Wednesday, February 08, 2017

Pilkada Jakarta 2017 - Sebuah Catatan

Semua yang saya tulis disini saya kira sudah pernah ditulis oleh orang lain dengan lebih baik dan lebih lengkap. Tidak ada yang baru. Saya hanya ingin menuliskan catatan apa yang saya yakini di dalam Pilkada Jakarta kali ini.

Di dalam setiap pemilihan pemimpin, apapun dan dimanapun itu, tidak pernah ada calon yang sempurna. Itu pasti. Kadang calonnya semuanya buruk, maka pilihannya adalah yang terbaik di antara yang buruk (sedih). Kadang mungkin, walaupun tidak sempurna, calonnya semuanya baik sampai sulit sekali memilih yang mana (ruaarrr biasa.. kapan ya itu?). Tapi Pilkada Jakarta kali ini berbeda.

Saya mencoba dengan objektif (walaupun tidak mungkin bisa 100%) untuk menilai pasangan-pasangan calon yang ada.

Pertama, dari konsep pembangunan. Saya tidak menemukan ada pasangan calon penantang yang mempunyai banyak ide yang konkrit dan bagus untuk membangun Jakarta. Perhatikan beberapa istilah itu: “Bagus” artinya ya bagus; “Konkrit” artinya tidak mengawang tapi pasti bisa dilaksanakan dan jelas tahapannya; “Banyak” artinya ya banyak. Ada pasangan calon yang mempunyai ide yang “bagus” tapi kurang “konkrit” dan sama sekali tidak “banyak.” Ada yang sama sekali tidak mempunyai ide yang “bagus.”

Kedua, dari konsep ke-Bhinneka-an. Saya melihat sebetulnya mungkin (cuma mungkin lho ya) kedua pasangan calon penantang tidak punya cita-cita menghancurkan kemajemukan Indonesia atau membiarkan NKRI dijadikan negara berbasis agama. Rasanya mereka tidak ingin sampai ke situ. Tetapi, saya melihat ketidakpedulian ketika kampanye mereka, demi meraih suara, menghancurkan “tenun kebangsaan” Indonesia (saya pinjam istilah yang terkenal ini hehe..). Saya juga melihat kenaifan (atau kemunafikan) mereka dengan mengabaikan kampanye hitam dan berkembang suburnya radikalisme di tengah “pendukung” mereka. Maka saya melihat sifat oportunis negatif (bukan positif) yang bisa menjadi sangat mengerikan kalau mereka memimpin kota Jakarta.

Ketiga, dari keberpihakan pada rakyat. Ini subjektif walaupun masih bisa diukur secara objektif.

Saya tidak tahan mendengar konsep mendayu-dayu dari paslon nomor 1 yang merayu-rayu rakyat dengan menggambarkan petahana sebagai pemimpin yang tidak memikirkan kepentingan rakyat dengan menggusur. Berapa kali pun dijelaskan bahwa pemindahan (bukan penggusuran) tidak akan dilakukan sebelum rusun tersedia, berapa kali pun dijelaskan bahwa fasilitas kesehatan, pendidikan, ekonomi, semua sudah diusahakan, teteeuuppp… ngomongannya sama “apakah tidak memikirkan mereka?”Apakah membiarkan mereka tinggal di tengah tepi sungai dan membiarkan Jakarta banjir itu lebih berpihak pada rakyat? Tidak pernah dijawab.

Saya juga tidak tahan mendengar jargon-jargon paslon nomor 3 yang mengawang. Saya sebutkan satu saja. Di dalam debat waktu itu, kalau tidak salah ketika bicara reformasi birokrasi, paslon nomor 2 mengangkat isu “integritas” yang tandanya adalah kejujuran, lalu dibalas oleh paslon nomor 3: “Integritas bukanlah sekedar kejujuran. Integritas adalah keberpihakan pada nilai.” Silakan cari kamus atau buku yang membenarkan definisi itu. Super mengawang. Lalu mereka berkata “yang terpenting adalah budaya kerja yang baik… pemimpin harus merangkul, bukan memukul.” Selain mengawang lagi, di tengah kondisi banyaknya birokrat yang astaganaga mentalnya, bisa dibayangkan siapa yang akan dirugikan dengan konsep seperti itu.

Tapi ok lah, saya mengerti karena ingin menang maka perlu senjata retorika. Tetapi, saya ingin mendengar kalau begitu konsep apa yang ditawarkan yang berpihak pada rakyat? Lebih lagi, sebetulnya saya ingin melihat hati yang mengasihi rakyat. Jujur, saya tidak bisa melihat itu dari paslon nomor 1 dan nomor 3. Saya yang salah? Mungkin, karena saya subjektif. Tapi, secara objektif?

