Salah satu elemen di dalam kebaktian yang dianggap sangat penting oleh gereja-gereja Protestan adalah khotbah atau penyampaian Firman Tuhan. Maka bagaimana menentukan “apa yang akan dikhotbahkan” menjadi sangat penting.
Ada beberapa cara yang biasa dipergunakan oleh gereja-gereja dalam menentukan “apa yang akan dikhotbahkan”. Tetapi, cara yang paling populer dilakukan oleh gereja-gereja Protestan di Indonesia adalah “menyusun tema khotbah”. Saya ingin mengevaluasi cara ini lalu memberikan beberapa cara alternatif dalam menyusun “apa yang akan dikhotbahkan”.
“Menyusun tema khotbah” - biasanya tema akan disusun sekaligus untuk 1 tahun. Cara penyusunannya bermacam-macam. Ada beberapa gereja yang memiliki “tema tahunan” lalu dibagi menjadi “tema bulanan” dan lalu “tema mingguan. Ada juga yang tidak sedetil itu pembagiannya.
Penyusunan tema dimaksudkan supaya seluruh kebaktian fokus pada tema itu. Baik lagu pujian, pembacaan Alkitab, kalimat liturgis, sampai khotbah semua harus sesuai dengan tema yang ditentukan. Tujuan kedua adalah untuk mencegah terjadinya pengulangan topik khotbah – minggu ini khotbah tentang A lalu minggu depan sama tentang A lagi. Diharapkan juga tema yang berbeda akan mendorong pengkhotbah untuk berkhotbah dari ayat Alkitab yang berbeda. Tujuan ketiga adalah supaya ada arah yang jelas apa yang akan dipelajari oleh jemaat dalam 1 tahun. Tema-tema itu seperti kurikulum pelajaran melalui khotbah.
Sayangnya banyak yang tidak pernah memikirkan kelemahan cara ini. Kelemahan dari cara ini adalah sebenarnya sangat sangat sangat (superlatif) sulit menyusun tema dengan baik.
Selama lebih dari 15 tahun saya memperhatikan, ketika diundang berkhotbah, banyak tema yang sangat buruk. Kadang saya tidak mengerti maksudnya, bukan karena tidak dijelaskan tetapi karena tidak masuk akal bagi saya. Kadang saya diberikan tema minggu itu disertai informasi tema-tema minggu sebelum dan sesudahnya, dan saya menemukan temanya sangat “kecil-kecil”, “beda-beda tipis” sampai tidak mungkin saya khotbahkan. Kadang bahkan temanya betul-betul tidak bisa dikhotbahkan! (Saya pernah mendapat tema “Eksposisi Eric Liddell”!)
Seringkali “Menyusun tema khotbah” justru membuat jemaat mendapat makanan yang sangat sempit! Setiap kita terbatas, buku yang kita baca terbatas, pemikiran kita terbatas. Waktu menyusun tema, kita akan menyusun apa yang kita tahu dan kita pikir baik. Padahal ada begitu banyak tema yang baik yang kita tidak tahu… yang tidak akan pernah dikhotbahkan kepada jemaat karena tidak pernah terpikir oleh kita! Sangat sayang! Penyusunan tema yang ketat (misalnya sesuai tema tahunan) juga menyebabkan selama setahun itu jemaat hanya akan mendengar khotbah seputar itu saja.
Keterbatasan kita juga menyebabkan tema yang kita pilih sebetulnya hanya itu-itu saja. Sekarang ini ketika diberikan tema untuk berkhotbah, hampir selalu saya sudah pernah mengkhotbahkan yang mirip! Tema-tema khotbah di gereja-gereja hanya itu-itu saja dan ada banyak tema yang tidak pernah disentuh. Izinkan saya bertanya, siapa yang pernah pernah mendengar khotbah tentang “singleness” (hidup tidak menikah), tentang perceraian dan menikah kembali, tentang menghadapi kematian, tentang panggilan dalam pekerjaan? Kapan pernah mendengarnya?
