“Silence” - Pertama kali saya berkenalan dengan novel ini adalah ketika GKY
Green Ville
mementaskannya dalam sebuah drama pada tahun 2006. Beberapa waktu
lalu saya menemukan novel ini di perpustakaan TTC dan begitu mulai membacanya,
saya tidak bisa tidak membacanya sampai habis.
Shusaku Endo menulis novel ini dengan latar belakang periode sejarah di
Jepang yang disebut sebagai ‘abad kekristenan’. Kekristenan dibawa masuk ke
Jepang oleh Basque Francis Xavier pada tahun 1549. Pekerjaan misi itu berkembang
sehingga pada tahun 1579 diperkirakan sudah ada 150.000 orang Kristen di sana.
Tetapi pada tahun 1597, Hideyoshi, salah seorang tokoh pemersatu Jepang,
memerintahkan eksekusi mati 26 orang misionaris Kristen. Walaupun begitu,
pekerjaan misi masih bisa dilanjutkan. Tetapi, kemudian di bawah pemerintahan
Ieyasu, penerus Hideyoshi, penganiayaan menjadi perintah resmi. Itulah pukulan
mematikan bagi kekristenan di Jepang di saat sudah ada 300.000 orang Kristen
dari 20 juta populasi orang Jepang. Akhirnya di bawah pemerintahan para penerus
Ieyasu, perburuan atas orang Kristen dan khususnya para imam menjadi sangat
sistematik dan kejam untuk menghapus habis kekristenan dari Jepang.
Pada mulanya, cara eksekusi yang paling lazim adalah dengan membakar orang
Kristen hidup-hidup. Lama kelamaan, cara eksekusi dirancang sedemikian rupa
supaya orang Kristen tidak tahan dan murtad. Salah satunya adalah dengan
menggantung orang Kristen di dalam sumur. Seluruh tubuh orang itu akan diikat
erat dengan tali sampai batas dada (satu tangan dibiarkan bebas untuk memberi
tanda ingin murtad) dan dia digantung terbalik ke dalam sumur yang penuh berisi
kotoran. Untuk memberikan jalan keluar bagi darah maka dahinya diberi sayatan
tipis dengan pisau dan darah akan menetes perlahan dari luka itu. Mereka yang
kuat bisa bertahan lebih dari seminggu sebelum mati, tetapi banyak yang tidak
bisa bertahan lebih dari satu atau dua hari. Cara ini sangat efektif membuat
orang Kristen menyangkal Yesus.
Sampai tahun 1632, bagaimanapun beratnya penganiayaan, belum ada satupun
misionaris yang menyangkali Yesus. Tetapi, berita buruk pun kemudian tiba:
Christovao Ferreira menyangkal Yesus di sumur penyiksaan itu. Sangat mengejutkan
karena Ferreira adalah salah seorang pimpinan misionaris! Lebih mengejutkan lagi
diberitakan bahwa kemudian Ferreira bekerja untuk pemerintah Jepang! Sekelompok
misionaris kemudian datang untuk menebus kesalahan Ferreira tetapi mereka segera
tertangkap dan satu persatu juga menyangkal Yesus karena tidak tahan dengan
penyiksaan.
Kekristenan memang tidak menghilang dari Jepang, tetapi masa penyiksaan itu
menjadi masa yang sangat kelam bagi banyak orang Kristen. Dengan latar belakang
inilah, Shusaku Endo berulang kali di dalam novelnya melontarkan pertanyaan yang
sangat tajam: Mengapa Allah terus berdiam diri? Why is God continually
silent?
Tokoh utama dalam novel ini adalah seorang imam bernama Rodrigues.
Diceritakan bahwa dia datang ke Jepang untuk menebus kesalahan Ferreira dan dia
tidak percaya bahwa Ferreira sudah murtad. Rodrigues sudah bertekad kuat bahkan
untuk mati martir di Jepang. Tetapi, satu hal yang terus menggoncangkan dia di
sana adalah dia melihat kehadiran dirinya ternyata bukan menolong orang Jepang
tetapi menyusahkan mereka. Dia ingin melayani mereka tetapi justru karena dialah
maka banyak orang Kristen yang mati dibunuh. Sebagian mati dibunuh karena
menyembunyikan dia dan sebagian lagi mati dibunuh karena ia, Rodrigues, tidak
mau menyangkal Yesus.
