Monday, November 14, 2016

Glittering Vices - Rebecca Konyndyk DeYoung

Rebecca Konyndyk DeYoung, Glittering Vices: A New Look at the Seven Deadly Sins And Their Remedies (Grand Rapids: Brazos Press, 2009), 205 pages.


Secara tidak sengaja, saya melihat buku ini dijual sangat murah di sebuah perpustakaan sekolah teologi. Saya lihat topiknya, penulisnya, dan karena murahnya, saya putuskan untuk membelinya. Di luar dugaan, buku ini sangat bagus.

Buku ini membahas apa yang sering disebut sebagai “Tujuh Dosa Maut (Seven Deadly Sins)”. DeYoung sebetulnya lebih setuju dengan istilah capital vices daripada deadly sins. Ada dua alasan: Pertama, “vice”menunjukkan kebiasaan (habit) atau tipe karakter (character trait). Artinya bukan sekedar perbuatan dosa tetapi sebuah kebiasaan dosa di dalam diri kita yang sudah lama kita kembangkan dan sudah mengakar. Kedua, “capital” artinya adalah “kepala” atau “sumber”. Dari tujuh vices inilah muncul berbagai vices yang lain, dan itulah sebabnya mereka disebut “deadly”.

DeYoung memulai pembahasannya dengan menjelaskan asal usul pemahaman akan capital vices itu dalam tradisi Kristen mulai dari zaman “the desert fathers” (sekitar abad ke-3 dan ke-4). Banyak penjelasannya juga diambil dari Thomas Aquinas (abad ke-13). Lalu dia menjelaskan mengapa tujuh vices ini yang dimasukkan dan mengapa mereka begitu kuat mempengaruhi hidup manusia.

Dengan sangat baik, dia kemudian menjelaskan satu persatu “Seven Capital Vices” itu:

Envy: Feeling Bitter When Others Have It Better
Vainglory: Image Is Everything
Sloth: Resistance to the Demands of Love
Avarice: I Want It All
Anger: Holy Emotion or Hellish Passion
Gluttony: Feeding Your Face and Starving Your Heart
Lust: Smoke, Fire, and Ashes

Buku ini bukan hanya mengajak kita mengerti arti setiap vice, tetapi dengan tajam memperlihatkan bagaimana vice itu mungkin ada di dalam hati kita. Kemudian di setiap akhir pembahasan salah satu vice, dia akan mengusulkan sebuah disiplin rohani untuk mengubah kebiasaan dosa itu. Karena vice bersifat kebiasaan, maka kita perlu mematahkan kebiasaan itu dan menggantinya dengan kebiasaan lain, begitu rupa, sampai itu mengakar dalam diri kita. Maka dari vice berganti menjadi virtue.

Berikut adalah beberapa kutipan dari buku ini:

“If we think about the people we envy, and we envy them in particular, a pattern emerges. Enviers don’t usually envy those who are far removed from their lives and lifestyles, or who are vastly more talented or successful than they are. They tend to envy people to whom they might actually be compared unfavorably, that is, those who are just like them – only better.” (p.49).

“If we step back for a moment, it is disconcerting to think how much of our lives are spent keeping up appearances to impress lots of other people on the basis of qualities that we don’t have or that don’t really matter.” (p.65).

“Acedia’s (Sloth) greatest temptations are escapism and despair – when we don’t feel like being godly or loving anymore, to abandon ship and give up, to drift away inwardly or outwardly toward something more comfortable or immediately comforting… Thus, its greatest remedy is to resist the urge to get out or give up, and instead to stay the course, stick to one’s commitments, and persevere.” (p.97).

Buku ini bukanlah buku yang “berat” tetapi juga bukan buku yang “ringan”. Dia tidak menulis buku ini untuk kalangan akademis maka istilah-istilah yang dipergunakan juga sederhana dan bukan teknis teologis. Tetapi, buku ini bukan buku yang bisa dibaca dengan cepat dan sambil lalu. Perlu ketelitian dan ketenangan untuk membacanya. Kita perlu membacanya dengan cermat sambil memeriksa diri – satu kali. Lalu, sambil bergumul dengan kehidupan, kita perlu membacanya lagi dan memeriksa diri lagi.

Highly recommended!

Monday, October 31, 2016

Mimpi Untuk "Young, Restless, Reformed Movement"

Sepuluh tahun yang lalu, Collin Hansen, seorang jurnalis, menulis sebuah artikel di majalah Christianity Today dengan judul “Young, Restless, Reformed”.

Di akhir abad ke-20 muncul sebuah gerakan yang dikenal dengan nama “Emerging Church.” Gerakan itu adalah reaksi, di satu sisi terhadap tradisionalisme gereja yang sangat kaku, dan di sisi lain terhadap gerakan “Church Growth” yang menjadikan gereja seperti perusahaan yang produknya adalah pertambahan anggota dan caranya adalah marketing dan entertainment.

Gerakan “Emerging Church” ini sangat beragam dan sulit didefinisikan. Tetapi, pada dasarnya, mereka mencoba membangun bentuk gereja yang baru, ibadah yang tidak dibatasi oleh norma lama, meniadakan pembedaan clergy-laity (hamba Tuhan-awam), menekankan pengalaman sekaligus tradisi, cenderung meniadakan perbedaan teologi, dan berbagai karakteristik lainnya.

Tetapi, di saat yang bersamaan, muncul sebuah gerakan lain. Mereka juga bereaksi terhadap kondisi gereja yang sama tetapi tetapi ke arah yang berbeda. Gerakan ini tidak sebombastis “Emerging Church” yang banyak dibahas di dalam buku maupun penelitian. Gerakan ini luput dari perhatian tetapi, secara perlahan namun pasti, gerakan ini bahkan diduga lebih besar dari “Emerging Church”.

Fenomena inilah yang diamati oleh Hansen. Dia menemukan munculnya sebuah ketertarikan di antara orang Kristen di Amerika, khususnya anak muda, kepada teologi Reformed.

Hansen memutuskan untuk menyelidikinya dan hasilnya menegaskan bahwa ada kebangunan teologi Reformed khususnya di anak muda Kristen di Amerika. Anak-anak muda itu gelisah (restless) dan mereka mencari sesuatu yang tidak mereka temukan di gereja. Beberapa tokoh Kristen (khususnya John Piper) membuat mereka menemukan kembali doktrin yang agung dari iman Kristen. Mereka lelah dengan gereja yang hanya menghibur dan tidak mengajar. Mereka lelah dengan gereja yang memberikan khotbah dan pengajaran yang dangkal. Mereka mengejar pemahaman Alkitab dan teologi yang dalam dan mereka menemukan itu pada teologi Reformed, dengan penekanannya akan kedaulatan, anugrah dan kemuliaan Allah. Maka Collin Hansen menyebut gerakan ini sebagai “Young, Restless, Reformed Movement” (YRMM).

Pengamatan Collin Hansen sama sekali tidak salah. Tahun 2009, majalah Time menyebut gerakan itu sebagai New Calvinism dan menobatkannya sebagai salah satu dari “10 Pemikiran yang Merubah Dunia Saat Ini”.

Saya sempat membaca beberapa cerita tentang dampak gerakan ini: Persekutuan anak muda yang membahas buku Systematic Theology dari Wayne Grudem; mahasiswa-mahasiswa yang sering mengutip kalimat John Piper; Passion Conference yang diadakan oleh Louie Giglio (seringkali John Piper menjadi pembicaranya) menarik 50.000-60.000 mahasiswa setiap tahunnya (kalau belum tahu siapa Louie Giglio, pasti tahu salah satu worship leader di gerejanya: Chris Tomlin); berbagai konferensi serupa (yang isinya selalu sangat biblikal dan dalam) dibanjiri oleh anak-anak muda.

John Piper menyebutkan beberapa ciri dari New Calvinism ini yang membuatnya berbeda dengan older Calvinism. Beberapa di antaranya: gerakan ini menerima bentuk ibadah dan musik yang kontemporer, ada banyak gereja Baptis dan Kharismatik yang menjadi Reformed dalam teologinya, Jonathan Edwards menjadi tokoh yang sangat penting, dan penekanan yang kuat bahwa gereja harus multi-etnis dan adanya kerinduan akan keharmonisan rasial.

