Wednesday, November 18, 2015

What Kind of Life Do I Want to Live?

Saya baru saja kembali dari rumah doa di Lembang. Saya pergi kesana to iron out the wrinkles in my heart. Setibanya di sana saya langsung masuk ke kamar doa. Setelah sekitar satu setengah jam, saya memutuskan untuk berjalan-jalan di taman.

Seorang tukang kebun yang sudah lama bekerja di situ mengenali dan menyapa saya dengan ramah. Tiba-tiba dia bertanya, “Bapak tahu kalau Ibu sudah meninggal?”

Pikiran saya langsung teringat pada seorang ibu pengelola rumah doa ini. Saya mengenalnya karena dulu sering telpon untuk book tempat lalu beberapa kali bertemu dengannya di rumah doa. Walaupun tidak terlalu kenal, tapi dia selalu menyambut saya seperti sudah lama kenal. Belakangan melalui berbagai peristiwa saya jadi tahu sekelumit kisah hidupnya. Dia seorang wanita yang hidupnya penuh kesulitan tapi tegar, beriman, dan hidupnya sangat menjadi berkat bagi banyak orang. Rumah doa itu pun lahir dari kerinduan dan beban dia. Lalu akhirnya saya mendengar berita dia sakit dan akhirnya meninggal.

Maka saya menjawab “ya, saya tahu” kepada tukang kebun itu. Lalu dia menghampiri saya dan sambil berjongkok dia bercerita bahwa waktu itu si Ibu sempat bilang mau ke Singapore. Bagi dia, waktu itu, si Ibu tampaknya baik-baik saja. Tiba-tiba berita itu tiba dan dia sempat tidak percaya. Lalu dengan muka muram dia bilang, “Kita kehilangan pak… dia orang baek banget… susah cari orang baek begitu. Dia sangat sosial, dia pernah minta saya bikin daftar penduduk di kampung di atas yang perlu dibantu. Dan dia terus bantu”.

Lalu dia berkata bahwa dia senang waktu mendengar jenazah si Ibu akan dibawa pulang ke tanah air. “Dulu Ibu pernah bilang kalau dia meninggal, dia mau jenazahnya dipikul sama anak-anak rumah doa (karyawan). Saya pengen penuhin pesannya”. Kemudian dia bercerita bahwa waktu pemakaman, di kuburan sangatlah ramai. Dengan wajah berduka dan dengan lirih dia berkata, “saya nggak percaya… cepet banget… Ibu orang baek.”

Di tengah rumitnya dan berbelit-belitnya pikiran saya, percakapan singkat itu memberikan kesegaran tersendiri. Saya jadi diingatkan kembali what kind of life do I want to live?

James Dobson pernah mengumpamakan hidup seperti permainan monopoli. Waktu bermain, semua bisa serakah, berebut uang, berusaha mengalahkan lawan, bersaing membeli rumah dan tanah, sambil tertawa-tawa puas ketika menang. Tapi setelah permainan selesai, semua harus kembali masuk ke kotak. Semua yang tadinya begitu berharga, tidak ada lagi artinya. Kesenangan karena menang pun tidak ada lagi nilainya. Tapi bagaimana menjalani permainan tadi bersama orang-orang lain, itulah yang bernilai.

Sebelum berangkat ke rumah doa, saya secara acak membawa satu buku dari perpustakaan untuk dibaca di sana. Mau tahu judulnya? Our Greatest Gift: A Meditation on Dying and Caring (Henri J. M. Nouwen). Pas banget!

Nouwen melayani di komunitas penyandang cacat mental dan dia berkata ada banyak hal yang tidak bisa dilakukan mereka seperti orang di luar komunitas mereka. Ada yang tidak bisa mendengar, tidak bisa berhitung, tidak bisa membaca, ada yang tidak bisa makan atau mandi sendiri, dan ada yang sama sekali tidak bisa apa-apa. Mereka sadar bahwa hidup akan semakin berat seiring dengan bertambahnya usia. Tetapi bukankah semua itu juga dialami oleh orang-orang yang “sehat” ketika menjadi tua? Pada waktu muda kita mungkin berbeda, ada yang bisa ini dan itu, ada yang dapat ini dan itu, dan ada yang tidak bisa dan dapat apa-apa. Tetapi ketika tua, kita semua akan semakin mirip. Kita sama-sama akan bergantung kepada orang lain. Sama-sama tidak bisa ini dan itu. Hidup kita adalah dari dependence (masa kecil) ke dependence (masa tua). Sampai akhirnya kita akan persis sama: Meninggal! Maka bagaimana kita hidup, di dalam keterbatasan masing-masing, itulah yang bernilai.

Hidup memang penuh dengan kesulitan. Maka kita berjuang - kita berusaha dengan segala cara untuk mengatasi kesulitan. Ditambah lagi manusia lapar untuk menjadi signifikan (hunger for significance). Maka dalam usaha mengatasi kesulitan, kadang kita menyusun strategi untuk mengalahkan orang lain dan tertawa puas ketika menang. Sebaliknya kadang kita merasa terpukul ketika kalah. Akhirnya kita lupa apa yang bernilai di dalam hidup kita dan apa yang sebetulnya harus kita kejar. Kita hanya sibuk memuaskan kelaparan ego kita.

Saya teringat sebuah film seri televisi “Bu Bu Jing Xin” (步步惊心) yang saya tonton dulu di Singapore. Ceritanya adalah tentang perebutan kekuasaan di antara anak-anak kaisar Kangxi. Belasan pangeran itu sejak kecil bersama-sama, main kuda bersama, berbincang bersama, sampai akhirnya mereka makin dewasa dan berebut kekuasaan. Pangeran yang ke-4, dengan segala cara, akhirnya berhasil menjadi kaisar. Saudaranya yang setia kepadanya sudah meninggal. Saudara-saudaranya yang melawan dia sudah disingkirkan dan meninggal. Satu persatu saudaranya sudah tiada. Dia sudah “menang”.

Lalu ada satu adegan dimana dia berdiri sendirian di istana sambil memandang halaman yang luas. Kemudian dengan wajah yang datar dia berkata, “mereka semua sudah tidak ada, hanya tinggal aku sendirian”. Saya kira sutradara film itu sengaja menghadirkan adegan itu dengan setting seperti itu, istana yang kosong, tidak ada lagi keramaian masa lalu, dan dia sendirian. Seakan bertanya kepada kita: “Lalu apa?”

Suatu kali nanti kita akan memandang ke belakang dan melihat semua yang pernah kita dapatkan atau menangkan dan bertanya, “Lalu apa?” Bahkan pertanyaan itu pun sudah tidak relevan ketika kita meninggal.


Ada banyak doa yang saya panjatkan di sana. Tapi, somehow, perenungan akan kematian dan kehidupan itu menyegarkan hati saya kembali. What kind of life do I want to live?