Thursday, December 18, 2014

Doa yang Mengerikan

Saya baru saja membaca tulisan Thomas a Kempis dimana dia mengajarkan bahwa Kristus meminta
kita untuk mempercayakan seluruh diri kita dengan pasrah kepada-Nya dan meminta kita untuk berdoa demikian:

Lord, You know what is better for me; let this be done or that be done as You please. Grant what You will, as much as You will, when You will. Do with me as You know best, as will most please You, and will be for Your greater honor. Place me where You will and deal with me freely in all things. I am in Your hand; turn me about whichever way You will. Behold, I am Your servant, ready to obey in all things. Not for myself do I desire to live, but for You – would that I could do this worthily and perfectly!

Berkali-kali saya membaca kalimat-kalimat itu dan memikirkan implikasinya. Betulkah saya berani berdoa seperti itu? Menjatuhkan diri sepenuhnya ke dalam genggaman tangan Tuhan – tanpa memohon yang lain, tanpa ada keinginan lain, tanpa memikirkan yang lain, semua terserah Tuhan! Kalau Tuhan anggap baik untuk membuat saya hancur – untuk kebaikan jiwa saya, silakan. Kalau Tuhan anggap baik untuk mengambil semua yang berharga bagi saya, silakan. Kalau Tuhan membiarkan saya di dalam kegelapan yang sangat gelap, silakan. Kemana pun Tuhan mau saya melangkah, kapan pun semua itu akan terjadi, saya berserah! Bukankah itu doa yang mengerikan?

Oh.. how I wish I could pray that worthily and perfectly! Betapa inginnya saya bisa berdoa seperti itu dengan layak dan sempurna!

Saya sangat tahu bahwa Tuhan bukan Tuhan yang jahat dan senang mempermainkan hidup saya. Dia sangat baik, amat baik, terlalu baik! Tetapi betapa sulitnya untuk betul-betul memasrahkan diri kepada-Nya. Selalu ada keinginan untuk berkata, “Ah Tuhan, tapi jangan yang itu ya…betul lho Tuhan, saya sih pasrah, tapi jangan sampai begitu dong…”

Saya tahu saya tidak akan pernah lulus pelajaran berdoa dan mengikut Tuhan, sampai nanti berjumpa dengan Dia di kekekalan. Tetapi, saya ingin naik kelas… sedikit saja…

Lord, have mercy on me!

-Lamunan sore hari-

Thursday, November 20, 2014

The Contemplative Pastor: Returning to the Art of Spiritual Direction - Eugene H. Peterson

Buku ini adalah salah satu buku pastoral terbaik yang pernah saya baca. Eugene Peterson seperti imaginative. Kata pengantar yang ditulis Rodney Clapp dimulai dengan kalimat: "If Eugene H. Peterson were not a Presbyterian, he might be a monk." Saya lumayan setuju :-) Bukan hanya itu, tetapi saya yakin buku ini betul-betul touch a nerve bagi banyak hamba Tuhan.
biasa menulis buku ini dengan gaya bahasa yang khas, menarik, mendalam,

Berikut ini saya terjemahkan dan ringkaskan beberapa paragraf tulisannya di halaman awal buku ini:

Kata benda yang sehat tidak membutuhkan kata sifat. Kata sifat membuat berantakan kata benda yang baik. Tetapi jika kata benda itu sudah dirusak atau dijangkiti oleh kebudayaan, maka kata sifat diperlukan.

"Pastor" dulu adalah kata benda yang seperti itu - penuh semangat dan kuat. Tetapi waktu saya melihat bagaimana panggilan "pastor" itu dihidupi di Amerika dan waktu saya mendengar nada dan juga konteks dimana orang membicarakan "pastor", saya sadar apa yang saya dengar di dalam kata itu berbeda dengan apa yang orang lain dengar. Dalam pemakaian umum, kata benda "pastor" sudah menjadi lemah, diejek, dan dicairkan dengan oportunisme. Maka kata itu sangat membutuhkan kata sifat yang memperkuatnya. 

Untuk itu, saya menawarkan tiga kata sifat untuk memperjelas kata benda "pastor": unbusy (tidak sibuk), subversive (merombak apa yang sudah mapan dengan tindakan yang tidak terang-terangan), dan apocalyptic (mengisi dan membentuk pikiran/imajinasi orang dengan realita kerajaan Allah).

Di bagian lain, dia menjelaskan tentang kata sifat "unbusy" itu dengan kalimat yang tidak pernah saya lupa:

Kata sifat "busy" (sibuk) jika dikenakan kepada "pastor" harusnya berbunyi di telinga kita seperti "berzinah" dikenakan kepada seorang istri atau "menggelapkan uang" dikenakan kepada bankir. Karena [busy pastor] adalah sebuah skandal memalukan, sebuah penghinaan menghujat.

Mulai mengerti mengapa saya menyukai buku ini? :-)

Setelah menjelaskan ketiga kata sifat yang dia usulkan untuk memperjelas kata benda "pastor," dia mulai membahas apa yang dilakukan seorang "pastor" between Sundays (di hari selain hari Minggu). Setiap bab memberikan insights yang sangat menarik. Dia tidak mengusulkan bagaimana kita mengisi waktu atau aktivitas apa yang harus dilakukan seorang pastor, tidak! Tetapi, dia selalu membongkar konsep kita yang lama dan mencoba menggantinya dengan yang baru. Saya kira dia sedang melakukan pelayanan "subversive" melalui tulisannya.

Membaca buku ini, saya yakin akan membuat kita terganggu dan merenung - dan memang itulah yang diinginkan oleh Eugene Peterson.

Selamat membaca!

Friday, November 07, 2014

Melihat Alam Roh

Pernah mendengar cerita tentang/dari orang-orang yang “memiliki kemampuan” untuk melihat alam roh? Mereka bukan hanya tahu jika ada roh tetapi bahkan bisa melihat dan kadang berbicara dengan roh itu.

Sebagian orang menyebut “kemampuan” ini sebagai indra ke-enam atau “the sixth sense”. Sebagian orang lagi menyebutnya dengan istilah “Indigo”. Apapun sebutannya, yang ingin saya bahas adalah “kemampuan” untuk melihat alam roh itu.

Beberapa kali saya pernah bertemu dan mendengar langsung cerita dari orang-orang yang “memiliki kemampuan” ini. Cerita-cerita mereka menolong saya untuk berpikir apa sebenarnya yang terjadi. Maka saya pikir sudah waktunya saya menulis sesuatu yang paling tidak bisa menolong memberikan sedikit guideline.

Berikut ini beberapa cerita yang pernah saya dengar (detil cerita saya samarkan):

1. Pada waktu usia pemuda, A tiba-tiba mulai melihat setan. Dia bisa menggambarkan penampilan setan-setan itu, yang katanya bermacam-macam. Mereka tidak mengganggu dia, hanya lewat saja di dekat dia. Dia juga tidak berbuat apa-apa selain memperhatikan dengan ketakutan. Berkali-kali dia berdoa minta supaya setan-setan itu pergi daripadanya. Dia juga menceritakan soal ini ke teman-temannya dan pendeta, dan mereka juga mendoakan dia. Tetapi kenyataannya dia tetap bisa melihat setan-setan itu. Lama kelamaan bahkan semakin aneh. Ketika pagi hari dia bersaat teduh, dia mendengar anjing melolong di depan rumahnya dengan lolongan yang keras, menyayat hati dan terus menerus, padahal tidak ada anjing di depan rumahnya. Setiap kali dia berdoa lolongan itu terdengar, tetapi setiap kali dia berhenti berdoa lolongan itu pun berhenti. Akhirnya dia berhenti berdoa, saat teduh, dan baca Alkitab. Dia tetap pergi ke gereja tapi semua menjadi hambar. Bertahun-tahun seperti itu. Saya tidak tahu apa yang terjadi kemudian tetapi belakangan saya dengar dia malah berkomunikasi dengan setan-setan itu.

2. Entah sejak kapan B mulai bisa melihat setan. Khususnya waktu di rumah duka atau di kuburan, dia akan melihat banyak sekali di sana. Ketika pulang, apa yang dilihatnya itu akan sangat mengganggu dia. Itu sebabnya sebisa mungkin dia menghindar untuk pergi ke tempat-tempat seperti itu. Dia berdoa dan didoakan, tetapi semua tetap sama saja. Akhirnya dia memilih untuk cuek. Dia belajar untuk tidak mempedulikan setan-setan itu. Dia tidak mau memperhatikan, tidak mau melihat, apalagi bicara dengan setan-setan itu. Dia total membiarkan saja. Lama kelamaan, walaupun dia masih bisa melihat, kehadiran setan-setan itu makin tidak mengganggu bagi dia. Mereka terlihat dari jauh, tidak melihat dia, dan dia juga tidak mau melihat mereka. Hidupnya normal dan relatif tidak terganggu dengan semua itu.

3. Ketika C masuk ke suatu tempat yang katanya ada setan, dia akan sangat merasakan itu dan seperti diterpa oleh sebuah kekuatan. Tiap kali dia merasakan itu, dia tahu ada setan. Dia jarang melihat langsung. Tetapi dia bisa merasakan dengan sangat kuat ada setan, bahkan berapa jumlahnya! Setiap kali merasakan itu, dia merinding ketakutan. Dia tidak pernah menggunakan “kemampuan”nya itu kecuali untuk menilai apakah di suatu tempat ada setan atau tidak.

Ada beberapa cerita lagi yang saya dengar, tapi kira-kira mirip dengan semua kisah di atas.

Apa yang terjadi sebetulnya? Betulkah mereka melihat alam roh? Mengapa mereka bisa melihatnya sementara orang lain tidak? Bagi orang Kristen, apakah itu karunia dari Tuhan? Bagaimana kita, atau mereka, menyikapi "kemampuan" ini? Apa yang harus mereka lakukan?

Saya harus mulai dengan mengatakan bahwa dunia roh selamanya adalah misteri bagi kita yang masih hidup di dunia. Banyak hal tidak bisa kita jelaskan karena Alkitab juga tidak banyak bicara soal ini. Satu hal yang selalu ditekankan Alkitab adalah dunia roh hanya terdiri dari dua macam: Tuhan (dan malaikatnya) dan Iblis (dan pengikutnya) yang selalu di bawah otoritas Tuhan. Tetapi, bukan berarti kita sama sekali blank. Maka berikut ini adalah jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas yang saya pikirkan berdasarkan apa yang saya dengar (yang terbatas sekali) dan berdasarkan pengertian saya akan Alkitab:

Pertama, betulkah mereka melihat alam roh?
Kesamaan dalam cerita-cerita di atas adalah roh yang dilihat selalu adalah setan (dengan berbagai rupa yang menakutkan) atau roh orang mati, dan bukan malaikat. Kesamaan lainnya adalah ketiga orang itu adalah orang berpendidikan, normal secara kejiwaan, dan orang Kristen. Saya mengenal mereka cukup lama dan tahu bahwa mereka tidak berbohong dan tidak berhalusinasi. Maka jawabannya adalah “Ya, mereka betul melihat alam roh."

Kedua, mengapa mereka bisa melihatnya sementara orang lain tidak?
Setan adalah roh dan roh tidak terlihat oleh mata fisik kita. Tetapi, mengapa mereka bisa melihatnya? Jawabannya hanya dua macam: Tuhan yang memperlihatkan setan-setan itu kepada mereka atau setan-setan itu yang sengaja memilih untuk memperlihatkan diri kepada mereka. Saya cenderung berpikir jawabannya adalah yang kedua, dan tanpa alasan yang kita mengerti, Tuhan mengizinkan itu terjadi.

Tidak ada yang terlalu istimewa sebetulnya. Setan bisa berusaha menjatuhkan orang-orang tertentu dengan cara yang khusus. Ingat kisah Simon Petrus? Yesus berkata: “Simon, Simon, lihat, Iblis telah menuntut untuk menampi kamu seperti gandum” (Luk 22:31). Iblis memilih Simon dan menuntut izin Tuhan untuk menghajar Simon. Tuhan bisa izinkan dan bisa tidak. Tetapi, dengan alasan yang kita tidak mengerti, Tuhan memutuskan untuk mengizinkan. Simon bisa jatuh dan bisa tidak. Yesus memperingatkan Simon Petrus dan Dia izinkan Iblis untuk menghajar Simon, lalu hasilnya Simon jatuh. Apakah kalau begitu Tuhan kalah? Tidak. Yesus sudah tahu bahwa Simon akan jatuh. Tetapi Yesus akan menjaga supaya iman Simon tidak gugur dan Dia akan membawa Simon insaf kembali lalu memakai Simon untuk menguatkan saudara-saudara yang lain.Yesus berkata, “Aku telah berdoa untuk engkau, supaya imanmu jangan gugur. Dan engkau, jikalau engkau sudah insaf, kuatkanlah saudara-saudaramu” (Luk 22:32).

