Sepuluh tahun yang lalu, Collin Hansen, seorang jurnalis, menulis sebuah
artikel di majalah Christianity Today dengan judul “Young, Restless, Reformed”.
Di akhir abad ke-20 muncul sebuah gerakan yang dikenal dengan nama “Emerging
Church.” Gerakan itu adalah reaksi, di satu sisi terhadap tradisionalisme
gereja yang sangat kaku, dan di sisi lain terhadap gerakan “Church Growth”
yang menjadikan gereja seperti perusahaan yang produknya adalah pertambahan
anggota dan caranya adalah marketing dan entertainment.
Gerakan “Emerging
Church” ini sangat beragam dan sulit didefinisikan. Tetapi, pada dasarnya,
mereka mencoba membangun bentuk gereja yang baru, ibadah yang tidak dibatasi
oleh norma lama, meniadakan pembedaan clergy-laity (hamba Tuhan-awam),
menekankan pengalaman sekaligus tradisi, cenderung meniadakan perbedaan teologi,
dan berbagai karakteristik lainnya.
Tetapi, di saat yang bersamaan, muncul sebuah gerakan lain. Mereka juga
bereaksi terhadap kondisi gereja yang sama tetapi tetapi ke arah yang berbeda.
Gerakan ini tidak sebombastis “Emerging Church” yang banyak dibahas di dalam
buku maupun penelitian. Gerakan ini luput dari perhatian tetapi, secara perlahan
namun pasti, gerakan ini bahkan diduga lebih besar dari “Emerging Church”.
Fenomena inilah yang diamati oleh Hansen. Dia menemukan munculnya sebuah
ketertarikan di antara orang Kristen di Amerika, khususnya anak muda, kepada
teologi Reformed.
Hansen memutuskan untuk menyelidikinya dan hasilnya menegaskan bahwa ada
kebangunan teologi Reformed khususnya di anak muda Kristen di Amerika. Anak-anak
muda itu gelisah (restless) dan mereka mencari sesuatu yang tidak mereka temukan di gereja. Beberapa tokoh Kristen (khususnya John Piper) membuat mereka menemukan
kembali doktrin yang agung dari iman Kristen. Mereka lelah dengan gereja yang
hanya menghibur dan tidak mengajar. Mereka lelah dengan gereja yang memberikan
khotbah dan pengajaran yang dangkal. Mereka mengejar pemahaman Alkitab dan
teologi yang dalam dan mereka menemukan itu pada teologi Reformed, dengan
penekanannya akan kedaulatan, anugrah dan kemuliaan Allah. Maka Collin
Hansen menyebut gerakan ini sebagai “Young, Restless, Reformed Movement” (YRMM).
Pengamatan Collin Hansen sama sekali tidak salah. Tahun 2009, majalah Time
menyebut gerakan itu sebagai New Calvinism dan menobatkannya sebagai salah satu
dari “10 Pemikiran yang Merubah Dunia Saat Ini”.
Saya sempat membaca beberapa cerita tentang dampak gerakan ini: Persekutuan
anak muda yang membahas buku Systematic Theology dari Wayne Grudem; mahasiswa-mahasiswa yang sering
mengutip kalimat John Piper; Passion Conference yang diadakan oleh Louie Giglio (seringkali John Piper menjadi pembicaranya) menarik
50.000-60.000 mahasiswa setiap tahunnya
(kalau belum tahu siapa Louie Giglio, pasti tahu salah satu worship leader di
gerejanya: Chris Tomlin); berbagai konferensi serupa (yang
isinya selalu sangat biblikal dan dalam) dibanjiri oleh anak-anak muda.
John Piper menyebutkan beberapa ciri dari New Calvinism ini yang membuatnya
berbeda dengan older Calvinism. Beberapa di antaranya: gerakan ini menerima
bentuk ibadah dan musik yang kontemporer, ada banyak gereja Baptis dan Kharismatik yang menjadi Reformed dalam teologinya, Jonathan Edwards menjadi
tokoh yang sangat penting, dan penekanan yang kuat bahwa gereja harus
multi-etnis dan adanya kerinduan akan keharmonisan rasial.
Mereka bukanlah orang-orang yang besar di kepala, penuh pengetahuan, tetapi
kosong hidupnya. Sebaliknya, mereka adalah orang-orang yang bersemangat hidup
buat Tuhan. Tidak heran, tokoh-tokoh Puritan (gerakan Reformed di Inggris abad
ke-16 dan 17) khususnya Jonathan Edwards, menjadi idola baru mereka. Pada
tokoh-tokoh itu ada penekanan kuat dalam hidup kerohanian, mengasihi
Kristus, kehidupan yang baik dalam keluarga dan pekerjaan, dan juga bersaksi serta menginjili.
Gerakan ini masih berlangsung saat ini, dan masih kuat, walaupun tidak
seheboh waktu awal kemunculannya dengan besarnya gelombang anak muda yang
mendadak tertarik kepada teologi Reformed.
Ketika membaca cerita di atas, hati saya menjadi gelisah. Saya menginginkan
hal yang sama terjadi di Indonesia!
Sejauh yang saya amati, pikirkan, dan
rasakan, anak muda di Indonesia seperti gandum yang siap dituai untuk menjadi
"Young, Restless, Reformed". Tetapi sampai sekarang saya belum melihat adanya
penuaian yang besar terjadi.
Gereja dan juga sekolah teologi di dalam tradisi Reformed, ketika bicara soal anak muda, sering
terjebak hanya kepada program yang menarik, musik yang wah, kreatifitas yang
berani, dan sebagainya. Tetapi belum mengarah pada pengajaran yang mendalam,
doktrin yang mencerahkan, pengertian yang menantang intelektualitas, dan
kecintaan mendalam pada Firman Tuhan. Di sisi lain, ada yang sudah menekankan
pengajaran yang mendalam, tetapi gagal membentuk karakter dan menghasilkan orang
yang sombong. Padahal kesombongan banyak orang Reformed (older Calvinism) itulah
batu sandungan besar untuk banyak orang.
Hari ini adalah peringatan hari reformasi yang ke-499. Saya ingin bermimpi
dan berdoa.
Saya bermimpi dan berdoa supaya di Indonesia muncul gerakan di antara jemaat
kecintaan kepada Firman Tuhan, kesukaan belajar doktrin-doktrin yang agung dalam
kekristenan, kehidupan rohani yang mendalam, dan kesaksian yang kuat akan berita
anugrah Injil.
Saya bermimpi dan berdoa supaya gereja-gereja, sekolah-sekolah teologi, para pengkhotbah, yang berlatar belakang tradisi Reformed, ambil bagian dalam gerakan ini.
Saya bermimpi dan berdoa supaya Tuhan juga memakai saya, dalam segala
kelemahan yang ada, ikut mengerjakan penuaian ini.
Sola Scriptura – hanya oleh (dasar) Alkitab
Sola Gratia – hanya oleh anugrah
Sola Fide – hanya oleh iman
Solus Christus – hanya oleh Kristus
Soli Deo Gloria – kemuliaan hanya bagi Tuhan