Saturday, July 23, 2011

Menangkap Visi

Ketika bicara mengenai visi di dalam bukunya “Courageous Leadership”, Bill Hybels mengatakan dia biasa mengajukan beberapa pertanyaan kepada orang2 yang merasa kesulitan menangkap visi dari Tuhan: (saya terjemahkan bebas)

  • Sudahkah anda menyerahkan diri anda sepenuhnya kepada Tuhan?
  • Sudahkah anda bertanya kepada Tuhan untuk menyingkapkan visinya dalam hidup anda, atau anda hanya meminta Dia untuk memberkati rencana yang sudah anda pikirkan? Kita harus datang kepada Tuhan dengan tangan kosong dan hati yang terbuka dan bertanya, “Apa visiMu bagi hidupku?”
  • Sudahkah anda berpuasa?
  • Sudahkah anda berdoa?
  • Sudahkah anda berdiam dan menanti Tuhan di dalam keheningan?
  • Sudahkah anda membersihkan pola-pola dosa dalam hidup anda?
  • Sudahkah anda menyingkirkan gangguan dan kebisingan di sekitar anda yang menghalangi anda mendengar apa yang Tuhan ingin katakan kepada anda?
  • Sudahkah anda banyak membaca? Sudahkah anda banyak bepergian? Sudahkah anda mengunjungi berbagai macam pelayanan di sekeliling dunia? Sudahkah anda membuka diri kepada serentetan visi yang Tuhan pernah berikan kepada orang lain sehingga anda bisa terinspirasi oleh berbagai pilihan? Jika belum, keluarlah! Lihat apa yang Allah sedang lakukan!

Saya tidak setuju dengan semuanya yang dikatakan Bill Hybels di dalam buku itu karena ada hal-hal yang menurut saya dia tidak tepat. Tapi beberapa insight dia di dalam buku itu menarik untuk dipikirkan, salah satunya adalah pertanyaan2 di atas. Betulkah kita ingin Tuhan membimbing hidup kita? Apa yang sudah kita lakukan untuk itu? Apakah kita sungguh bertanya kepadaNya? Apakah kita sungguh mau mendengar Dia? Apakah kita menjaga hubungan dengan Dia – dengan menjauhkan dosa – supaya kita peka mendengar suaraNya?

Thursday, July 14, 2011

Pelayanan Anak Muda: Pertanyaan Teologis

Semasa remaja (SMA), saya tidak banyak bertumbuh secara rohani. Saya hampir 100% tidak pernah ikut persekutuan di sekolah, tidak pernah membaca 1 buku rohani pun, tidak tertarik untuk memikirkan pertanyaan2 teologis, dan seterusnya. Saya hanya ke gereja, ikut sibuk2 sedikit dalam pelayanan, titik.

Pada waktu saya kuliah, saya ikut dalam Persekutuan Oikumene Trisakti. Di sana saya bertemu dengan para hamba Tuhan yang berkhotbah jauh lebih mendalam dibanding yang selama itu pernah saya temui di gereja saya. Saya ikut kelas Pemahaman Alkitab dimana pikiran saya dilatih untuk mendalami Alkitab. Saya ditantang untuk mau menjadi murid Tuhan dan belajar terus. Hal-hal itu membuat saya tertarik.. dan makin tertarik untuk mengenal Tuhan. Saya makin punya banyak pertanyaan teologis, saya mencari jawabannya di buku, bertanya kepada hamba Tuhan, berdiskusi dengan teman2, dan akhirnya ikut kelas sekolah Alkitab malam. Saya ingat tiap kali pulang kelas sekolah Alkitab, rasanya saya puas, kepala saya penuh pengertian, dan hati bersemangat untuk menceritakannya kepada orang lain.

Cerita di atas saya kira adalah unik pengalaman saya. Tapi setelah sekian lama melayani, ternyata saya menemukan bahwa itu adalah fenomena umum.

Pertanyaan2 teologis, pertanyaan2 seputar Alkitab, pertanyaan2 yang sering dianggap ‘tidak aplikatif’, memang hampir selalu muncul dari mereka yang dalam usia kuliah. Mereka yang masih berusia SMA, ada yang punya pertanyaan2 seperti itu tapi banyak yang tidak. Tapi mereka punya rasa ingin tahu yang cukup besar. Sementara mereka yang berusia kuliah, punya pemikiran yang lebih kritis dan rasa ingin tahu yang lebih besar lagi. Tapi begitu mereka masuk dunia kerja, perlahan-lahan selera ingin tahu itu memudar. Pertanyaan2 teologis tidak lagi menjadi pergumulan mereka dan tidak membangkitkan minat mereka karena dianggap ‘tidak aplikatif’. Dan hidup serta pikiran mereka dipenuhi dengan yang ‘aplikatif’: pekerjaan, mencari uang, pacaran, menikah, dan seterusnya.

