Friday, August 21, 2015

My Dissertation Writing - 4

Sudah hampir 2 tahun 2 bulan saya studi di program D.Th ini.

Penulisan disertasi berjalan sangat lambat, jauh lebih lambat dari yang saya harapkan. Sistem studi mandiri seperti ini (tanpa kelas, tanpa target resmi dari sekolah, tanpa dikejar supervisor) menuntut disiplin pribadi yang sangat kuat – dan sayangnya saya sangat tidak kuat :-(

Saya menetapkan sendiri target kapan harus selesai sampai mana; dan menurut target itu saya sudah ketinggalan sekitar 3-4 bulan. #tariknapaspanjang

Hari ini saya baru bertemu dengan supervisor saya mendiskusikan Bab 3 dari disertasi saya. Di dalam Bab 3 ini saya membahas argumentasi Paulus dalam surat Galatia dan bagaimana konsep ethics of Spirit berfungsi di dalamnya. Seperti biasa, setelah bertemu supervisor, semangat saya kembali tinggi. Dia selalu encouraging dan bisa menemukan yang baik dari tulisan saya yang kurang baik.

Cukup banyak revisi yang harus saya lakukan. Saya berharap bisa menyelesaikan revisi Bab 3 ini dan kembali menyerahkannya kepada dia sekitar 3-4 minggu lagi.

Berita baiknya adalah disertasi saya makin jelas arahnya. Saya makin melihat “titik terang di ujung lorong gelap.” Tetapi, perjalanan ke sana masih sangat panjang. Butuh tenaga ekstra dan konsentrasi supeerrr ekstra. Mungkin di waktu ke depan saya harus lebih “mengisolasi” diri dibanding sebelumnya.

Di tengah seringnya muncul rasa frustasi, saya mengingatkan diri bahwa saya studi karena Tuhan dan untuk Tuhan. So help me God.


Monday, August 10, 2015

Fotografer Dalam Ibadah

Sangat sering di dalam ibadah (apalagi yang sifatnya “khusus” seperti Natal, Paskah, HUT gereja, dll), atau di dalam session waktu Retreat, ada fotografer.

Saya tahu bahwa kadang kita ingin ada dokumentasi. Kita ingin mengabadikan suasana events yang khusus. Foto-foto itu kita pikir mungkin akan berguna di masa depan, untuk mengenang apa yang terjadi di gereja kita, seperti apa suasananya dulu, siapa saja yang datang, siapa yang pernah terlibat, dan lain sebagainya.

Tetapi jarang sekali kita berpikir kerugian adanya fotografer di dalam ibadah. Juga hampir tidak pernah kita menimbang seberapa penting foto-foto itu dibanding dengan kerugian yang ditimbulkan.

Mari kita pikirkan ulang beberapa hal:

1. Apakah keberadaan fotografer mengganggu jemaat yang beribadah?
Biasanya fotografer akan berjalan kesana kemari, baik di depan mimbar, kadang bahkan di belakang mimbar menghadap jemaat (!), kadang di baris samping. Kalaupun dia tidak berjalan-jalan, atau bahkan sekalipun dia hanya menggunakan handphone, tangannya yang terangkat jelas mengganggu jemaat di samping dan belakangnya. Bagaimanapun akan sangat mencolok bahwa dia adalah satu-satunya orang di situ yang aktivitasnya beda dengan jemaat lain. Sementara yang lain menyanyi dan mendengar khotbah, dia memegang kamera, mengarahkan kamera, dan memeriksa hasil foto di kamera. Lalu jemaat juga akan mendengar bunyi langkah dia (apalagi waktu berdoa) dan melihat lampu kilat yang menyala berkali-kali. Sulit untuk berkata dia tidak mengganggu.

2. Masih terkait dengan point di atas, sebagian orang menjadi tidak tenang ketika sadar bahwa dia bisa difoto kapan saja. Bagaimana dia bisa sepenuh hati memuji Tuhan ketika dia sadar kamera sedang diarahkan kepadanya (apalagi kalau dia tipe yang sangat sadar kamera). Ditambah lagi ketika dia sedang berdoa, dia mendengar bunyi shutter kamera sangat dekat di depannya. Lalu sambil mengintip dia melihat sang fotografer baru saja berjalan meninggalkan dia! Wah… saya difoto! Bagaimana ya tadi ekspresi saya? :-( 
 
3. Mungkin ini yang terpenting, pernahkah kita berpikir tentang si fotografer sendiri?
Hampir selalu fotografer itu adalah salah satu anggota jemaat. Di saat yang lain memuji Tuhan dengan suara dan alat musik, dia sibuk mencari "the perfect shots". Di saat yang lain mendengar Firman Tuhan, dia sibuk memeriksa hasil foto di kamera. Di saat yang lain mencari wajah Tuhan, dia sibuk mencari wajah yang pas untuk difoto. Apa yang dia dapat dari semuanya? Hanya kepuasan seorang fotografer dan bukan kepuasan seorang anak Tuhan yang berjumpa dengan Bapa sorgawi.

