Monday, July 25, 2016

"Virus of the Mind" Mengenai Khotbah - 1

Siapa yang tidak tahu meme? Foto/gambar yang dibubuhi kalimat random menjadi sangat populer beberapa tahun belakangan ini. Tetapi, awalnya meme bukanlah itu.

Istilah meme pertama kali saya dengar waktu membaca buku “Virus of the Mind” dari Richard Brodie lebih dari sepuluh tahun lalu (istilah meme sendiri dimunculkan oleh Richard Dawkins). Meme adalah ide atau pemikiran atau pola tingkah laku yang menyebar seperti virus dari orang yang satu ke orang yang lain. Lalu orang yang terjangkit virus of the mind itu, perlahan-lahan tidak lagi mempertanyakannya tetapi menerimanya sebagai kebenaran. Karena penyebarannya yang luar biasa, akhirnya seakan-akan dia adalah kebenaran umum yang semua-orang-juga-tahu.

Saya ingin bicara soal meme yang seperti itu mengenai khotbah. Meme ini populer sekali. Penyebarannya sangat luar biasa di antara orang Kristen di Indonesia. Kalau dia adalah virus, maka artinya sudah mewabah. Meme itu berbunyi: “Jemaat tidak suka khotbah yang dalam tetapi lebih suka yang ringan, praktis, dan lucu.

Mungkin ada yang protes, “Tapi itu betul kok... jemaat memang gitu… swear!” Bahkan banyak orang Kristen akan langsung berkata “Betul, saya nggak tahan dengar khotbah kayak gitu, bosen, nggak relevan.” Maka bukankah artinya confirmed!? Tunggu dulu. Jangan-jangan kita juga sudah terjangkiti virus of the mind yang sama :-)

Betulkah jemaat tidak suka khotbah yang dalam? Saya memang belum pernah melakukan survei formal. Tetapi dari percakapan dengan banyak jemaat dan dari apa yang saya amati sejauh ini, saya kira itu salah. Ada banyak, sangat banyak bahkan, orang Kristen yang suka belajar Firman Tuhan dengan mendalam. Mereka suka untuk mengerti apa yang mereka percayai. Mereka suka menemukan jawaban atas banyak pertanyaan iman mereka. Maka masalahnya bukan di jemaat, tetapi di pengkhotbah.

Sebagian pengkhotbah, yang dulu pernah sekolah teologi, tidak lagi belajar Alkitab dan teologi dengan baik (serius!). Maka ketika berkhotbah tematik atau doktrinal yang kesannya “dalam”, apa yang disampaikan? Sebagian akan mengutip buku sistematik teologi yang dulu pernah dipelajari waktu dia di sekolah teologi. Atau menggunakan kalimat-kalimat jargon yang semua-orang-sudah-sering-dengar. Atau menggunakan bahasa formal yang disisipi istilah-istilah teologis atau filsafat. Misalnya: “Manusia hari ini tidak percaya kepada Allah-yang-berada melalui argumen ontologis Kant, tetapi melalui pengalaman eksistensialis yang otentik.” Wuuuzzz… wajar kalau jemaat merasa kering ketika mendengar khotbah seperti itu.

Demikian pula waktu berkhotbah secara ekspositori. Sebagian pengkhotbah berkhotbah hanya seperti ekspositori, dengan menyebut kata-kata dalam bahasa Ibrani atau Yunani lengkap dengan artinya, seperti studi kata, yang dengan mudah bisa didapat dari berbagai buku atau secara online. Kalau khotbah diumpamakan seperti masakan jadi, maka yang disajikan bukanlah masakan tapi bahan mentah.

Ditambah lagi, khotbah yang kesannya “dalam” seringkali tidak relevan. Artinya pengkhotbah tidak memikirkan pertanyaan yang sangat penting di dalam khotbah: “What is the message?” Khotbah apapun, selalu harus berpikir, “what is the message” buat jemaat. Saya pernah mendengar khotbah, tentang natur kemanusiaan dan keilahian Yesus bahwa Yesus 100% manusia dan 100% Allah, yang sangat kering. Seorang teman bercerita di gerejanya diadakan seri khotbah doktrin Roh Kudus yang juga sangat kering. Dimana masalahnya? Bukan di topiknya. Kita boleh, bahkan kadang harus, berkhotbah doktrinal. Tetapi khotbah itu menjadi tidak relevan jika tidak memikirkan pertanyaan: “What is the message?” Apa berita dari kebenaran itu bagi pendengar hari ini?