Menurut saya, mereka yang melihat alam roh ini adalah orang-orang yang secara khusus ingin dijatuhkan setan dengan cara dia menampakkan diri kepada mereka. Tidak ada yang istimewa juga dengan hal itu. Kita semua pernah dipilih oleh setan untuk menjadi targetnya, dengan berbagai cara. Tetapi orang-orang itu ditargetkan untuk dijatuhkan dengan cara setan memperlihatkan diri kepada mereka. Maka pertanyaannya bukan mengapa tetapi bagaimana supaya mereka tidak jatuh?

Ketiga, apakah itu adalah karunia dari Tuhan?
Karunia adalah sesuatu yang berguna untuk membangun hubungan kita dengan Tuhan, dan bahkan lebih tepatnya untuk pembangunan seluruh tubuh Kristus. Dari semua cerita yang saya dengar, “kemampuan” ini lebih bersifat menipu/mengganggu daripada berguna. Jangankan untuk pembangunan tubuh Kristus, bahkan untuk diri sendiripun "kemampuan" ini merusak. Akhirnya A menjauh dari Tuhan dan sekarang dia bahkan memberikan “nasihat” kepada orang lain sebagai “orang pandai”. B ketakutan dan selalu terganggu perasaannya ketika dia memperhatikan setan-setan itu. C mulai bergantung pada “kemampuan”nya dan cenderung bisa ditipu. Ada satu cerita lagi yang tidak saya dengar langsung, orang itu sering menerima bisikan akan apa yang akan terjadi, sehingga semakin lama semakin bergantung kepada bisikan itu.

Perhatikan polanya. Lama kelamaan mereka akan makin tidak bergantung kepada Tuhan. Waktu tidak bergantung kepada Tuhan, mereka bergantung kepada siapa? Maka saya kira jawabannya adalah “Ini bukan karunia dari Tuhan”.

Keempat, bagaimana sebaiknya mereka menyikapi “kemampuan” ini?
Lagi-lagi, dari cerita yang saya dengar, umumnya mereka tidak diganggu oleh setan-setan itu (kecuali A yang anjing melolong ketika dia bersaat teduh). Setan-setan itu hanya menampakkan diri dan lewat di depan mereka. Mereka juga tidak diajak bicara awalnya. Tetapi semakin mereka memperhatikan setan-setan itu, kesadaran akan kehadiran setan-setan itu semakin kuat. Sebaliknya, seperti B, semakin dia tidak memperhatikan setan-setan itu maka semakin dia tidak terganggu.

Saya kira itulah yang sebaiknya dilakukan: Cuekin! Jangan pernah pakai “kemampuan” itu. Itu bukan kemampuan tapi godaan setan. Jangan pernah bergantung padanya untuk menilai sesuatu. Jangan percaya ketika dibisiki/diperlihatkan apapun juga. Jangan perhatikan, jangan cari, apalagi bicara dengan setan-setan itu. In short: Cuekin!

Apa tujuan setan melakukan itu? Setan tidak kreatif, maka tujuannya selalu bisa ditebak dengan mudah. Kalau itu betul dari setan, maka tujuannya selalu hanya untuk menipu manusia, membuat manusia bergantung kepadanya, dan ujungnya adalah menjauhkan manusia dari Tuhan. That’s it! Maka cuekin aja.

Saya pernah bertemu dengan seorang ibu yang bercerita tentang anaknya yang bisa melihat setan. Anak itu kadang ketakutan karena melihat “tante” atau “nenek”. Kadang dia menunjuk ke atas lemari, kadang dia terlihat seperti mengusir, bahkan kadang dia berbicara sendiri. Pertanyaan ibu itu sederhana, apa yang harus dilakukan? Prinsipnya sama seperti kepada orang dewasa, ajarkan dia untuk cuekin, jangan pedulikan apalagi berkomunikasi dengan roh itu. Sebaliknya, ajarkan terus dia bahwa Tuhan juga adalah roh, bahkan penguasa dari semua alam roh termasuk setan. Ajarkan dia untuk berdoa ketika diganggu. Ajarkan dia untuk tidak takut dan percaya bahwa Tuhan lebih besar dari semuanya. Ajarkan dia bahwa Tuhan tidak mau dia peduli dengan roh itu, sebaliknya Tuhan mau bicara dengan dia melalui Alkitab dan doa. Doakan sungguh-sungguh supaya di dalam anugrah-Nya, Tuhan menjaga anak itu. Tuhan tidak akan tinggal diam, Dia tahu bagaimana menjaga kita sekalipun kita digocoh oleh setan, tetapi kadang kita yang bodoh dan membiarkan diri ditipu oleh setan. Itu masalahnya.

Satu hal lagi, jangan pernah pergi ke "orang pintar". Ingat bahwa tidak ada "black magic" dan "white magic". Yang ada hanyalah kuasa Tuhan dan kuasa setan. Dengan pergi ke "orang pintar", kita jatuh ke dalam dosa dan tujuan setan tercapai.

Saya harap apa yang saya tulis ini bisa sedikit menolong anda yang bergumul dengan masalah-masalah ini. Bagi teman-teman yang kisahnya saya pakai di atas dan kebetulan membaca tulisan ini, saya mengucapkan terima kasih karena rela berbagi cerita dengan saya. Saya berdoa supaya Tuhan terus menguatkan kalian.

Saya ingin menutup dengan mengulang apa yang saya tulis di atas, "Satu hal yang selalu ditekankan Alkitab adalah dunia roh hanya terdiri dari dua macam: Tuhan (dan malaikatnya) dan Iblis (dan pengikutnya) yang selalu ditempatkan di bawah otoritas Tuhan." Itu sebabnya menonton film horor membuat kita ketakutan karena setan dipresentasikan begitu maha kuasa dan tidak terkendali. Perspektifnya salah! Itu bukan ajaran Alkitab! Sebaliknya ketika membaca tentang setan di Alkitab tidak pernah membuat kita merinding ketakutan kepadanya karena disana kita melihat setan dalam perspektif yang sebenarnya: Selalu harus tunduk di bawah kuasa Allah kita yang maha besar.

Sharing: Membaca Kitab Kejadian

Di awal bulan Oktober saya menulis tentang membaca ulang Alkitab dengan menggunakan Parallel Bible NASB-The Message. Hari ini saya baru menyelesaikan kitab Kejadian. And I love this book so much – Genesis!!!

Kitab Kejadian selalu menarik dan menyenangkan untuk dibaca. Bukan hanya karena cerita-cerita di dalamnya memberitahu kita cara pandang Tuhan akan terjadinya dunia, masuknya dosa ke dalam hidup manusia, penyebaran dosa dan air bah, lalu kisah tentang para patriarkh Israel: Abraham-Ishak-Yakub dengan segala intrik-intrik di dalamnya, dan akhirnya kisah tentang Yusuf yang sangat panjang (14 pasal!). Tetapi, juga karena penulisnya sangat.. sangat.. mahir menceritakannya.

Ada satu pengalaman unik ketika membaca kitab ini. Waktu sampai pada kisah tentang Yusuf bertemu dengan saudara-saudaranya, tiba-tiba saya menangis terharu, padahal lagi di perpustakaan!!! (untung nggak ada yang lihat) :-)

Beberapa hal yang mungkin menolong saya membaca kitab Kejadian: Pertama, saya membaca kitab ini sambil kadang membayangkan secara visual. Mungkin beberapa film Alkitab yang pernah saya tonton menolong untuk itu :-) Kedua, kali ini saya membacanya dengan Parallel Bible NASB-The Message. NASB adalah versi terjemahan Alkitab yang cenderung literal (saya menyukai terjemahan ini) dan The Message adalah terjemahan dalam bentuk parafrase. Kombinasi ini membuat saya kadang memperhatikan hal-hal yang dulu tidak pernah saya perhatikan. Kalimat-kalimat dalam The Message kadang memberikan nuansa tersendiri.

Dua kesan terbesar yang saya dapat ketika membaca ulang kitab Kejadian: Betapa dahsyatnya dan betapa besar kasihnya Tuhan!

Kejadian 1-11 adalah bagian yang menceritakan primeval history. Di sana saya merenungkan lagi siapa manusia di hadapan Tuhan. Tuhan yang besar bukan hanya menciptakan kita tetapi juga menyediakan semua yang kita butuhkan dan mengasihi kita, tetapi kemudian kita khianati dan kita lawan. Dengan sangat mudah Dia bisa menghancurkan seluruh dunia atau meninggalkannya. Tetapi – we will never know why - Dia memilih untuk terus memelihara kelangsungan dunia dan manusia, dan karena itulah Dia harus terus menanggung beban melihat dosa manusia dan dilawan oleh manusia.

Kejadian 12-50 menceritakan bagaimana Allah mulai menenun keselamatan bagi manusia lewat satu orang: Abraham. Bagaimana kemudian Tuhan ikut campur dalam hidup manusia, di satu sisi membiarkan berbagai dinamika (termasuk dosa) terus terjadi, di sisi lain tangan-Nya tidak pernah lepas menopang dan mengarahkan. Tuhan, seperti orang yang sedang berjalan di atas tali, begitu beresiko, tetapi tak pernah jatuh! Allah mengambil resiko besar karena rencana-Nya ditaruh di atas pundak manusia yang lemah, tetapi Allah tak pernah dan tak akan gagal.

This is the story of the world and humanity. This is the story of God’s people. 
This is His story. How great Thou art!

Sunday, November 02, 2014

Pastor: The Theology and Practice of Ordained Ministry - William H. Willimon

William Henry Willimon pernah menjadi salah satu Bishop dari United Methodist Church, USA dan
sekarang menjadi Professor di Duke Divinity School. Dia dikenal sebagai salah seorang pengkhotbah paling terkenal di USA dan juga seorang penulis yang sangat produktif.

Beberapa tahun lalu saya membaca bukunya yang satu ini, sangat tertarik, tetapi kemudian entah mengapa hanya sempat membacanya sedikit. Belakangan ini saya tertarik untuk mempelajari lebih dalam mengenai apa itu “Pastor,” dan saya kembali ke buku ini. Kalau tidak karena kesibukan studi dan tebalnya buku ini (336 halaman), saya bisa tidak berhenti membaca buku ini terus menerus sampai habis dalam sekali duduk. Sangat menarik!

Berikut adalah judul-judul bab dalam buku ini:

1. Ordination: Why Pastors?
2. Ministry for the Twenty-first Century: Images of the Pastor
3. The Pastor as Priest: The Leadership of Worship
4. The Priest as Pastor: Worship as the Content and Context of Pastoral care
5. The Pastor as Interpreter of Scripture: A People Created by the Word
6. The Pastor as Preacher: Servant of the Word
7. The Pastor as Counselor: Care That Is Christian
8. The Pastor as Teacher: Christian Formation
9. The Pastor as Evangelist: Christ Means Change
10. The Pastor as Prophet: Truth Telling in the Name of Jesus
11. The Pastor as Leader: The Peculiarity of Christian Leadership
12. The Pastor a Character: Clergy Ethics
13. The Pastor as Disciplined Christian: Constancy in Ministry

Satu persatu topik di atas dia bahas dengan sangat baik. Kadang mungkin dia agak bertele-tele, tetapi selalu insightful. Berkali-kali di tengah membaca buku ini, saya harus berhenti dulu mencoba menanamkan apa yang dia tuliskan di hati dan pikiran saya.

Di dalam satu buku ini, dia sudah membahas semua, atau hampir semua, topik penting yang perlu dibahas dalam pelayanan seorang “Pastor.” Maka saya kira buku ini akan sangat tepat menjadi textbook kuliah Teologi Pastoral di seminari.

Tidak lama setelah buku ini terbit, Willimon juga menerbitkan satu buku lain yang berjudul: . Buku ini seperti companion untuk buku yang pertama tadi. Susunan bab dalam buku ini persis seperti buku yang pertama, tetapi isinya adalah kumpulan tulisan berbagai tokoh gereja.  Tujuannya memperkenalkan kita kepada tulisan-tulisan orang lain, yang menurut dia terbaik, dengan topik sesuai bab tertentu. Untuk tiap bab, Willimon memilih satu sampai empat tulisan. Misalnya, untuk Bab 1: Ordination, dia memilih tulisan Martin Luther (The Nobility of Ministry), Barbara Brown Taylor (Vocation) dan Faith and Order Paper no.111 dari World Council of Churches (Baptism, Eucharist and Ministry). Demikian seterusnya. Buku ini bisa dibaca sendiri atau dibaca bersamaan dengan buku yang pertama.
PASTOR: A READER FOR ORDAINED MINISTRY

Seseorang menjadi “pastor” adalah karena panggilan. Kemudian dia akan belajar bagaimana menjadi “pastor” yang baik melalui berbagai pengalaman jatuh bangun dalam pelayanan pastoral. Tetapi, alangkah baiknya, kalau dia memikirkan, mempelajari, merenungkan, tentang pelayanannya sebagai seorang “pastor” dengan sistematis dan teologis. Alangkah baiknya kalau dia juga duduk di bawah kaki para “mentors” yang bijak, yaitu para “pastors” di masa lalu, dan belajar dari mereka.

