Friday, February 13, 2015

Membaca: Martin Luther dan John Sung

Saya sering mencoba memanfaatkan waktu untuk membaca buku. Bulan lalu waktu pulang ke Indonesia selama empat hari, saya sempat membaca dua buku biografi. Sekedar sharing apa yang berkesan bagi saya.

Pertama adalah Martin Luther: Lessons From His Life and Labor yang ditulis oleh John Piper.
Buku ini bisa di-download di http://www.desiringgod.org/books/martin-luther

Luther adalah seorang pengkhotbah. Setiap minggu dia berkhotbah beberapa kali, bahkan sering dua atau tiga kali dalam sehari. Itu di luar jadwal dia mengajar, belajar, menulis dan konseling. Di dalam salah satu doanya dia berkata, “Tuhan Allah, aku ingin berkhotbah sehingga engkau dimuliakan. Aku ingin berbicara tentang-Mu, memuji-Mu, memuji nama-Mu. Sekalipun aku mungkin tidak bisa berkhotbah dengan baik, maukah Engkau menjadikannya baik?”

Luther juga adalah seorang family man, dia tahu beratnya masalah keluarga. Dia menikah dan memiliki enam orang anak. Salah satu anaknya meninggal waktu masih kecil. Tetapi di dalam masa dukacita yang besar itu pun, dia tetap berkhotbah. Pada hari minggu sore, seringkali setelah selesai berkhotbah dua kali hari itu (dengan khotbah yang berbeda), ia memimpin lagi ibadah keluarga sepanjang satu jam yang juga dihadiri para tamu.

Luther juga seorang churchman. Dia terlibat dalam hampir semua kontroversi dan pertemuan gereja di masanya. Selain itu dia menulis banyak sekali tulisan untuk gereja, hampir satu tulisan setiap dua hari! Selama bertahun-tahun!

Semua kesibukannya itu tidak menghalangi dia untuk tetap belajar Akitab. Dia sangat memandang tinggi pentingnya belajar dan mengajarkan seluruh Alkitab (bukan hanya sebagian) kepada gereja. Luther berkata sangat bahaya jika para hamba Tuhan berpikir tidak perlu lagi belajar, mereka harus terus belajar “sampai yakin bahwa mereka sudah mengajar sampai mematikan setan dan sudah lebih terpelajar daripada Allah sendiri dan semua orang-orang kudus” – yang artinya tidak akan pernah.

Terakhir, Luther sangat menekankan doa dan bergantung pada anugrah Allah. Pada tanggal 18 Februari 1546, Luther meninggal dan kalimat terakhirnya yang dicatat adalah: “Kita adalah pengemis-pengemis. Ini benar.”

Buku kedua yang saya baca adalah John Sung: My Testimony yang diterjemahkan oleh Ernest Tipson. John Sung boleh dikatakan adalah pengkhotbah yang paling berpengaruh di Asia Tenggara pada abad ke-20. Buku ini sudah lama terlupakan dan diedit kembali oleh Michael Poon dan diterbitkan oleh The Centre for the Study of Christianity in Asia – Trinity Theological College. Saya tidak tahu dimana buku ini bisa dibeli selain di toko buku online TTC. http://books.ttc.edu.sg/products-page-2/csca-publications/csca-historical-reprints-series/john-sung-my-testimony/

Berbeda dari buku biografi John Sung yang lain, buku ini ditulis oleh John Sung sendiri (autobiografi). Menarik karena saya jadi membaca tentang kehidupan John Sung dari sudut pandang dia sendiri – bagaimana masa kecilnya, bagaimana perjuangannya untuk sampai dan kuliah di USA dan menerima gelar doktor dalam bidang Kimia, bagaimana kesulitan demi kesulitan (yang super amat besar!) dia tanggung selama di sana, dan bagaimana akhirnya dia meninggalkan USA untuk kembali menjadi hamba Tuhan di China.

Dua kisah yang sangat menarik:

Pertama adalah bagaimana dia menerima pengalaman rohani yang dia sebut sebagai momen kelahiran baru baginya. Mengenai peristiwa itu, John Sung berkata:

Jiwaku seperti sedang mengikuti Yesus yang tersalib, aku seperti orang berdosa yang juga tersalib, menundukkan kepalaku dan membungkuk, mengikuti dengan perlahan di belakang Tuhan. Di satu sisi mengikuti Tuhan berjalan menuju Golgota, dan di sisi lain tahu bahwa beban yang aku pikul tidak sanggup aku tanggung, ia menghimpitku sampai mati. Yesus sudah tergantung tinggi di kayu salib, kepala-Nya di sisi yang satu, kedua tangan-Nya meneteskan darah, kesusahan-Nya menyebabkanku sangat sedih. Setelah itu aku berlutut di kaki salib dan rebah ke tanah. Aku terus menangis sampai tengah malam. Haleluya! Semua dosaku terlepas. Karena itu tubuhku menjadi segar dan ringan seperti burung yang sedang terbang. AKu menari dan beryanyi memuji Tuhan. Lalu aku mendengar bisikan, berkata: “Anakku, dosamu sudah diampuni.”

Pengalaman itu (walaupun saya tidak setuju itu disebut momen kelahiran barunya) merubah hidupnya menjadi penginjil yang sangat diurapi oleh Tuhan. Dari kecil John Sung sudah mengikut papanya yang adalah seorang pendeta di China. Dari remaja dia juga sering berkhotbah. Dia adalah orang yang sangat pandai – jenius bahkan – sehingga namanya terkenal di USA karena prestasinya di Universitas, padahal dia kuliah sambil bekerja sangat banyak dan sakit-sakitan karena kemiskinannya. Tetapi dia sempat kehilangan imannya dan dia mulai mempelajari berbagai kepercayaan lain. Momen itu mengubah dia menjadi sangat bersemangat hidup bagi Tuhan. Saking semangatnya, pimpinan sekolah teologi tempat dia belajar menuduh dia sudah gila.

Maka kisah kedua yang menarik adalah ketika dia harus dikurung di rumah sakit jiwa karena tuduhan menjadi gila. Di sana, sambil menunggu dibebaskan, dia membaca Alkitab sebanyak 40X bolak-balik. Awalnya dia hanya akan berada di situ 40 hari untuk di-observasi, tetapi akhirnya dia tidak dibebaskan. John Sung hampir putus asa karena tidak ada harapan untuk dibebaskan dari rumah sakit jiwa. Akhirnya melalui berbagai cara, Tuhan menolong dia keluar dari rumah sakit jiwa setelah 193 hari. Bagi John Sung, rumah sakit jiwa itu adalah tempat Tuhan mengajar dia Alkitab dan tempat Tuhan mendidik dia, mengubah temperamennya yang buruk, membuat dia berserah kepada Tuhan.

John Sung berkata: “Sampai hari ini aku menyebut rumah sakit jiwa itu sebagai sekolah teologiku. Di sana aku menerima pengajaran dari Roh Kudus dan mengerti kebenaran-kebenaran yang ajaib dan dalam”

Membaca tentang dua orang besar ini: Martin Luther dan John Sung, rasanya dosis yang cukup bagi saya dalam empat hari (agak kelebihan malah). Itu sebabnya saya menulis ini, sambil mengingat lagi apa yang saya baca. Dua orang ini diberikan karunia berlimpah oleh Tuhan dan mereka menyerahkan semuanya untuk dipakai oleh Tuhan. Dua orang ini mengalami penderitaan begitu banyak tetapi tak pernah mundur melayani Tuhan. Dua orang ini terus dikenang sampai sekarang, bukan karena hartanya, tetapi karena penyerahan dirinya kepada Tuhan.