Mereka bukanlah orang-orang yang besar di kepala, penuh pengetahuan, tetapi kosong hidupnya. Sebaliknya, mereka adalah orang-orang yang bersemangat hidup buat Tuhan. Tidak heran, tokoh-tokoh Puritan (gerakan Reformed di Inggris abad ke-16 dan 17) khususnya Jonathan Edwards, menjadi idola baru mereka. Pada tokoh-tokoh itu ada penekanan kuat dalam hidup kerohanian, mengasihi Kristus, kehidupan yang baik dalam keluarga dan pekerjaan, dan juga bersaksi serta menginjili.

Gerakan ini masih berlangsung saat ini, dan masih kuat, walaupun tidak seheboh waktu awal kemunculannya dengan besarnya gelombang anak muda yang mendadak tertarik kepada teologi Reformed.

Ketika membaca cerita di atas, hati saya menjadi gelisah. Saya menginginkan hal yang sama terjadi di Indonesia!

Sejauh yang saya amati, pikirkan, dan rasakan, anak muda di Indonesia seperti gandum yang siap dituai untuk menjadi "Young, Restless, Reformed". Tetapi sampai sekarang saya belum melihat adanya penuaian yang besar terjadi.

Gereja dan juga sekolah teologi di dalam tradisi Reformed, ketika bicara soal anak muda, sering terjebak hanya kepada program yang menarik, musik yang wah, kreatifitas yang berani, dan sebagainya. Tetapi belum mengarah pada pengajaran yang mendalam, doktrin yang mencerahkan, pengertian yang menantang intelektualitas, dan kecintaan mendalam pada Firman Tuhan. Di sisi lain, ada yang sudah menekankan pengajaran yang mendalam, tetapi gagal membentuk karakter dan menghasilkan orang yang sombong. Padahal kesombongan banyak orang Reformed (older Calvinism) itulah batu sandungan besar untuk banyak orang.

Hari ini adalah peringatan hari reformasi yang ke-499. Saya ingin bermimpi dan berdoa.

Saya bermimpi dan berdoa supaya di Indonesia muncul gerakan di antara jemaat kecintaan kepada Firman Tuhan, kesukaan belajar doktrin-doktrin yang agung dalam kekristenan, kehidupan rohani yang mendalam, dan kesaksian yang kuat akan berita anugrah Injil.

Saya bermimpi dan berdoa supaya gereja-gereja, sekolah-sekolah teologi, para pengkhotbah, yang berlatar belakang tradisi Reformed, ambil bagian dalam gerakan ini.

Saya bermimpi dan berdoa supaya Tuhan juga memakai saya, dalam segala kelemahan yang ada, ikut mengerjakan penuaian ini.

Sola Scriptura – hanya oleh (dasar) Alkitab
Sola Gratia – hanya oleh anugrah
Sola Fide – hanya oleh iman
Solus Christus – hanya oleh Kristus
Soli Deo Gloria – kemuliaan hanya bagi Tuhan

Friday, September 30, 2016

Rasul Paulus: Kitab dan Pedang di Tangan

Rasul Paulus dulu bukan rasul favorit saya (kalau boleh bermain favoritisme). Saya selalu pusing membaca tulisan-tulisannya yang sangat padat dan seperti berputar-putar. Saya juga kurang suka dengan sifatnya yang terkesan garang. Maka, lagi-lagi kalau boleh bermain favoritisme, saya lebih menyukai rasul Yohanes. Tulisannya sangat indah dan menyentuh. Dia menulis dengan mendalam tetapi seringkali misterius sehingga membuat saya perlu merenung untuk mengertinya.

Saya masih menyukai rasul Yohanes. Itu sebabnya dulu pada waktu studi program M.Th, saya ingin membuat thesis dari tulisan rasul Yohanes. Tetapi jalan saya akhirnya berbeda. Saya menulis thesis M.Th mengenai konsep misi dari rasul Paulus dan sekarang saya menulis disertasi D.Th tentang surat Galatia. Setelah bertahun-tahun saya duduk di bawah kaki rasul Paulus, mempelajari tulisannya, argumennya, dan lebih mengenal dia, saya semakin menyukai dan mengagumi dia.

Entah anda pernah memperhatikan atau tidak, seringkali rasul Paulus dilukiskan sedang memegang sebuah kitab dan sebuah pedang.

 

Saya menyukai dua lukisan di atas. Keduanya menggambarkan kelembutan raut wajah dari rasul Paulus, walaupun yang di atas juga menampilkan sedikit sisi kegarangannya.

Kitab atau buku yang dibawanya melambangkan berita Injil yang disampaikannya. Orang yang serius mempelajari tulisan rasul Paulus tidak akan ragu bahwa dia sangat berkomitmen untuk berita Injil. Hidupnya sepenuhnya dia curahkan untuk memberitakan Injil. Hatinya dan air matanya tercurah untuk jemaat yang dikasihinya. Berbagai penderitaan fisik, yang tidak bisa kita bayangkan, dia tanggung. Bukan hanya itu. Saya berkali-kali tertegun melihat rasul yang luar biasa ini mengalami ditolak, ditinggalkan, diragukan motivasinya, tidak dipercaya ajarannya, oleh jemaat yang dia dirikan sendiri! Hanya Tuhan yang tahu berapa besarnya penderitaan emosi yang dia pikul. Semua hanya untuk Injil.

Pedang di tangannya melambangkan kematian yang akan ditempuhnya. Menurut tradisi, khususnya dari tulisan Eusebius (abad ke-3-4), rasul Paulus mati dipenggal kepalanya pada pemerintahan kaisar Nero. Lukisan ini menggambarkan, seakan-akan, rasul Paulus menjalani kehidupannya dengan kesadaran akan kematiannya bagi Kristus yang di depan mata. "Sebab kami, yang masih hidup ini, terus menerus diserahkan kepada maut karena Yesus, supaya juga hidup Yesus menjadi nyata di dalam tubuh kami yang fana ini. Maka demikianlah maut giat di dalam diri kami dan hidup giat di dalam kamu." (2 Kor 4.11-12).

Rasul Paulus menjadi inspirasi yang tidak habis-habisnya bagi saya. What's not to love about him? Kitab dan pedang di tangan.

Relakah saya menjalani hidup seperti itu? Rasul Paulus mengingatkan saya akan arti jalan salib.

Saturday, September 24, 2016

Simple Church - Thom S. Rainer & Eric Geiger

Thom S. Rainer dan Eric Geiger mengklaim buku ini tidak memberikan model baru atau mengusulkan program baru untuk pertumbuhan gereja. Tetapi, buku ini menolong untuk merancang proses sederhana (“simple” – kata kuncinya) pemuridan di gereja. Maka bukannya menambah, sebaliknya, buku ini mengajak kita mengurangi banyak hal.

Ada empat kata kunci yang menjadi pembahasan dalam buku ini: Clarity. Movement. Alignment. Focus.

Clarity. Ini adalah tahap merancang proses pemuridan. Baca Alkitab, pikirkan, doakan, diskusikan, menggumuli proses pemuridan seperti apa yang Tuhan inginkan di gereja kita. Temukan beberapa aspek kunci untuk pemuridan di gereja kita. Kemudian diskusikan proses bagaimana orang bergerak maju di dalam aspek-aspek pemuridan yang kita pikirkan itu. Proses itu harus bergerak dari tingkat komitmen yang rendah ke yang lebih tinggi. Ada fase pertama ketika orang mengambil komitmen pertama, dan ada fase berikutnya dengan komitmen tambahan, demikian seterusnya. Tujuan tahap ini adalah kejelasan, maka segala sesuatu harus jelas dan sederhana.

