Monday, April 26, 2010

Permata di Balik Air Mata

Kemarin setelah kebaktian, seorang jemaat memberikan saya buku ini: Permata di Balik Air Mata.

Isinya tentang pergumulan sepasang suami istri hamba Tuhan: Hendra dan Esther J. Rey untuk pergi dan kemudian melayani di China.

Saya baru saja selesai membaca buku itu. Isinya sangat sederhana, kisah-kisah biasa tentang pergumulan, doa, pimpinan Tuhan, kejutan-kejutan mukjizat Tuhan, dan kesulitan hidup dan pelayanan di China.

Buku ini membuat saya bernostalgia. I was there. Beberapa kesan dan pengalaman yang mereka ceritakan serupa dengan yang saya alami. Dengan segala hal yang sering membuat saya kesal di sana, tapi tetap perasaan saya adalah: I miss China.

Buku ini juga membuat saya 'terbakar'. Walaupun pelayanan saya dulu di China tidak persis seperti pelayanan Pak Hendra dan Ibu Esther, tetapi beberapa hal serupa dengan yang saya lakukan. Saya ingat kondisi gereja di sana, tempat-tempat pelatihan, murid-murid yang pernah saya ajar, ketegangan karena harus selalu siap lari, kesepian yang sulit diceritakan, macam-macam. Mungkin sekarang saya mulai terlalu 'nyaman'.

Saya tidak pernah melupakan mereka yang di China, tapi jujur saya sudah lama tidak berdoa bagi mereka. Saya akan berdoa lagi... kiranya Tuhan memberkati pekerjaanNya di China, melindungi dan terus menguatkan anak-anakNya.

Saturday, April 24, 2010

2 Raja-raja 6:24-7:16 Doa Dalam Kesukaran

(Ringkasan khotbah di Persekutuan Doa GKY Singapore 23 April 2010)

Bangsa Aram berperang dengan Israel dan mereka mengepung langsung ibukota Israel. Di zaman itu,
pengepungan berarti kelaparan di dalam kota. Dan penulis kitab Raja-raja ini memberi kita gambaran seperti apa dahsyatnya kelaparan itu: Sampai ada 2 orang ibu yang berjanji untuk bergantian menyembelih anaknya sendiri supaya bisa makan! (6:26-29)

Waktu raja Israel mendengar sampai ada rakyatnya yang makan anaknya sendiri, dia tidak tahan lagi. Dia pakai kain kabung, tanda berduka dan tertekan, dan dalam kemarahannya, yang terlintas dalam pikirannya adalah: bunuh Elisa! (6:31). Dia berkata “Sesungguhnya malapetaka ini adalah daripada TUHAN. Mengapakah aku berharap kepada TUHAN lagi?” Dia marah kepada Tuhan, dan dia ingin melampiaskan kemarahannya dengan membunuh nabi Tuhan. Balas dendam kepada Tuhan!

Tetapi luar biasa, terlepas dari kejahatan Israel, Tuhan masih mau menyampaikan firmanNya melalui Elisa, dan isinya adalah berita anugrah! Janji Tuhan adalah: "Besok kira-kira waktu ini...", dalam 24 jam seluruh ekonomi Israel akan total berubah (7:1). Harga-harga yang begitu mahal karena sangat langka akan menjadi begitu murah karena berkelimpahan.

Perwira yang menjadi ajudan raja langsung bereaksi, “Tidak mungkin! Sekalipun Tuhan membuat tingkap-tingkap di langit, masakan hal itu mungkin terjadi?” (7:2). Dengan kata lain dia berkata “Biarpun Tuhan lakukan mukjizat, tingkap langit sampai terbuka pun, tidak akan hal itu terjadi.

Dia tidak menyangka bahwa Tuhan akan melakukannya dalam cara yang sama sekali tidak pernah dia bayangkan: Tuhan akan bawa makanan itu masuk berlimpah-limpah bukan lewat mana-mana, bukan lewat langit, tapi dari pintu gerbang. Tuhan akan berikan makanan berlimpah-limpah bukan dari suplai ladang atau sawah atau pedagang-pedagang, bukan dari semua yang mereka pikirkan, tetapi dari milik pasukan Aram. Dan yang sangat drastis adalah itu akan terjadi dalam 1 malam!

