Wednesday, June 29, 2016

What is a sermon?

Setelah sekian lama jadi orang Kristen dan pengkhotbah, saya semakin tergelitik untuk bertanya: What is a sermon? Apa itu khotbah?

Sebetulnya saya kira semua orang bisa menerima definisi-super-sederhana bahwa “khotbah” adalah “penguraian Firman Tuhan”. Itu sebabnya “khotbah” kadang disebut langsung “Firman Tuhan” (ngeri juga sih…). Masalahnya justru karena definisi-super-sederhana itu terlalu gampang diterima, akibatnya seringkali kita tidak berpikir lagi betulkah yang saya dengar (atau saya sampaikan) ini adalah “khotbah”? Pertanyaan ini penting untuk saya pribadi karena jangan sampai ketika berdiri di mimbar, saya berkhotbah yang bukan khotbah!

Paulus menjelaskan pelayanan pemberitaan Injil yang dia lakukan sebagai berikut:

Tetapi harta ini kami punyai dalam bejana tanah liat, supaya nyata, bahwa kekuatan yang melimpah-limpah itu berasal dari Allah, bukan dari diri kami. (2 Korintus 4:7)

“Harta” yang dimaksud Paulus adalah berita Injil. Berita itu adalah harta yang sangat berharga. Tetapi harta itu diberitakan, disampaikan, dinyatakan, lewat “bungkus” yang sangat tidak bernilai – yaitu dirinya sendiri. Kontras sekali: “harta” di dalam “bejana tanah liat”. Yang mulia, berkuasa, dan bercahaya, adalah “harta”nya dan bukan “bejana tanah liat”nya.

Demikian pula sebuah khotbah hari ini. Khotbah bukanlah sebuah cerita tentang si “bejana tanah liat” yang membuat dia terlihat hebat. Khotbah juga bukan hanya nasihat moral yang bisa dibaca di banyak buku self-help. Khotbah bukanlah kata-kata motivasi yang dibungkus dengan istilah-istilah rohani, seperti yang banyak diberikan para motivator. Khotbah bukan berisi berbagai cerita ilustrasi atau pemutaran video dari youtube yang menggerakkan. Khotbah seperti membuka “harta” itu, menunjukkannya, membuat cahayanya terlihat oleh pendengar, mempesona mereka, dan membiarkan Roh Kudus bekerja mengubah hidup mereka.

Bukan khotbah yang mengubah hidup seseorang tetapi Firman Tuhan! Bukan kepandaian pengkhotbah dalam berteori maupun ketrampilan pengkhotbah dalam berbicara yang mengubah hidup seseorang. Kalau kita percaya bahwa yang mengubah hidup seseorang adalah Firman Tuhan, maka seharusnya tugas pengkhotbah hanyalah menjelaskan Firman Tuhan. Bukalah "harta" itu di depan pendengar dan "harta" itu, dengan kuasa Roh Kudus, tak akan pernah gagal menjalankan tugasnya.

Di dalam usaha menguraikan Firman Tuhan, tentu seorang pengkhotbah boleh menggunakan ilustrasi, memutar video dari youtube, humor, mengutip kata-kata bijak, atau apapun, selama semua itu relevan dan memang menolong pendengar mengerti berita Firman Tuhan. Tetapi, pertanyaannya tetaplah sama, betulkah fokusnya adalah menguraikan Firman Tuhan?

The NIV Application Commentary Series (NIVAC), sebuah seri tafsiran Alkitab yang tidak bersifat teknis, isinya sedikit banyak mirip seperti khotbah. Untuk setiap bagian Alkitab, NIVAC membaginya menjadi tiga bagian:
Original Meaning” – arti bagian itu di dalam konteks aslinya
Bridging Contexts” – menjembatani konteks asli dengan konteks zaman sekarang karena berita Alkitab relevan bagi setiap zaman
Contemporary Significance” – memberikan contoh bagaimana bagian itu berbicara dan diterapkan di zaman ini.

