Wednesday, June 23, 2021

Selalu Butuh Yesus

"Yesus mendengarnya dan berkata kepada mereka: Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi
orang sakit; Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa." (Markus 2:17)

Suatu kali Yesus sedang duduk makan bersama dengan para pemungut cukai dan "orang-orang berdosa lainnya." Yang dimaksud dengan "orang-orang berdosa" adalah mereka yang oleh para pemimpin agama Yahudi dianggap tidak menjalankan kewajiban agama, atau berhubungan akrab dengan orang-orang non-Yahudi, atau yang pekerjaannya dianggap kotor seperti pelacur atau bahkan penyamak kulit yang selalu berurusan dengan bangkai hewan. Yesus duduk makan bersama dengan kelompok orang-orang yang seperti itu.

Kemudian beberapa pemimpin agama, yaitu ahli Taurat dari golongan Farisi, yang terkenal paling ketat, melihat hal itu dan protes: "Mengapa Yesus makan bersama-sama dengan pemungut cukai dan orang berdosa?" Mereka menyalahkan Yesus. Jikalau Dia rabi, guru agama Yahudi, jikalau Dia orang benar, bagaimana mungkin Dia mau duduk makan bersama dengan orang-orang seperti itu?

Yesus yang mendengar itu kemudian berkata: “Bukan orang yang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit; Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa.” Apa maksud kalimat itu?

Di satu sisi, kalimat ini berarti Yesus menegaskan bahwa Dia datang justru untuk orang2 yang dikelompokkan sebagai orang berdosa itu. Karena mereka inilah yang sakit, merekalah yang berdosa, maka merekalah yang memerlukan Yesus. Dan Yesus memang datang untuk mereka.

Tetapi, di sisi lain, kita tahu bahwa tidak ada orang yang benar. Karena di hadapan Tuhan sesungguhnya tidak ada orang yang tidak berdosa sehingga tidak memerlukan Yesus. Maka yang ada sebetulnya hanyalah orangorang yang merasa dirinya benar. Mereka merasa mereka mampu hidup tanpa Juruselamat. Mereka merasa sanggup untuk berjalan sendiri. Mereka merasa tidak membutuhkan Yesus. Tapi betulkah mereka tidak membutuhkan Yesus? Karena bukankah sebetulnya mereka juga orang berdosa? 

Disinilah masalahnya. Semua orang membutuhkan Yesus. Tetapi kenyataannya, tidak semua orang mau mengaku dirinya membutuhkan Yesus. 

Dan ayat ini bukan hanya bicara soal keselamatan. Tetapi juga memberikan prinsip untuk kehidupan Kristen.

Ironis sekali! Karena pada waktu kita percaya, bukankah kita sudah mengakui kelemahan kita, keberdosaan kita, maka kita datang kepada Tuhan Yesus dan berseru memohon anugerah-Nya? Kita meletakkan percaya kita pada Yesus. Alangkah bodohnya ketika kita sudah percaya dan tinggal di dalam Yesus, lalu kita mulai meletakan percaya kita pada diri kita. Kita rasa sekarang kita mampu sendiri. Kita rasa kita adalah orang benar dan baik. Kita merasa tidak membutuhkan Yesus lagi.

Sebaliknya, alangkah bodohnya juga ketika kita terus merasa diri berantakan, lemah, berdosa, tanpa mau meletakkan beban itu semuanya di kaki Yesus yang sudah tinggal di dalam kita. Kita lupa bahwa kita dulu memang sudah mengaku bahwa kita orang yang seperti itu, berantakan, lemah, berdosa, tapi bukankah kita sudah datang kepada Yesus dan meletakkan percaya kita pada Yesus? Mengapa tidak percaya lagi?

Kita membutuhkan pertolongan, anugerah, kemurahan Tuhan Yesus, bukan hanya pada waktu kita menerima keselamatan, tetapi juga setiap saat di dalam hidup Kristen kita, sampai kita bertemu dengan Dia dalam kekekalan.

Friday, June 04, 2021

Social Media: A Heart Check

Di zaman ini kita banyak sekali menggunakan social media seperti Instagram, Youtube, Facebook, dll.

Salah satu cara kita menggunakan social media adalah dengan membagikan banyak hal tentang kehidupan pribadi kita atau pendapat pribadi kita. Tetapi banyak orang tidak sadar bahwa jikalau kehidupan kita diumpamakan seperti sebuah film, maka apa yang kita post di social media sebetulnya hanya menampilkan satu potongan adegan saja di satu momen. Seperti ketika kita menonton film kemudian kita screenshot satu momen lalu kita tampilkan itu. Jelas apa yang akan terlihat hanyalah sebuah potongan momen kecil dari film itu dan tidak mewakili keseluruhan film itu! 

Masalahnya, orang yang melihatnya seringkali menganggap satu potongan momen itu mewakili seluruh film! Padahal jelas tidak.

Misalnya saja ketika kita pergi dengan keluarga, sebetulnya sambil pergi kita mengalami banyak masalah, orang tua yang membuat repot, pertengkaran dengan suami/istri, anak-anak yang bandel. Pokoknya suasana sangat bikin BT. Lalu kita sampai di depan air mancur. Dengan terpaksa untuk mencairkan suasana lalu kita bilang “ayo foto”. Waktu foto, semua langsung pasang muka senyum untuk foto… cheeerrsss… Ketika kita tampilkan itu di  social media, komentar yang bermunculan adalah: “wah seneng ya jalan-jalan!”, “lucu ya anaknya”, “keluarga bahagia nih”, dst. Padahal apa yang terjadi sangat jauh berbeda. Tapi itulah social media!

