Kita percaya tidak ada dualisme dalam hidup Kristen. Pengertian kita tentang Allah bukanlah hanya untuk dibicarakan dalam khotbah, tetapi seharusnya menjadi dasar semua yang kita lakukan baik dalam pelayanan, ibadah, maupun kehidupan keluarga ataupun pekerjaan. Alkitab bukanlah hanya untuk dibaca dan membuat kita ‘tersentuh’, tetapi menuntun kita dalam setiap aspek kehidupan kita.
Maka tiap hal dalam hidup kita, baik itu kehidupan di gereja, mengenai bentuk kebaktian, cara persembahan, mengundang pengkhotbah, disiplin gereja, pelaksanaan sakramen, pemilihan majelis, pemberkatan nikah, apapun juga… harus dipikirkan dari sisi teologis. Atau itu dalam kehidupan keluarga, mengenai pernikahan, komitmen, kesetiaan, punya anak, mendidik anak, pengambilan keputusan dalam keluarga, apapun juga… harus dipikirkan dari sisi teologis. Demikian pula kehidupan kita yang lainnya seperti pemilihan karir, etika kerja, bisnis, hubungan dengan orang lain, sikap terhadap lingkungan, dan apapun juga… apapun yang terpikir… harus dipikirkan secara teologis.
Tapi… mengapa sedikit sekali orang Kristen yang berpikir secara teologis? Saya berikan beberapa contoh, pernahkah kita berpikir secara teologis:
Mengapa di beberapa gereja, jika ada pasangan yang mengaku sudah melakukan hubungan seks sebelum menikah, maka pemberkatan tidak boleh dilakukan di ruang kebaktian tetapi di ruang lain atau bahkan gedung lain? Mengapa kita melakukan perjamuan kudus 1 bulan 1X, mengapa tidak lebih sering atau lebih jarang? Mengapa ibadah dipisah antara anak2, remaja, dan orang dewasa? Mengapa perlu menikah? Atau mengapa harus menikah? Mengapa punya anak? Apa nilai di balik cara kita merekrut karyawan, memberlakukan jam kerja karyawan, tuntutan kepada karyawan, dst?
Saya bisa teruskan daftar pertanyaan ini panjang sekali. Bahkan kalau anda perhatikan, banyak tulisan saya dalam blog ini adalah usaha saya untuk berpikir secara teologis.
Sadar atau tidak sadar ada nilai, ada kompas, ada alasan, mengapa kita melakukan sesuatu. Dan apa nilai, kompas, atau alasan itu? Apa dasarnya? Siapa yang mengajarkan itu? Kalau nilai, kompas dan alasan kita bukan berdasarkan teologi, bukan pengertian kita tentang Allah yang dinyatakan dalam Alkitab, maka pasti yang lain. Maka pilihannya adalah berpikir secara teologis, dan hidup diarahkan oleh itu, atau berpikir secara lain, dan hidup diarahkan oleh itu.
Saya menyayangkan kurangnya orang Kristen berpikir. Bahkan kalau saja kita mau berpikir, dengan logis, seperti metode Socrates, banyak hal yang kita lakukan akan nampak salahnya dan sembarangannya. Saya meratapi kurangnya orang Kristen mau berpikir lebih mendalam – berdasarkan Alkitab – tentang berbagai hal yang dia temui dalam hidupnya. Tidak heran gereja kadang lebih dipengaruhi oleh marketing, psikologi, dan manajemen daripada Alkitab! Tidak heran juga banyak orang Kristen hidupnya, cara bisnisnya, tidak ada bedanya dengan orang bukan Kristen!
Saya sadar tidak mungkin kita sanggup sempurna, memikirkan semuanya dari kacamata teologis. Kita manusia terbatas, selalu ada hal yang belum kita pikirkan. Tapi paling tidak, mari mulai, sebisa kita, berpikir – dan berpikir secara teologis.