Yang parah, penyusunan tema seringkali seperti usaha yang sia-sia. Ketika ada tema tahunan yang diuraikan menjadi tema mingguan (apalagi ada tema bulanan juga), jujur, sebetulnya sangat dipaksakan. Hampir semua tema, apapun, bisa dipas-pasin ke dalam tema tahunan apapun! Silakan coba kalau tidak percaya. Ditambah lagi, tidak jarang saya mengamati pengkhotbah berkhotbah tidak sesuai dengan tema dan penyusunan tema menjadi percuma. Saya sendiri pernah menyusun tema khotbah untuk kebaktian, dan saya memperhatikan pengkhotbah yang berkhotbah sesuai dengan tema dan tujuan yang diinginkan tidak sampai 25%!
Selain itu, sebuah kebaktian yang berfokus kepada satu tema bisa menjadi baik tetapi juga bisa menjadi buruk. Kondisi setiap jemaat yang datang ke kebaktian berbeda-beda, pergumulan dan kebutuhan mereka berbeda. Misalnya saja hari itu ada jemaat yang sedang bergumul dengan penyakit kanker dan dia baru tahu jika usianya tidak akan lama lagi. Jika hari itu temanya adalah tentang bermisi, lalu seluruh lagu, ayat Alkitab, kalimat liturgis, dan khotbah semua mendorong untuk bermisi, bahkan pengakuan dosa pun tentang mengaku dosa karena kurang bermisi, apa yang dia rasakan? Saya tahu Tuhan bisa berbicara lewat apa saja. Tetapi alangkah berbedanya jika dalam kebaktian, elemen-elemen kebaktian menyampaikan hal yang berbeda-beda (tentu bukan kacau), misalnya ada lagu yang mengajak memuliakan Tuhan, ada yang bicara tentang penghiburan, kalimat liturgis mendorong untuk percaya kepada Tuhan, lalu khotbah tentang misi. Kebaktian akan seperti jaring yang “menangkap” dan “mengena” kepada banyak orang yang datang.
Kelemahan terakhir adalah masalah konsep. Cara “menyusun tema khotbah” ini menjadikan kebaktian seperti “class room” dengan kurikulum yang kita pikir terarah. Tetapi kebaktian bukanlah “classroom” – it’s a time to worship! Khotbah bukanlah untuk menggerakkan jemaat ke arah tertentu, tetapi menguraikan Firman Tuhan yang sangat kaya dan limpah yang berbicara di dalam kompleksnya kehidupan kita. It’s a time to worship!
Beberapa usulan saya jika ingin menggunakan cara ini:
1. Susun tema hanya untuk “pengkhotbah dalam”. Para pengkhotbah di dalam gereja itu bisa berkumpul dan mendiskusikan tema-tema yang ingin mereka masing-masing khotbahkan. Kadang saya diberikan tema yang saya sama sekali tidak mampu atau yang saya sama sekali tidak punya hati/beban untuk mengkhotbahkannya. Kesulitan-kesulitan ini muncul karena sebagai pengkhotbah tamu, saya tidak tahu dan tidak berbagian dalam pergumulan dan beban di balik penyusunan tema itu (sekalipun sudah dijelaskan!). Tetapi, akan berbeda jika yang menyusun tema adalah juga yang berkhotbah. Untuk pengkhotbah luar, bebaskan saja. Mungkin ada hal-hal yang mereka pikirkan yang kita tidak pernah pikirkan. Mungkin dia sedang sangat terbeban kepada sesuatu, dan kalau dia dibebaskan, dia akan menyampaikan tema itu dengan sangat baik. Saya sendiri merasa ketika mendapat kebebasan menentukan tema khotbah sendiri, hampir selalu saya berkhotbah lebih baik daripada ketika tema sudah ditentukan. Atau paling tidak, beri tahu dia tema tahunan kita, lalu apa saja yang sudah dikhotbahkan, dan minta dia mengusulkan tema yang dia rasa cocok.