Saya kira tugas pengkhotbah, kurang lebih, seperti itu. Ada berbagai bentuk khotbah: ekspositori, narasi, tematik. Bagi saya, bentuk apapun, sah untuk dipakai, asalkan fungsi menjelaskan Firman Tuhan tercapai.  

Beberapa pengkhotbah, uniknya, selalu bicara hal yang mirip sekalipun ayat Alkitab yang diuraikan berbeda. Khotbah dari ayat manapun, kira-kira ujungnya ya itu. Walaupun kalau dinilai isi khotbahnya seperti "tidak salah", tetapi dia sebetulnya salah menguraikan bagian Alkitab itu. Tidak mungkin semua ayat di Alkitab bicara hal yang sama.

Beberapa pengkhotbah memang memiliki karunia fasih lidah. Tetapi, sama seperti semua karunia, itu bisa digunakan menjadi kebaikan atau keburukan. Dia bisa menggunakannya untuk semakin baik menguraikan Firman Tuhan atau semakin mudah bicara ngalor ngidul yang ditempel ayat Alkitab. Maka belum tentu khotbah yang menarik itu setia menguraikan Firman Tuhan.

Beberapa pengkhotbah hanya “menggunakan” ayat Alkitab. Apa yang dia sampaikan tidak jelas hubungannya dengan ayat yang dibacakan. Ada hubungannya sih kalau dihubung-hubungkan.. tapi kejauhan… atau tidak sesuai dengan maksud asli si penulis bagian itu. Dia tidak meyampaikan berita dari Firman Tuhan tetapi punya berita sendiri, dan dia menggunakan ayat Alkitab untuk membenarkan beritanya.

Beberapa pengkhotbah hanya tertarik menguraikan pelajaran moral dari Alkitab. Padahal, walaupun pelajaran moral yang diambil adalah benar, penulis Alkitab menuliskan bagian itu dengan maksud yang lebih besar. Khotbah seperti itu adalah khotbah moralis. Pelajaran moral jelas ada di dalam Alkitab, tetapi kalau khotbah hanya membicarakan moral, dimana Kristus yang dibicarakan di dalam Alkitab?

Beberapa pengkhotbah menjadikan waktu khotbah sebagai seminar tentang manajemen, psikologi, atau bahkan kesehatan (seriously!). Tentu, selalu dikait-kaitkan juga dengan ayat Alkitab.

Maka saya ingin mengajak kita menilai sebuah khotbah dengan lebih objektif. Jangan hanya karena khotbahnya menarik, lucu, tidak bikin ngantuk, atau inspiratif, lalu kita bilang bagus. Jangan juga hanya karena khotbahnya “kena” lalu kita bilang bagus, karena “kena” itu mungkin karena pas dengan pergumulan kita saat itu. Tidak tentu khotbah yang "kena" itu setia menguraikan Firman Tuhan. Jangan juga menilai bagus sekedar karena materinya bagus, dalam, atau apapun istilahnya.

Menilai dengan objektif adalah bertanya apakah khotbah ini menolong saya mengerti Firman Tuhan dengan lebih baik dan menolong saya memahami beritanya bagi hidup saya? Kalau kita sudah cukup banyak belajar, kita bisa bertanya lebih jauh, apakah khotbah itu setia menjelaskan bagian Alkitab itu atau sebetulnya sudah lari kemana-mana? Kadang ada pengkhotbah yang bisa berkhotbah beberapa kali hanya dari satu ayat! Sebagian orang mengira itu berarti khotbahnya sangat dalam - satu ayat saja sampai beberapa kali khotbah. Padahal jauh lebih sering sebetulnya itu bukan “dalam” tapi “lari kemana-mana”. Khotbah memang bisa bersifat tematik, jadi tidak fokus menjelaskan satu bagian Alkitab saja, tetapi tetap tidak boleh ayat Alkitab dicomot keluar dari konteksnya.

