beberapa kali bertemu dengannya di rumah doa. Walaupun tidak terlalu kenal, tapi dia selalu menyambut saya seperti sudah lama kenal. Belakangan melalui berbagai peristiwa saya jadi tahu sekelumit kisah hidupnya. Dia seorang wanita yang hidupnya penuh kesulitan tapi tegar, beriman, dan hidupnya sangat menjadi berkat bagi banyak orang. Rumah doa itu pun lahir dari kerinduan dan beban dia. Lalu akhirnya saya mendengar berita dia sakit dan akhirnya meninggal.

Maka saya menjawab “ya, saya tahu” kepada tukang kebun itu. Lalu dia menghampiri saya dan sambil berjongkok dia bercerita bahwa waktu itu si Ibu sempat bilang mau ke Singapore. Bagi dia, waktu itu, si Ibu tampaknya baik-baik saja. Tiba-tiba berita itu tiba dan dia sempat tidak percaya. Lalu dengan muka muram dia bilang, “Kita kehilangan pak… dia orang baek banget… susah cari orang baek begitu. Dia sangat sosial, dia pernah minta saya bikin daftar penduduk di kampung di atas yang perlu dibantu. Dan dia terus bantu”.

Lalu dia berkata bahwa dia senang waktu mendengar jenazah si Ibu akan dibawa pulang ke tanah air. “Dulu Ibu pernah bilang kalau dia meninggal, dia mau jenazahnya dipikul sama anak-anak rumah doa (karyawan). Saya pengen penuhin pesannya”. Kemudian dia bercerita bahwa waktu pemakaman, di kuburan sangatlah ramai. Dengan wajah berduka dan dengan lirih dia berkata, “saya nggak percaya… cepet banget… Ibu orang baek.”

Di tengah rumitnya dan berbelit-belitnya pikiran saya, percakapan singkat itu memberikan kesegaran tersendiri. Saya jadi diingatkan kembali what kind of life do I want to live?

James Dobson pernah mengumpamakan hidup seperti permainan monopoli. Waktu bermain, semua bisa serakah, berebut uang, berusaha mengalahkan lawan, bersaing membeli rumah dan tanah, sambil tertawa-tawa puas ketika menang. Tapi setelah permainan selesai, semua harus kembali masuk ke kotak. Semua yang tadinya begitu berharga, tidak ada lagi artinya. Kesenangan karena menang pun tidak ada lagi nilainya. Tapi bagaimana menjalani permainan tadi bersama orang-orang lain, itulah yang bernilai.

Sebelum berangkat ke rumah doa, saya secara acak membawa satu buku dari perpustakaan untuk dibaca di sana. Mau tahu judulnya? Our Greatest Gift: A Meditation on Dying and Caring (Henri J. M. Nouwen). Pas banget!

Nouwen melayani di komunitas penyandang cacat mental dan dia berkata ada banyak hal yang tidak bisa dilakukan mereka seperti orang di luar komunitas mereka. Ada yang tidak bisa mendengar, tidak bisa berhitung, tidak bisa membaca, ada yang tidak bisa makan atau mandi sendiri, dan ada yang sama sekali tidak bisa apa-apa. Mereka sadar bahwa hidup akan semakin berat seiring dengan bertambahnya usia. Tetapi bukankah semua itu juga dialami oleh orang-orang yang “sehat” ketika menjadi tua? Pada waktu muda kita mungkin berbeda, ada yang bisa ini dan itu, ada yang dapat ini dan itu, dan ada yang tidak bisa dan dapat apa-apa. Tetapi ketika tua, kita semua akan semakin mirip. Kita sama-sama akan bergantung kepada orang lain. Sama-sama tidak bisa ini dan itu. Hidup kita adalah dari dependence (masa kecil) ke dependence (masa tua). Sampai akhirnya kita akan persis sama: Meninggal! Maka bagaimana kita hidup, di dalam keterbatasan masing-masing, itulah yang bernilai.

Hidup memang penuh dengan kesulitan. Maka kita berjuang - kita berusaha dengan segala cara untuk mengatasi kesulitan. Ditambah lagi manusia lapar untuk menjadi signifikan (hunger for significance). Maka dalam usaha mengatasi kesulitan, kadang kita menyusun strategi untuk mengalahkan orang lain dan tertawa puas ketika menang. Sebaliknya kadang kita merasa terpukul ketika kalah. Akhirnya kita lupa apa yang bernilai di dalam hidup kita dan apa yang sebetulnya harus kita kejar. Kita hanya sibuk memuaskan kelaparan ego kita.