Movement. Untuk setiap fase di dalam proses yang kita buat, pikirkan satu saja program di gereja kita yang paling tepat untuk fase itu. Program itu mungkin perlu dirubah fokus dan arahnya. Intinya, pastikan bahwa setiap program itu sungguh sesuai dengan fase dalam proses pemuridan yang kita buat. Kita ingin mendorong orang untuk masuk mulai dari fase pertama (dengan program pertama), lalu bergerak ke fase kedua (dengan program kedua) dan seterusnya.

Alignment. Setelah tahap pertama dan kedua maka kita sudah memiliki proses pemuridan sederhana dengan program masing-masing yang strategis. Sekarang kita harus membuat seluruh pelayanan di gereja mensejajarkan diri dengan proses itu. Artinya proses ini harus menjadi panduan semua pelayanan di gereja termasuk di dalam persekutuan sesuai usia (komisi). Setiap pelayanan harus dievaluasi: Program ini mendukung fase yang mana dari proses itu? Apakah betul diperlukan atau tidak? Tujuannya adalah supaya energi setiap orang dimaksimalkan untuk proses pemuridan itu saja dan tidak untuk yang lain.

Focus. Langkah ini adalah yang paling sulit karena tentangan akan sangat besar. Fokus artinya kita harus menghilangkan semua program yang tidak terlalu mendukung jalannya proses pemuridan yang kita inginkan. Ada sangat banyak program yang baik tetapi tidak perlu dan tidak boleh banyak program untuk tiap fase pemuridan. Semakin banyak program hanya membuat energi dan perhatian terbagi. Akibatnya proses inti dari pemuridan harus berkompetisi dengan banyak program yang lain. Maka yang harus dilakukan adalah mengeliminasi program-program yang tidak terlalu diperlukan. Langkah ini juga sulit karena seiring berjalannya waktu, pemimpin harus konsisten untuk selalu berkata “tidak” pada semua program/kegiatan yang tidak terlalu diperlukan atau yang akan berkompetisi dengan program inti gereja.

Buku ini dibuat berdasarkan survei dan analisa data statistik dari ratusan gereja di Amerika. Mereka mencoba menemukan perbedaan antara gereja yang bertumbuh dan tidak. Jawaban yang mereka temukan adalah gereja yang bertumbuh hampir selalu adalah “simple church.” Walaupun konteks kebudayaan Amerika dan Indonesia berbeda, saya kira hasil penelitian mereka dalam hal ini bisa diterapkan di Indonesia.

Setelah membaca buku ini, saya segera menyadari betapa tidak mudahnya untuk menjalankannya. Pertama, karena kesulitan-kesulitan yang sudah mereka sebutkan di dalam buku ini. Tetapi, kedua, karena tidak semua orang bisa melihat program mana yang paling dibutuhkan untuk setiap fase dalam proses pemuridan. Bisa muncul ketidaksepakatan apakah suatu program betul-betul diperlukan atau tidak. Seringkali yang terjadi adalah “dicocok-cocokkin”, “diperlu-perluin”, “dibuat-buat alasannya.” Juga tidak semua orang sadar bahwa program-program di gerejanya bertabrakan satu sama lain (apa kriterianya?). Kalau saja mereka memberi lebih banyak contoh (apalagi kalau contohnya dalam konteks gereja di Indonesia hehe..) akan lebih menolong. Tetapi, saya kira kesulitan kedua ini bisa diatasi kalau pemimpin gereja mau betul-betul serius memikirkan dan terbuka untuk berdiskusi dengan banyak orang dengan mendalam dan tidak terburu-buru.

Wednesday, September 21, 2016

My Dissertation Writing - 5

Saya baru saja menyerahkan Bab 4 dari disertasi saya. Saya lelah sekali, atau lebih tepatnya kehabisan tenaga. Kalau bisa mungkin kepala saya sudah mengeluarkan asap. 

Saya makin menyadari bahwa saya bukan mesin dan hidup saya tidak steril dari masalah. Segala sesuatu bisa direncanakan (dan menurut rencana harusnya sekarang saya sudah di ujung Bab 6). Secara perhitungan, seharusnya saya bisa menyelesaikan sampai sekian dalam waktu sekian. Kenyataannya tidak pernah begitu. Ada masanya otak ini buntu, badan sakit, mood hilang, ide terbang. Ada masanya juga masalah demi masalah menghantam dan saya tidak mampu bekerja. Apa boleh buat, saya bukan mesin.

Ditambah lagi saya makin menyadari sesuatu yang dari dulu sebenarnya saya sudah sadar: Saya ini lambat berpikir. Kadang saya bisa cepat, kalau yang sifatnya sederhana. Tapi begitu menyangkut sesuatu yang mendalam, saya lambat sekali. Saya perlu waktu membaca, berpikir, buuaanyak trial and error, terus begitu… dan itu lama.

Dalam segala kelemahan ini saya makin melihat kasih karunia Tuhan. Walaupun lambat, saya tidak mungkin bisa sampai di tahap ini kalau bukan karena Tuhan. Maka, sekali lagi, saya hanya bisa memohon pertolongan Tuhan.

Beberapa bulan lalu, dalam percakapan dengan beberapa orang, saya berkata bahwa saya sudah mau menyerah. Pikiran itu sempat agak “matang”! Saya sudah mulai memikirkan alasan-alasan untuk tidak menyelesaikan studi – dari yang mulia sampai yang kurang mulia. Tetapi, akhirnya, saya sampai pada satu kesimpulan: Selama masih ada waktu dan kesempatan, saya harus dan akan berjuang. Maka, selama ada waktu dan kesempatan, selamat tinggal dulu semua alasan untuk tidak menyelesaikan studi.

Saya sangaaattt berharap tidak ada perbaikan besar untuk Bab 4 yang sudah dikumpulkan. Besok, saya siap menyambut Bab 5 – tidak tahu akan berapa sulit dan berapa lama saya mengerjakannya. Tapi, mudah-mudahan, saya bisa menyelesaikannya dalam 4 bulan.

Err... I want to stay alive...

Friday, September 02, 2016

The Trellis and The Vine & The Vine Project - Colin Marshall & Tony Payne

Saya baru saja menyelesaikan membaca dua buku ini yang ditulis oleh Colin Marshall dan TonyPayne.

Buku pertama, The Trellis and the Vine, terbit pada tahun 2009 dan menjadi populer. Mengambil perumpamaan dari pohon anggur, mereka mengajak kita melihat bahwa pelayanan kita seharusnya fokus pada vine (anggur) dan bukan pada trellis (terali). Terali perlu ada untuk menunjang pertumbuhan anggur tetapi seringkali kita menghabiskan waktu, tenaga, perhatian, hanya untuk membangun terali dan bukan menumbuhkan anggur.

Bab 1-2 buku itu adalah bab yang sangat penting karena disitulah mereka menguraikan “ministry mind-shift” yang mereka maksudkan. Dalam bab 3-5 mereka menguraikan dasar Alkitab dari konsep mereka. Tidak seluruhnya menarik, menurut saya, tetapi cukup bagus untuk bahan pemikiran lebih mendalam.

Dalam bab 6-8, mereka mulai menyodorkan konsep pelatihan di dalam gereja. Lalu empat bab terakhir buku itu (Bab 9-12) bersifat praktis: Bagaimana melatih co-workers, orang seperti apa yang dipilih, program magang pelayanan, dan bagaimana memulai semuanya.

Buku itu menggugah kesadaran banyak pemimpin gereja bahwa seharusnya mereka fokus mengerjakan vine dan bukan trellis. Tetapi, tidak semudah itu mengerjakan perubahan di dalam gereja. Maka banyak pembaca buku itu bertanya: "Apa yang harus kami lakukan? Jikalau pemuridan hanya dijalankan secara sporadis atau sebagai salah satu “program gereja” maka hasilnya tidak akan terlalu menjanjikan. Tetapi, bagaimana kami bisa membentuk seluruh kultur gereja menjadi disciple-making?"