Maka saya merekomendasikan buku ini dan juga companion-nya, khususnya untuk para “pastors,” dan juga semua orang yang tertarik untuk mengerti apa dan bagaimana seharusnya pelayanan seorang pemimpin gereja yang disebut “pastor.”

Monday, October 27, 2014

Cara Berpikir - Part 3: Seeing Both the Forest and Trees

Ini bagian yang ketiga dalam tulisan seri “Cara Berpikir”. Saya pernah menulis di blog ini:
Cara Berpikir - Part 1: Apa sih Masalahnya? 
Cara Berpikir - Part 2: Benarkah Begitu?

Ada ungkapan dalam bahasa Inggris: “Miss the forest for the trees.” Ungkapan yang kalau diterjemahkan harfiah artinya: “Tidak melihat hutan karena melihat pohon-pohon.” Maksudnya kita begitu fokusnya pada hal-hal yang mendetil atau pada keruwetan dan seluk beluk suatu hal sampai akhirnya kehilangan big picture.

Ungkapan kebalikannya adalah: “Miss the trees for the forest” (ini ciptaan saya sih). Artinya mungkin sekali kita hanya melihat big picture tanpa pernah melihat detilnya. Kita hanya punya konsep besar tanpa memikirkan langkah-langkah mencapainya, tanpa melihat berbagai hambatan dan cara menghadapinya, tanpa mempersiapkan sumber daya yang dibutuhkan.

Jelas dua-duanya kurang baik! Maka saya ingin menciptakan ungkapan lain (yang kurang kreatif sebenernya): “Seeing both the forest and trees.” Maksudnya jelas, ketika memikirkan sesuatu, kita selalu harus melihat big picture dan juga detilnya.

Tetapi, kesulitannya adalah kita sulit untuk melihat keduanya sekaligus. Waktu melihat big picture, yang kecil-kecil menjadi kabur, waktu melihat yang kecil-kecil, big picture menjadi kabur. Bagi yang suka fotografi, ini seperti lensa, waktu di-zoom dia melihat yang detil tapi tidak bisa melihat wide, waktu dibuat wide ya semua kelihatan tapi tidak detil. Still following me? :-) Maka saya usul supaya kita belajar berpikir bukan melihat “forest” dan “trees” barengan, tapi bergantian – simultaneously. Proses ini juga bukan satu kali, tapi berulang-ulang. Pakai gambaran lensa tadi, ini seperti di-zoom, lalu dibuat wide, zoom lagi, wide lagi, zoom lagi, wide lagi, dan seterusnya.

Gambaran lain yang mungkin menolong: Bayangkan kalau kita adalah seorang prajurit yang diterjunkan ke medan perang di tengah hutan. Sebelum diterjunkan kita sudah melihat peta, kemana harus pergi, daerah mana yang harus dihindari, dst. Tapi pada waktu di tengah hutan, kita melihat pohon, binatang buas, sungai, kita terluka, lelah, dan kita mulai kehilangan arah kemana harus berjalan dan kehilangan semangat karena tidak tahu berapa lama lagi harus berjalan. Kita ketemu satu orang musuh lalu kita perang mati-matian padahal di dekat situ ada puluhan musuh yang harus diperangi. Alangkah indahnya kalau kita bisa terbang dulu ke angkasa lalu melihat ke bawah, kelihatan semuanya, dimana tempat tujuannya, dimana yang banyak musuh, dst. Tapi kalau kita kelamaan di angkasa, peperangan di bawah tidak akan selesai. Harus turun lagi! Tapi sekarang turun dengan insight hasil melihat dari angkasa tadi. Tidak lama berada di bawah, kocar-kacir karena perang, halusinasi karena kelelahan (sorry agak lebay), membuat kita perlu terbang lagi ke angkasa. Demikian seterusnya. Bolak-balik.. bolak-balik..

Waktu melayani, masih sebagai mahasiswa, saya menemukan benturan dua cara berpikir ini. Seorang teman selalu bicara big picture sementara saya selalu ngotot untuk mengajak melihat yang detil. Dia selalu menjawab: “Jangan bicara itu dulu, itu masalah teknis.” Tapi saya selalu berteriak: “Tapi kalau teknisnya nggak mungkin, buat apa bicara ini.” Saya orang yang cenderung terlalu detil dan ingin micro-managing segala sesuatu. Tetapi, lambat laun saya juga mulai belajar untuk melihat gambar besar. Tiap kali memikirkan sesuatu dengan terlalu detil, saya berusaha untuk menarik diri keluar hutan dan terbang seperti burung melihat semuanya dari atas, baru kemudian kembali lagi, demikian seterusnya bolak-balik. Saya menemukan cara berpikir seperti ini sangatlah berguna.

Tidak jarang ketika mendengar sebuah konsep pelayanan (big picture) yang dengan yakin dipresentasikan sebagai sebuah konsep yang baik, saya langsung melihat kebalikannya: Konsep itu buruk! Kadang konsep itu buruk karena tidak mungkin dijalankan. Kadang buruk karena karena dalam pelaksanaannya justru akan menimbulkan banyak masalah - yang kalau ditimbang lebih merugikan daripada berguna. Kadang buruk karena justru tidak akan mencapai tujuan yang diinginkan. Ironis, sebuah konsep pelayanan dibuat untuk mencapai sebuah tujuan, tapi seringkali kalau itu dijalankan justru tujuannya tidak akan tercapai. Konsep seperti itu hanya melihat “forest” dan bukan “trees.”

Tidak jarang juga ketika melihat orang-orang yang sangat militan dalam pelayanan, berjuang untuk bidang pelayanannya, saya geregetan karena sebetulnya yang dikerjakan mereka salah. Pakai gambaran perang, yang bagian konsumsi mempersiapkan makanan pesta dan bukan makanan prajurit di medan perang, yang bagian pengadaan senjata menyiapkan 200 pistol padahal hanya butuh 25, di tempat yang butuh 1 prajurit dikirim 10 prajurit, sebaliknya di tempat yang butuh 10 prajurit dikirim 1 prajurit, dan seterusnya (nggak perlu diterusin kan?). Militan! Semangat! Setia! They are doing their best! Sayang.. salah alamat. Pakai gambaran lebih nyata, ada banyak bagian di gereja dan tiap bagian mungkin berusaha membuat bagiannya menjadi baik. Mereka yang melayani di pemuda berjuang, yang di remaja juga berjuang, sekolah minggu, wanita, pasutri, misi, literatur, persekutuan doa, semua juga berjuang. Tapi sangat mungkin (dan hampir selalu begitu) mereka melihat “trees” dan bukan “forest.”

Betapa pentingnya kita berusaha melihat keduanya!

Cara berpikir ini juga berlaku dalam kehidupan. Kita bekerja di kantor, mengurus keluarga, sibuk dengan berbagai kegiatan, aktif pelayanan, dan seterusnya. Itu semua “trees.” Pernahkah berhenti dan mencoba melihat “forest”? Dimana saya? Apa yang saya lakukan? Apa yang penting dan mendesak, dan bagaimana saya membedakannya? Kemana saya melangkah? Jalanilah hidup dengan bolak-balik melihat “forest” dan “trees”!

Entah terasa atau tidak, saya kesulitan untuk menjelaskan konsep ini dalam bentuk tulisan :-) Paling gampang adalah silakan langsung berlatih. Saya sendiri masih terus belajar untuk melakukannya. Tidak pernah mudah tapi kalau kita berusaha melakukannya mungkin ada banyak kesalahan yang akan berhasil dihindari. Selamat berpikir bolak-balik!

Saturday, October 25, 2014

Keeping the Sabbath Wholly - Marva J. Dawn

Buku ini adalah buku pertama dan terpenting yang membuka pikiran saya tentang Sabat - sebuah
disiplin rohani yang banyak diketahui orang Kristen tetapi jarang dijalankan.

Sejak membaca buku ini tujuh atau delapan tahun yang lalu, sudah beberapa kali dan  di beberapa tempat saya berkhotbah tentang Sabat. Sejak waktu itu juga saya sudah mulai (walau sering gagal) komitmen menjalankan Sabat. Tetapi, bahkan di tengah sering gagal, disiplin rohani menjalankan Sabat sangatlah memberikan kekuatan dan kelegaan. Maka betapa saya ingin ‘menularkan’ disiplin rohani yang satu ini.

Marva Dawn menjelaskan Sabat dengan empat konsep besar, yang juga menjadi empat bagian besar dalam bukunya ini:

1. Ceasing – Berhenti
Berhenti bekerja, berhenti untuk produktif, berhenti khawatir, berhenti mencoba menjadi Allah, berhenti untuk posesif, dst. Dia membuka pikiran kita akan pentingnya - dan juga betapa sulitnya - untuk BERHENTI.

2. Resting – Beristirahat
Istirahat secara rohani, fisik, emosi dan juga intelektual. Dia memberikan ide-ide apa yang bisa kita lakukan untuk beristirahat.

3. Embracing – (sulit diterjemahkan, harfiah: memeluk)
Menerima dan menikmati berbagai hal yang baik, yang benar, yang seharusnya, yang selama ini jarang kita terima dan nikmati.

4. Feasting – Berpesta
Berpesta dengan makanan (ini yang paling kita suka), pesta dengan keindahan, musik, dst.

Tidak semua yang dia sebutkan bisa kita terapkan dalam hidup setiap kita. It’s ok. Tiap orang bisa punya cara melakukan Sabat masing-masing. Tetapi, konsep yang dia berikan sangat menolong kita mengerti apa itu Sabat. Penjelasan dia juga membuat kita begitu ingin untuk menikmati anugrah Tuhan yang sangat indah dan menguatkan ini.

A highly recommended book!

Tuesday, October 21, 2014

Berpakaian Dengan Sopan

Tulisan di bawah dari artikel berjudul The Lost Virtue of Modesty (silakan click untuk membaca dalam bahasa Inggris). Saya terjemahkan bebas, sedikit ringkaskan, dan edit dimana yang perlu untuk memperjelas. Saya kira apa yang dia tulis pantas untuk menjadi bahan pertimbangan dan diskusi di antara kita. Selamat membaca!


Saya tidak tahu apakah berpakaian dengan sopan (modesty) itu menarik secara seksual, tetapi saya tahu bahwa berpakaian dengan sopan itu Alkitabiah.

Salah satu tanda kekacauan zaman ini adalah banyak remaja dan pemuda yang lebih malu berpakaian dengan sopan tertutup daripada hampir tidak berpakaian. Sekalipun kita boleh menyatakan keberatan - cantik (atau tampan) bukanlah dosa, memperbaiki penampilan tidak berarti duniawi, batas antara sopan dan tidak sopan tidak selalu hitam putih - faktanya adalah Allah menganggap berpakaian dengan sopan itu kebajikan dan sebaliknya adalah kejahatan.

Di bawah ini ada lima alasan Alkitab mengapa orang Kristen seharusnya menerima berpakaian dengan sopan sebagai kebaikan yang dirancang dan diinginkan oleh Allah.

1. Berpakaian dengan sopan melindungi bagian tubuh yang pribadi. Ada paham feminisme yang berkata wanita harus bangga dengan daya tarik seksual mereka. Semua desakan untuk menutupi apa yang mereka tidak suka tutupi adalah karena paham patriarkhal (bahwa pria berhak menentukan apa yang wanita lakukan dengan tubuh mereka). Tetapi perintah dari Allah untuk menutupi tubuh bukanlah dimaksudkan untuk menghukum, tetapi untuk melindungi. Seperti yang dituliskan Wendy Shalit, “Tekanan pada para wanita untuk berfoto selfie seksi muncul dari kebudayaan yang terus menerus menganggap kesopanan itu memalukan (shame), dan tidak melihat kesopanan sebagaimana seharusnya yaitu: sebuah dorongan untuk melindungi apa yang berharga dan pribadi.” Syair yang berulang-ulang dari sang mempelai wanita – “jangan kamu membangkitkan dan menggerakkan cinta sebelum diingininya” (Kid 2:7) – adalah panggilan dari seorang wanita kepada sekelompok wanita single untuk menyimpan rangsangan seksual dan kegiatan seksual untuk waktu yang pantas, dengan orang yang pantas, di tempat yang pantas.

2. Berpakaian dengan sopan menerima bahwa tubuh kita ada di dalam komunitas. Apa artinya? Itu berarti, pikiran: “Ini adalah tubuhku. Jika aku ingin membiarkannya terbuka, itu urusanku,” walaupun kedengarannya bagus, ini melupakan bahwa tubuh kita berada di dalam jaringan relasi yang luas. Sama seperti perkataan kita, dan tindakan kita, kehendak kita, dan keinginan kita, selalu ada kaitannya dengan orang lain. Bagaimana kita berpakaian memang tidak perlu diatur oleh keinginan orang lain. Tetapi, bukanlah sikap Kristen untuk bertindak seakan kondisi kerohanian orang di sekitar kita tidak penting.