Ada beberapa hal saya ajak kita renungkan:

1. Mengapa perwira ajudan raja itu bisa berkata: "Sekalipun Tuhan membuat tingkap-tingkap di langit, masakan hal itu mungkin itu terjadi"? Padahal dia orang Israel, dia tahu bahwa Allah maha kuasa. Dia tahu kisah bagaimana Allah menghukum Mesir dengan 10 tulah, dia tahu cerita bagaimana tiap hari Allah turunkan manna bagi orang Israel selama puluhan tahun di padang gurun, dia tahu semua cerita-cerita perbuatan dahsyat Allah di masa lalu. Tetapi dia akan berkata, "Itu dulu. Sekarang, tidak mungkin!"

Mungkin ini juga menjadi masalah kita. Kita baca di Alkitab tentang kuasa Allah. Kita baca betapa Allah bisa melakukan perkara besar. Tetapi paling mentok kita hanya berkata, "Itu dulu. Sekarang, tidak mungkin!"

Kita juga bisa percaya ketika mendengar cerita tentang kuasa Tuhan bekerja kepada orang lain di tempat lain. Ketika kita dengar orang lain mengalami mukjizat ini dan itu, kita percaya itu dari Tuhan. Kita dengar cerita kebangunan rohani di negara ini dan itu, kita amini itu dari Tuhan.

Tapi ketika kita alami kesukaran, jalan buntu. berdoa dan tidak ada perubahan, kita sulit percaya bahwa Tuhan yang sama yang mengerjakan semua itu bisa melakukan sesuatu kepada saya sekarang dan di sini.

2. Dalam pikiran perwira itu, karena kota itu dikepung kiri kanan dan tak mungkin ada bahan makanan masuk maka kalau Tuhan mau tolong, satu-satunya cara adalah Tuhan musti jatuhkan dari langit. Tidak ada cara lain! Dan bagi dia, itu pun tidak akan cukup.

Sama, kita bisa berpikir dalam keadaan kita, kalau Tuhan mau tolong, musti begini atau begitu cara tolongnya, musti terjadi ini atau itu, ada perubahan ini dan itu, dst. Dan kita mengajari Tuhan.
Tapi kenapa Tuhan harus ikuti pikiran kita? Tuhan bisa lakukan dengan cara apa saja. Seperti dalam cerita ini, tanpa buka tingkap langit Tuhan bisa berikan makanan.

3. 7:5-7 menceritakan ketika orang-orang kusta itu sampai di perkemahan orang Aram, tidak ada 1 orang pun disana sebab "Tuhan telah membuat tentara Aram itu mendengar bunyi kereta, bunyi kuda, bunyi tentara yang besar”. Begitu mengerikannya bunyi itu dan mereka mengira Israel memanggil raja-raja daerah lain, pasukan yang sangat besar untuk menolong mereka. Dengan ketakutan, mereka langsung lari. Gampang sekali!

Kita bisa tanya, “Tuhan kenapa nggak dari dulu, kenapa tunggu begitu lama? Kenapa tunggu sampai begitu kelaparannya sampai ada ibu yang makan anaknya?

Kita tidak tahu kenapa, tetapi ibu makan anak itu bukan karena Tuhan tapi karena dosa. Dan Tuhan biarkan dosa terjadi, ada yang saling membunuh, ada yang mungkin mencuri, menjarah, merampok, ada yang memaki Tuhan, ada yang tidak percaya Tuhan. Tuhan biarkan semuanya. Sampai waktunya tiba, Tuhan menyatakan kuasaNya.

Setelah Tuhan menolong, bagaimana reaksi orang Israel? Saya kira sama dengan reaksi semua orang di manapun juga:

Orang yang tidak percaya kepada Tuhan, tetap tidak akan peduli kepada Tuhan.

Orang yang percaya Tuhan tapi selama kesukaran dan penantian marah, kecewa, ngomel sama Tuhan, atau bahkan 'mengancam' tinggalkan Tuhan, akan tertunduk malu.

Tetapi orang yang terus berharap, percaya dan berdoa, merekalah yang bersukacita luar biasa!