Social media hanya menampilkan potongan-potongan, momen-momen, dari hidup kita. Tetapi orang yang melihatnya mengira itu melukiskan keseluruhan, atau paling tidak sebagian besar, dari hidup kita.

Maka betapa pentingnya kita bijak dalam menggunakan social media. Saya kira prinsip yang disampaikan rasul Paulus di dalam 1 Korintus 10 bisa membantu kita.

Pertama, apakah ini diperbolehkan? Di dalam 1 Korintus 10, rasul Paulus sedang bicara soal makanan dan dia berkata semua diperbolehkan. Tetapi dalam hal kita posting sesuatu, kita perlu bertanya apakah diperbolehkan. Standar kita bukan hanya masalah hukum negara tetapi juga hukum Tuhan, standar moral Tuhan.

Kedua, apakah berguna? Ketiga, apakah membangun? Karena tidak segala sesuatu berguna dan membangun, dan untuk apa kita menghabiskan waktu kita dan juga waktu dari orang yang melihat apa yang kita post itu, untuk sesuatu yang tidak berguna dan membangun.

Maka saya mengusulkan sebelum kita posting sesuatu kita perlu bertanya dulu kepada diri kita:

Dalam hal apa postingan saya berguna dan membangun orang lain? Apakah postingan ini menolong orang misalnya untuk mengevaluasi diri, memikirkan hidup dengan lebih bijak, memberikan informasi yang dibutuhkan, atau mendorong mereka hidup lebih baik di dalam dunia ciptaan Tuhan ini? Apakah postingan itu bisa menolong orang yang sedang lemah, atau memberikan inspirasi untuk berbuat kebaikan, atau mendorong mereka untuk bertumbuh?

Pertanyaannya adalah bagaimana ini bisa berguna? Bagaimana ini bisa membangun?

Sebaliknya kita perlu bertanya juga apakah postingan saya berpotensi membuat orang lain menjadi semakin berantakan. Misalnya, kita post humor kotor, atau keluhan dan kemarahan kita yang mengajak orang lain ikut marah bersama kita, atau mungkin kegiatan kita yang terkesan “nakal”. Untuk apa kita post itu? 

Karena media sosial hanya menampilkan potongan-potongan momen-momen yang tidak mewakili keseluruhan, kita juga perlu berpikir dengan menampilkan potongan momen itu, dampak apa yang dihasilkan? Misalnya kita post foto selfie kita, atau ketika memakai pakaian sexy, atau foto jalan2 kita, pikirkan dampak apa yang dihasilkan. Apakah ada gunanya dan membangun? Kalau tidak, apalagi kalau itu memberi pengaruh negatif, lalu untuk apa kita post itu?

Pertanyaan yang penting bagi kita sebagai orang Kristen dalam menggunakan social media adalah "what message that I share through this?" Pesan apa yang kita bagikan melalui ini. Karena hidup kita harus membawa message dari Tuhan. Dan itu bukan berarti hanya share firman Tuhan, tapi pesan yang baik dan membangun untuk kehidupan di dalam dunia ciptaan Allah ini.

Maka pertanyaan yang juga penting adalah apa motivasi kita ketika posting sesuatu? Apakah untuk kemuliaan saya, supaya orang memuji saya, atau untuk kemuliaan Tuhan?

Salah satu yang juga ingin saya singgung adalah cara kita menuliskan caption atau comment. Saya merasa banyak orang Kristen ketika berkomentar menunjukkan apa yang disebut oleh seorang teolog sebagai the age of outrage, sebuah zaman kemarahan. Banyak orang yang menuliskan caption dan comment dengan nada marah, kasar, atau mungkin berupa sindiran dengan tujuan agar yang disindir marah, atau sinisme maupun sarkasme, yang jelas tidak berguna dan tidak membangun. Maka kita perlu betul-betul bertanya apa motivasi kita ketika menuliskan sesuatu? Sekali lagi, apakah membangun dan berguna?

Saya juga ingin mengingatkan dari sisi kita yang melihat berbagai postingan di social media. Kita perlu bijak dalam memilah nilai-nilai yang kita terima melalui social media, apa yang benar dan salah, nilai apa yang perlu kita pelajari atau yang perlu kita abaikan. Kita juga perlu mengevaluasi perasaan yang muncul dalam hati kita ketika melihat berbagai postingan itu. Misalnya apakah kita iri? Sangat mudah untuk kita kemudian membanding-bandingkan hidup kita dengan orang lain. Bukan saja itu salah, karena sekali lagi media sosial hanya menampilkan potongan momen dan bukan keseluruhan hidup orang itu, tetapi saya yakin itu juga tidak berkenan kepada Tuhan.

Tuhan mau kita bersyukur untuk apapun, termasuk kekuatan, penyertaan dan berkat Tuhan yang dialami di dalam keadaan apapun di hidup kita. Tuhan mau kita mengerjakan hidup kita menjadi lebih baik bersama Tuhan. Sekedar tidak puas karena membandingkan hidup kita dengan orang lain tidak akan membawa kita kemana2.

Terakhir, jebakan besar di media sosial, termasuk mereka yang menggunakannya untuk pelayanan, adalah membandingkan jumlah likes, viewers, followers, subscribers, dst. Bukan saja itu tidak ada gunanya, tetapi itu juga menghasilkan motivasi yang tidak baik, dan mungkin mendorong kita melakukan hal yang tidak baik. Hidup kita bukanlah untuk mencari popularitas dan kemuliaan diri tetapi kemuliaan Tuhan. 

Seharusnya kita hanyalah membagikan apa yang berguna dan membangun dan biarlah kepuasan kita didapatkan dari Tuhan yang bersuka melihat apa yang kita lakukan.