Maka buku yang kedua, The Vine Project, terbit pada tahun 2016, untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Mereka menyadari banyaknya kesulitan yang dihadapi ketika pemimpin gereja ingin menjalankan proyek itu. Maka, seperti yang ditulis oleh mereka di bagian pendahuluan, buku ini bukanlah sekedar untuk dibaca tetapi merupakan sebuah proyek. Mereka menyarankan (mendesak) setiap gereja untuk membentuk tim The Vine Project dan menggunakan buku ini sebagai panduan menjalankan proyek yang besar, sulit, tetapi sangat penting itu.

Mereka membagi proyek ini dalam lima tahap.

Tahap pertama adalah mempertajam keyakinan akan apa yang Tuhan mau kita lakukan. Kita mencoba memperjelas keyakinan kita akan tujuan dan nilai-nilai yang seharusnya ada di dalam pelayanan kita. Tahap ini penting supaya kita memikirkan dengan jelas kaitan antara praktek yang akan kita lakukan dengan teologi.

Tahap kedua adalah mereformasi kultur pribadi kita. Tahap ini sangat menarik dan penting. Banyak orang ingin cepat melakukan sesuatu, membuat program, menyusun kurikulum, menyebarkan brosur, lalu menggerakkan tim untuk mengerjakannya. Tetapi, dengan cara demikian, mereka akan terjebak lagi membangun trellis. Kelemahan utama pendekatan seperti itu adalah mereka (pemimpin gereja) belum pernah melakukan sendiri program yang akan mereka buat. Maka mereka sulit mengerti kesulitan dan halangan yang akan terjadi. Demikian pula, apa yang dikatakan dan dilakukan oleh pemimpin, keputusan-keputusan, prioritas-prioritas, atau kultur pribadinya, akan menjadi titik tolak yang sangat penting bagi sebuah gerakan seperti ini.

Tahap ketiga adalah mulai mengevaluasi gereja. Sama seperti tahap pertama dan kedua, mereka memberikan panduan apa saja yang harus dievaluasi dan bagaimana melakukannya.

Baru di tahap keempat kita masuk kepada tahap inovasi dan implementasi. Beberapa wilayah yang mereka ajak kita fokuskan adalah: Kebaktian Minggu (ini sangat penting), Merancang jalan untuk membawa orang (dari posisi manapun: belum bertobat, baru bertobat, ataupun sudah bertumbuh) makin bertumbuh, Merencanakan apa yang harus dilakukan ketika pertumbuhan terjadi (kualitas dan kuantitas), dan terakhir, Menciptakan bahasa baru yaitu mengkomunikasikan dengan jelas apa yang ingin dilakukan oleh gereja, sedemikian rupa, sehingga ditangkap oleh seluruh jemaat.

Tahap kelima adalah mempertahankan momentum. Proyek ini sama sekali tidak mudah dan tidak cepat. Di dalam prosesnya, bukan saja perhatian, tenaga, waktu, sumber daya, akan banyak terkuras, tekanan juga akan sangat besar dirasakan. Maka sangat penting memikirkan bagaimana menjaga konsistensi dalam menjalankannya.

Hampir untuk setiap bagian yang dibicarakan, buku ini memberikan referensi kepada resources yang bisa dipakai. Akan sangat menolong jika kita juga bisa melihat resources itu dan mempertimbangkan untuk menggunakannya. Buku ini juga didukung oleh situs http://thevineproject.com dimana bisa ditemukan banyak kisah nyata dan wawancara dengan para pemimpin gereja yang menjalankan ini dan juga berbagai resources lainnya.

Kelemahan buku ini adalah ketika dibaca akan terasa too wordy. Tetapi hal ini bisa dipahami karena mereka memang tidak memaksudkannya untuk “dibaca” tetapi “dipergunakan” sebagai panduan dan bahan diskusi.

Saran saya, bacalah dulu buku yang pertama. Hanya jika anda yakin ingin menjalankan perubahan di dalam gereja anda, baru bacalah (dan belilah) buku yang kedua. Saya yakin buku itu akan sangat menolong.

It's time to change, but do it carefully and prayerfully!

Monday, August 22, 2016

"Virus of the Mind" Mengenai Khotbah - 2

Menyambung tulisan sebelumnya di sini, ada meme atau virus of the mind lain mengenai khotbah yang juga populer sekaligus berbahaya. Meme itu berbunyi begini: “Apapun yang disampaikan pengkhotbah di mimbar dalam kebaktian, tentu ditambah dengan membacakan Alkitab, adalah ‘Firman Tuhan’.”

Beberapa waktu yang lalu saya sudah pernah menulis “What is a Sermon?” Apa yang saya tulis di sana tidak perlu saya ulangi lagi. Ada satu definisi yang saya pergunakan di sana yang saya yakin kebanyakan kita akan setuju: “Khotbah adalah penguraian Firman Tuhan (Alkitab).” 

Mari sekarang kita melihatnya dengan sedikit lebih luas.

Kebaktian itu selalu di dalam konteks penyembahan dialogis dan komunal. Komunal artinya umat Tuhan berkumpul bersama, menyembah Tuhan di dalam persekutuan – artinya bukan menyembah Tuhan sendiri-sendiri, tapi bersama-sama, sebagai kumpulan orang yang sudah ditebus Tuhan. Dialogis, artinya kebaktian bukanlah satu arah, seakan-akan di dalam kebaktian arahnya hanya dari kita ke Tuhan. Kebaktian itu dua arah karena Allah yang kita sembah adalah Allah yang hidup. Dia mendengar doa kita. Dia memberkati kita. Dan Dia berkata-kata kepada kita, khususnya dan terutama, melalui Firman yang tertulis. Maka kebaktian selalu dari kita (bukan saya) ke Tuhan dan dari Tuhan ke kita – komunal dan dialogis.

Kalau begitu, dimana posisi khotbah dalam skema dialogis ini? Tuhan ke kita! Lalu dimana posisi pengkhotbah? Di satu sisi dia adalah bagian dari jemaat yang menyembah Tuhan dan harus mendengar suara Tuhan. Di sisi yang lain dia dipakai Tuhan untuk menyampaikan suara Tuhan melalui penguraian Firman yang tertulis. 

Jikalau khotbah adalah menguraikan Firman Tuhan (Tuhan ke kita), maka khotbah harus betul-betul menjadi waktu dimana Firman Tuhan dibacakan dan dijelaskan, sedemikian rupa sehingga suara Tuhan itu diperdengarkan. Tugas pengkhotbah adalah memastikan bahwa itulah yang sedang dia lakukan. Lalu apa tugas jemaat? Mereka harus mendengar dengan aktif, berpikir dengan kritis, menguji kebenarannya, dan membuka hati untuk berubah.

Pengkhotbah tidak boleh berpikir bahwa khotbah adalah sekedar cari ayat Alkitab untuk dibacakan, lalu cari bahan pembicaraan yang isinya motivasi, nasihat kehidupan, konsep “menarik” yang dia baca di buku, dan diusahakan supaya lebih menarik dengan bumbu humor, klip video, atau cerita yang menyentuh. Pertanyaannya apakah dia menjelaskan bagian Alkitab yang dibacakan? Apakah dia memperdengarkan suara Tuhan sesuai dengan bagian Alkitab yang dibacakan?

Dan di dalam khotbah, jemaat seharusnya menuntut untuk mendengar, belajar, dan mengerti Firman Tuhan. Jangan sekedar mencari khotbah yang “kena” (walaupun itu penting), karena “kena” itu mungkin karena apa yang dibicarakan pas sesuai dengan pergumulan atau kelemahan kita, walaupun tidak menjelaskan bagian Alkitab yang dibacakan. Jangan sekedar mencari yang menarik dan tidak mengantuk (walaupun itu juga penting). Carilah, ini harus berulang kali diingatkan, yang setia menguraikan Firman Tuhan!

Virus of the mind yang satu ini merusak pertumbuhan gereja. Pengkhotbah berpikir, dengan berdiri di mimbar, bicara, mengkaitkannya dengan Firman Tuhan, apalagi kalau berhasil membuatnya menarik, pokoknya dia sudah menyampaikan “Firman Tuhan.” Jemaat berpikir, pokoknya yang disampaikan pengkhotbah adalah “Firman Tuhan”, maka mereka harus rendah hati dan menerima, apalagi kalau memang ada hal-hal yang “kena”.