Kita yang mana?

Tuesday, April 20, 2010

Petrus 'Takut' Kepada Kalangan Yakobus?

Tetapi waktu Kefas datang ke Antiokhia, aku berterang-terang menentangnya, sebab ia salah. Karena sebelum beberapa orang dari kalangan Yakobus datang, ia makan sehidangan dengan saudara-saudara yang tidak bersunat, tetapi setelah mereka datang, ia mengundurkan diri dan menjauhi mereka karena takut akan saudara-saudara yang bersunat. Dan orang-orang Yahudi yang lainpun turut berlaku munafik dengan dia, sehingga Barnabas sendiri turut terseret oleh kemunafikan mereka. (Galatia 2:11-13)

Kita tidak tahu berapa lama Petrus tinggal di Antiokhia, tetapi di dalam beberapa kesempatan dia, dan tentu dengan Paulus dan Barnabas, makan bersama dengan jemaat disana baik Yahudi maupun non Yahudi. Makan bersama (table-fellowship) adalah tanda persekutuan dan bagi jemaat mula-mula itu mungkin berarti makan bersama dalam perjamuan kudus dan perjamuan kasih. Kemauan Petrus untuk ikut makan bersama dengan mereka seperti memberikan pengesahan dari pimpinan gereja di Yerusalem bahwa orang non Yahudi diterima dalam gereja. Mereka adalah sama satu tubuh Kristus. Sangat indah!

Sangat disayangkan, keindahan itu terganggu ketika "beberapa orang dari kalangan Yakobus" datang. Siapa mereka? Kita hanya bisa menebak, mungkin mereka adalah utusan Yakobus, untuk menyampaikan sesuatu kepada jemaat di Antiokhia atau kepada Petrus. Atau mungkin mereka adalah murid-murid Yakobus. G. Walter Hansen (IVPNTC: Galatians) mengatakan pertanyaan yang lebih penting adalah apa yang mereka katakan kepada Petrus? Apa yang mereka sampaikan kepada Petrus sehingga dia tidak lagi mau makan bersama jemaat non Yahudi "karena takut akan saudara-saudara yang bersunat"?

Siapa "saudara-saudara yang bersunat" itu? Hansen mengatakan mereka bukan "kalangan Yakobus". Petrus adalah salah seorang pilar jemaat di Yerusalem, mengapa dia harus takut kepada utusan atau murid Yakobus? Di dalam surat Galatia, "saudara-saudara yang bersunat" itu adalah orang Yahudi, bisa orang Yahudi Kristen atau non Kristen.

Banyak penafsir setuju bahwa untuk mengerti ini kita harus melihat konteks sejarah. Ronald Y.K. Fung (NICNT: The Epistle to the Galatians) memberikan 2 alasan:

Pertama, Petrus adalah pimpinan pekerjaan misi gereja Yerusalem kepada orang Yahudi, dan kalau berita ia makan bersama dengan orang non Yahudi dipakai sebagai berita bahwa ia murtad dari agama Yahudi, maka ia menjadi batu sandungan bagi orang-orang yang dia Injili.

Kedua, orang Kristen Yahudi di daerah Yerusalem dan Yudea sudah cukup terancam oleh saudara-saudara Yahudi mereka dan kalau berita bahwa orang Yahudi yang menjadi Kristen sekarang sudah tidak ada bedanya lagi dengan orang non Yahudi, maka keselamatan mereka akan makin terancam. Maka berita dari "kalangan Yakobus" itu mungkin adalah permohonan kepada Petrus untuk berhati-hati demi saudara-saudara yang lain.

Dengan latar belakang ini, kita sangat bisa mengerti alasan Petrus. Saudara-saudaranya sesama orang Yahudi Kristen akan marah kepadanya, "gara-gara kamu kami dianiaya! bukankah kamu bisa lebih bijaksana?" Dan orang Yahudi non Kristen yang dia Injili akan berkata "benar kata para pemimpin kami, Yesus bukan penggenap Taurat seperti yang kamu katakan, tapi pemurtad Taurat! buat apa kami jadi Kristen dan murtad kepada Allah?" Hansen mengatakan, apa salahnya kalau Petrus menjaga preference and sensitivity gerejanya? Kalau Paulus boleh menjadi seperti orang non Yahudi kepada orang non Yahudi, maka mengapa ia tidak boleh menjadi seperti orang Yahudi kepada orang Yahudi?