Bagi anda yang sekarang sudah di dunia kerja dan dulu pernah menikmati bertumbuh pada waktu masa SMA atau kuliah, coba ingat2 apakah anda juga mengalami fenomena ini?

Fenomena ini menyedihkan sekaligus menantang. Menyedihkan karena saya kira penyebab mengapa mereka yang berada di dunia kerja tidak tertarik lagi dengan hal2 teologis adalah karena dunia menyita habis waktu dan perhatian mereka. Hidup sepertinya terlalu banyak tantangan dan “nggak usah mikir yang susah2, langsung aja yang aplikatif”. Padahal apa itu ‘aplikatif’? Seperti mendirikan rumah (saya suka sekali ilustrasi ini), apakah fondasi tidak ‘aplikatif’? Apakah batu bata dan semen tidak ‘aplikatif’? Lalu yang ‘aplikatif’ hanya warna cat tembok, furniture, lampu, dan lain2?

Menantang karena kalau usia kuliah adalah usia dimana pertanyaan2 teologis itu banyak muncul, maka kalau masa itu dipakai dengan baik, mereka akan punya fondasi cukup kuat untuk membangun hidup mereka. Mudah2an, itu bahkan cukup untuk membuat mereka terus mengejar pertanyaan2 teologis sepanjang hidup mereka. Karena jika tidak, someday, somewhere along their way, mereka akan menemukan bahwa fondasinya ternyata masih kurang.

Pertanyaannya, siapa yang mengisi kebutuhan itu? Siapa yang memanfaatkan momentum itu? Seharusnya kita bukan saja menjawab pertanyaan2 mereka tetapi bahkan memancing rasa ingin tahu yang lebih besar lagi dari mereka. Tapi kenyataannya seringkali mereka dibiarkan dengan segudang pertanyaan itu. Khotbah di gereja bersifat sederhana dan ‘aplikatif’. Persekutuan pemuda banyak membahas hal yang ‘aplikatif’. Tidak ada orang yang menjawab apalagi memanfaatkan momentum di saat mereka ingin mencari kebenaran. Dan akhirnya momentum itu lewat dan mereka pun merasa “ah itu tidak aplikatif”.

Saturday, July 09, 2011

Running With the Giants - John C. Maxwell

Baru saja selesai membaca buku ini. Bukan buku yang ‘berat’ hanya berupa perenungan yang mudah dan cepat dibaca. Saya sendiri membacanya dalam waktu sekitar 90 menit.

Isinya menarik. Maxwell mengambil gambaran dari surat Ibrani:
Karena kita mempunya banyak saksi, bagaikan awan yang mengelilingi kita, marilah kita meninggalkan semua beban dan dosa yang begitu merintangi kita, dan berlomba dengan tekun dalam perlombaan yang diwajibkan bagi kita. (Ibr 12:1)
Dia mengumpamakan kita sedang berada dalam arena perlombaan lari. Ada banyak penonton di sekeliling arena itu yang memberi semangat kepada kita. Dan kemudian, satu demi satu, ada 10 orang yang bergantian keluar dari kerumunan penonton itu, menghampiri kita, dan dalam waktu singkat memberi nasehat pada kita apa yang harus dilakukan dalam perlombaan itu. 10 orang yang keluar dan khusus memberi nasehat mereka pada kita adalah 10 tokoh dalam Perjanjian Lama.

Bagi saya 10 tokoh pilihan Maxwell sangat menarik: Nuh, Ester, Yusuf, Musa, Ribka, Abraham, Nehemia, Pelayan perempuan di rumah Naaman, Daud dan Yonatan.

Pilihan tokoh-tokoh di dalam buku ini memperlihatkan bahwa hidup itu kompleks dan tidak bisa dilihat dari 1 sisi. Alkitab memberikan kita banyak cerita dan kita tidak bisa mengerti apa yang Tuhan mau hanya dengan 1 atau beberapa cerita. Demikian pula ada banyak pengajaran dalam Alkitab dan kita tidak bisa mengerti apa yang Tuhan mau hanya dengan mengambil 1 atau beberapa ayat. Celakanya orang Kristen seringkali seperti itu. Kita suka mengambil bagian yang mendukung pikiran kita dan tidak mempedulikan bagian lainnya.