Ada orang yang pernah berkata (saya tidak tahu siapa yang pertama kali): “Jesus is the answer! But what is the question?” Adalah tugas pengkhotbah, sebagai orang yang menguraikan Firman Tuhan, untuk memahami“what is the question” – apa yang ditanyakan jemaat, apa yang dihadapi jemaat, apa yang diperlukan jemaat. Karena hanya dengan demikian dia bisa menjawab dengan relevan (dan powerful): “Jesus is the answer!

Adalah tugas pengkhotbah untuk menguraikan Firman Tuhan yang kekal untuk memberi jawaban bagi pergumulan manusia yang terus berubah sepanjang zaman. Di dalam tulisan sebelumnya, saya meminjam format dari The NIV Application Commentary Series (NIVAC), untuk menjelaskan tugas pengkhotbah. Untuk setiap bagian Alkitab, NIVAC membagi menjadi tiga bagian: “Original Meaning” – arti bagian itu di dalam konteks aslinya; “Bridging Contexts” – menjembatani konteks asli dengan konteks zaman sekarang; dan terakhir “Contemporary Significance” – memberikan contoh bagaimana bagian itu berbicara dan diterapkan di zaman ini. Sederhananya: “Original Meaning” tidak berubah tetapi “Bridging Contexts” dan “Contemporary Significance” akan selalu berganti.

Maka, saya ringkaskan, ada tiga masalah disini:

1. Isi khotbah
Masalahnya bukanlah khotbah yang terlalu dalam. Tetapi, justru, seringkali terlalu dangkal. Khotbah seperti itu tidak berasal dari pemikiran dan pergumulan yang mendalam tetapi kutip sana sini dan dibumbui dengan kallimat-kalimat yang terkesan wah.

2. Relevansi khotbah
Banyak jemaat berkata: “Saya nggak perlu khotbah doktrinal, saya nggak suka khotbah yang susah. Itu pergumulan teolog tapi bukan pergumulan saya.” Masalahnya, lagi-lagi, bukanlah khotbahnya terlalu dalam tetapi tidak jelas “what is the message”. Kita percaya bahwa Alkitab selalu relevan. Kebenaran-kebenarannya selalu menghidupkan. Maka khotbah dari bagian Alkitab manapun, topik apapun, harusnya relevan dan menghidupkan. Tetapi pengkhotbah yang kadang membuatnya tidak relevan dan mati. (Mungkin kadang saya juga bersalah dalam hal ini. May the Lord have mercy!)

3. Cara penyampaian khotbah
Penyampaian itu mencakup cara menyusun khotbah, pemilihan kata, intonasi, emosi, dan lain-lain. Kadangkala isi khotbahnya baik dan relevan, tetapi susunan khotbahnya tidak menarik, intonasinya monoton dan penguraiannya membosankan. Seorang pengkhotbah haruslah juga seorang “master of words” (kalau saya tidak salah istilah ini dari Eugene Peterson). Dia harus tahu bagaimana memilih kata-kata dan menggunakannya dengan tepat. Hal yang sama jika diucapkan dengan kalimat yang berbeda akan menimbulkan reaksi yang berbeda.

Kalau khotbah yang mendalam itu hanya kesannya saja mendalam, atau tidak relevan, atau membosankan penyampaiannya, tidak heran jemaat lebih suka yang ringan, praktis, dan lucu. Karena paling tidak dia masih mengerti apa yang dibicarakan. Paling tidak masih ada aplikasi praktis yang dia langsung bisa tangkap. Atau paling tidak dia bisa tertawa dan tidak mengantuk.

Maka menyebarlah meme itu... dan wabah pun berlanjut.

(Tulisan ini pun akan berlanjut)