Momen paling menentukan adalah ketika dia dibawa ke penjara yang sangat gelap
dan di sana dia mendengar suara “dengkuran” yang kuat. Ferreira yang bekerja
untuk Jepang mendatangi dia dan mengajak dia menyangkal Yesus. Dengan tekad yang
masih kuat, dia terus menolak. Sampai akhirnya Ferreira memberitahu dia bahwa
itu bukan suara “dengkuran” melainkan suara orang Kristen yang kesakitan di
dalam sumur penyiksaan karena Rodrigues tidak mau menyangkal Yesus. Ferreira
bercerita bahwa dulu dia berada di posisi yang sama seperti Rodrigues, lalu dia
berkata (saya terjemahkan):
“Mendengar erangan itu sepanjang malam aku tidak mampu lagi memuji Tuhan.
Aku tidak murtad karena aku digantung di dalam sumur. Selama tiga hari, aku yang
berdiri di hadapanmu ini digantung di dalam sumur penuh kotoran, tetapi aku
tidak mengucapkan satu kata pun yang mengkhianati Allahku. Alasan aku murtad…
apakah engkau siap? Dengar! Aku ditempatkan di sini dan mendengarkan suara
orang-orang yang untuknya Allah tidak berbuat apa-apa. Allah tidak melakukan
apapun. Aku berdoa dengan seluruh kekuatanku; tetapi Allah tidak melakukan
apa-apa.”
Malam itu juga, akhirnya Rodrigues mengikuti ajakan untuk murtad dengan
menginjak lukisan wajah Yesus di depan para penyiksanya. Dan Shusaku Endo
berkata, waktu itu “Fajar menyingsing. Dan jauh di sana ayam pun
berkokok.”
Novel ini sangat menggugah hati dan pikiran saya. Dua hal yang terus terpikir
oleh saya:
1. Penderitaan mereka. Apakah saya punya hati untuk melayani Tuhan seperti
para misionaris itu? Atau apakah saya punya hati untuk setia kepada Tuhan
seperti orang-orang Kristen di Jepang itu? Masalah keberanian, daya tahan untuk
disiksa, dan sebagainya, jelas saya tidak punya! (Hanya berharap Tuhan akan
memberikan kekuatan pada waktunya). Tetapi, apakah saya punya hati untuk setia
seperti itu? Ah… hidup saya melayani Tuhan hari ini terlalu nyaman dibanding
mereka. Dengan cara apa saya memikul salib hari ini?
2. Mungkinkah Tuhan berdiam diri seperti yang digambarkan Shusaku Endo dalam
novelnya? Pertanyaan itu berulang kali dia tanyakan, “Why God remains
silent?” Saya bertanya-tanya bagaimana jika saya berada dalam situasi
seperti itu dan Tuhan diam…??? Pertanyaan ini menggelitik saya selama beberapa
waktu. Tetapi, pertanyaan yang lebih penting kemudian muncul: Mungkinkah Tuhan
diam? Sangat diam? Sampai saya dibiarkan dalam kesunyian yang sangat panjang?
Saya kira tidak! Ketika membaca Perjanjian Baru, saya menemukan situasi yang
berbeda. Tak pernah Tuhan begitu diamnya sampai tidak ada lagi kesadaran kita
akan kehadiran Tuhan.
Mungkinkah itu juga yang dipikirkan oleh Shusaku Endo? Di satu sisi, dia
mengajak kita berpikir dan merasakan pergumulan orang Kristen ketika Tuhan
‘diam’. Di sisi lain, dia mengajak kita melihat bahwa Tuhan tidak diam. Karena
di akhir dari novelnya, dia menaruh sebuah ucapan di mulut Rodrigues - yang
pernah melakukan tindakan murtad tetapi masih terus setia kepada Tuhan dalam
hatinya:
“But our Lord was not silent. Even if he had been silent, my life until
this day would have spoken of him.” (Tetapi Tuhan kita tidaklah diam. Bahkan
sekalipun Dia diam selama ini, hidupku sampai hari ini sudah berbicara tentang
Dia).