Hasilnya? Pengkhotbah tidak merasa perlu berubah dan jemaat tidak bisa berubah. Virus pun mewabah.

Monday, July 25, 2016

"Virus of the Mind" Mengenai Khotbah - 1

Siapa yang tidak tahu meme? Foto/gambar yang dibubuhi kalimat random menjadi sangat populer beberapa tahun belakangan ini. Tetapi, awalnya meme bukanlah itu.

Istilah meme pertama kali saya dengar waktu membaca buku “Virus of the Mind” dari Richard Brodie lebih dari sepuluh tahun lalu (istilah meme sendiri dimunculkan oleh Richard Dawkins). Meme adalah ide atau pemikiran atau pola tingkah laku yang menyebar seperti virus dari orang yang satu ke orang yang lain. Lalu orang yang terjangkit virus of the mind itu, perlahan-lahan tidak lagi mempertanyakannya tetapi menerimanya sebagai kebenaran. Karena penyebarannya yang luar biasa, akhirnya seakan-akan dia adalah kebenaran umum yang semua-orang-juga-tahu.

Saya ingin bicara soal meme yang seperti itu mengenai khotbah. Meme ini populer sekali. Penyebarannya sangat luar biasa di antara orang Kristen di Indonesia. Kalau dia adalah virus, maka artinya sudah mewabah. Meme itu berbunyi: “Jemaat tidak suka khotbah yang dalam tetapi lebih suka yang ringan, praktis, dan lucu.

Mungkin ada yang protes, “Tapi itu betul kok... jemaat memang gitu… swear!” Bahkan banyak orang Kristen akan langsung berkata “Betul, saya nggak tahan dengar khotbah kayak gitu, bosen, nggak relevan.” Maka bukankah artinya confirmed!? Tunggu dulu. Jangan-jangan kita juga sudah terjangkiti virus of the mind yang sama :-)

Betulkah jemaat tidak suka khotbah yang dalam? Saya memang belum pernah melakukan survei formal. Tetapi dari percakapan dengan banyak jemaat dan dari apa yang saya amati sejauh ini, saya kira itu salah. Ada banyak, sangat banyak bahkan, orang Kristen yang suka belajar Firman Tuhan dengan mendalam. Mereka suka untuk mengerti apa yang mereka percayai. Mereka suka menemukan jawaban atas banyak pertanyaan iman mereka. Maka masalahnya bukan di jemaat, tetapi di pengkhotbah.

Sebagian pengkhotbah, yang dulu pernah sekolah teologi, tidak lagi belajar Alkitab dan teologi dengan baik (serius!). Maka ketika berkhotbah tematik atau doktrinal yang kesannya “dalam”, apa yang disampaikan? Sebagian akan mengutip buku sistematik teologi yang dulu pernah dipelajari waktu dia di sekolah teologi. Atau menggunakan kalimat-kalimat jargon yang semua-orang-sudah-sering-dengar. Atau menggunakan bahasa formal yang disisipi istilah-istilah teologis atau filsafat. Misalnya: “Manusia hari ini tidak percaya kepada Allah-yang-berada melalui argumen ontologis Kant, tetapi melalui pengalaman eksistensialis yang otentik.” Wuuuzzz… wajar kalau jemaat merasa kering ketika mendengar khotbah seperti itu.

Demikian pula waktu berkhotbah secara ekspositori. Sebagian pengkhotbah berkhotbah hanya seperti ekspositori, dengan menyebut kata-kata dalam bahasa Ibrani atau Yunani lengkap dengan artinya, seperti studi kata, yang dengan mudah bisa didapat dari berbagai buku atau secara online. Kalau khotbah diumpamakan seperti masakan jadi, maka yang disajikan bukanlah masakan tapi bahan mentah.

Ditambah lagi, khotbah yang kesannya “dalam” seringkali tidak relevan. Artinya pengkhotbah tidak memikirkan pertanyaan yang sangat penting di dalam khotbah: “What is the message?” Khotbah apapun, selalu harus berpikir, “what is the message” buat jemaat. Saya pernah mendengar khotbah, tentang natur kemanusiaan dan keilahian Yesus bahwa Yesus 100% manusia dan 100% Allah, yang sangat kering. Seorang teman bercerita di gerejanya diadakan seri khotbah doktrin Roh Kudus yang juga sangat kering. Dimana masalahnya? Bukan di topiknya. Kita boleh, bahkan kadang harus, berkhotbah doktrinal. Tetapi khotbah itu menjadi tidak relevan jika tidak memikirkan pertanyaan: “What is the message?” Apa berita dari kebenaran itu bagi pendengar hari ini?

Ada orang yang pernah berkata (saya tidak tahu siapa yang pertama kali): “Jesus is the answer! But what is the question?” Adalah tugas pengkhotbah, sebagai orang yang menguraikan Firman Tuhan, untuk memahami“what is the question” – apa yang ditanyakan jemaat, apa yang dihadapi jemaat, apa yang diperlukan jemaat. Karena hanya dengan demikian dia bisa menjawab dengan relevan (dan powerful): “Jesus is the answer!

Adalah tugas pengkhotbah untuk menguraikan Firman Tuhan yang kekal untuk memberi jawaban bagi pergumulan manusia yang terus berubah sepanjang zaman. Di dalam tulisan sebelumnya, saya meminjam format dari The NIV Application Commentary Series (NIVAC), untuk menjelaskan tugas pengkhotbah. Untuk setiap bagian Alkitab, NIVAC membagi menjadi tiga bagian: “Original Meaning” – arti bagian itu di dalam konteks aslinya; “Bridging Contexts” – menjembatani konteks asli dengan konteks zaman sekarang; dan terakhir “Contemporary Significance” – memberikan contoh bagaimana bagian itu berbicara dan diterapkan di zaman ini. Sederhananya: “Original Meaning” tidak berubah tetapi “Bridging Contexts” dan “Contemporary Significance” akan selalu berganti.

Maka, saya ringkaskan, ada tiga masalah disini:

1. Isi khotbah
Masalahnya bukanlah khotbah yang terlalu dalam. Tetapi, justru, seringkali terlalu dangkal. Khotbah seperti itu tidak berasal dari pemikiran dan pergumulan yang mendalam tetapi kutip sana sini dan dibumbui dengan kallimat-kalimat yang terkesan wah.

2. Relevansi khotbah
Banyak jemaat berkata: “Saya nggak perlu khotbah doktrinal, saya nggak suka khotbah yang susah. Itu pergumulan teolog tapi bukan pergumulan saya.” Masalahnya, lagi-lagi, bukanlah khotbahnya terlalu dalam tetapi tidak jelas “what is the message”. Kita percaya bahwa Alkitab selalu relevan. Kebenaran-kebenarannya selalu menghidupkan. Maka khotbah dari bagian Alkitab manapun, topik apapun, harusnya relevan dan menghidupkan. Tetapi pengkhotbah yang kadang membuatnya tidak relevan dan mati. (Mungkin kadang saya juga bersalah dalam hal ini. May the Lord have mercy!)

3. Cara penyampaian khotbah
Penyampaian itu mencakup cara menyusun khotbah, pemilihan kata, intonasi, emosi, dan lain-lain. Kadangkala isi khotbahnya baik dan relevan, tetapi susunan khotbahnya tidak menarik, intonasinya monoton dan penguraiannya membosankan. Seorang pengkhotbah haruslah juga seorang “master of words” (kalau saya tidak salah istilah ini dari Eugene Peterson). Dia harus tahu bagaimana memilih kata-kata dan menggunakannya dengan tepat. Hal yang sama jika diucapkan dengan kalimat yang berbeda akan menimbulkan reaksi yang berbeda.

Kalau khotbah yang mendalam itu hanya kesannya saja mendalam, atau tidak relevan, atau membosankan penyampaiannya, tidak heran jemaat lebih suka yang ringan, praktis, dan lucu. Karena paling tidak dia masih mengerti apa yang dibicarakan. Paling tidak masih ada aplikasi praktis yang dia langsung bisa tangkap. Atau paling tidak dia bisa tertawa dan tidak mengantuk.