2. Jangan terlalu kaku dengan “tema tahunan” apalagi “tema bulanan”. Boleh saja jika ingin ada tema tahunan tapi percayalah hampir semua tema bisa masuk di bawah payung tema tahunan itu – kadang hanya perlu sedikit twist saja! Pikirkan seluas-luasnya apa yang jemaat perlukan. Jangan juga berpikir hanya tematik karena khotbah bukanlah seminar tetapi penguraian Firman Tuhan. Selingi khotbah tematik dengan memikirkan bagian Alkitab mana yang akan dikhotbahkan dan dari bagian Alkitab itu baru munculkan temanya.
3. Mungkin bisa dicoba untuk tidak menyusun tema terlalu jauh ke depan. Craig Groeschel (penulis buku Christian Atheist) bercerita bahwa dia hanya bisa menyusun khotbah (kalau tidak salah) 2 bulan ke depan. Alasannya adalah kondisi jemaat akan berubah, dia tidak tahu apa yang akan terjadi 6 bulan lagi! Lagipula kondisi dia pun akan berubah, ada pergumulan yang baru, ada buku atau artikel yang baru dia baca, maka topik yang “hot” bagi dia akan berubah sesuai waktu. Kalau tema khotbah sudah disusun 1 tahun ke depan, maka kebebasan itu menjadi hilang.
4. Selalu ingat bahwa kebaktian kita bukanlah “classroom” dan bukan alat untuk menggerakkan orang. Kebaktian adalah kebaktian – a worship time where the people of God meet their God!
Alternatif cara lain untuk menentukan “apa yang akan dikhotbahkan”:
1. Menggunakan “Revised Common Lectionary” (RCL). Tidak terlalu banyak gereja di Indonesia yang menggunakannya tetapi ini dipergunakan oleh berbagai gereja di dunia termasuk Lutheran, Anglikan, Methodist, dan Presbyterian. RCL memberikan 4 bagian Alkitab setiap minggunya, masing-masing dari Mazmur, Perjanjian Lama lainnya, Injil dan Perjanjian Baru lainnya. Keempat bagian itu bisa dikhotbahkan sekaligus – karena berkaitan satu sama lain, tetapi juga bisa dipilih hanya 1 bagian saja. Bagian-bagian Alkitab itu disusun dengan memperhatikan 2 periode besar dalam kalender gereja yaitu Natal (dengan Advent sebagai persiapannya) dan Jumat Agung/Paskah (dengan Lent sebagai persiapannya dan Pentakosta sebagai penutupnya). Minggu-minggu di luar kedua periode itu, disebut sebagai “ordinary weeks”. Siklus RCL adalah 3 tahun, artinya setelah 3 tahun akan mengulang lagi. Tetapi, walaupun mengulang lagi belum tentu khotbahnya dari bagian yang sama karena jangan lupa setiap minggu ada 4 bagian Alkitab yang bisa dikhotbahkan. Selama 3 tahun itu juga, bagian-bagian Alkitab yang dimasukkan sudah mencakup hampir seluruh Alkitab. Akan terlalu panjang jika diuraikan detil cara penggunaannya di sini, tetapi kira-kira seperti itu.
Kelebihan dari penggunaan RCL adalah:
Pertama, kalender gereja sangat diperhatikan. Kehidupan kita sebagai orang Kristen berpusat pada kehidupan Kristus: Natal, Jumat Agung, Paskah, Kenaikan, dan Pentakosta – Yesus mengutus Roh Kudus. Tahun demi tahun, kalender liturgi gereja membawa kita tenggelam lagi dan tenggelam lagi dalam makna kehidupan Kristen. Kalender gereja mengajar kita arti mengikut Yesus. Gereja Protestan di Indonesia cenderung hanya merayakan Natal, Jumat Agung, Paskah, lalu Kenaikan dan Pentakosta. Sebelum dan sesudah hari-hari raya itu tidak ada apa-apa, business as usual. Tidak banyak yang mempersiapkan Natal dengan Advent apalagi mempersiapkan Jumat Agung/Paskah dengan Lent. Berbagai peristiwa dalam kalender gereja seperti Rabu Abu dan Minggu Palem dicap sebagai “Katolik”. Bagi yang berpikir seperti itu, saya mohon, pelajari dulu!