Bagi rekan-rekan pengkhotbah, saya ingin mengajak kita belajar terus dan selalu bertanya sebelum meyampaikan khotbah:

Apakah khotbah saya menguraikan Alkitab (bagian tertentu ataupun tema tertentu)?
Apakah khotbah saya menolong jemaat berhadapan langsung dengan Firman Tuhan – bukan dengan kebijakan dan kepintaran saya?
Apakah khotbah saya menolong jemaat memahami beritanya bagi hidup mereka?
Apakah khotbah saya setia terhadap Alkitab – bukan hanya pelajaran moral dan bukan lari kemana-mana?
Dimana berita Injil di dalam khotbah saya?

Pertanyaan-pertanyaan itu juga berlaku untuk saya pribadi.

Sunday, June 19, 2016

The Reformed Pastor - Richard Baxter


Saya sedang membaca buku klasik “The Reformed Pastor” karya Richard Baxter. Malu juga sebenarnya baru baca sekarang. Bertahun-tahun buku ini nangkring di rak buku saya, sempat baca beberapa halaman, lalu dibiarin nangkring lagi tanpa disentuh, sampai sekarang.

Setelah membaca buku ini separuh, saya bisa mengamini apa yang pernah diucapkan seorang hamba Tuhan, “setiap hamba Tuhan wajib membaca buku ini, bukan hanya sekali, tapi berkali-kali.” Buku ini sangat-sangat-sangat diperlukan untuk setiap hamba Tuhan. 

Richard Baxter adalah salah seorang puritan (sekelompok orang Protestan Reformed di Inggris di abad 16-17, yang ingin memurnikan – purifying – gereja Inggris). Orang-orang Puritan terkenal sebagai raksasa-raksasa rohani yang kehidupannya, mind-heart-hand, sangat terintegrasi. Richard Baxter adalah seorang pendeta, penginjil dan juga penulis yang sangat luar biasa di era Puritanisme. Pelayanan dia di gereja Kidderminster (selama hampir 15 tahun) dikatakan mengubah orang-orang kota itu dari yang “bebal, kasar, mencari kesenangan” menjadi komunitas yang saleh dan menyembah Tuhan.

Buku ini adalah tulisan Richard Baxter mengenai bagaimana pelayanan seperti itu bisa dilakukan. Dengan kata lain, ini adalah buku from a pastor to pastors. Walaupun konteks pelayanan dia tentu berbeda jauh dengan hari ini, tetapi prinsip-prinsip yang dia tuliskan sangatlah relevan. Berkali-kali saya harus memeriksa diri dan merenung sambil membaca buku ini.

Bahasanya tidak terlalu mudah karena cenderung archaic, tapi masih bisa dimengerti. Berharap ada penerbit yang mau menerjemahkan buku ini ke dalam bahasa Indonesia supaya lebih banyak hamba Tuhan di Indonesia yang bisa mendapat berkat melaluinya. Sebagai cicipan, saya mengutip beberapa pokok pembahasan di bagian 2 dari buku ini:

1. Take heed to yourselves, for you have a heaven to win or lose, and souls that must be happy or miserable for ever; and therefore it concerneth you to begin at home, and to take heed to yourselves as well as to others. 

2. Take heed to yourselves, for you have a depraved nature, and sinful inclinations, as well as others.

3. Take heed to yourselves, because the tempter will more ply you with temptations than other men.

4. Take heed to yourselves, because there are many eyes upon you, and there will be many to observe your falls.

5. Take heed to yourselves, for your sins have more heinous aggravations than other men’s.

6. Take heed to yourselves, because such great works as ours require greater grace than other men’s.

7. Take heed to yourselves, for the honour of your Lord and Master, and of his holy truth and ways, doth lie more on you than on other men.

8. Lastly, take heed to yourselves, for the success of all your labours doth very much depend on this.

Fellow pastors, please read this book!