Maka menyebarlah meme itu... dan wabah pun berlanjut.

(Tulisan ini pun akan berlanjut)

Wednesday, June 29, 2016

What is a sermon?

Setelah sekian lama jadi orang Kristen dan pengkhotbah, saya semakin tergelitik untuk bertanya: What is a sermon? Apa itu khotbah?

Sebetulnya saya kira semua orang bisa menerima definisi-super-sederhana bahwa “khotbah” adalah “penguraian Firman Tuhan”. Itu sebabnya “khotbah” kadang disebut langsung “Firman Tuhan” (ngeri juga sih…). Masalahnya justru karena definisi-super-sederhana itu terlalu gampang diterima, akibatnya seringkali kita tidak berpikir lagi betulkah yang saya dengar (atau saya sampaikan) ini adalah “khotbah”? Pertanyaan ini penting untuk saya pribadi karena jangan sampai ketika berdiri di mimbar, saya berkhotbah yang bukan khotbah!

Paulus menjelaskan pelayanan pemberitaan Injil yang dia lakukan sebagai berikut:

Tetapi harta ini kami punyai dalam bejana tanah liat, supaya nyata, bahwa kekuatan yang melimpah-limpah itu berasal dari Allah, bukan dari diri kami. (2 Korintus 4:7)

“Harta” yang dimaksud Paulus adalah berita Injil. Berita itu adalah harta yang sangat berharga. Tetapi harta itu diberitakan, disampaikan, dinyatakan, lewat “bungkus” yang sangat tidak bernilai – yaitu dirinya sendiri. Kontras sekali: “harta” di dalam “bejana tanah liat”. Yang mulia, berkuasa, dan bercahaya, adalah “harta”nya dan bukan “bejana tanah liat”nya.

Demikian pula sebuah khotbah hari ini. Khotbah bukanlah sebuah cerita tentang si “bejana tanah liat” yang membuat dia terlihat hebat. Khotbah juga bukan hanya nasihat moral yang bisa dibaca di banyak buku self-help. Khotbah bukanlah kata-kata motivasi yang dibungkus dengan istilah-istilah rohani, seperti yang banyak diberikan para motivator. Khotbah bukan berisi berbagai cerita ilustrasi atau pemutaran video dari youtube yang menggerakkan. Khotbah seperti membuka “harta” itu, menunjukkannya, membuat cahayanya terlihat oleh pendengar, mempesona mereka, dan membiarkan Roh Kudus bekerja mengubah hidup mereka.

Bukan khotbah yang mengubah hidup seseorang tetapi Firman Tuhan! Bukan kepandaian pengkhotbah dalam berteori maupun ketrampilan pengkhotbah dalam berbicara yang mengubah hidup seseorang. Kalau kita percaya bahwa yang mengubah hidup seseorang adalah Firman Tuhan, maka seharusnya tugas pengkhotbah hanyalah menjelaskan Firman Tuhan. Bukalah "harta" itu di depan pendengar dan "harta" itu, dengan kuasa Roh Kudus, tak akan pernah gagal menjalankan tugasnya.

Di dalam usaha menguraikan Firman Tuhan, tentu seorang pengkhotbah boleh menggunakan ilustrasi, memutar video dari youtube, humor, mengutip kata-kata bijak, atau apapun, selama semua itu relevan dan memang menolong pendengar mengerti berita Firman Tuhan. Tetapi, pertanyaannya tetaplah sama, betulkah fokusnya adalah menguraikan Firman Tuhan?

The NIV Application Commentary Series (NIVAC), sebuah seri tafsiran Alkitab yang tidak bersifat teknis, isinya sedikit banyak mirip seperti khotbah. Untuk setiap bagian Alkitab, NIVAC membaginya menjadi tiga bagian:
Original Meaning” – arti bagian itu di dalam konteks aslinya
Bridging Contexts” – menjembatani konteks asli dengan konteks zaman sekarang karena berita Alkitab relevan bagi setiap zaman
Contemporary Significance” – memberikan contoh bagaimana bagian itu berbicara dan diterapkan di zaman ini.

Saya kira tugas pengkhotbah, kurang lebih, seperti itu. Ada berbagai bentuk khotbah: ekspositori, narasi, tematik. Bagi saya, bentuk apapun, sah untuk dipakai, asalkan fungsi menjelaskan Firman Tuhan tercapai.  

Beberapa pengkhotbah, uniknya, selalu bicara hal yang mirip sekalipun ayat Alkitab yang diuraikan berbeda. Khotbah dari ayat manapun, kira-kira ujungnya ya itu. Walaupun kalau dinilai isi khotbahnya seperti "tidak salah", tetapi dia sebetulnya salah menguraikan bagian Alkitab itu. Tidak mungkin semua ayat di Alkitab bicara hal yang sama.

Beberapa pengkhotbah memang memiliki karunia fasih lidah. Tetapi, sama seperti semua karunia, itu bisa digunakan menjadi kebaikan atau keburukan. Dia bisa menggunakannya untuk semakin baik menguraikan Firman Tuhan atau semakin mudah bicara ngalor ngidul yang ditempel ayat Alkitab. Maka belum tentu khotbah yang menarik itu setia menguraikan Firman Tuhan.

Beberapa pengkhotbah hanya “menggunakan” ayat Alkitab. Apa yang dia sampaikan tidak jelas hubungannya dengan ayat yang dibacakan. Ada hubungannya sih kalau dihubung-hubungkan.. tapi kejauhan… atau tidak sesuai dengan maksud asli si penulis bagian itu. Dia tidak meyampaikan berita dari Firman Tuhan tetapi punya berita sendiri, dan dia menggunakan ayat Alkitab untuk membenarkan beritanya.

Beberapa pengkhotbah hanya tertarik menguraikan pelajaran moral dari Alkitab. Padahal, walaupun pelajaran moral yang diambil adalah benar, penulis Alkitab menuliskan bagian itu dengan maksud yang lebih besar. Khotbah seperti itu adalah khotbah moralis. Pelajaran moral jelas ada di dalam Alkitab, tetapi kalau khotbah hanya membicarakan moral, dimana Kristus yang dibicarakan di dalam Alkitab?

Beberapa pengkhotbah menjadikan waktu khotbah sebagai seminar tentang manajemen, psikologi, atau bahkan kesehatan (seriously!). Tentu, selalu dikait-kaitkan juga dengan ayat Alkitab.

Maka saya ingin mengajak kita menilai sebuah khotbah dengan lebih objektif. Jangan hanya karena khotbahnya menarik, lucu, tidak bikin ngantuk, atau inspiratif, lalu kita bilang bagus. Jangan juga hanya karena khotbahnya “kena” lalu kita bilang bagus, karena “kena” itu mungkin karena pas dengan pergumulan kita saat itu. Tidak tentu khotbah yang "kena" itu setia menguraikan Firman Tuhan. Jangan juga menilai bagus sekedar karena materinya bagus, dalam, atau apapun istilahnya.

Menilai dengan objektif adalah bertanya apakah khotbah ini menolong saya mengerti Firman Tuhan dengan lebih baik dan menolong saya memahami beritanya bagi hidup saya? Kalau kita sudah cukup banyak belajar, kita bisa bertanya lebih jauh, apakah khotbah itu setia menjelaskan bagian Alkitab itu atau sebetulnya sudah lari kemana-mana? Kadang ada pengkhotbah yang bisa berkhotbah beberapa kali hanya dari satu ayat! Sebagian orang mengira itu berarti khotbahnya sangat dalam - satu ayat saja sampai beberapa kali khotbah. Padahal jauh lebih sering sebetulnya itu bukan “dalam” tapi “lari kemana-mana”. Khotbah memang bisa bersifat tematik, jadi tidak fokus menjelaskan satu bagian Alkitab saja, tetapi tetap tidak boleh ayat Alkitab dicomot keluar dari konteksnya.