Sebelum lebih jauh lagi, saya ingin mengatakan ini sejelas mungkin: Pria bertanggung jawab untuk perzinahan mereka, untuk dosa percabulan mereka, untuk melihat pornografi, untuk nafsu, dan untuk (kiranya Tuhan mencegah) penyerangan seksual, tanpa peduli bagaimana wanita berpakaian. Alkitab tidak memerintahkan wanita untuk berpakaian dengan sopan karena pria tidak mampu menjaga celananya tetap terpasang dan menjaga pikirannya. Para pria, dengar: Jika istri Potifar terus maju dan menari dengan perut terbuka di meja dapurmu dan membuka bajumu sampai telanjang, engkau tetap tidak dibenarkan melakukan perzinahan dengan dia. Adanya pihak yang berpakaian tidak sopan tidak berarti pihak yang lain boleh tidak menahan diri.

Walaupun begitu, bukankah hukum kasih meminta supaya kita berusaha menghindari mencobai orang lain? Kalimat “memandang perempuan serta menginginkan (secara seksual)” di Mat 5:28 diterjemahkan oleh beberapa ahli (D.A. Carson salah satunya): “membuat perempuan itu menginginkan (secara seksual).” Maka, artinya, bukan tentang nafsu dalam hati pria tetapi tentang pria yang mau supaya wanita menginginkannya. Terlepas apakah kita menerima tafsiran ini atau tidak, aplikasi yang wajar adalah menganggap kalimat Yesus melarang kita memiliki sikap hati yang menginginkan (secara seksual) dan sikap hati yang mau diinginkan (secara seksual). Beberapa orang ingin melihat pornografi dan beberapa orang lain ingin menampilkan pornografi dirinya. Mungkin tidak dalam arti harfiah, tetapi ada pria dan wanita yang haus akan kuasa, perhatian, dan status yang datang karena diperhatikan dan dikejar-kejar. Sikap ini menggoda orang lain untuk berdosa dan pada dasarnya adalah dosa.

3. Berpakaian dengan sopan sesuai dengan penilaian negatif Alkitab tentang ketelanjangan di muka umum setelah kejatuhan manusia dalam dosa. Mulai dari Adam dan Hawa yang berusaha mencari daun ara untuk menutupi diri (Kej 3:10), sampai kepada ketelanjangan Nuh yang memalukan (Kej 9:21), sampai kepada orang-orang Daud yang dipermalukan dengan ditelanjangi pantatnya (2 Sam 10:4), Alkitab tahu bahwa kita mewarisi dunia yang sudah jatuh dalam dosa dimana bagian-bagian tertentu tubuh kita haruslah ditutupi. Bahkan, inilah yang dimaksud Paulus ketika dia berkata “our unpresentable parts” yang harus “treated with greater modesty” (1 Kor 12:23). (Terjemahan bahasa Indonesia sedikit berbeda).

4. Berpakaian dengan sopan sesuai dengan peringatan Alkitab untuk menghindari sensualitas. Sensualitas (Yunani: aselgeia) adalah karakteristik dari daging dan salah satu tanda dunia penyembahan berhala (Gal 5:19; Rom 13:13; 2 Kor 12:21; 2 Pet 2:2, 18). Apakah kata itu menjelaskan kapan good taste terperosok menjadi sensualitas – berapa panjang harusnya rok wanita, pakaian renang seperti apa yang boleh dipakai, atau apakah pria berotot boleh lari tanpa baju waktu udara dingin? Tidak. Tetapi pasti kita setuju bahwa tidak jarang pria dan wanita berpakaian dengan cara yang menambah corak dan perasaan sensualitas yang tersebar dalam kebudayaan kita. Jika kata aselgeia berarti kecanduan seksual, sebaiknya kita mempertimbangkan apakah di balik sikap kita, kita ingin membuat monster sensual ini kelaparan (dengan tidak memberinya makanan) atau justru ingin memuaskan dia.

5. Berpakaian dengan sopan menunjukkan kepada orang lain bahwa kita memiliki hal-hal yang lebih penting untuk ditawarkan daripada penampilan yang baik dan daya tarik seksual. Maksud dari 1 Tim 2:9 dan 1 Pet 3:3-4 bukanlah larangan untuk tampil menarik. Larangannya adalah supaya jangan berusaha keras untuk terlihat menarik dengan cara-cara yang relatif tidak penting. Pertanyaan yang ditanyakan kepada para wanita dalam ayat-ayat itu – dan ini juga berlaku bagi para pria – adalah ini: Apakah engkau akan menarik perhatian orang dengan riasan rambut, perhiasan dan pakaian seksi atau kehadiranmu di dalam ruangan akan dikenali karena karaktermu yang serupa Kristus? Pakaian yang tidak sopan memberitahu kepada dunia, “Aku tidak yakin aku punya sesuatu untuk ditawarkan yang lebih dari ini. Apa yang engkau lihat itulah yang engkau dapatkan.”

Saya ingin berkata dengan jelas: Alkitab tidak ada gambar. Tidak ada manual tentang bagaimana berpakaian pada pagi hari. Ada hal-hal berkaitan dengan kebudayaan, hati nurani, dan konteks yang pasti juga ikut menentukan. Saya tidak punya checklist untuk diperiksa sebelum engkau keluar rumah.

Tetapi jika kita percaya pada Alkitab, seluruh urusan berpakaian dengan sopan ini ada relevansinya dengan pemuridan Kristen. Tubuh kita sudah dibeli dengan harganya. Maka muliakanlah Allah dengan tubuhmu (1Kor 6.20). Artinya kita tidak memperlihatkan kepada semua orang segala sesuatu yang kita pikir mungkin bagus untuk diperlihatkan. Dan itu juga berarti kita tidak akan malu untuk menjaga hal-hal yang paling berharga tetap sebagai yang paling pribadi.

Thursday, October 16, 2014

Few Love the Cross of Jesus

Jesus has always many who love His heavenly kingdom, but few who bear His cross. He has many who desire consolation, but few who care for trial. He finds many to share His table, but few to take part in His fasting. 

All desire to be happy with Him; few wish to suffer anything for Him. Many follow Him to the breaking of bread, but few to the drinking of the chalice of His passion. Many revere His miracles, few approach the shame of the Cross.

Many love Him as long as they encounter no hardship; many praise and bless Him as long as they receive some comfort from Him. But if Jesus hides Himself and leaves them for a while, they fall either into complaints or into deep dejection.

Those, on the contrary, who love Him for His own sake and not for any comfort of their own, bless Him in all trial and anguish of heart as well as in the bliss of consolation. Even if He should never give them consolation, yet they would continue to praise Him and wish always to give Him thanks. What power there is in pure love for Jesus – love that is free from all self-interest and self-love!

(Thomas a Kempis)

Jangan buru-buru membaca tulisan di atas. Bacalah lagi!

Orang Kristen seperti apakah kita?

Apakah kita HANYA mencintai Kerajaan-Nya, menginginkan penghiburan, berbagian di meja Tuhan, ATAU JUGA mau memikul salib-Nya, menerima ujian, berbagian dalam puasa-Nya?

Apakah kita HANYA menginginkan kebahagiaan bersama-Nya, ikut sampai Dia memecahkan roti, dan mengagumi mukjizat-Nya, ATAU JUGA mau menderita apapun untuk Dia, ikut sampai minum cawan penderitaan-Nya, dan mau datang pada kehinaan salib?

Apakah kita mengasihi Dia hanya selama tidak ada kesulitan? Apakah kita memuji Dia hanya selama masih menerima kenyamanan dari-Nya?

Mereka yang mengasihi Dia hanya karena Dia, dan bukan karena kenyamanan apapun untuk diri sendiri, akan memuji Dia baik dalam ujian dan kesedihan hati maupun dalam kebahagiaan penghiburan. Bahkan jika Dia tidak memberikan penghiburan, mereka akan terus memuji Dia dan bersyukur kepada-Nya.

Betapa besar kuasa di dalam kasih yang murni bagi Yesus – kasih yang bebas dari semua kepentingan diri dan mengasihi diri!

Kalau ada yang tahu lagu "Pikul Salib" (PPK 216), saya kira mungkin syairnya diinspirasikan oleh tulisan Thomas a Kempis di atas:

Banyak yang mau masuk surga tak mau salibNya.
Banyak yang rindu pahala serta dunia.
Tak hiraukan tak hiraukan, hanya mau berkat.
Tak hiraukan tak hiraukan, hanya mau berkat.

Banyak yang mau kemuliaan tak mau yang hina.
Bila Tuhan berkati dia puji NamaNya.
Bila Tuhan minta dia, ia menolaknya.
Bila Tuhan minta dia, ia menolaknya.

Bagi yang mengasihi Dia tiada 'kan tanya.
Bahkan jiwa yang berharga korban pun rela.
B'rilah daku tekad hati, pikul salibNya.
B'rikan daku tekad hati, setia padaNya.

Monday, October 06, 2014

Menyusun (Tema) Khotbah Dalam Kebaktian

(Tulisan yang cukup panjang ini terutama adalah untuk rekan-rekan yang bertanggung jawab menyusun tema khotbah “apa yang akan dikhotbahkan” dalam kebaktian di gereja. Berharap ini bisa menjadi bahan diskusi yang membangun.)

Salah satu elemen di dalam kebaktian yang dianggap sangat penting oleh gereja-gereja Protestan adalah khotbah atau penyampaian Firman Tuhan. Maka bagaimana menentukan “apa yang akan dikhotbahkan” menjadi sangat penting.

Ada beberapa cara yang biasa dipergunakan oleh gereja-gereja dalam menentukan “apa yang akan dikhotbahkan”. Tetapi, cara yang paling populer dilakukan oleh gereja-gereja Protestan di Indonesia adalah “menyusun tema khotbah”. Saya ingin mengevaluasi cara ini lalu memberikan beberapa cara alternatif dalam menyusun “apa yang akan dikhotbahkan”.

Menyusun tema khotbah” - biasanya tema akan disusun sekaligus untuk 1 tahun. Cara penyusunannya bermacam-macam. Ada beberapa gereja yang memiliki “tema tahunan” lalu dibagi menjadi “tema bulanan” dan lalu “tema mingguan. Ada juga yang tidak sedetil itu pembagiannya.

Penyusunan tema dimaksudkan supaya seluruh kebaktian fokus pada tema itu. Baik lagu pujian, pembacaan Alkitab, kalimat liturgis, sampai khotbah semua harus sesuai dengan tema yang ditentukan. Tujuan kedua adalah untuk mencegah terjadinya pengulangan topik khotbah – minggu ini khotbah tentang A lalu minggu depan sama tentang A lagi. Diharapkan juga tema yang berbeda akan mendorong pengkhotbah untuk berkhotbah dari ayat Alkitab yang berbeda. Tujuan ketiga adalah supaya ada arah yang jelas apa yang akan dipelajari oleh jemaat dalam 1 tahun. Tema-tema itu seperti kurikulum pelajaran melalui khotbah.

Sayangnya banyak yang tidak pernah memikirkan kelemahan cara ini. Kelemahan dari cara ini adalah sebenarnya sangat sangat sangat (superlatif) sulit menyusun tema dengan baik.

Selama lebih dari 15 tahun saya memperhatikan, ketika diundang berkhotbah, banyak tema yang sangat buruk. Kadang saya tidak mengerti maksudnya, bukan karena tidak dijelaskan tetapi karena tidak masuk akal bagi saya. Kadang saya diberikan tema minggu itu disertai informasi tema-tema minggu sebelum dan sesudahnya, dan saya menemukan temanya sangat “kecil-kecil”, “beda-beda tipis” sampai tidak mungkin saya khotbahkan. Kadang bahkan temanya betul-betul tidak bisa dikhotbahkan! (Saya pernah mendapat tema “Eksposisi Eric Liddell”!)

Seringkali “Menyusun tema khotbah” justru membuat jemaat mendapat makanan yang sangat sempit! Setiap kita terbatas, buku yang kita baca terbatas, pemikiran kita terbatas. Waktu menyusun tema, kita akan menyusun apa yang kita tahu dan kita pikir baik. Padahal ada begitu banyak tema yang baik yang kita tidak tahu… yang tidak akan pernah dikhotbahkan kepada jemaat karena tidak pernah terpikir oleh kita! Sangat sayang! Penyusunan tema yang ketat (misalnya sesuai tema tahunan) juga menyebabkan selama setahun itu jemaat hanya akan mendengar khotbah seputar itu saja.

