Monday, April 20, 2020

Gereja Setelah Covid-19


Buku The Trellis and The Vine baru-baru ini mendapat perhatian khusus karena di bagian penutupnya, penulis buku itu membayangkan terjadinya pandemi.

Saya meringkasnya di bawah ini:

Bayangkan terjadi pandemi di seluruh bagian dunia anda dan pemerintah melarang orang berkumpul lebih dari tiga orang, untuk alasan kesehatan dan keamanan. Dan kondisi itu terjadi selama 18 bulan. 

Kalau ada 120 jemaat di gereja anda, bayangkan bagaimana gereja tetap bisa berfungsi – tanpa ada pertemuan persekutuan rutin apapun, dan tidak ada persekutuan rumah tangga, kecuali hanya tiga orang yang berkumpul.

Kalau anda adalah pendetanya, apa yang akan anda lakukan? 

Mungkin anda bisa kirim email atau menelpon mereka, atau membuat rekaman audio. Tetapi bagaimana bisa tetap mengajar dan menggembalakan mereka? Bagaimana mendorong mereka untuk tetap mengasihi dan melakukan hal yang baik di tengah situasi ini? Dan bagaimana dengan penginjilan? Bagaimana menjangkau orang baru dan melakukan follow up? 

Anda perlu bantuan. Anda harus mulai dengan 10 orang jemaat pria yang dewasa secara iman, lalu bertemu secara intensif dengan mereka, bergantian dua orang demi dua orang selama dua bulan. Anda harus melatih mereka bagaimana membaca Alkitab, bagaimana berdoa dengan satu atau dua orang lain, dan dengan anak-anak mereka. Maka ada dua tugas mereka: Pertama, menggembalakan keluarga mereka dengan secara rutin membaca Alkitab dan berdoa. Kedua, mencari orang lain untuk dilatih dan didorong melakukan yang sama. Maka dalam waktu beberapa bulan gerakan ini akan meluas dengan cepat. Tugas anda adalah memberikan support kepada mereka sambil mencari orang lain lagi. 

Akan ada banyak sekali kontak pribadi dan pertemuan kelompok kecil yang harus dilakukan. Tetapi ingat bahwa tidak ada kebaktian yang harus dijalankan, tidak ada seminar, tidak ada kerja bakti, tidak ada persekutuan rumah tangga, tidak ada acara apapun untuk diorganisir. Semuanya hanyalah mengajar dan memuridkan secara pribadi dan melatih orang untuk menjadi pembuat murid. 

Ini pertanyaan yang menarik: Setelah 18 bulan seperti itu, ketika larangan akhirnya dicabut dan kita bisa kembali berkumpul untuk ibadah, persekutuan, dan melakukan semua aktivitas lainnya, apa yang akan berubah? Bagaimana program, pelayanan, dll, akan berubah?

Kita memang berharap bahwa pandemi Covid-19 ini tidak berlangsung sampai 18 bulan. Tetapi pertanyaan terakhir itu sangat menggelitik. Kalau selama 18 bulan, kita memelihara kehidupan rohani jemaat melalui kelompok kecil dengan Firman dan doa. Lalu selama 18 bulan itu juga kita menghasilkan orang-orang yang terjun menjadi pembuat murid – mereka mengajar orang membaca Alkitab dan berdoa untuk orang-orang itu. Kemudian selama 18 bulan itu juga kita melihat buahnya – bahwa orang-orang ternyata bertumbuh dengan Firman dan doa. Setelah 18 bulan berlalu dan kita terbiasa mencurahkan energi dan waktu pada pelayanan yang satu itu dan kita melihat bahwa pertumbuhan terjadi tanpa semua kegiatan dan acara yang rutin dilakukan gereja, apakah tidak ada yang akan berubah ketika keadaan normal?

Saya percaya bahwa salah satu tujuan Tuhan mengizinkan kita mengalami krisis adalah untuk menggoncangkan kita. Mungkinkah ada sesuatu yang harus berubah?

Buku The Trellis and The Vine menggunakan perumpamaan pohon anggur dan terali untuk menggambarkan pekerjaan sesungguhnya dari gereja dan terali pendukungnya. Buku itu mengkritisi gereja karena membangun terlalu banyak terali pendukung sehingga tidak fokus mengerjakan pekerjaan anggur. Pekerjaan anggur bisa dengan sederhana dijelaskan sebagai pekerjaan dalam empat tahapan dengan tujuan masing-masing:
- “mengajak orang”
- “memberitakan Injil”
- “mempertumbuhkan”
- “memperlengkapi”
Di setiap tahap, kita melakukannya dengan Firman dan doa untuk mencapai tujuannya. Itulah pekerjaan anggur.

Sementara itu, kalau program adalah terali, maka kita perlu mengevaluasi seluruh program yang dilakukan di gereja kita dengan dua cara:

Pertama, program apa yang menunjang untuk kita mengajak orang? Untuk kita memberitakan Injil? Untuk kita mempertumbuhkan? Untuk kita memperlengkapi? Tidak perlu banyak program untuk setiap tujuan itu. Program adalah terali penunjang yang jelas dibutuhkan tapi yang penting adalah pekerjaan anggurnya berjalan.