Saya tidak melihat Pilkada Jakarta kali ini sebagai “memilih yang terbaik dari yang buruk” atau “memilih yang terbaik dari yang baik.” Karena saya melihat ada satu (dan hanya satu) paslon yang memiliki konsep yang “baik, konkrit dan menyeluruh” untuk pembangunan Jakarta. Saya melihat ada satu (dan hanya satu) paslon yang tidak bermain dengan konsep ke-Bhinneka-an NKRI. Saya juga melihat keberpihakan pada rakyat paling nyata pada paslon itu. Betul mereka tidak sempurna tapi mereka terbaik dan sayangnya tanpa saingan. Maka saya akan memilih mereka - Nomor 2.

Saya tidak pro Pak Ahok. Ini bukan soal orangnya apalagi agama dan rasnya. Tidak ada hubungan sama sekali dengan semua itu. Ini soal rakyat. Ini soal keadilan sosial. Ini soal Jakarta dan Indonesia.

Nama sudah diperiksa dan terdaftar. Tiket ke Jakarta sudah dibeli. Kami akan pulang menyumbang 2 suara untuk rakyat.

#padamunegerikamiberbakti

Friday, February 03, 2017

Lakukanlah Kepadaku Apapun Juga

Saya menaruh buku The Imitation of Christ (Thomas A. Kempis) di atas meja belajar saya. Kadang saya mengambilnya, membaca satu bagian singkat, merenung sebentar, dan disegarkan atau ditantang olehnya. Hari ini saya membaca sebuah bagian berupa doa dari seorang murid Kristus:

Lord, what You say is true. Your care for me is greater than all the care I can take of myself. For he who does not cast all his care upon You stands very unsafely. If only my will remain right and firm towards You, Lord, do with me whatever pleases You. For whatever You shall do with me can only be good. 

If You wish me to be in darkness, I shall bless You. And if You wish me to be in light, again I shall bless You. If You stoop down to comfort me, I shall bless You, and if You wish me to be afflicted, I shall bless You forever.

Saya terjemahkan bebas:

Tuhan, perkataanMu benar adanya. PemeliharaanMu bagiku melebihi apapun yang bisa kulakukan untuk diriku sendiri. Karena barangsiapa yang tidak meletakkan segala kekuatirannya padaMu berdiri dengan sangat tidak aman. Kalau saja kehendakku tetap benar dan teguh terarah kepadaMu, Tuhan, lakukanlah kepadaku apapun yang menyukakanMu. Karena apapun yang akan Kau lakukan kepadaku hanyalah kebaikan semata. 

Jika Engkau menginginkanku berada dalam kegelapan, aku akan memujiMu. Dan jika Engkau menginginkanku untuk berada dalam terang, juga aku akan memujiMu. Jika Engkau membungkuk untuk menghiburku, aku akan memujiMu, dan jika Engkau menginginkanku menderita kemalangan, aku akan memujiMu selamanya. 

Saya membaca doa ini beberapa kali. Ada dua hal yang kemudian terpikir oleh saya: Pertama, saya tahu apa yang dia tuliskan di dalam bentuk doa itu sangatlah tepat. Itulah doa seorang Kristen yang mencintai Tuhannya - doa seorang murid Kristus. Tetapi, yang kedua, saya ngeri untuk mengucapkannya dengan sungguh.

Sangat jarang sebetulnya kita berdoa kepada Tuhan dengan sikap "lakukanlah kepadaku apapun juga." Hampir tidak pernah kita berdoa "Tuhan berikanlah kepadaku apapun juga, kegelapan, terang, penghiburan, penderitaan... apapun juga... dan aku tetap akan memujiMu!" Wow...

Kalau doa ini menyebutkan dua sisi, A dan B, senang dan susah, sehat dan sakit, kaya dan miskin, maka kita selalu minta yang A. Lebih celaka lagi kalau sikap kita: "Berikan aku yang A, karena itu sudah seharusnya. Berikan aku yang B, maka aku marah."

Kalau kita perhatikan, dia berani berdoa seperti di paragraf kedua it karena ada paragraf pertama. Dia berani berdoa minta "apapun juga" karena dia percaya kepada Tuhan. Dia percaya akan kasih dan pemeliharaan Tuhan. Dia percaya Tuhan mampu dan mau memelihara dia bahkan lebih daripada dirinya sendiri. Apapun yang baik yang dia inginkan bagi dirinya, Tuhan lebih ingin! Itu sebabnya dia percaya apapun yang dilakukan Tuhan kepadanya adalah kebaikan semata. Maka "Bring it on, Lord! Lakukanlah kepadaku apapun juga! Aku akan memujiMu!"

Saya jadi berpikir betapa bedanya hidup rohani kita kalau kita sering berdoa seperti ini.

Betapa kita, termasuk saya, perlu terus belajar berdoa. Karena bagaimana kita berdoa - berbincang dengan Tuhan, akan menentukan kerohanian kita.