Bagi rekan-rekan pengkhotbah, saya ingin mengajak kita belajar terus dan selalu bertanya sebelum meyampaikan khotbah:

Apakah khotbah saya menguraikan Alkitab (bagian tertentu ataupun tema tertentu)?
Apakah khotbah saya menolong jemaat berhadapan langsung dengan Firman Tuhan – bukan dengan kebijakan dan kepintaran saya?
Apakah khotbah saya menolong jemaat memahami beritanya bagi hidup mereka?
Apakah khotbah saya setia terhadap Alkitab – bukan hanya pelajaran moral dan bukan lari kemana-mana?
Dimana berita Injil di dalam khotbah saya?

Pertanyaan-pertanyaan itu juga berlaku untuk saya pribadi.

Sunday, June 19, 2016

The Reformed Pastor - Richard Baxter


Saya sedang membaca buku klasik “The Reformed Pastor” karya Richard Baxter. Malu juga sebenarnya baru baca sekarang. Bertahun-tahun buku ini nangkring di rak buku saya, sempat baca beberapa halaman, lalu dibiarin nangkring lagi tanpa disentuh, sampai sekarang.

Setelah membaca buku ini separuh, saya bisa mengamini apa yang pernah diucapkan seorang hamba Tuhan, “setiap hamba Tuhan wajib membaca buku ini, bukan hanya sekali, tapi berkali-kali.” Buku ini sangat-sangat-sangat diperlukan untuk setiap hamba Tuhan. 

Richard Baxter adalah salah seorang puritan (sekelompok orang Protestan Reformed di Inggris di abad 16-17, yang ingin memurnikan – purifying – gereja Inggris). Orang-orang Puritan terkenal sebagai raksasa-raksasa rohani yang kehidupannya, mind-heart-hand, sangat terintegrasi. Richard Baxter adalah seorang pendeta, penginjil dan juga penulis yang sangat luar biasa di era Puritanisme. Pelayanan dia di gereja Kidderminster (selama hampir 15 tahun) dikatakan mengubah orang-orang kota itu dari yang “bebal, kasar, mencari kesenangan” menjadi komunitas yang saleh dan menyembah Tuhan.

Buku ini adalah tulisan Richard Baxter mengenai bagaimana pelayanan seperti itu bisa dilakukan. Dengan kata lain, ini adalah buku from a pastor to pastors. Walaupun konteks pelayanan dia tentu berbeda jauh dengan hari ini, tetapi prinsip-prinsip yang dia tuliskan sangatlah relevan. Berkali-kali saya harus memeriksa diri dan merenung sambil membaca buku ini.

Bahasanya tidak terlalu mudah karena cenderung archaic, tapi masih bisa dimengerti. Berharap ada penerbit yang mau menerjemahkan buku ini ke dalam bahasa Indonesia supaya lebih banyak hamba Tuhan di Indonesia yang bisa mendapat berkat melaluinya. Sebagai cicipan, saya mengutip beberapa pokok pembahasan di bagian 2 dari buku ini:

1. Take heed to yourselves, for you have a heaven to win or lose, and souls that must be happy or miserable for ever; and therefore it concerneth you to begin at home, and to take heed to yourselves as well as to others. 

2. Take heed to yourselves, for you have a depraved nature, and sinful inclinations, as well as others.

3. Take heed to yourselves, because the tempter will more ply you with temptations than other men.

4. Take heed to yourselves, because there are many eyes upon you, and there will be many to observe your falls.

5. Take heed to yourselves, for your sins have more heinous aggravations than other men’s.

6. Take heed to yourselves, because such great works as ours require greater grace than other men’s.

7. Take heed to yourselves, for the honour of your Lord and Master, and of his holy truth and ways, doth lie more on you than on other men.

8. Lastly, take heed to yourselves, for the success of all your labours doth very much depend on this.

Fellow pastors, please read this book!

Saturday, May 28, 2016

Tuhan "Caper"

“You know, don’t you, that I’m the One
who emptied your pantries and cleaned out your cupboards,
Who left you hungry and standing in bread lines?
But you never got hungry for me. You continued to ignore me.”
God’s Decree. 
Saya tertegun membaca gambaran yang sangat dramatis ini di Amos 4:6 (versi The Message). You never got hungry for God. 

TUHAN-lah yang menyebabkan mereka tidak punya makanan. Dia tutup semua sumber makanan mereka. Tetapi, sekalipun kelaparan, mereka tidak pernah lapar akan Tuhan. Dengan nada yang sulit diartikan (sedih/marah/kecewa?), Tuhan berkata: “You continued to ignore me.”
 
Lalu Tuhan melanjutkan dengan nada serupa melalui empat gambaran yang sama dramatisnya:

7-8 “Yes, and I’m the One who stopped the rains
three months short of harvest.
I’d make it rain on one village
but not on another.
I’d make it rain on one field
but not on another—and that one would dry up.
People would stagger from village to village
crazed for water and never quenching their thirst.
But you never got thirsty for me.
You ignored me.”
God’s Decree.
Tuhanlah yang menghentikan curah hujan, membuat tanah kekeringan, dan menjadikan mereka kehausan. Tetapi mereka tidak pernah haus akan Tuhan. You never got thirsty for me. You ignored me.

9 “I hit your crops with disease
and withered your orchards and gardens.
Locusts devoured your olive and fig trees,
but you continued to ignore me.”
God’s Decree.
Ladang mereka dihancurkan-Nya. Kebun, taman, panen, semua sudah disapu habis. But you continued to ignore me.

10 “I revisited you with the old Egyptian plagues,
killed your choice young men and prize horses.
The stink of rot in your camps was so strong
that you held your noses—
But you didn’t notice me.
You continued to ignore me.”
God’s Decree.
Tulah yang dulu ditimpakan kepada orang Mesir untuk membebaskan mereka dari perbudakan sekarang ditimpakan kepada mereka. Bau busuk memenuhi hidung mereka karena banyaknya kematian, baik hewan maupun manusia. Tetapi mereka tetap tidak mengalihkan perhatian kepada Tuhan. But you didn't notice me. You continued to ignore me.

11 “I hit you with earthquake and fire,
left you devastated like Sodom and Gomorrah.
You were like a burning stick
snatched from the flames.
But you never looked my way.
You continued to ignore me.”
God’s Decree.
Tuhan menghajar mereka habis-habisan dengan bencana alam sampai mereka menjadi seperti puntung yang diselamatkan dari api. Tetapi mereka tetap tidak melihat kepada Allah. But you never looked my way. You continued to ignore me.

Di satu sisi, Tuhan bertindak seperti hakim yang sedang menjalankan penghakiman melalui berbagai malapetaka yang dialami umat-Nya. Tetapi, di sisi lain, Tuhan seperti orang tua yang sedang berusaha menarik perhatian anak-Nya. Uang jajan distop, mobil ditarik, baju tidak dibelikan lagi, telpon diputus - semua hanya supaya si anak mau datang ke orang tua.

Apakah Tuhan marah? Ya, Dia marah karena anak-Nya berdosa. Tetapi Dia tidak ingin menghancurkan anak-Nya. Satu-satunya yang Dia inginkan adalah supaya anak-Nya datang kepada-Nya.

Amazing bukan? Tuhan "caper"! Dia cari perhatian! Dia berusaha menarik perhatian anak-Nya untuk kembali kepada-Nya. Datang saja kepada-Nya, lihat saja Dia, bicara saja dengan Dia! But they continued to ignore Him.

Maka tidak ada cara lain, Dia akan lebih jelas lagi, lebih nyata lagi, dan kalau perlu lebih keras lagi. Time’s up. Prepare to meet your God!

12 “All this I have done to you, Israel,
and this is why I have done it.
Time’s up, O Israel!
Prepare to meet your God!”
Saya kira, hari ini, Tuhan sangat mungkin melakukan yang kurang lebih sama kepada kita seperti kepada Israel dulu. Caranya mungkin berbeda tapi kerinduan Tuhan sama. Apakah Tuhan juga sedang caper kepadamu? Don't ignore Him.