Bisakah kita memperhitungkan semua hal di atas dan memikirkan alternatif yang lebih baik? Kita perlu mencari keseimbangan antara kebutuhan dokumentasi dan meminimalisasi potensi kerugian yang ada.

Mari kita pikirkan dulu betulkah kita membutuhkan dokumentasi? Di zaman sekarang, orang cenderung ingin mendokumentasikan virtually anything and any moment. Tapi pikirkan dulu betulkah di acara itu kita membutuhkan dokumentasi? Pikirkan dulu apa kegunaannya. Banyak foto dokumentasi yang tidak pernah dilihat lagi sama sekali.

Kalau memang jawabannya adalah "ya, kita membutuhkan foto-foto itu", maka coba tanya lagi foto apa dan di bagian mana yang kita butuhkan? Kalau memang kita hanya butuh dokumentasi suasana ibadah, beberapa foto jemaat, lalu pelayan ibadah, maka batasi itu saja yang diambil. Tidak setiap momen dan bagian perlu difoto. Kadang di dalam Retreat, fotografer sibuk mengambil foto di setiap session padahal suasananya selalu sama saja. Dan berapa banyak foto yang kita butuhkan (bukan inginkan!)? Fotografer cenderung restless, terus ingin mengambil foto, menunggu perfect moments dan mendapatkan the perfect shots. Padahal sikap seperti itulah yang mengganggu ibadah. Prinsipnya adalah fotografer harus mengambil foto sesedikit mungkin dan bukan sebanyak mungkin!

Alangkah baiknya kalau ada perencanaan yang sangat baik sebelum ibadah:

- Foto momen apa yang sangat dibutuhkan? Ingat, bukan yang sangat diinginkan.
- Seperti apa acaranya dan dari posisi mana dia harus mengambil foto (yang tidak mengganggu jemaat).
- Uji coba dulu sebelum acara dimulai. Seringkali banyaknya foto yang diambil adalah karena keamatiran si fotografer yang salah setting pencahayaan di kamera.
- Lalu karena fotografer tidak boleh berjalan-jalan pada waktu ibadah, maka berapa fotografer yang dibutuhkan untuk duduk di sudut yang berbeda? Lalu bagi tugas siapa yang mengambil foto untuk momen apa. Bukan semua fotografer sama-sama mengambil foto untuk momen yang sama dengan dalih dari sudut yang berbeda.

Sekali lagi, ingat prinsipnya adalah fotografer harus mengambil foto sesedikit mungkin dan bukan sebanyak mungkin! Saya tahu ini berlawanan dengan keinginan kita yang selalu mau foto sebanyak-banyaknya. Tapi terakhir, mari pikikan berapa keuntungannya dibanding kerugiannya.

Apa keuntungan dari banyaknya foto yang didapat? Apa keuntungan mendapatkan banyaknya perfect moments yang terekam – ekspresi orang yang berdoa dengan khusuk, ekepresi satu keluarga yang bergandengan tangan waktu menyanyi, suasana sukacita jemaat, dst? Foto-foto itu akan jarang dilihat. Hanya akan dipajang sebentar di depan gereja. Atau mungkin akan dipilih untuk dimasukkan ke dalam buku kenang-kenangan nanti. Seberapa keuntungan gereja dengan adanya foto-foto itu? Saya tidak berkata tidak ada gunanya sama sekali, tapi untuk kegunaan itu berapa banyak sih foto yang dibutuhkan?

Sementara itu, apa kerugiannya? Sebagian jemaat akan merasa terganggu. Ada sesuatu yang hilang di dalam momen ibadah bagi mereka. Dan yang paling penting, pikirkan fotografernya! Waktu untuk si fotografer beribadah menjadi hilang. Kalau itu di Retreat, waktu dia untuk retreat – tenang, mundur, menikmati Tuhan, menjadi hilang karena konsentrasi pada foto. Nilai kerugian seperti ini tidak pernah bisa diukur. Kita tidak merasakan kerugian itu. Fotografer itu juga tidak merasa rugi karena kerugian rohani selalu tidak bisa diukur. Tapi kerugian itu jelas ada.

Saya tidak bilang kita sama sekali tidak boleh ada fotografer dalam ibadah, tapi pertimbangkan juga kerugiannya. Carilah keseimbangan antara kebutuhan dokumentasi (ingat lagi: bukan keinginan!) dan meminimalisasi potensi kerugian yang ada.

Wednesday, August 05, 2015

Terus “Tune Up” Dengan Allah

Salah satu sifat yang sangat menonjol dari iblis adalah “oportunis” – pandai mengambil keuntungan dari situasi yang ada.