Keterbatasan kita juga menyebabkan tema yang kita pilih sebetulnya hanya itu-itu saja. Sekarang ini ketika diberikan tema untuk berkhotbah, hampir selalu saya sudah pernah mengkhotbahkan yang mirip! Tema-tema khotbah di gereja-gereja hanya itu-itu saja dan ada banyak tema yang tidak pernah disentuh. Izinkan saya bertanya, siapa yang pernah pernah mendengar khotbah tentang “singleness” (hidup tidak menikah), tentang perceraian dan menikah kembali, tentang menghadapi kematian, tentang panggilan dalam pekerjaan? Kapan pernah mendengarnya?

Yang parah, penyusunan tema seringkali seperti usaha yang sia-sia. Ketika ada tema tahunan yang diuraikan menjadi tema mingguan (apalagi ada tema bulanan juga), jujur, sebetulnya sangat dipaksakan. Hampir semua tema, apapun, bisa dipas-pasin ke dalam tema tahunan apapun! Silakan coba kalau tidak percaya. Ditambah lagi, tidak jarang saya mengamati pengkhotbah berkhotbah tidak sesuai dengan tema dan penyusunan tema menjadi percuma. Saya sendiri pernah menyusun tema khotbah untuk kebaktian, dan saya memperhatikan pengkhotbah yang berkhotbah sesuai dengan tema dan tujuan yang diinginkan tidak sampai 25%!

Selain itu, sebuah kebaktian yang berfokus kepada satu tema bisa menjadi baik tetapi juga bisa menjadi buruk. Kondisi setiap jemaat yang datang ke kebaktian berbeda-beda, pergumulan dan kebutuhan mereka berbeda. Misalnya saja hari itu ada jemaat yang sedang bergumul dengan penyakit kanker dan dia baru tahu jika usianya tidak akan lama lagi. Jika hari itu temanya adalah tentang bermisi, lalu seluruh lagu, ayat Alkitab, kalimat liturgis, dan khotbah semua mendorong untuk bermisi, bahkan pengakuan dosa pun tentang mengaku dosa karena kurang bermisi, apa yang dia rasakan? Saya tahu Tuhan bisa berbicara lewat apa saja. Tetapi alangkah berbedanya jika dalam kebaktian, elemen-elemen kebaktian menyampaikan hal yang berbeda-beda (tentu bukan kacau), misalnya ada lagu yang mengajak memuliakan Tuhan, ada yang bicara tentang penghiburan, kalimat liturgis mendorong untuk percaya kepada Tuhan, lalu khotbah tentang misi. Kebaktian akan seperti jaring yang “menangkap” dan “mengena” kepada banyak orang yang datang.

Kelemahan terakhir adalah masalah konsep. Cara “menyusun tema khotbah” ini menjadikan kebaktian seperti “class room” dengan kurikulum yang kita pikir terarah. Tetapi kebaktian bukanlah “classroom” – it’s a time to worship! Khotbah bukanlah untuk menggerakkan jemaat ke arah tertentu, tetapi menguraikan Firman Tuhan yang sangat kaya dan limpah yang berbicara di dalam kompleksnya kehidupan kita. It’s a time to worship!

Beberapa usulan saya jika ingin menggunakan cara ini:

1. Susun tema hanya untuk “pengkhotbah dalam”. Para pengkhotbah di dalam gereja itu bisa berkumpul dan mendiskusikan tema-tema yang ingin mereka masing-masing khotbahkan. Kadang saya diberikan tema yang saya sama sekali tidak mampu atau yang saya sama sekali tidak punya hati/beban untuk mengkhotbahkannya. Kesulitan-kesulitan ini muncul karena sebagai pengkhotbah tamu, saya tidak tahu dan tidak berbagian dalam pergumulan dan beban di balik penyusunan tema itu (sekalipun sudah dijelaskan!). Tetapi, akan berbeda jika yang menyusun tema adalah juga yang berkhotbah. Untuk pengkhotbah luar, bebaskan saja. Mungkin ada hal-hal yang mereka pikirkan yang kita tidak pernah pikirkan. Mungkin dia sedang sangat terbeban kepada sesuatu, dan kalau dia dibebaskan, dia akan menyampaikan tema itu dengan sangat baik. Saya sendiri merasa ketika mendapat kebebasan menentukan tema khotbah sendiri, hampir selalu saya berkhotbah lebih baik daripada ketika tema sudah ditentukan. Atau paling tidak, beri tahu dia tema tahunan kita, lalu apa saja yang sudah dikhotbahkan, dan minta dia mengusulkan tema yang dia rasa cocok.

2. Jangan terlalu kaku dengan “tema tahunan” apalagi “tema bulanan”. Boleh saja jika ingin ada tema tahunan tapi percayalah hampir semua tema bisa masuk di bawah payung tema tahunan itu – kadang hanya perlu sedikit twist saja! Pikirkan seluas-luasnya apa yang jemaat perlukan. Jangan juga berpikir hanya tematik karena khotbah bukanlah seminar tetapi penguraian Firman Tuhan. Selingi khotbah tematik dengan memikirkan bagian Alkitab mana yang akan dikhotbahkan dan dari bagian Alkitab itu baru munculkan temanya.

3. Mungkin bisa dicoba untuk tidak menyusun tema terlalu jauh ke depan. Craig Groeschel (penulis buku Christian Atheist) bercerita bahwa dia hanya bisa menyusun khotbah (kalau tidak salah) 2 bulan ke depan. Alasannya adalah kondisi jemaat akan berubah, dia tidak tahu apa yang akan terjadi 6 bulan lagi! Lagipula kondisi dia pun akan berubah, ada pergumulan yang baru, ada buku atau artikel yang baru dia baca, maka topik yang “hot” bagi dia akan berubah sesuai waktu. Kalau tema khotbah sudah disusun 1 tahun ke depan, maka kebebasan itu menjadi hilang.

4. Selalu ingat bahwa kebaktian kita bukanlah “classroom” dan bukan alat untuk menggerakkan orang. Kebaktian adalah kebaktian – a worship time where the people of God meet their God!

Alternatif cara lain untuk menentukan “apa yang akan dikhotbahkan”:

1. Menggunakan “Revised Common Lectionary” (RCL). Tidak terlalu banyak gereja di Indonesia yang menggunakannya tetapi ini dipergunakan oleh berbagai gereja di dunia termasuk Lutheran, Anglikan, Methodist, dan Presbyterian. RCL memberikan 4 bagian Alkitab setiap minggunya, masing-masing dari Mazmur, Perjanjian Lama lainnya, Injil dan Perjanjian Baru lainnya. Keempat bagian itu bisa dikhotbahkan sekaligus – karena berkaitan satu sama lain, tetapi juga bisa dipilih hanya 1 bagian saja. Bagian-bagian Alkitab itu disusun dengan memperhatikan 2 periode besar dalam kalender gereja yaitu Natal (dengan Advent sebagai persiapannya) dan Jumat Agung/Paskah (dengan Lent sebagai persiapannya dan Pentakosta sebagai penutupnya). Minggu-minggu di luar kedua periode itu, disebut sebagai “ordinary weeks”. Siklus RCL adalah 3 tahun, artinya setelah 3 tahun akan mengulang lagi. Tetapi, walaupun mengulang lagi belum tentu khotbahnya dari bagian yang sama karena jangan lupa setiap minggu ada 4 bagian Alkitab yang bisa dikhotbahkan. Selama 3 tahun itu juga, bagian-bagian Alkitab yang dimasukkan sudah mencakup hampir seluruh Alkitab. Akan terlalu panjang jika diuraikan detil cara penggunaannya di sini, tetapi kira-kira seperti itu.

Kelebihan dari penggunaan RCL adalah: 

Pertama, kalender gereja sangat diperhatikan. Kehidupan kita sebagai orang Kristen berpusat pada kehidupan Kristus: Natal, Jumat Agung, Paskah, Kenaikan, dan Pentakosta – Yesus mengutus Roh Kudus. Tahun demi tahun, kalender liturgi gereja membawa kita tenggelam lagi dan tenggelam lagi dalam makna kehidupan Kristen. Kalender gereja mengajar kita arti mengikut Yesus. Gereja Protestan di Indonesia cenderung hanya merayakan Natal, Jumat Agung, Paskah, lalu Kenaikan dan Pentakosta. Sebelum dan sesudah hari-hari raya itu tidak ada apa-apa, business as usual. Tidak banyak yang mempersiapkan Natal dengan Advent apalagi mempersiapkan Jumat Agung/Paskah dengan Lent. Berbagai peristiwa dalam kalender gereja seperti Rabu Abu dan Minggu Palem dicap sebagai “Katolik”. Bagi yang berpikir seperti itu, saya mohon, pelajari dulu!

Kedua, Alkitab dikhotbahkan dengan merata. Seorang pengkhotbah pernah berkata, “Alkitab orang Kristen lebih tipis dari Alkitab” karena seumur hidup mungkin hanya sedikit bagian Alkitab yang pernah kita dengar dikhotbahkan. Sisanya tidak pernah disentuh oleh pengkhotbah. Tetapi mengikuti RCL memaksa untuk pengkhotbah mengkhotbahkan hampir seluruh bagian Alkitab.

2. Cara lain adalah mengkhotbahkan satu atau beberapa bagian dari setiap kitab dalam Alkitab. Cara ini membuat jemaat mendengar, membaca dan menangkap pesan, paling tidak sebagian dari setiap kitab dalam Alkitab. Tujuannya juga supaya orang Kristen melihat benang merah sejarah keselamatan di dalam Alkitab. (Saya mendapat usulan cara ini dari D.A. Carson).

3. Eksposisi per kitab. Cara ini menolong jemaat mendengar pesan keseluruhan kitab itu dan melihat keseluruhan ayat di dalam konteksnya – bukan sekedar comot ayat. Variasinya adalah dengan membahas seri tema-tema Alkitab (Biblical themes). Keduanya bisa dilakukan bergantian. Pembahasan per kitab menolong jemaat mengerti satu kitab sebagai satu kitab yang utuh, pembahasan tema Alkitab menolong jemaat melihat benang merah antar kitab.

Cara no.1-3 di atas memperhatikan supaya Alkitab dikhotbahkan dengan lebih utuh. Begitu banyak liku-liku hati manusia yang sangat kompleks yang hanya bisa ditelusuri dan ditembusi dengan membiarkan Alkitab yang kompleks dikhotbahkan dengan utuh. Sebaliknya khotbah tematik secara terus menerus akan mendiskon banyak sekali berita Alkitab.

4. Membebaskan setiap pengkhotbah untuk memilih tema khotbahnya sendiri. Salah satu alasan menggunakan cara ini adalah karena khotbah di dalam ibadah bersifat inspiratif – berupa pergumulan, kerinduan dan pesan yang Tuhan tanamkan dalam diri pengkhotbah. Syaratnya hanya satu: Undanglah pengkhotbah yang terus belajar dan mempersiapkan khotbah dengan baik.

Saya sendiri pernah mengalami selama bertahun-tahun berada di gereja yang tidak menyusun tema sama sekali, kecuali untuk hari-hari raya dalam kalender gereja dan hari-hari khusus seperti HUT, Mother’s Day, Father’s Day. Saya berani meyakinkan bahwa hampir tidak pernah ada pengkhotbah yang “bentrok” – minggu ini khotbahnya sama dengan minggu lalu (seingat saya hanya pernah 1X terjadi selama lebih dari 8 tahun dan itupun hanya bagian Alkitabnya yang sama tapi khotbahnya beda). Juga tidak pernah terasa ketidakcocokan antara lagu dan khotbah. Bahkan seringkali kaget menemukan bagaimana pembacaan Alkitab, kata-kata liturgis, lagu pujian, dan khotbah bisa saling melengkapi dengan unik!

5. Mencampur cara-cara di atas :-)

Tidak semua orang akan setuju dengan apa yang saya tuliskan di atas. It’s ok! :-) Mungkin ada hal-hal yang saya salah atau kurang tepat. Saya hanya ingin menunjukkan bahwa menentukan “apa yang akan dikhotbahkan” tidak sesederhana “menyusun tema khotbah”. Saya juga tidak bermaksud meremehkan gereja-gereja yang “menyusun tema khotbah” – mungkin anda berhasil menyusunnya dengan baik. Saya hanya berharap tulisan ini menolong kita untuk berdiskusi dan berpikir dengan lebih kritis. May the Lord help us all!

Wednesday, October 01, 2014

Welcoming October: New Bible Reading Plan!

1 Oktober! 9 bulan sudah berlalu di tahun 2014. Tinggal 3 bulan lagi sebelum kita memasuki 2015. Time flies really fast!!! What have I done in the past 9 months?

Kemarin saya baru selesai membaca ulang Alkitab dari Kejadian-Wahyu. Rencana awalnya saya ingin menyelesaikannya dalam 2 tahun, tetapi akhirnya molor 3 bulan lebih :-)

Selama bertahun-tahun saya sudah berkali-kali mengganti metode saat teduh saya. Saya pernah menggunakan buku saat teduh: Renungan Harian, Santapan Harian, Encounter With God - yang terakhir ini sangat bagus!!! Saya pernah menggunakan Alkitab bahasa Indonesia saja tanpa buku renungan. Saya pernah menggunakan Alkitab bahasa Inggris saja (beberapa versi). Saya pernah menggunakan buku tafsiran, 1 buku untuk 1 kitab dalam PB, walaupun tidak selesai tapi lumayan hampir habis. Beberapa tahun belakangan ini saya hanya menggunakan Alkitab bahasa Inggris saja tanpa buku renungan ataupun tafsiran.