Misalnya ada orang yang mengatakan “Bukankah Tuhan merancang yang baik bagi saya? Bukankah Tuhan mau saya bahagia?” tanpa dia melihat apa yang dikatakan bagian lain dari Alkitab tentang kedaulatan Tuhan, tentang apa yang baik menurut Tuhan dan tentang apa itu kebahagiaan dalam Tuhan.

Atau ada orang yang berselingkuh menolak untuk memutuskan hubungan dengan selingkuhannya dan mengatakan “Saya tidak mau menyakiti dia, bagaimana kalau sampai dia bunuh diri karena saya, saya berdosa!” Tanpa dia lihat bagian lain Alkitab yang menentang ketidaksetiaan dan tanpa memikirkan apakah dia sedang berbuat baik kepada pasangan selingkuhannya itu.

Atau yang seringkali saya dengar dan juga pernah saya singgung dalam blog ini “Kita semua harus memberi yang terbaik, saya tidak suka kalau pelayanan sembarangan seperti ini!” Tanpa kita pernah memikirkan ada bagian lain yang meminta kita melayani bersama, menegur dengan sopan, dan mementingkan kesatuan.

Keseimbangan seperti ini yang coba dirangkum dalam buku Maxwell ini. Waktu membaca tentang Daud kita diingatkan untuk berani mendobrak batasan hidup kita, mengambil langkah besar menjadi pemimpin. Tapi waktu membaca tentang Yonatan kita diingatkan untuk berani melihat realita kemampuan kita dan membiarkan orang yang lebih mampu untuk menjadi pemimpin. Waktu membaca tentang Nuh atau Ester kita diingatkan akan sesuatu yang besar yang mereka lakukan, tapi waktu membaca tentang pelayan perempuan di rumah Naaman kita diingatkan akan hal-hal kecil yang perlu kita lakukan. Waktu membaca tentang Musa kita diingatkan akan keberanian meninggalkan zona aman dengan percaya pada Tuhan, tapi waktu membaca tentang Nehemia kita diingatkan untuk berani minta bantuan.

Hidup ini kompleks. Tuhan sudah memberikan tuntunan-Nya. Tapi menangkap kompleksitas tuntunan Tuhan membutuhkan kerendahan hati untuk mau mengerti Firman-Nya dan menerima Firman-Nya.

Sunday, July 03, 2011

Persiapan Khotbah

Beberapa jemaat dan rekan hamba Tuhan pernah bertanya kepada saya, “Bagaimana sih cara persiapan khotbahnya?”

Saya percaya persiapan khotbah, seperti juga menggali Alkitab, adalah art (seni) maka tiap orang akan melakukan dengan cara yang berbeda dan bahkan tiap khotbah bisa dipersiapkan dengan cara yang berbeda. Ditambah lagi dengan adanya berbagai macam bentuk sastra di dalam Alkitab, maka bentuk sastra yang berbeda tentu menuntut cara persiapan yang juga berbeda.

Saya sendiri sudah beberapa kali merubah cara saya mempersiapkan khotbah. Berikut ini adalah sedikit sharing bagaimana saya mempersiapkan khotbah dari surat 1 Korintus (khotbah eksposisi berseri yang sedang saya sampaikan di GKY Singapore):

1. Berdoa minta Tuhan berkati persiapan khotbah, berikan message yang harus disampaikan.

2. Saya menentukan batas perikop atau bagian yang ingin dikhotbahkan, harus mulai dari ayat mana dan berhenti di ayat mana. Biasanya saya tidak terlalu pusing dengan ini. Cukup melihat 1 atau 2 buku tafsiran. Kalau 2 tafsiran sama, maka saya setuju saja. Kalau mereka tidak sama, maka saya mulai berpikir lebih keras.

3. Saya melihat buku: Bruce M. Metzger, A Textual Commentary on the Greek New Testament, untuk melihat apakah ada masalah tekstual yang perlu saya perhatikan. Misalnya apakah ada manuskrip kuno (textual variant) yang patut diperhitungkan, yang mempunyai teks yang berbeda dengan yang sekarang ini diterima. Kalau ada, maka itu akan menjadi perhatian saya. Kalau tidak ada yang signifikan, maka dengan lega saya mengabaikan bagian ini.