“…jika engkau tidak berbuat baik, dosa sudah mengintip di depan pintu; ia sangat menggoda engkau,…” (Kej 4:7)

Pada saat kita melakukan kesalahan, “tidak berbuat baik”, dosa sudah mengintip di depan pintu dan sangat menggoda! Iblis menantikan saat kita lemah, saat kita berbuat bodoh, saat kita melakukan yang tidak terpuji. Saat itulah… tinggal tunggu waktu dosa akan menguasai kita karena dia sudah mengintip di depan pintu. Istilah “ia sangat menggoda engkau” mungkin lebih baik diterjemahkan “ia sangat bernafsu untuk memiliki engkau”.

“Sesudah Iblis mengakhiri semua pencobaan itu, ia mundur dari pada-Nya dan menunggu waktu yang baik.” (Luk 4:13)

Ayat ini muncul tepat di akhir kisah Yesus dicobai Iblis di padang gurun. Tiga kali Iblis mencobai Yesus dan tiga kali pula Yesus melawan dan akhirnya mengusir dia. Yesus menang! Horeee…! Tapi kalimat berikutnya sangat mengerikan: Iblis mundur dari pada Yesus dan menunggu waktu yang baik! Iblis kalah saat itu, tapi dia tidak menyerah. Dia akan datang lagi dan mencobai lagi “pada waktu yang baik.” Kapan itu? Oh, dia sangat tahu kapan waktu yang baik itu.

“Sadarlah dan berjaga-jagalah! Lawanmu, si Iblis, berjalan keliling sama seperti singa yang mengaum-aum dan mencari orang yang dapat ditelannya.” (1 Pet 5:8)

Petrus menggambarkan Iblis seperti singa – menunjukkan keganasannya. Singa itu mengaum-aum – tanda kebuasan dan kelaparan. Tapi yang sangat mengerikan adalah: Singa yang mengaum-aum itu berjalan keliling dan mencari orang yang dapat ditelannya! Dia tidak tinggal diam. Dia berjalan keliling dan mencari mangsa… siapa saja yang dapat ditelannya.

Waktu kita mulai marah-marah.. dia berkata “Aha!” Waktu hati kita penuh kepahitan… dia berkata lagi “Aha!” Waktu kita kesepian, waktu kita tidak puas dengan hidup kita, waktu kita entertain dosa dalam pikiran kita, dia berkata “Wow.. aha..aha..aha!!!” Apapun keadaan kita, dalam kelemahan kita sebagai manusia, dia akan masuk dan memanfaatkannya untuk menjatuhkan kita.

Kalau Iblis begitu oportunis, apa yang harus kita lakukan?

Satu-satunya yang bisa menjaga kita dari kejatuhan adalah kalau hati kita terus menerus “tune up” dengan Allah. Seperti mobil ketika terus dipakai bisa menjadi tidak pas lagi, mesin mulai kotor, baut mulai kendor, karet mulai aus, maka ia perlu di tune up lagi supaya kembali sesuai dengan standar yang seharusnya. Demikian pula hidup kita.

Ada banyak sekali hal yang membuat kita lelah dan letih. Ada banyak sekali godaan di sekitar kita. Ada banyak sekali hal yang membuat kita menginginkan yang tidak benar. Kita perlu di “tune up” lagi supaya kembali sesuai dengan standar yang seharusnya – Tuhan sendiri.

Tapi berapa sering kita perlu “tune up”? Sesering mungkin!

Tidak seperti mesin mobil yang bisa bertahan lama tanpa tune up, kita tidak bisa! Dengan sangat mudah dan cepat, keadaan hati kita menjadi berantakan dan siap untuk diterkam oleh iblis. Pagi hari kita bisa membaca Alkitab dan berdoa, bahkan berjanji untuk hidup bagi Tuhan, tapi siang harinya kita bisa lupa semuanya. Maka sesering mungkin, terus menerus, continuously, kita perlu “tune up” hati kita dengan Allah.

Mungkin itu berarti setiap kali muncul pikiran yang tidak baik, kita berhenti sejenak dan berdoa mengingat akan kekudusan Tuhan. Mungkin itu berarti setiap kali kita kuatir, takut, kita berhenti sejenak dan mengingat kebesaran Tuhan. Mungkin itu berarti dalam keadaan “baik” pun kita sering berhenti sejenak untuk menyadari kehadiran-Nya, mengingat janji-Nya dan perintah-Nya.

Orang-orang yang disebut giants dalam kerohanian berdoa. Kita juga berdoa. Tapi perbedaan mereka dengan kita adalah: Mereka berdoa continuously. Bukan berarti mereka tidak bekerja… tapi mereka terus menerus hidup bersama Tuhan. Mereka terus “tune up” dengan Allah.

Hanya dengan demikianlah, kita menutup kesempatan bagi Iblis - si raja oportunis  itu, untuk menerkam kita.