Kedua, Alkitab dikhotbahkan dengan merata. Seorang pengkhotbah pernah berkata, “Alkitab orang Kristen lebih tipis dari Alkitab” karena seumur hidup mungkin hanya sedikit bagian Alkitab yang pernah kita dengar dikhotbahkan. Sisanya tidak pernah disentuh oleh pengkhotbah. Tetapi mengikuti RCL memaksa untuk pengkhotbah mengkhotbahkan hampir seluruh bagian Alkitab.
2. Cara lain adalah mengkhotbahkan satu atau beberapa bagian dari setiap kitab dalam Alkitab. Cara ini membuat jemaat mendengar, membaca dan menangkap pesan, paling tidak sebagian dari setiap kitab dalam Alkitab. Tujuannya juga supaya orang Kristen melihat benang merah sejarah keselamatan di dalam Alkitab. (Saya mendapat usulan cara ini dari D.A. Carson).
3. Eksposisi per kitab. Cara ini menolong jemaat mendengar pesan keseluruhan kitab itu dan melihat keseluruhan ayat di dalam konteksnya – bukan sekedar comot ayat. Variasinya adalah dengan membahas seri tema-tema Alkitab (Biblical themes). Keduanya bisa dilakukan bergantian. Pembahasan per kitab menolong jemaat mengerti satu kitab sebagai satu kitab yang utuh, pembahasan tema Alkitab menolong jemaat melihat benang merah antar kitab.
Cara no.1-3 di atas memperhatikan supaya Alkitab dikhotbahkan dengan lebih utuh. Begitu banyak liku-liku hati manusia yang sangat kompleks yang hanya bisa ditelusuri dan ditembusi dengan membiarkan Alkitab yang kompleks dikhotbahkan dengan utuh. Sebaliknya khotbah tematik secara terus menerus akan mendiskon banyak sekali berita Alkitab.
4. Membebaskan setiap pengkhotbah untuk memilih tema khotbahnya sendiri. Salah satu alasan menggunakan cara ini adalah karena khotbah di dalam ibadah bersifat inspiratif – berupa pergumulan, kerinduan dan pesan yang Tuhan tanamkan dalam diri pengkhotbah. Syaratnya hanya satu: Undanglah pengkhotbah yang terus belajar dan mempersiapkan khotbah dengan baik.
Saya sendiri pernah mengalami selama bertahun-tahun berada di gereja yang tidak menyusun tema sama sekali, kecuali untuk hari-hari raya dalam kalender gereja dan hari-hari khusus seperti HUT, Mother’s Day, Father’s Day. Saya berani meyakinkan bahwa hampir tidak pernah ada pengkhotbah yang “bentrok” – minggu ini khotbahnya sama dengan minggu lalu (seingat saya hanya pernah 1X terjadi selama lebih dari 8 tahun dan itupun hanya bagian Alkitabnya yang sama tapi khotbahnya beda). Juga tidak pernah terasa ketidakcocokan antara lagu dan khotbah. Bahkan seringkali kaget menemukan bagaimana pembacaan Alkitab, kata-kata liturgis, lagu pujian, dan khotbah bisa saling melengkapi dengan unik!
5. Mencampur cara-cara di atas :-)
Tidak semua orang akan setuju dengan apa yang saya tuliskan di atas. It’s ok! :-) Mungkin ada hal-hal yang saya salah atau kurang tepat. Saya hanya ingin menunjukkan bahwa menentukan “apa yang akan dikhotbahkan” tidak sesederhana “menyusun tema khotbah”. Saya juga tidak bermaksud meremehkan gereja-gereja yang “menyusun tema khotbah” – mungkin anda berhasil menyusunnya dengan baik. Saya hanya berharap tulisan ini menolong kita untuk berdiskusi dan berpikir dengan lebih kritis. May the Lord help us all!