4. Saya membuat syntactical outline (urutan logis kalimat-kalimat) dari bagian yang ingin dikhotbahkan. Untuk keperluan ini saya biasa menggunakan 2 buku untuk membantu: Philip W.Comfort, The New Greek-English Interlinear dan Zerwick-Grosvenor, A Grammatical Analysis of the Greek New Testament. Saya mencoba mengerti kalimat demi kalimat dalam bahasa Yunani secara singkat dengan bantuan 2 buku itu. Biasanya saya hanya membuatnya dengan sederhana, hanya untuk membantu saya melihat urutan logisnya saja. Tapi bagian ini memakan waktu cukup lama, bisa sekitar 2 jam lebih saya habiskan disini (tergantung panjang pendeknya perikop yang akan dikhotbahkan). Bagi yang belum pernah melihat seperti apa, kurang lebih yang saya buat seperti di bawah ini:



5. Sambil membuat syntactical outline, saya memberi tanda pada kata-kata yang menurut saya mungkin perlu penelitian lebih lanjut.

6. Kata-kata tersebut saya cari maknanya di dalam: BDAG, Greek-English Lexicon of the NT and Other Early Christian Literature, Spicq, Theological Lexicon of the New Testament atau Verlyn Verbrugge, New International Dictionary of New Testament Theology Abridged. Tidak setiap kata saya cari dan tidak setiap buku di atas saya buka, tergantung bagaimana pikiran saya waktu itu.

7. Setelah 'belanja bahan dasar' ini selesai, sekarang bisa mulai 'memasak'. Pertama adalah memikirkan outline khotbah berdasarkan hasil observasi di atas. Tapi outline ini biasanya masih tentative, artinya seringkali akan berubah nanti.

8. Mulai menulis naskah khotbah. Biasanya saya langsung menulis saja, apa saja asal mulai menulis, karena saya menulis sambil berpikir dan berpikir sambil menulis. Sambil menulis maka ide pun keluar dan perlahan-lahan jadi.

9. Sambil menulis naskah khotbah saya sambil terus mempelajari dan memikirkan bagian itu lebih detil. Untuk ini saya dibantu dengan buku tafsiran. Biasanya untuk 1 Korintus, ada 3 tafsiran yang saya pakai: Gordon Fee, (dalam seri) New International Commentary on the New Testament, David Garland, (dalam seri) Baker Exegetical Commentary on the New Testament dan Craig Blomberg, (dalam seri) NIV Application Commentary.

10. Mencari buku-buku yang relevan dengan tema yang saya soroti. Membaca buku-buku tersebut bisa menimbulkan ide bagi saya, kadang memberikan bahan yang penting, kadang memberikan ilustrasi yang tepat.

11. Sambil menulis ada perenungan2 yang muncul atau ada ilustrasi yang terpikir. Kadang saya tuliskan saja semuanya di bagian bawah dan nanti tinggal copy paste untuk menyusunnya.

12. Terakhir adalah tahap 'penyajian masakan'. Tidak semua yang sudah saya dapatkan dan tuliskan akhirnya harus saya sampaikan. Seringkali terlalu banyak bahan justru mengganggu fokus khotbah. Maka saya harus memilih lagi mana yang akan disampaikan, dengan urutan seperti apa, mana duluan dan mana belakangan.

13. Seringkali sampai selesai menuliskan naskah khotbah, saya tetap tidak puas. Biasanya saya bilang ke istri saya: “Tulangnya sudah, tapi kurang berdaging”. Maka saya perlu diam, merenung lagi, memikirkan maknanya lagi, dan memikirkan bagaimana cara menyampaikannya kepada jemaat. Naskah yang sudah jadi itu saya baca ulang sambil membayangkan bagaimana menyampaikannya. Sambil membayangkan setting khotbah maka saya akan menemukan ada bagian yang tidak enak untuk disampaikan secara lisan, ada kalimat yang terlalu kaku, ada bagian yang tidak jelas, dst. Kadang bahkan saya bisa mengubah total susunan khotbah! Maka saya merevisi lagi naskah khotbah itu. Kalau ada ilustrasi atau cerita yang ingin saya sampaikan, saya mencoba dulu bagaimana menceritakannya dengan efisien (tidak bertele-tele) dan ‘masuk’ ke pendengar.

14. Naskah saya print. Kalau masih ada waktu, saya baca ulang lagi seluruh naskah sambil memberikan catatan-catatan tambahan kalau perlu atau coretan-coretan pada bagian yang tidak perlu. Seringkali catatan dan coretan last minute ini sangaaaatttt berguna.

15. Berdoa sungguh-sungguh minta Tuhan berkati penyampaian Firman Tuhan.

Walaupun persiapan saya tidak selalu persis seperti di atas, tapi kira-kira seperti itu. Dan kalau ditanya berapa jam yang saya pakai untuk mempersiapkan khotbah sekitar 40 menit itu? Maka jawabannya sulit. Mungkin sekitar 15 jam, kadang kurang sedikit dari itu, tapi tidak jarang lebih.
Semoga pembukaan 'rahasia dapur' saya ini berguna.