Kedua, seberapa efektif program itu untuk tujuan itu? Berikan skala 1-5. Kita sering berpikir program ini bagus, program itu ada gunanya, yang ini penting, kalau tidak ada yang itu nanti bagaimana, dst. Kita akan dengan cepat berargumen bahwa ini "program mengajak orang baru lho" atau ini "program doa kok.. pasti doa penting kan" atau yang lainnya. Tapi mari jujur mengevaluasi bahwa banyak program yang, walaupun bisa disebutkan gunanya, sebetulnya efetivitasnya rendah untuk tujuan itu. Kita hanya perlu mempertahankan program yang sangat efektif.

Tenaga, waktu, dan perhatian kita terbatas. Ada orang beranggapan bahwa  lebih banyak program lebih baik. Kalau kurang hamba Tuhan ya dicari lagi. Kalau kurang pelayan ya dicari lagi dari jemaat. Tapi sebagai organisasi, ini bukan masalah kurang orang tapi masalah fokus. Semakin banyak hal yang dilakukan oleh sebuah organisasi, semakin dia tidak bisa fokus mengerjakan yang terpenting yang seharusnya dilakukan. Yang celaka, jemaatpun tidak bisa digerakkan sepenuhnya menuju ke arah tertentu karena terlalu banyak arah.

Sekali lagi kita berharap pandemi Covid-19 ini berakhir sebelum 18 bulan. Kondisi kita juga tidak persis sama seperti pandemi yang dibayangkan oleh buku itu. Tapi saya yakin kita perlu menggumuli jawaban atas pertanyaan yang menggelitik ini: Setelah Covid-19 berakhir, apa yang akan kita ubah? Seperti apa gereja kita nanti? Kalau gereja kita tidak fokus mengerjakan pekerjaan anggur, lalu nanti setelah Covid-19 tetap tidak ada yang berubah dan semua berjalan kembali persis seperti dulu, pasti ada yang salah.

Mari kita gelisah. Mari coba berpikir dan mau berubah. Perubahan pastilah tidak nyaman dan banyak orang yang akan menentang. Tapi kalau kita betul mengerjakan yang terpenting yang harus dilakukan – dengan tenaga, waktu dan perhatian yang terfokus, kita berada pada jalur yang tepat.

Ketidaknyamanan perubahan mungkin akan membuat sebagian orang meninggalkan kita (mungkin jumlah jemaat akan berkurang?), tetapi yang paling penting adalah kita mengerjakan tugas sesungguhnya dari gereja dengan setia. Tuhan pasti memberkati.

Tuesday, February 18, 2020

Kerendahan Hati

Semakin lama saya semakin mengerti apa yang dikatakan oleh Bernard of Clairvaux:

"The three most important virtues are: Humility, humility, and humility."
(Tiga kebajikan/sifat kebaikan yang terpenting adalah: Kerendahan hati, kerendahan hati, dan kerendahan hati).

Tanpa kerendahan hati, di dalam pelayanan kita tidak akan mau belajar dan membuka wawasan lagi. Padahal berapapun banyaknya yang sudah kita tahu, ada jauh lebih banyak yang kita tidak tahu. Celakanya, kita yakin diri kita pasti benar.

Tanpa kerendahan hati, kita juga tidak akan bisa melayani orang lain dengan baik. Kita akan memandang orang sebagai objek yang bisa dimanfaatkan untuk sebuah tujuan, atau sebagai saingan yang perlu kita kalahkan, atau sebagai beban yang menyusahkan. Tetapi, kita tidak memandang mereka sebagai orang yang perlu dikasihi.

Tanpa kerendahan hati, kita akan selalu memandang diri sendiri lebih baik, lebih hebat, lebih tinggi, dari yang sebenarnya. Pandangan kita tentang diri sendiri selalu lebih baik daripada pandangan orang tentang kita karena kita cenderung mengecilkan kekurangan dan membesar-besarkan kelebihan kita sendiri.

Tanpa kerendahan hati, kita akan selalu memikirkan kepentingan diri sendiri. Apa yang saya dapatkan? Apakah saya diuntungkan atau dirugikan? Apakah saya dihormati? Apakah orang melihat betapa hebatnya saya? Apakah orang tahu apa yang sudah saya lakukan?

Tanpa kerendahan hati, kita tidak bisa menghargai orang lain. Bahwa orang lain punya kesulitannya sendiri. Bahwa orang lain perlu didengar. Bahwa orang lain perlu ditolong dan dilayani. Kita selalu merasa tahu yang terbaik dan kita ingin “pokoknya… dengar saya”.

Kerendahan hati tidak bisa dipisahkan dari kesadaran kita tentang relasi kita dengan Allah. Siapa kita di hadapan Allah? Seperti apa kita di mata Allah? Darimana asalnya semua yang kita bisa dan kita punya kalau bukan dari Allah? Apa yang bisa kita banggakan di hadapan Allah? Kesadaran tentang relasi kita dengan Allah inilah yang menjadi dasar kerendahan hati.