Saya teringat sebuah film seri televisi “Bu Bu Jing Xin” (步步惊心) yang saya tonton dulu di Singapore. Ceritanya adalah tentang perebutan kekuasaan di antara anak-anak kaisar Kangxi. Belasan pangeran itu sejak kecil bersama-sama, main kuda bersama, berbincang bersama, sampai akhirnya mereka makin dewasa dan berebut kekuasaan. Pangeran yang ke-4, dengan segala cara, akhirnya berhasil menjadi kaisar. Saudaranya yang setia kepadanya sudah meninggal. Saudara-saudaranya yang melawan dia sudah disingkirkan dan meninggal. Satu persatu saudaranya sudah tiada. Dia sudah “menang”.

Lalu ada satu adegan dimana dia berdiri sendirian di istana sambil memandang halaman yang luas. Kemudian dengan wajah yang datar dia berkata, “mereka semua sudah tidak ada, hanya tinggal aku sendirian”. Saya kira sutradara film itu sengaja menghadirkan adegan itu dengan setting seperti itu, istana yang kosong, tidak ada lagi keramaian masa lalu, dan dia sendirian. Seakan bertanya kepada kita: “Lalu apa?”

Suatu kali nanti kita akan memandang ke belakang dan melihat semua yang pernah kita dapatkan atau menangkan dan bertanya, “Lalu apa?” Bahkan pertanyaan itu pun sudah tidak relevan ketika kita meninggal.


Ada banyak doa yang saya panjatkan di sana. Tapi, somehow, perenungan akan kematian dan kehidupan itu menyegarkan hati saya kembali. What kind of life do I want to live?

Thursday, November 12, 2015

Cara Berpikir - Part 4: Don't Focus on the Symptoms, Address the Cause

Ini bagian yang keempat dalam tulisan seri “Cara Berpikir”. Saya pernah menulis di blog ini tentang
cara berpikir:
Cara Berpikir – Part 1: Apa sih Masalahnya? 
Cara Berpikir – Part 2: Benarkah Begitu?
Cara Berpikir - Part 3: Seeing Both the Forest and Tress

Semua masalah selalu ada “penyebab”nya di belakangnya. Kadang “penyebab”nya ada satu , dua, tiga, atau bahkan lebih. Setiap “penyebab” itu juga ada lagi “penyebab” di belakangnya. Demikian seterusnya… Kalau ditarik terus ke belakang…terussss ke belakang…lama-lama penyebabnya adalah dosa Adam. Artinya nariknya udah kejauhan!

Sederhananya begini, ada penyebab yang masih bisa kita rubah, ada penyebab yang tidak bisa kita rubah lagi alias harus diterima. Maka kita perlu mencari ke belakang dan bertanya terus “apa penyebabnya” sejauh ke penyebab yang masih dalam batas kemampuan kita untuk merubah.

Saya menggunakan dua istilah untuk menolong kita berpikir: “Symptoms” dan “Cause.” 

Symptoms” (gejala, keluhan, sesuatu yang muncul dan kelihatan) adalah sesuatu yang muncul ke permukaan yang diakibatkan oleh “cause” (penyebab). Ketika seorang pasien datang ke dokter, seringkali dia tidak tahu apa penyakitnya. Dia hanya akan datang dengan menceritakan symptoms yang dialami dan dokter juga menggali data dari symptoms yang diceritakan. Misalnya kalau dia demam, sudah berapa lama, sampai berapa suhunya. Lalu apakah perutnya sakit ketika ditekan, apakah lidahnya berwarna putih, apakah ada bintik merah di tangan, dst. Yang dilakukan seorang dokter adalah mencari sebanyak mungkin symptoms, lalu menebak apa cause nya. Dia tidak boleh hanya menangani symptoms; demam dikasih pereda panas, sakit perut dikasih panadol, dst. Itu dokter ngaco! Dia harus mencari cause-nya dan menyelesaikan akar masalahnya.

Kesulitannya adalah masalah selalu muncul dalam bentuk symptoms dan kecenderungan kita adalah mencoba menyelesaikan symptoms itu. Praktis. Cepat. Ada masalah ada jawaban. Tapi celakanya, kalau cause nya tidak dibereskan, maka masalah akan terus muncul. Bahkan kadang muncul dalam bentuk symptoms yang lain.

Di dalam pelayanan, berkali-kali saya melihat ini terjadi.

Jemaat mengeluh khotbah membosankan (symptoms). Kalau ditanya apa masalahnya, maka jawabannya adalah terlalu dalam, tidak praktis, terlalu “doktrinal” (analisa symptoms yang salah). Maka dicarilah tema yang lebih praktis, lalu pengkhotbah dipesankan untuk tidak membawakan yang dalam tapi yang ringan-dan-lucu saja. Padahal masalahnya bukan itu! Masalahnya justru mungkin karena pengkhotbah tidak membawakan dengan mendalam dan relevan (cause)! Justru Alkitab perlu diajarkan dengan sangat mendalam (jauh lebih mendalam dari yang kebanyakan hari ini terjadi di banyak gereja), tetapi tetap harus relevan.