Tempat saya ber-saat teduh pun terus berganti-ganti. Saya pernah menikmati saat teduh dengan duduk di teras rumah (tentunya di Jakarta) dengan segelas kopi di tangan :-) Saya pernah menikmati saat teduh di pinggir kolam renang, di taman, di perpustakaan, di macam-macam tempat.

Tidak jarang saya mendengar orang Kristen mengatakan bosan dengan saat teduhnya. Pertanyaan saya selalu adalah, "Lalu kenapa tidak mengganti metodenya?" Metode yang paling umum dilakukan orang Kristen adalah menggunakan buku renungan dan caranya pun sangat buruk: (1) Doa super singkat, (2) Baca ayat Alkitab yang tertulis di situ cepat-cepat (kadang memang hanya satu atau beberapa ayat), (3) Baca renungan yang berupa cerita sederhana, (4) Doa super singkat lagi. Seringkali semuanya dilakukan di kendaraan umum atau di kantor dalam suasana yang sangat tidak teduh! Sounds familiar? Tidak heran kalau bosan! "Saat teduh" adalah saat untuk teduh - dengan Tuhan. Ada waktu mendengar suara-Nya lewat Alkitab, ada waktu untuk merenungkan hidup di hadapan-Nya, dan ada waktu untuk bicara dengan-Nya dalam doa. Bukan sambil lalu, bukan asal-asalan, tapi dengan nikmat dalam keteduhan. Metode apa saja boleh digunakan untuk menolong kita ber-saat teduh.

Hari ini, tepat 1 Oktober 2014, saya memulai kembali membaca ulang Alkitab. Kali ini saya menggunakan Parallel Bible: New American Standard Bible - The Message. New American Standard Bible adalah terjemahan modern yang cenderung literal tapi tidak kaku. Saya pernah menggunakannya dulu dan saya menyukainya. The Message, yang dikerjakan oleh Eugene Peterson selama 10 tahun, adalah terjemahan Alkitab dalam bentuk parafrase. The Message memang tidak bermaksud menjadi terjemahan Alkitab yang sangat akurat, tetapi berusaha mengkalimatkan ulang Alkitab untuk menekankan pesannya. Seperti berkhotbah langsung melalui pembacaan Alkitab!



Kali ini saya tidak ingin membaca terlalu banyak setiap harinya. Saya ingin lebih menikmati Alkitab sedikit demi sedikit. Maka saya tidak memasang target kapan harus selesai, walaupun perkiraan saya adalah 3 tahun atau kurang sedikit.

May God bless me, guide me, and strengthen me through His Holy Word!

Tuesday, September 23, 2014

Natal Sebelum/Sesudah 25 Desember?

Natal masih tiga bulan lagi. Tapi justru karena itulah saya menulis ini. Mudah-mudahan belum
terlambat untuk menjadi bahan pertimbangan.

Banyak gereja dan persekutuan yang mengadakan kebaktian dan perayaan Natal jauh sebelum atau jauh sesudah tanggal 25 Desember. Mungkin di awal Desember atau bahkan di akhir November, mungkin di Januari atau bahkan di Februari! Alasannya? Sangat praktis.

Ada yang beralasan biasanya tanggal 25 Desember banyak jemaat yang tidak berada di tempat. Bagi gereja di luar negeri, mungkin banyak jemaatnya yang pulang ke Indonesia. Bagi gereja di dalam negeri, mungkin banyak jemaatnya yang pergi liburan. Maka untuk menghindari sepinya kebaktian dan perayaan Natal, solusinya adalah mengadakannya jauh lebih awal. Ada juga yang beralasan (biasanya berbagai persekutuan – persekutuan keluarga besar, daerah, suku, kantor, dsb) bahwa periode sekitar Natal semua anggotanya sedang sibuk dengan kegiatan di gereja masing-masing. Maka supaya mereka mau hadir dan tidak mengganggu kegiatan gereja, solusinya adalah mengadakannya jauh sesudah periode Natal.

Di dalam gereja sendiri, berbagai persekutuan rumah tangga dan komisi, masing-masing juga merayakan Natal. Maka di waktu-waktu sekitar Natal, kadang kita bisa bercanda: “Udah berapa kali Natal?” atau “Ini Natal yang ke berapa nih?”

Kita memang tidak tahu pasti kapan tanggal Yesus dilahirkan di bumi (dan kemungkinan besar memang bukan 25 Desember!). Yesus juga tidak pernah minta dirayakan ulang tahunnya. Lagipula, mengenang akan inkarnasi Yesus untuk menyelamatkan kita dan merenungkan kehadiran Yesus yang menjadi terang dunia, adalah sesuatu yang cocok untuk dilakukan oleh kita setiap saat. Maka tidak ada yang salah dengan merayakan Natal di bulan November, Februari atau Juli sekalipun! Tidak ada yang salah juga dengan merayakan Natal berkali-kali!

Tetapi, secara kesatuan orang percaya, saya kira ada baiknya jika semua orang Kristen fokus merayakan Natal di tanggal 25 Desember. Ada dua alasan:

Pertama, sekalipun 25 Desember bukanlah “hari ulang tahun” Yesus, tetapi sejak sekitar abad ke-4, mayoritas gereja di seluruh dunia sudah membaptis tanggal itu menjadi waktu mengingat dan merayakan kelahiran Yesus ke dalam dunia. Alangkah indahnya berbagi sukacita dengan orang-orang percaya di seluruh dunia ketika kita merayakan kelahiran Yesus pada waktu yang hampir bersamaan (hanya masalah perbedaan zona waktu).

Kedua, kalau semua gereja merayakan Natal di tanggal 25 Desember, di belahan dunia manapun seorang Kristen berada pada tanggal 25 Desember, dia akan bisa ikut merayakan Natal di situ bersama dengan orang-orang Kristen lainnya. Bayangkan kasihannya, misalnya ada seorang Kristen dari Jakarta yang harus bepergian ke Singapore pada tanggal 25 Desember. Di sana dia mencari gereja Indonesia untuk merayakan Natal dan ternyata gereja itu sudah merayakan Natal tiga minggu sebelumnya! Bayangkan juga anehnya, misalnya ada seorang Kristen dari Indonesia yang tinggal di Singapore. Gerejanya di Singapore merayakan Natal pada minggu pertama Desember. Setelah perayaan Natal disitu, dia pulang ke Jakarta dan menemukan bahwa minggu berikutnya di gerejanya di Jakarta masih minggu Advent – mempersiapkan dia menyambut Natal! Kalau dia sangat menghayati perayaan Natal di gerejanya di Singapore, maka dia akan merasa aneh sekali karena setelah merayakan Natal sekarang Advent lagi. Kalau dia tidak merasa ada yang aneh maka mungkin dia memang tidak peduli dengan semuanya. Merayakan Natal bersama di tanggal 25 Desember mencerminkan kesatuan gereja.

Bagi berbagai persekutuan yang merayakan Natal, baik sebelum atau sesudah 25 Desember, sekalipun secara teologis tidak salah, tetapi sebetulnya agak aneh. Bukankah anggota persekutuan itu akan atau sudah merayakan Natal di gereja masing-masing? Mengapa mereka harus sekali lagi mengulang semuanya – biasanya lagi-lagi lengkap dengan lagu Natal, drama Natal, candle light, dsb? Apa maknanya?

Demikian pula dengan berbagai komisi di dalam gereja yang merayakan Natal – biasanya sebelum 25 Desember. Masing-masing juga merayakannya lengkap dengan semua atribut kebaktian Natal. Lalu apa lagi maknanya perayaan Natal bersama sebagai gereja di kebaktian Natal gereja? Tidak masalah jikalau ingin menggunakan momen itu sebagai KKR atau acara khusus untuk mengundang orang belum percaya, tapi mengapa disebut sebagai kebaktian Natal dan semua atribut acaranya persis dengan perayaan Natal di gereja (umum)?

Saya mengerti kesulitan gereja-gereja di luar negeri yang banyak jemaatnya pulang liburan pada waktu Natal tetapi ingin punya waktu merayakan Natal bersama sebagai gereja. Saya usul supaya tetap menyebutnya sebagai minggu Advent saja. Silakan ada drama, liturgi khusus, berbentuk KKR, atau apa saja, tetapi tetap pertahankan itu sebagai minggu Advent. Tetap persiapkan jemaat untuk merayakan Natal di gereja manapun nanti mereka akan berada dan tetap rayakan Natal pada tanggal 25 Desember bagi jemaat yang masih tinggal di tempat dan bagi semua tamu yang datang.

Saya juga mengerti keinginan komisi di dalam gereja dan berbagai persekutuan lain untuk memanfaatkan momen Natal sebagai waktu yang khusus. Saya usul untuk menyebutnya sebagai “Persekutuan Khusus Menjelang Natal” (atau ada usulan lain yang lebih kreatif?).
Maka setiap jemaat, dipersiapkan, mengharapkan, menujukan pandangan ke tanggal 25 Desember, dimana bersama-sama sebagai gereja kita merayakan Natal.
Bagi persekutuan yang mengadakan Natal di bulan Januari atau Februari, saya usul sebaiknya tidak usah. Lebih baik adakan saja “Persekutuan Tahun Baru”.

Apa yang saya tuliskan di atas bukan “hukum mutlak” dan saya tidak anti dengan perayaan Natal sebelum/sesudah 25 Desember. Saya juga tidak anti dengan 10X merayakan Natal. Tetapi, paling tidak saya mohon supaya tulisan ini bisa dipertimbangkan di dalam konteks masing-masing. Selamat mempersiapkan Natal!

Friday, September 05, 2014

Belajar dari Eugene Peterson dan Marva Dawn

Bagi mereka yang cukup teliti mendengarkan khotbah saya, pasti tahu akan kekaguman saya pada Eugene Peterson dan Marva Dawn. Saya seringkali mengutip kalimat mereka di dalam khotbah maupun di dalam pembicaraan informal.

Saya menyukai pola berpikir Eugene Peterson, kritis, mendalam, dan mengejutkan! Tulisannya kadang tidak mudah untuk dimengerti karena dia sangat ahli menggunakan bahasa untuk membangkitkan imajinasi. Maka waktu membaca, sering saya harus berhenti dan merenung dulu baru melanjutkan. Bahkan kadang setelah lewat beberapa waktu baru semua terlihat ‘nyambung’ bagi saya.

Saya juga menyukai analisa yang tajam sekaligus pastoral dari Marva Dawn. Marva tidak
menggembalakan gereja manapun tetapi selain pelayanan menulis, mengajar dan berkhotbah, dia terlibat pelayanan secara aktif dalam gereja. Dia pernah melatih paduan suara, mengajar sekolah minggu, dan membina anak-anak remaja dan pemuda. Maka apa yang dia bicarakan dan contoh yang dia berikan sangatlah ‘membumi’.

Beberapa tahun yang lalu saya mulai menyadari bahwa sangatlah banyak (atau bahkan hampir semua) konsep-konsep penting yang saya pegang tentang pelayanan, penggembalaan, bahkan spiritualitas, ternyata berasal dari mereka. Saya tidak pernah belajar semua itu secara formal di sekolah teologi. Saya juga tidak punya role model yang cukup kuat untuk saya bisa belajar mengenai semua itu. Saya bahkan kesulitan menemukan teman diskusi yang pas untuk bicara mengenai semua itu. Tetapi, saya belajar pertama-tama justru melalui membaca banyak buku, khususnya buku mereka berdua.

Saya tidak pernah studi formal di bawah mereka. Saya tidak pernah mengenal atau bahkan bertemu dengan mereka. Tetapi, tanpa mereka tahu dan tanpa saya sadari, mereka sudah menjadi "guru" dan "teman diskusi" bagi saya. Kalau bertemu dengan mereka, saya ingin berkata: “Terima kasih” (dengan bahasa Inggris kalau ketemu di dunia atau dengan bahasa sorgawi kalau ketemu di sorga).