Thursday, May 12, 2016

Hamba Tuhan: Role Model Dalam Ibadah

Ada satu peran hamba Tuhan di dalam ibadah yang jarang disadari: Menjadi role model.

Di banyak gereja, pada waktu ibadah, gembala dan juga hamba Tuhan lainnya biasanya akan duduk di barisan paling depan (di beberapa gereja, mereka bahkan duduk di mimbar menghadap jemaat). Satu hal yang sering tidak disadari, baik oleh hamba Tuhan maupun jemaat sendiri, selama ibadah berlangsung ada banyak mata yang akan berulang kali memperhatikan hamba Tuhan di depan itu. Bukan hanya pada waktu dia berdiri di mimbar memimpin pujian atau doa, bukan hanya ketika dia duduk menghadap jemaat, tetapi bahkan juga pada waktu dia duduk membelakangi jemaat.

Jemaat sendiri mungkin tidak terlalu sadar. Tetapi kalau saja dilakukan survei berapa banyak dan berapa sering jemaat "melirik" hamba Tuhan yang ada di depan membelakangi mereka, hasilnya bisa mengejutkan. 

Maka apa yang dilakukan hamba Tuhan di dalam ibadah akan mempengaruhi jemaat. Tentu pengaruhnya tidak akan langsung terasa, tetapi bertahap dan menyebar. Setelah berbulan-bulan atau mungkin beberapa tahun, pengaruhnya akan terlihat. 

Kalau hamba Tuhan tidak serius beribadah, sering keluar di tengah ibadah, menerima telpon, main handphone, ngobrol, maka jemaat sangat mungkin juga akan tidak serius beribadah. Mungkin banyak yang akan bolak-balik keluar, bercanda, bisik-bisik di tengah ibadah, dst. Kalau hamba Tuhan sikapnya dari belakang terlihat tidak serius menyanyi, misalnya tengok kiri kanan, melipat tangan, menengok ke belakang, atau apa lah yang ketahuan sama jemaat, maka jemaat sangat mungkin juga tidak akan serius menyanyi. 

Tentu sikap hamba Tuhan bukan satu-satunya faktor yang menentukan keseriusan jemaat dalam beribadah. Tetapi, sulit dipungkiri, itu faktor yang ikut menentukan.

Saya pernah beberapa kali melayani di gereja yang sangat jelas hamba Tuhan nya tidak serius beribadah. Suasana ibadah di situ sangat terasa berantakan. Ketika gereja itu kemudian berganti gembala, dan beberapa waktu kemudian saya kembali melayani di sana, saya terkejut melihat perubahannya. Jemaat menyanyi dengan sungguh dan mendengar khotbah dengan serius. Dari sekian banyak penyebab yang mungkin, tidak bisa dipungkiri salah satunya adalah faktor teladan hamba Tuhan nya. Sepanjang ibadah, dia duduk di depan, menyanyi dengan sungguh, dan serius mendengarkan khotbah.

Saya ingat Prof. Bruce Leafblad pernah berkata, "Jangan tanya apakah hamba Tuhan menjadi role model atau tidak di dalam ibadah. Jawabannya: Pasti!" Pertanyaannya apakah dia role model yang baik atau buruk.

Maka caveat pastor!

Thursday, May 05, 2016

Panggilan

Di dalam bukunya yang terkenal, “The Call”, Os Guinness membedakan dua macam panggilan di dalam hidup orang Kristen.

Panggilan yang pertama dan terutama adalah panggilan untuk mengikut Kristus. Panggilan ini adalah yang menyangkut seluruh keberadaan kita sebagai manusia. Hidup kita, hati kita, jiwa dan raga kita, seluruhnya adalah untuk menyembah Dia. Tidak ada apapun yang boleh menyaingi panggilan yang terutama ini. Oswald Chambers pernah berkata, “Waspadalah atas segala sesuatu yang menyaingi kesetiaan kepada Yesus Kristus” dan “pesaing terbesar kesetiaan kepada Yesus adalah pelayanan bagi Dia”. Bagaimana bisa begitu? Karena, “tujuan panggilan Tuhan adalah kepuasan Tuhan, bukan untuk mengerjakan sesuatu bagi Dia.”

Kalimat Oswald Chambers itu perlu diperdengarkan (kalau perlu diteriakkan) lagi di telinga kita. “Mengikut Yesus-setia pada Yesus-memuaskan Tuhan” sering seperti konsep yang abstrak bagi kita. Jauh lebih mudah untuk membayangkan bentuk konkrit yang harus dilakukan dalam rangka “mengikut Yesus-setia pada Yesus-memuaskan Tuhan”, a.k.a. “pelayanan” (baik di gereja maupun melalui profesi). Tetapi, di dalam prosesnya akhirnya kita mempersamakan keduanya. Maka perlahan-lahan, “pelayanan” menjadi sama dengan “penyembahan”. Kita merasa sudah “mengikut Yesus-setia pada Yesus-memuaskan Tuhan” dengan melakukan “pelayanan”. Bisakah kita melihat masalahnya disini?

“Mengikut Yesus-setia pada Yesus-memuaskan Tuhan” adalah soal hati, arah, tujuan, motivasi, yang mengarahkan apa yang kita lakukan. Sementara “apa yang kita lakukan”, arahnya, tujuannya, motivasinya, bisa untuk memuaskan Tuhan atau membesarkan diri. Ketika kita mempersamakan keduanya, pasti muncul masalah besar. Kita bisa berdalih bahwa “kita tidak mencari untung”, “kita sedang berusaha menggunakan karunia yang Tuhan berikan”, atau “kita ingin memberi yang terbaik untuk Tuhan” melalui apa yang kita lakukan. Tetapi, pertanyaan yang terus menggantung adalah, apakah sungguh di dalam hati kita hanya-dan-hanya ingin mengikut Yesus? Apakah kita hanya-dan-hanya memuaskan Tuhan?

Panggilan yang kedua, menurut Os Guinness, barulah yang lebih konkrit, yaitu “dalam segala hal kita harus berpikir, berbicara, hidup, dan bertindak sepenuhnya bagi Dia”. Mungkin itu berarti pekerjaan, profesi, atau kehidupan sehari-hari, yang kita jalani sebagai respons atas arahan dan panggilan Tuhan. Tetapi, jangan menjadikan panggilan kedua ini sebagai yang pertama dan terutama.

Saya tertempelak membaca kalimat Os Guinness di bawah ini:
Do we enjoy our work, love our work, virtually worship our work so that our devotion to Jesus is off-center? Do we put emphasis on service or usefulness, or being productive in working for God – at his expense? Do we strive to prove our own significance? To make difference in the world? To carve our names in marble in the monuments of time?
Apakah kita menikmati pekerjaan kita, mencintai pekerjaan kita, secara virtual menyembah pekerjaan kita sehingga kesetiaan kita kepada Yesus tergeser? Apakah kita menaruh penekanan pada pelayanan atau kegunaan, atau menjadi produktif dalam bekerja untuk Allah – dengan mengorbankan Dia? Apakah kita berjuang untuk membuktikan signifikansi diri kita? Untuk membuat perbedaan di dalam dunia? Untuk mengukir nama kita pada monumen-monumen waktu?
Siapa sih yang tidak ingin hidupnya berguna dan produktif? Siapa sih yang tidak senang berhasil membuat perbedaan di dalam dunia? Di dalam kelemahan, siapa sih yang tidak bangga membayangkan hidupnya signifikan dan dikenang? Tidak ada yang salah dengan hidup berguna, produktif, membuat perbedaan, signifikan dan dikenang. Tetapi, menjadi masalah dan salah besar ketika kita mengejar semua itu seakan-akan itulah panggilan kita yang pertama dan terutama.

Os Guinnes mengingatkan, panggilan kita yang pertama dan terutama bukanlah to do something tetapi we are called to Someone. Kunci untuk menjawab panggilan itu adalah untuk setia tidak kepada siapapun (termasuk diri kita) dan apapun selain kepada Allah.

Saya perlu mengunyah kebenaran ini lebih lama supaya meresap.