Tetapi, betapa sulitnya ini karena kita seringkali lupa siapa kita di hadapan Allah. Itu sebabnya, di dalam hidup kita, seringkali yang muncul bukanlah kerendahan hati tapi kesombongan. Kita merasa diri hebat. Kita merasa diri layak. Kita merasa diri bisa. Kita merasa diri lebih dari orang lain. Kita merasa sudah tahu semuanya, sehingga tidak perlu mendengar dan mengerti orang lain dan tidak perlu belajar lagi.

Maka, tanpa kerendahan hati, sesungguhnya kita tidak bisa menjadi hamba yang baik dari Tuhan.

Tuesday, January 07, 2020

Jangan "Hakuna Matata"

Semua yang menonton film The Lion King pasti tahu “hakuna matata”. 

“Hakuna Matata” adalah frase dari bahasa Swahili dari Tanzania yang secara literal berarti “no problem” (saya nyontek ini dari Wikipedia). Frase ini menjadi judul lagu yang dinyanyikan oleh Simba dan kawan-kawannya. Perhatikan lirik lagunya:

Hakuna matata…
It means no worries, for the rest of our days
It’s our problem-free philosophy

Hakuna matata…
Artinya tidak ada kuatir, sepanjang hidup kita
Itu adalah filosofi bebas-masalah

Saya perlu cerita sedikit alur film ini untuk menyampaikan maksud saya, apalagi untuk yang belum menonton.

Kalau ini adalah kisah nyata (dan Simba bukan anak singa tapi anak manusia) saya bisa membayangkan betapa hancurnya orang yang berada dalam situasi Simba. Waktu itu Simba baru saja lari dari pengalaman yang mengerikan. Dia mengira bahwa dialah yang bertanggung jawab atas kematian ayahnya, the Lion King. Pamannya yang jahat, yang menginginkan takhta, membuat dia lari meninggalkan segalanya. Maka Simba meninggalkan posisinya sebagai the new Lion King, mengabaikan keluarganya, rakyatnya, dan tanahnya.

Dalam keadaan seperti itulah dia bertemu dengan kawan-kawan baru yang kemudian mengajarkan filosofi “hakuna matata” kepadanya. Simba menerima filosofi itu dan hidup bersenang-senang di tempat yang baru, bersama lingkungan yang baru, tanpa terpikir untuk kembali.

Sampai akhirnya dia bertemu dengan Rafiki (monyet Mandrill) yang menuntunnya bertemu dengan roh ayahnya.  Di situlah ayahnya menegur dia: “Simba, you must remember who you are!” Siapa Simba? Dia adalah anak raja. Simba harus kembali ke tanahnya dan menjadi raja di sana untuk kesejahteraan keluarga serta rakyatnya. Sekalipun ada banyak tantangan dan kesulitan, dan lebih nyaman berada di lingkungan barunya, dia harus ingat siapa dirinya. Tempatnya bukan di situ tetapi di tanahnya dan ada panggilan hidup yang harus dia jalani. Remember who you are!

Ok, cukup cerita The Lion King. Sekarang mari kita pikirkan mana dari dua kalimat itu yang lebih cocok untuk menjadi filosofi kita?

Alkitab memang mengajarkan kita untuk tidak kuatir akan apapun. Tetapi ketidakkuatiran itu adalah karena kita percaya Tuhan memelihara hidup kita sekalipun ada banyak masalah. “Hakuna matata”, sebaliknya, mengajarkan kita untuk lari dari realita. Oleh karena kehidupan yang benar itu mengerikan, maka lupakan, jangan pikirkan, tidak perlu kuatir, bersikaplah seperti tidak ada masalah. Oleh karena kehidupan yang seharusnya dijalani itu sulit, maka tidak perlu dijalani.

Tetapi kita harus ingat siapa kita. Siapa kita? Anak Tuhan yang sudah ditebus dan terus menerus diberikan anugerah! Siapa kita? Orang yang sedang diubahkan menjadi serupa Kristus! Siapa kita? Orang yang diberikan misi oleh Tuhan!

Apa tantangan hidup kita? Banyak! Ada godaan untuk berdosa. Ada karakter, kebiasaan, kecenderungan, yang masih dipengaruhi oleh kelemahan dan keberdosaan kita. Lalu juga ada ketakutan, kemalasan, dan keinginan untuk menyenangkan diri dan bukan Tuhan. Maka “hakuna matata” sangatlah menghibur. Tapi ingatlah siapa kita! Tuhan dengan anugerah-Nya mengampuni dan terus mengubahkan kita. Jangan menyerah! Jangan kemudian hidup seperti bukan anak Tuhan! Tuhan juga terus memanggil kita untuk mengerjakan pekerjaan baik bagi kemuliaan-Nya. Jangan abaikan itu! Jangan hidup untuk kesenangan diri! Remember who you are!

Saya sadar tahun 2020 bukan tahun yang mudah untuk kita. Tapi bukankah tidak pernah ada tahun dimana Tuhan tidak sanggup untuk mengampuni, mengubahkan, dan memakai kita?

Remember who you are!