Belum semua buku mereka saya baca. Di bawah ini adalah daftar buku mereka yang, seingat saya, sudah saya baca habis atau paling tidak sebagian besarnya:

Eugene Peterson dan Marva Dawn
The Unnecessary Pastor: Rediscovering the Call

Eugene Peterson
The Contemplative Pastor: Returning to the Art of Spiritual Direction
Reversed Thunder: The Revelation of John and the Praying Imagination
Subversive Spirituality
A Long Obedience in the Same Direction: Discipleship in an Instant Society
Eat This Book: A Conversation in the Art of Spiritual Reading
Leap Over the Wall: Earthy Spirituality for Everyday Christians
Run With the Horses: The Quest for Life at Its Best
Working the Angles: The Shape of Pastoral Integrity
Where Your Treasure Is: Psalms that Summon You from Self to Community
The Pastor: A Memoir

Marva Dawn
I’m Lonely Lord – How Long?: Meditations on the Psalms
Truly the Community: Romans 12 and How to be the Church
Sexual Character: Beyond Technique to Intimacy
The Sense of the Call: A Sabbath Way of Life for Those Who Serve God, the Church and the World
Keeping the Sabbath Wholly: Ceasing, Resting, Embracing, Feasting
Reaching Out Without Dumbing Down: A Theology of Worship for This Urgent Time
Powers, Weaknesses and the Tabernacling of God

Sebetulnya belajar hanya dari membaca buku tidaklah terlalu ideal karena buku berbeda dengan teman diskusi yang hidup. Tetapi, paling tidak, setelah kita membaca buku, merenungkannya, mencoba menjalankannya, kemudian ditambah dengan menemukan di sana-sini "guru" dan "teman diskusi" yang jauh dari sempurna, we will still learn a lot of things!

NB: Btw, saya baru sadar sangat sedikit dari daftar buku-buku di atas yang sudah saya review di blog ini.

Wednesday, August 27, 2014

Silence - Shusaku Endo

“Silence” - Pertama kali saya berkenalan dengan novel ini adalah ketika GKY Green Ville
mementaskannya dalam sebuah drama pada tahun 2006. Beberapa waktu lalu saya menemukan novel ini di perpustakaan TTC dan begitu mulai membacanya, saya tidak bisa tidak membacanya sampai habis.

Shusaku Endo menulis novel ini dengan latar belakang periode sejarah di Jepang yang disebut sebagai ‘abad kekristenan’. Kekristenan dibawa masuk ke Jepang oleh Basque Francis Xavier pada tahun 1549. Pekerjaan misi itu berkembang sehingga pada tahun 1579 diperkirakan sudah ada 150.000 orang Kristen di sana. Tetapi pada tahun 1597, Hideyoshi, salah seorang tokoh pemersatu Jepang, memerintahkan eksekusi mati 26 orang misionaris Kristen. Walaupun begitu, pekerjaan misi masih bisa dilanjutkan. Tetapi, kemudian di bawah pemerintahan Ieyasu, penerus Hideyoshi, penganiayaan menjadi perintah resmi. Itulah pukulan mematikan bagi kekristenan di Jepang di saat sudah ada 300.000 orang Kristen dari 20 juta populasi orang Jepang. Akhirnya di bawah pemerintahan para penerus Ieyasu, perburuan atas orang Kristen dan khususnya para imam menjadi sangat sistematik dan kejam untuk menghapus habis kekristenan dari Jepang.

Pada mulanya, cara eksekusi yang paling lazim adalah dengan membakar orang Kristen hidup-hidup. Lama kelamaan, cara eksekusi dirancang sedemikian rupa supaya orang Kristen tidak tahan dan murtad. Salah satunya adalah dengan menggantung orang Kristen di dalam sumur. Seluruh tubuh orang itu akan diikat erat dengan tali sampai batas dada (satu tangan dibiarkan bebas untuk memberi tanda ingin murtad) dan dia digantung terbalik ke dalam sumur yang penuh berisi kotoran. Untuk memberikan jalan keluar bagi darah maka dahinya diberi sayatan tipis dengan pisau dan darah akan menetes perlahan dari luka itu. Mereka yang kuat bisa bertahan lebih dari seminggu sebelum mati, tetapi banyak yang tidak bisa bertahan lebih dari satu atau dua hari. Cara ini sangat efektif membuat orang Kristen menyangkal Yesus.

Sampai tahun 1632, bagaimanapun beratnya penganiayaan, belum ada satupun misionaris yang menyangkali Yesus. Tetapi, berita buruk pun kemudian tiba: Christovao Ferreira menyangkal Yesus di sumur penyiksaan itu. Sangat mengejutkan karena Ferreira adalah salah seorang pimpinan misionaris! Lebih mengejutkan lagi diberitakan bahwa kemudian Ferreira bekerja untuk pemerintah Jepang! Sekelompok misionaris kemudian datang untuk menebus kesalahan Ferreira tetapi mereka segera tertangkap dan satu persatu juga menyangkal Yesus karena tidak tahan dengan penyiksaan.

Kekristenan memang tidak menghilang dari Jepang, tetapi masa penyiksaan itu menjadi masa yang sangat kelam bagi banyak orang Kristen. Dengan latar belakang inilah, Shusaku Endo berulang kali di dalam novelnya melontarkan pertanyaan yang sangat tajam: Mengapa Allah terus berdiam diri? Why is God continually silent?

Tokoh utama dalam novel ini adalah seorang imam bernama Rodrigues. Diceritakan bahwa dia datang ke Jepang untuk menebus kesalahan Ferreira dan dia tidak percaya bahwa Ferreira sudah murtad. Rodrigues sudah bertekad kuat bahkan untuk mati martir di Jepang. Tetapi, satu hal yang terus menggoncangkan dia di sana adalah dia melihat kehadiran dirinya ternyata bukan menolong orang Jepang tetapi menyusahkan mereka. Dia ingin melayani mereka tetapi justru karena dialah maka banyak orang Kristen yang mati dibunuh. Sebagian mati dibunuh karena menyembunyikan dia dan sebagian lagi mati dibunuh karena ia, Rodrigues, tidak mau menyangkal Yesus.

Momen paling menentukan adalah ketika dia dibawa ke penjara yang sangat gelap dan di sana dia mendengar suara “dengkuran” yang kuat. Ferreira yang bekerja untuk Jepang mendatangi dia dan mengajak dia menyangkal Yesus. Dengan tekad yang masih kuat, dia terus menolak. Sampai akhirnya Ferreira memberitahu dia bahwa itu bukan suara “dengkuran” melainkan suara orang Kristen yang kesakitan di dalam sumur penyiksaan karena Rodrigues tidak mau menyangkal Yesus. Ferreira bercerita bahwa dulu dia berada di posisi yang sama seperti Rodrigues, lalu dia berkata (saya terjemahkan):

“Mendengar erangan itu sepanjang malam aku tidak mampu lagi memuji Tuhan. Aku tidak murtad karena aku digantung di dalam sumur. Selama tiga hari, aku yang berdiri di hadapanmu ini digantung di dalam sumur penuh kotoran, tetapi aku tidak mengucapkan satu kata pun yang mengkhianati Allahku. Alasan aku murtad… apakah engkau siap? Dengar! Aku ditempatkan di sini dan mendengarkan suara orang-orang yang untuknya Allah tidak berbuat apa-apa. Allah tidak melakukan apapun. Aku berdoa dengan seluruh kekuatanku; tetapi Allah tidak melakukan apa-apa.”

Malam itu juga, akhirnya Rodrigues mengikuti ajakan untuk murtad dengan menginjak lukisan wajah Yesus di depan para penyiksanya. Dan Shusaku Endo berkata, waktu itu “Fajar menyingsing. Dan jauh di sana ayam pun berkokok.”

Novel ini sangat menggugah hati dan pikiran saya. Dua hal yang terus terpikir oleh saya:

1. Penderitaan mereka. Apakah saya punya hati untuk melayani Tuhan seperti para misionaris itu? Atau apakah saya punya hati untuk setia kepada Tuhan seperti orang-orang Kristen di Jepang itu? Masalah keberanian, daya tahan untuk disiksa, dan sebagainya, jelas saya tidak punya! (Hanya berharap Tuhan akan memberikan kekuatan pada waktunya). Tetapi, apakah saya punya hati untuk setia seperti itu? Ah… hidup saya melayani Tuhan hari ini terlalu nyaman dibanding mereka. Dengan cara apa saya memikul salib hari ini?

2. Mungkinkah Tuhan berdiam diri seperti yang digambarkan Shusaku Endo dalam novelnya? Pertanyaan itu berulang kali dia tanyakan, “Why God remains silent?” Saya bertanya-tanya bagaimana jika saya berada dalam situasi seperti itu dan Tuhan diam…??? Pertanyaan ini menggelitik saya selama beberapa waktu. Tetapi, pertanyaan yang lebih penting kemudian muncul: Mungkinkah Tuhan diam? Sangat diam? Sampai saya dibiarkan dalam kesunyian yang sangat panjang? Saya kira tidak! Ketika membaca Perjanjian Baru, saya menemukan situasi yang berbeda. Tak pernah Tuhan begitu diamnya sampai tidak ada lagi kesadaran kita akan kehadiran Tuhan.

Mungkinkah itu juga yang dipikirkan oleh Shusaku Endo? Di satu sisi, dia mengajak kita berpikir dan merasakan pergumulan orang Kristen ketika Tuhan ‘diam’. Di sisi lain, dia mengajak kita melihat bahwa Tuhan tidak diam. Karena di akhir dari novelnya, dia menaruh sebuah ucapan di mulut Rodrigues - yang pernah melakukan tindakan murtad tetapi masih terus setia kepada Tuhan dalam hatinya:

“But our Lord was not silent. Even if he had been silent, my life until this day would have spoken of him.” (Tetapi Tuhan kita tidaklah diam. Bahkan sekalipun Dia diam selama ini, hidupku sampai hari ini sudah berbicara tentang Dia).

Friday, August 22, 2014

Cara Berpikir - Part 2: Benarkah Begitu?

Ini bagian yang kedua dalam tulisan seri “Cara Berpikir”. Saya pernah menulis Cara Berpikir – Part 1: Apa sih Masalahnya? di sini.

Percayalah ada banyak masalah yang kita pikir sudah tahu jawabannya dengan sangat jelas dan kinclong ternyata belum terjawab. Ada banyak masalah yang kita pikir sudah yakin dan pasti jawabannya ternyata salah jawabannya. Saya menemukan seringkali kita terlalu cepat menarik kesimpulan “PASTI INI PENYEBABNYA! PASTI INI JAWABANNYA!” – padahal BUKAN! Maka pertanyaan yang sangat penting untuk ditanyakan adalah: “Really? – Benarkah begitu?”

Saya berikan beberapa contoh dari seputar pelayanan:

Ketika saya ingin mengubah sesuatu di dalam pelayanan, kadang jawabannya adalah “Jangan! Banyak yang nggak suka, banyak yang marah, banyak yang akan ribut.” Maka case closed. Tapi alarm saya berbunyi, “Really? - Benarkah begitu?” Tahu darimana banyak yang nggak suka? Berapa yang nggak suka? Apa alasannya nggak suka, apakah karena tidak mau berubah atau hanya karena belum mengerti? Seringkali saya menemukan yang disebut banyak ternyata tidak banyak.

Kadang orang berkata “masalah ini nggak ada jalan keluarnya, semua cara sudah dicoba”. “Really? - Benarkah begitu?” Betulkah S-E-M-U-A sudah dicoba? Mungkinkah kita berpikir terlalu sempit? Mungkinkah kita mencari jalan keluar tapi terus hanya di dalam kotak yang sama dan tidak pernah berpikir di luar kotak itu (thinking outside the box)? Ilustrasi yang sering dipakai untuk melukiskan ini adalah ketika kita diminta untuk menghubungkan sembilan titik (3X3) dengan 4 garis.


Sepertinya tidak mungkin berhasil, padahal bisa kalau saja kita mau berpikir dengan cara lain!

Misalnya saja, banyak gereja punya persekutuan pemuda di hari Sabtu. Semua usaha dicurahkan kesitu. Semua program dibuat disitu. Semua pemuda di gereja diajak kesitu. Ketika semua gagal, kita rasa semua jalan sudah dicoba. Padahal mungkinkah jalan keluarnya adalah bubarkan persekutuan pemuda di hari Sabtu itu dan lakukan bentuk program yang lain? Disclaimer: Saya tidak mengatakan solusi ini pasti baik, tapi ini adalah salah satu kemungkinan solusi.

Kadang orang juga yakin sekali bahwa untuk mencapai sesuatu maka perlu ini dan itu. Misalnya: Supaya jemaat bertumbuh, supaya kebaktian teratur, supaya jemaat belajar secara sistematis, maka perlu ada tema di dalam kebaktian. “Really? - Benarkah begitu?” Salah satu caranya adalah kita bisa melakukan cek secara terbalik. Logikanya: "Supaya jemaat bertumbuh, supaya kebaktian teratur, supaya jemaat belajar secara sistematis, maka perlu ada susunan tema tahunan, bulanan dan mingguan di dalam kebaktan." Ok, coba kita cek betulkah kalau ada tema di dalam kebaktian dampaknya seperti itu? Sebaliknya, bagaimana jika tidak ada tema yang tersusun seperti itu, apakah kacau dan tidak baik? Jangan cepat-cepat memberikan jawaban!