Di beberapa gereja diterapkan jam kantor “9 to 5” untuk hamba Tuhan. Seringkali alasannya adalah: Jemaat aja ngantor.. ngapain aja hamba Tuhan kerjanya? Supaya yakin hamba Tuhan juga kerja, maka buat jam kantor (symptoms). Padahal di kebanyakan kasus, cause-nya adalah karena jemaat merasa tidak puas dengan pelayanan hamba Tuhan di gerejanya. Mungkin itu masalah relasi, leadership, khotbah, arah gereja, macam-macam. Kalau symptoms dibereskan dengan dibuatkan jam kantor, apakah masalah beres? Tidak, akan muncul symptoms yang lain.

Demikian pula dengan seruan beberapa orang untuk membuat program ini dan itu, untuk membuat perubahan di sini dan situ, dst. Alasannya? Jemaat perlu! Ini bagus untuk pertumbuhan gereja! Macam-macam sih alasannya. Jangan cepat-cepat! Karena kalau ditelusuri, seringkali bukan itu yang diinginkan dan dibutuhkan. Maka perlu discernment untuk melihat apa sebetulnya yang terjadi, apa penyebabnya, lalu apa yang betul-betul harus dilakukan.

Saya juga melihat ini terjadi dalam kehidupan sehari-hari.

Anak yang selalu menangis, ngambek, ngotot, minta untuk dibelikan mainan (symptoms), belum tentu sebetulnya menginginkan mainan itu. Mungkin yang dia inginkan adalah perhatian orang tuanya (cause). Satu-satunya yang dia bisa adalah menangis dan minta dibelikan mainan karena saat itulah, untuk sesaat, dia merasa diperhatikan. Tapi apakah masalahnya selesai? Tidak. Dia tetap butuh perhatian. Maka dia akan menangis lagi minta dibelikan mainan.

Beberapa anak menunjukkan prestasi yang buruk di sekolah. Sebagian orang tua berpikir sederhana, prestasi buruk, kurang rajin belajar, maka solusinya diberikan les tambahan. Padahal mungkin bukan itu masalahnya. Mungkin dia punya masalah dengan teman-teman atau guru di sekolah? Mungkin dia tidak cocok dengan cara belajar seperti itu? Mungkin dia tidak tertarik dengan pelajarannya?

Demikian pula dalam kehidupan kita. Ketika kita kesepian, kita memikirkan segala cara untuk mengisi kesepian dan kekosongan itu, dari mulai shopping, nonton, jalan-jalan, dugem, apa saja. Tapi ujungnya tetap sepi. What’s wrong? Karena kita fokus hanya di symptoms: kesepian. Kita tidak addressing the cause: hati kita yang membutuhkan Tuhan.

Maka pola pikir ini bisa menolong kita dalam banyak hal. Jangan melihat sesuatu hanya di permukaan. Jangan melihat masalah hanya dari symptoms-nya dan jangan fokus memberekan hanya symptoms karena tidak akan beres. Address the cause!

Tuesday, November 10, 2015

Slow Down a Bit...


Mark Yaconelli bercerita tentang anaknya, Joseph, yang berusia 4 tahun dan tidak pernah mau diburu-buru. Suatu hari Joseph mengumumkan bahwa dia membentuk organisasi baru: “Slow Club”. Dia presiden dan anggota satu-satunya. Dan dia memberikan one day free membership untuk papanya. Setiap kali papanya ingin berjalan cepat, dia mengingatkan bahwa hari itu dia adalah anggota Slow Club! No hurry! Papanya tidak sabar, ingin cepat, tapi terpaksa ikut dia.

Sambil berjalan dengan perlahan… mereka melihat ada kelinci di pinggir jalan mengamati mereka, ada kupu-kupu, bunga liar berwarna ungu, kumbang yang besar, dan banyak hal lainnya. Mark Yaconelli baru menyadari, ternyata ada banyak keindahan di jalan yang tidak pernah dia perhatikan selama ini karena selalu buru-buru! Tuhan menaburkan keindahan itu dimana-mana – diperhatikan atau tidak. Alangkah sayangnya!

Demikian pula Tuhan menabur banyak keindahan dalam hidup kita – diperhatikan atau tidak. Tangan Tuhan sedang merenda hidup kita – diperhatikan atau tidak. Seringkali kita tidak memperhatikannya dan kita tidak meyadari keindahan dan rajutan tangan Tuhan dalam hidup kita. Alangkah sayangnya!

Slow down a bit… spend some time to notice them… and give thanks!