Kita sangat bisa mengerti apa yang dilakukan Petrus. Tetapi bagi Paulus, apapun alasannya, yang dilakukan oleh Petrus dan Barnabas adalah munafik. Mereka percaya bahwa di dalam Kristus tidak ada perbedaan, tetapi kelakuan mereka berbeda dengan apa yang mereka percaya. Dan dalam hal ini, bagi Paulus, Injil adalah taruhannya.

Scot McKnight (NIVAC: Galatians) menyimpulkan keadaan ini sebagai Peer Pressure. Kita biasa beranggapan peer pressure terbatas dialami oleh remaja, padahal itu dialami oleh setiap kita. Dalam kasus Petrus, ini bukan peer pressure biasa (sekedar mengikuti kelakuan atau gaya hidup tertentu) tetapi ada alasan lebih kuat di baliknya: kekhawatiran akan pemberitaan Injil atau keselamatan saudara-saudara seiman. Tetapi Petrus tetap salah. Merenungi kisah ini membuat saya bertanya, seberapa jauh saya juga dikendalikan oleh peer pressure? Saya tidak bebas dari itu. Sebagai penutup, saya mengutip kalimat dari McKnight:

"It doesn't seem to matter what decisions we make; someone will criticize our choices. If we are handcuffed by a fear of people's criticisms, we will never accomplish anything. Such fear is nothing more than peer pressure. Peter made a bad decision when he felt that pressure; we will too. But God calls us to a fearless obedience of his will as we live in the Spirit. What we need is courage, courage to live according to our faith and its implications rather than according to our emotions, fleeting passions, and fear of others".

Oh Lord, help us to live a free lives, free from all kinds of bondage that You have set us free!

Tuesday, April 06, 2010

Sombong Dan Disombongin

Kita tahu apa itu sombong dan melalui banyak hal kita selalu diingatkan untuk tidak sombong. Ternyata ada perwujudan lain dari kesombongan yang jarang kita perhatikan, dan itu muncul ketika kita - saya sebut itu sebagai - "disombongin". 

Belajar untuk tidak sombong adalah satu hal. Tapi belajar untuk menerima disombongin adalah hal lain lagi. Esensinya sama tapi nuansanya berbeda.

Belajar untuk tidak sombong sudah sangat sulit. Kita harus selalu mengingat kelemahan kita, mengingat bahwa apa yang kita miliki semuanya dari Tuhan dan bukan dari kita, mengingat bahwa di atas kita selalu masih ada orang lain. Kita tidak boleh membanggakan diri dan menunjukkan kehebatan atau superioritas kita dengan tujuan dipuji. Itulah belajar untuk tidak sombong.

Tapi ketika kita merasa sudah lumayan, cukup tidak sombong, tiba-tiba datanglah seseorang yang sangat sombong. Dia merendahkan kita, terang-terangan menganggap kita lebih rendah dari dia dan membanggakan dirinya di depan kita, padahal menurut penilaian kita, dia masih lebih buruk dari kita. Gayanya dan bualannya bahkan membuat sebagian orang percaya. Saat itu apa yang terjadi? Pertama, sebal. Kedua, marah. Ketiga, dalam hati muncul pikiran "gile ni orang, masih bagusan juga gua". Keempat, kalau orang lain percaya sama kesombongannya, kita gatal sekali untuk kasih tahu orang-orang kejelekan dia dan kebagusan kita.

Saya kira banyak dari kita pernah punya pengalaman seperti di atas. Pertanyaannya, kalau kita bereaksi seperti itu ketika disombongin, apakah betul kita sudah tidak sombong? Saya kira kita tahu jawabannya.

Maka belajar untuk tidak sombong memang adalah satu hal dan belajar untuk menerima disombongin adalah hal lain lagi. Tapi esensinya sama. Mungkin lebih baik kita katakan, pada waktu kita disombongin, itulah saatnya kita melihat lebih dalam lagi ke dalam hati kita dan bertanya "apa betul saya tidak sombong?"