Seringkali saya juga mendengar orang Kristen berkata bahwa mereka tidak suka khotbah yang “berat” maksudnya yang isinya berupa doktrin, teologi, penafsiran Alkitab yang susah, sebaliknya mereka mau yang praktis dan aplikatif. Perhatikan logikanya:

Masalahnya: Jemaat bosan waktu khotbah.
Peyebabnya: Khotbahnya “berat”, teori, doktrinal membosankan.
Jalan keluarnya: Khotbah harus yang gampang, ringan, praktis, just-do-it style!

"Really? - Benarkah begitu?" Kalau kita telusuri ke belakang, benarkah khotbah berupa doktrin, teologi, penafsiran Alkitab itu membosankan? Masalahnya di khotbah atau di pengkhotbah yang tidak bisa menyampaikannya dengan baik? Lebih jauh lagi, betulkah jemaat menginginkan khotbah yang gampang, ringan, praktis? Atau jangan-jangan mereka berpikir begitu karena lelah dengan pengkhotbah yang tidak berkhotbah dengan baik? Jikalau pengkhotbah menyampaikan kebenaran yang mendalam dengan baik, apakah jemaat masih akan berpikir begitu? (Saya berencana menulis lebih jauh tentang ini).

Beberapa orang menginginkan masa pelayanan gembala di sebuah gereja harus dibatasi secara waktu. Alasannya klasik: Supaya jangan jadi raja di situ! Supaya jangan jadi comfort zone bagi dia! Maka solusinya sederhana: Mutasi! "Really? Benarkah begitu?" Bagaimana jika ada sistem yang membuat tempat itu tidak menjadi comfort zone bagi dia dan dia juga tidak menjadi raja di situ? Pernahkah menghitung kerugian memutasi gembala sebuah gereja hanya berdasarkan periode waktu? Bagaimana jika di akhir periode pelayanannya, dia masih sangat baik melayani dan gereja sedang bertumbuh dan bersemangat untuk maju? Bukankah kalau dia dipindahkan, gereja malah akan hancur? Belum lagi kerugian psikologis. Seorang gembala perlu bertahun-tahun membangun kepercayaan dengan jemaatnya, sampai jemaat mau bercerita, sampai jemaat percaya kepada keputusannya, maka berapa capenya jemaat harus kembali membangun kepercayaan dengan gembala yang baru? Jujur, solusi ini terpikirkan karena adanya pengalaman buruk di masa lalu, tapi coba berhenti dulu dan berpikir benarkah itu solusinya? (Saya juga berencana menulis lebih jauh tentang ini).

Pola pikir ini bisa diterapkan di banyak bidang kehidupan, maka bisa banyak sekali contoh yang saya berikan. Tetapi, mungkin beberapa contoh di atas sudah cukup menjelaskan pola berpikir ini: “Really? - Benarkah begitu?” Kita akan dipaksa untuk berpikir lagi, lebih mendalam, lebih luas dari berbagai sisi. Itu sangaaaatttt… berguna!

Saturday, August 16, 2014

My Dissertation Writing - 3

Terakhir kali saya menulis update penulisan disertasi adalah 9 bulan yang lalu! Bukannya malas tapi memang hampir tidak ada yang bisa di-update. Saya tetap bekerja, membaca banyak buku dan disertasi, berpikir, baca lagi, pikir lagi, ditambah banyak bengong di tengah-tengahnya, baca lagi, pikir lagi,… seperti mencoba melihat titik terang di ujung sebuah lorong yang panjang tapi tetap tidak kelihatan.

Sampai sekarang masih belum kelihatan titik terang yang di ujung lorong itu tapi ada perasaan bahwa ke situ arahnya. Maka sedikit update saja:

Saya sedang mencoba menyelidiki kaitan antara Roh Kudus dan etika di dalam Perjanjian Lama, literatur zaman Bait Allah kedua (Second Temple Literature) dan literatur Yunani-Romawi (Graeco-Roman) zaman itu. Saya mencoba untuk melihat berbagai kemungkinan pengharapan dan penafsiran yang dimiliki orang Yahudi di zaman itu tentang bagaimana Roh Kudus bekerja mempengaruhi etika. Saya juga mencoba menemukan latar belakang kalimat-kalimat perintah yang Paulus pakai dalam kaitan dengan Roh Kudus: “hidup oleh Roh”, “dipimpin oleh Roh”, “menabur dalam Roh” di dalam literatur di atas.

Saya perlu mengerjakan ini karena Paulus menulis surat Galatia untuk menjawab tantangan para pengacau di sana. Sebisa mungkin saya ingin mengerti apa yang ada di dalam pikiran para pengacau itu dan juga jemaat Galatia. Kemudian barulah saya mencoba memikirkan bagaimana argumen Paulus di surat Galatia bisa menjawab tantangan mereka.

Jalannya masih sangat panjang. Sekarang ini saya hanya fokus mencari data sambil terus memikirkan bagaimana data itu akan dipergunakan nantinya.

Latar belakang literatur ini akan menjadi Bab 2 di dalam disertasi saya. Harap-harap saya bisa mulai menulis Bab 2 ini paling lambat di akhir September. Lebih harap-harap lagi, saya bisa menyelesaikan Bab 2 ini paling lambat di akhir Januari 2015.

Saturday, August 09, 2014

Happy Friendship Day!

Tidak banyak yang tahu tepat 10 hari yang lalu adalah “International Friendship Day”. No problem, tokh kita juga nggak pernah ngerayain :-) Cuma ingin pakai kesempatan untuk menulis tentang “Friendship”!
 
Salah satu cara Allah menopang kehidupan kita adalah melalui kasih yang Dia nyatakan melalui orang-orang di sekitar kita. Kita bisa lahir dan bertumbuh besar karena ada orang yang mengasihi kita. Kita bisa menjadi seperti sekarang adalah karena ada orang yang mengasihi kita. Artinya selalu ada jejak-jejak kasih Allah yang bisa kita lihat melalui orang-orang di sekitar kita.

Tetapi, di dalam dunia yang rusak ini, sayangnya bukan cuma kasih yang kita terima tetapi juga kebencian dan permusuhan. Bahkan seringkali kebencian lebih banyak kita terima daripada kasih. Kita diejek, dihindari, diserang, dimaki, dikejar, dimanfaatkan, dijadikan doormat, atau dibenci. Itu realita dunia ini. Pertanyaannya: Bagaimana kita bisa bertahan hidup dalam dunia seperti ini?

Daud pernah mengalami dunia yang seperti itu dengan musuh utama yang bukan main-main: Raja Saul! Kebencian dan permusuhan Saul kepadanya seperti mengurung dia. Ironisnya, Daud dibenci bukan karena kesalahannya tapi justru karena kebaikannya! Saul iri, benci, dan enam kali bahkan dia berusaha membunuh Daud. Maka Daud hidup dalam pelarian, dia dikejar-kejar, dia tinggal di gua-gua, dia sangat menderita, bertahun-tahun lamanya. Apa yang membuat Daud bisa bertahan? Dia bisa memimpin orang Israel, memelihara imannya, mengarang lagu-lagu pujian bagi Tuhan, bahkan menjaga supaya tidak ada dendam dalam hatinya. Apa yang membuat Daud bisa seperti itu?

Salah satu jawabannya adalah karena di tengah kebencian yang dia hadapi, penderitaan yang dia tanggung, kepahitan hidup yang dia rasakan, Daud menemukan kasih di dalam persahabatan. Dia menemukan itu pada orang-orang di sekitarnya yang mengikuti dia. Tetapi, terutama, dia menemukan itu pada Yonatan.

Yonatan adalah anak raja Saul – musuh Daud. Persahabatannya dengan Daud membuat hidupnya sangat complicated. Dia seorang putra mahkota, tetapi bersahabat dengan Daud berarti merelakan untuk tidak menjadi raja dan menyerahkan hak itu kepada Daud. Dia bahkan harus dibenci oleh ayahnya sendiri! Tetapi, Yonatan mengasihi Daud. Dia percaya kepada Daud, dia tidak iri kepada Daud, dia mendukung Daud, dia menyelamatkan Daud dari kejaran ayahnya dengan meresikokan dirinya, dia hanya berharap Daud bisa menggenapi panggilan Tuhan menjadi raja Israel yang baik. Apa yang dia dapat? Tidak ada, kecuali kasih melalui persahabatan. Ironisnya, sejak dia menolong Daud melarikan diri, dia tidak pernah bertemu lagi dengan Daud karena kemudian dia mati.

Persahabatan adalah anugrah Tuhan bagi kita di dalam dunia yang rusak ini. Tetapi, persahabatan seringkali dianggap sesuatu yang sekuler - tidak ada sangkut pautnya dengan kerohanian kita. Paling banyak kita hanya menyebut ayat Alkitab yang mengatakan “pergaulan yang buruk merusakkan kebiasaan yang baik”. Maka biasanya kita hanya berpikir yang penting teman saya bukan orang jahat, sudah cukup! Padahal persahabatan bukan hanya itu. Ada aspek spiritualitas dalam persahabatan yang tidak bisa digantikan oleh apapun dalam membangun hidup kita.

Berkenalan dengan banyak orang adalah hal yang baik. Bisa akrab dengan banyak orang pergi bersama, tertawa bersama, menolong dan ditolong, adalah yang yang besar. Tetapi, hal terbesar yang hanya dilakukan seorang sahabat adalah ketika dia mengambil waktu untuk melihat apa yang ada di dalam diri kita. Dia melihat kelemahan dan luka kita, lalu membalutnya dengan kasih. Kemudian dia melihat apa yang Tuhan kerjakan di dalam kita, “the best in us”, lalu mendorong kita untuk menumbuhkannya. Walaupun kadang dengan resiko, walaupun kadang harus berkorban, semua dilakukan tanpa agenda, tanpa maksud tersembunyi, tetapi dilakukan karena kasih Tuhan. Itulah sahabat!

Daud mengalami itu dari Yonatan. Dalam 1 Sam 18-20 berulang kali dikatakan Yonatan mengasihi Daud seperti jiwanya sendiri. Dia tunjukkan kesetiaannya kepada Daud. Dia mengerti kesusahan Daud, menangis bersamanya dan berkorban untuknya. Dia melihat bahwa Tuhan memanggil Daud menjadi raja dan dia tahu bahwa Daud akan menjadi raja yang baik, maka dia meneguhkan panggilan Daud dan memberkatinya. Yonatan berkata, “Jika aku masih hidup, bukankah engkau akan menunjukkan kepadaku kasih setia Tuhan? Tetapi jika aku sudah mati, janganlah engkau memutuskan kasih setiamu terhadap keturunanku sampai selamanya.” Hanya itu yang dia minta: berkat bagi sahabatnya dan kasih setia Tuhan dari sahabatnya. Sangat indah!

Menarik sekali bahwa Yesus juga menggambarkan hubungan-Nya dengan kita seperti sahabat. Dia berkata, “kamu adalah sahabat-Ku”. Yesus melihat kelemahan kita, luka kita, dan dengan kasih Dia membalutnya. Yesus tahu kelemahan kita dan Dia mau kita menemukan kekuatan dari-Nya. Yesus memanggil kita untuk mengikut Dia dan menjadi yang terbaik yang kita bisa. Karena Yesus adalah sahabat kita.

Bersyukurlah untuk persahabatan dan kasih dari orang-orang di sekitar kita. Lalu, pikirkanlah bagaimana kita juga bisa menjadi sahabat bagi orang lain!

Afterword:
Saya diberkati Tuhan dengan banyak sahabat. Tentu tidak semua sama dekatnya dengan saya, secara jarak ataupun perasaan, karena kita semua terbatas. Tetapi, jauh atau dekat, sedikit atau banyak, persahabatan kalian sangat berarti bagi saya. To you all, to each one of you, wherever you are, yes you! I just wanna say, “I THANK MY GOD FOR YOU!” Happy belated friendship day!:-)

Pernah tahu lagu di bawah ini? Saya pertama kali mendengarnya dinyanyikan oleh Paduan Suara Sion 1 GKY Green Ville. Lagu yang sangat indah dari Joseph Martin yang diinspiraskan dari Fil 1:3-4: “Aku mengucap syukur kepada Allahku setiap kali aku mengingat kamu. Dan setiap kali aku berdoa untuk kamu semua, aku selalu berdoa dengan sukacita.”

I thank my God for you
Each time I think of you
Each time I pray for you,

I'm filled with thanks giving

For every word and deed
For helping those in need
I thank the Lord for you and give Him the glory


And even when we are apart
You are always in my heart
We are bonded by God's Holy Spirit


For we are one in God's embrace
One in love's unfailing grace
We give voice to one great “Alleluia”


Alleluia alleluia alleluia alleluia alleluia alleluia alleluia
I give thanks
I thank my God and give my praise


And when the day is done
And every race is run
God's perfect grace will bring us home
We will be together forever and ever more


(Bagi yang ingin tahu nadanya, ini linknya: http://www.jwpepper.com/sheet-music/media-player.jsp?&type=audio&productID=8067576)